Saturday, March 24, 2007

Nothing Beats the Warmth of A Happy Family



Sepupu-sepupu heboh yang selalu saya kangenin...



Ponakan tersayang yang sumpah cakep banget!




Kakak-kakak sepupu & Nenek tercinta. I love you forever.. :)


JENUH. Mungkin itu kata yang paling pas untuk menggambarkan perasaan saya 2 minggu terakhir ini. Setelah berbulan-bulan begadang (hampir) setiap hari hingga lewat tengah malam demi memenuhi deadline, berusaha menyaring ide walau otak sedang butek dan mengumpulkan inspirasi meski pikiran sedang penat, saya sampai pada 1 titik: SAYA BUTUH REFRESHING.

Kebebasan sejenak dari deadline yang menumpuk.
Penyegaran setelah sekian bulan begadang demi mengumpulkan ide segar dan menyatukan mood -- yang terkadang malah bikin saya lebih penat dari sebelumnya.

Hal pertama yang singgah di otak saya: LIBURAN.
Yang kedua: PANTAI.
Pantai yang bersih, hangat dan sepi, dengan pasir putih lembut dan laut biru tenang, seluas mata memandang.

Saya membayangkan suara debur ombaknya.
Saya membayangkan senangnya berjalan di atas butiran pasir halus.
Saya membayangkan nikmatnya ‘terisolasi’ sejenak dari segala rutinitas yang menjemukan.
Saya membayangkan bahagianya terbebas (sementara) dari lingkungan yang (kadang kala) begitu penuh basa-basi, tawa dibuat-buat, dan image yang dijaga selangit.
Saya tidak anti dengan itu semua. Saya menghormati mereka yang melakukannya. Tapi kali ini saya bosan dan penat. Saya ingin memisahkan diri, sebentar saja. Saya ingin bisa merasa nyaman tanpa perlu ‘terusik’ dengan polah di sekitar saya. Saya ingin sendiri. Cuma saya, dan diri saya.

Ketika seorang sahabat menceritakan niatnya liburan ke Bandung saat long weekend, langsung saja saya minta ikut. Lumayan, pikir saya. Biarpun bukan pantai, at least saya tetap bisa menghirup segarnya udara luar kota, tidak perlu terus-terusan mengisap hawa Jakarta yang penuh polusi, dan bisa menyegarkan pikiran bersama soulmate tersayang ini. Jadilah kami membuat perencanaan dengan semangat: mau berangkat hari apa? Naik apa? Jam berapa? Nginap di mana? Mau ke mana aja? Ngapain aja selama di sana? ... dan banyak lagi.

Semalam, Nenek saya tercinta berulangtahun ke-75, dan dirayakan di restoran sederhana di Jakarta Pusat. Saya ikut hadir, walau sebagian pikiran masih terfokus pada deadline dan lebih banyak ‘pongo’ selama perjalanan. Begitu sampai di tempat, kami tidak bisa langsung menikmati hidangan (jangan tanya kenapa, ‘rusuh’ lah pokoknya ;p), dan walau sempat ngomel-ngomel karena kelaparan, akhirnya saya dan para sepupu memutuskan untuk menerima dengan lapang dada...
*halaah tuh bahasa*
Yang ada, kami jadi ngobrol seru sambil bercanda-canda gila, saling nyela, ketawa heboh tanpa ujung pangkal. Lupa umur, lupa diri. Kegilaan terus berlanjut ketika makanan datang dan kami mulai bersantap. Suasananya agak kacau untuk ukuran pesta makan-meja yang (seharusnya) formil, tapi sangat menyenangkan.

Nenek, yang semalam tampil jauh lebih muda -baru nyemir rambut bo..- tampak bahagia. Wajahnya berbinar-binar. Katanya, senang melihat cucu-cucunya sudah besar dan dewasa (lah...? Nggak tau aja kerusuhan di meja pojok...). Juga tidak lupa menyelipkan wejangan yang selalu diwanti-wanti pada setiap cucu perempuan: “Cepet dapet jodoh, laki-laki yang baik, yang sayang sama kalian. Popo (sebutan kami untuknya) pengen lihat kalian pada kawin…”

Acara berakhir dengan tiuplilin-potongkue-fotopakeHP-salingtransferviabluetooth yang heboh.
Waktu bergulir sangat cepat dalam derai tawa dan kehangatan (kok gue berasa kayak Ebiet sih nulis beginian).
Saat itu, barulah saya sadar, betapa saya merindukan kenyamanan seperti ini…

Rasa nyaman yang tidak bisa ditukar dengan banyaknya senyum basa-basi. Rasa nyaman yang tidak bisa diciptakan dengan image yang dijunjung tinggi. Tidak juga dengan uang sebanyak apapun, dan liburan kemanapun.

Malam itu, saya pulang dengan secercah kehangatan.
Ternyata yang saya butuhkan bukanlah pantai.
Bukan juga udara sejuk luar kota.
Penyegaran itu datang dari kehangatan sebuah keluarga.
Kebahagiaan itu muncul dari cinta tulus yang tidak mengenal syarat.

Saturday, March 17, 2007

Semut Merah Kupret

Kemarin, waktu lagi asyik-asyiknya mencermati laporan stok produk di ruangan manajer (yang harus direvisi karena kecerobohan saya – darn!), mendadak saya digigit semut merah.

Sakitnya nggak seberapa, kayak disuntik zaman TK (doooh!), dan semutnya juga langsung mati tertindih lengan saya. Tapi gatalnya… duh.

I began to scratch, and couldn’t stop. Bekas gigitan yang tadinya hanya bentol kecil, mulai membesar. Akhirnya saya mengoleskan minyak kayu putih dan belagak bego.

Things gone smoothly, saya menyelesaikan tugas-tugas hari itu, pulang, mandi, makan, de-el-el – samasekali lupa tentang si bentol. Sampai tadi pagi saya bangun, dan mendapati –OH, NO— bentol tersebut sudah berubah jadi bengkak merah yang guatelllll tenan...

Setelah mengoleskan minyak tawon (yang katanya manjur untuk mengobati segala jenis gigitan serangga – you can write it down… in case ^_^), saya misuh-misuh sejenak sambil mengamati bengkak. Awalnya, semua kesalahan tentu saja ditimpakan pada semut kampret itu. Lalu saya mikir, “Ah sudahlah, udah mati juga. Mungkin gigitannya ini adalah upaya terakhir membela diri sebelum ‘game-over’ ketimpa.”



Kalau melihat dari sudut pandang si semut (yang mungkin sekarang lagi nyukurin saya dari ‘alam sono’), kayaknya ia pantas berbangga hati, karena perjuangannya yang terakhir ini tidak sia-sia – bahkan bisa dibilang membanggakan.


I admired that stupid ant, though.
Badan seuprit itu, gigitannya bisa bikin bengkak kayak gini

’Tuk si semut merah: semoga berbahagia di alam sana… jangan kirim teman-temanmu, ya!