Thursday, June 28, 2007

The Pursuit of Happiness

Setelah sekian lama mendengar cerita tentang film 'The Pursuit of Happyness' dan tergiur menyaksikan akting Will Smith yang konon katanya ‘the best ever’, akhirnya saya berhasil nonton film ini. *deuuu, bangga..* :)

Pendapat saya tentang ‘The Pursuit of Happyness’?

Sejujurnya, tidak banyak. Dan saya juga memilih untuk tidak terburu-buru mencantumkannya dalam daftar film favorit di Friendster *wink*.

Alasannya?

Well.. mungkin pandangan saya tentang arti kebahagiaan sedikit berbeda. Entah benar entah salah, namun bagi saya kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar seperti Will Smith (atau Chris Gardner) memperjuangkannya.

Entah hidup dengan harta berlimpah atau melarat setengah mati, sehat walafiat atau terbaring di rumah sakit, bisa makan di restoran mewah atau makan nasi-kerupuk, tinggal di rumah jutaan dolar atau di penginapan sederhana yang bayarnya pakai ngutang, menikah dengan eksmud super-tampan lagi baik budi dan tidak sombong atau masih single di usia ‘kepala dua lari-lari’; menurut saya, kebahagiaan tidak ditentukan oleh itu semua.

Saya menonton film tersebut sampai habis, dan mendadak teringat pada sebaris kalimat yang dituliskan seorang teman beberapa waktu lalu. Kalimat yang sangat sederhana, namun lebih dari cukup untuk merangkum makna kebahagiaan secara utuh (dan menohok hati saya).

“Kebahagiaan tidak perlu dikejar, karena kebahagiaan timbul dari hati dan pikiran yang senantiasa bersyukur.”

Teman saya bukan ahli filsafat, seniman besar, sastrawan terkenal, pun pembuat film kondang.

Tapi bagi saya, ia telah berhasil menyampaikan arti kebahagiaan melebihi yang dapat diuraikan oleh siapa pun. :)

Saturday, June 23, 2007

Nunjuk Itu Memang Gampang.

Saya tersenyum ketika membaca sebuah e-mail di mailing list yang saya ikuti. E-mail tersebut mengomentari tanggapan e-mail lain, atas ‘nyasar’nya spam di milis yang cukup mengganggu:

“Ya ini salah satu spam email lagi...abis anggota milis ini aneh2 sih, kemaren rame2 bilang setuju mau difilter aja messagenya.. tapi cuma pada bilang mau, setuju, setuju banget, tapi ga ada yg mengajukan diri menjadi moderator..kl gitu ya silahkan filter emailnya sendiri2 aja.. gampang kann...”

E-mail bernada kesal itu dibalas oleh anggota milis lain, yang membuat saya cengar-cengir nggak karuan:

”Gimana kalau kamu aja yang jadi moderatornya?”

E-mail ini adalah yang e-mail kesekian, yang menanggapi subjek serupa. Saya tergelitik membaca e-mail tersebut, dan seketika naluri nyolot saya (yang bawaan dari lahir dan tidak terlalu ingin saya ubah - karena kadang-kadang berguna juga dalam menghadapi orang reseh *wink*) timbul.

nyilet mode: ON.

Memang jauh lebih mudah melontarkan kritik, daripada memperbaiki sesuatu dengan tangan kita sendiri.
Jauh lebih mudah memberi usul, daripada melaksanakannya.
Jauh lebih mudah menunjuk orang lain, daripada mengerjakannya sendiri.
Jauh lebih mudah buka mulut dan cuap-cuap, daripada menyingsingkan lengan baju untuk mulai bekerja.

Dan, seperti yang kamu baca di entri ini, jauh lebih mudah menuliskan opini, daripada melakukannya. :D

Lha, kok?
Iya, soalnya saya juga emoh kalau disuruh jadi moderator. Haha. Tapi biarlah. Setidaknya, saya tidak ikut-ikutan ribut dan saling tunjuk karena beberapa spam nyasar di inbox saya. Ada banyak hal yang lebih penting untuk dipusingkan.

*ah, sudahlah…*

nyilet mode: OFF.

Peace, ah! :)

Thursday, June 21, 2007

I Am Different, and I Am Proud Of It.

Beberapa waktu lalu saya sempat menyinggung sekilas keinginan saya untuk menjadi relawan di daerah konflik pada seorang teman. Sambil cengar-cengir, saya berkata, “Seru lho, mau ikutan gak?”

Ia menatap saya lekat-lekat, dengan pandangan aneh dan kening berkerut, lalu bertanya “Ngapain?!” dengan intonasi meninggi. Padahal sumpah, itu ajakan biasa yang saya lontarkan dengan ringan.

Bagi saya, tidak ada yang aneh dengan keinginan itu. Saya sendiri mendengar tentang hal ini dari seorang kawan yang sudah melakukannya lebih dulu. Kawan saya kecanduan dengan pengalaman dan pencerahan yang didapatnya saat menjadi relawan. Cerita-ceritanya sangat menggugah, dan menurut saya, sama sekali tidak ada yang salah dengan keputusan untuk mengabdikan diri sesuai panggilan hati – entah itu menjadi relawan, misionaris, biarawati, atau apapun.

Tidak ada yang salah dengan itu, karena setiap orang terlahir dengan tujuan berbeda. Passion yang dimiliki tiap orang pun berbeda-beda, dan saya menghormati keragaman dalam hidup –apapun bentuknya- sebagai sesuatu yang menjadikan dunia ini kaya warna. Hidup ini indah karena berbagai rasa dan warnanya, saya selalu percaya itu.

Sejujurnya, saya sering merasa ‘berbeda’. Saya senang mempertanyakan hal-hal yang jarang dipikirkan (bahkan dilirik) orang lain. Saya mempertanyakan ‘konsep ideal’ yang berlaku di masyarakat. Saya mempertanyakan siklus kehidupan. Saya mempertanyakan implikasi banyak hal, dalam banyak hal (opo toh ‘ki? ^_^). Saya senang dengan segala sesuatu yang membangkitkan rasa penasaran, menggugah nalar dan membedah nurani. Saya tertarik pada hal-hal yang dapat menawarkan alternatif baru dalam menilik makna kehidupan. Saya suka menggali arti tersembunyi dari segala sesuatu; dari yang jelas sampai tidak jelas, penting sampai tidak penting.

Tapi seiring bertambahnya waktu, pelan tapi pasti, saya mulai merasa diri ini ‘aneh’. Kenapa? Karena saya ‘lain sendiri’. Saya berbeda, dan terasing dalam perbedaan itu.

Berkali-kali saya menerima respon tidak enak -bahkan dari orang-orang terdekat saya- semata karena pemikiran saya tidak bisa mereka terima.

Saya tidak menyalahkan siapapun atas hal ini. Sebagaimana saya melihat keragaman sebagai sesuatu yang indah, saya pun menghargai setiap perspektif yang dimiliki masing-masing individu – termasuk usaha mereka untuk mempertahankan ‘keyakinan’ tersebut. Mungkin tatapan aneh, kernyitan dan komentar menusuk yang saya terima hanya salah satu usaha untuk menjaga apa yang mereka yakini sebagai kebenaran.

Tapi, di sisi lain, batin saya mulai ‘terusik’. Jadi berbeda ternyata tidak sepenuhnya enak.

Saya harus siap menghadapi tentangan dari lingkungan yang tidak sepaham. Satu-satunya cara untuk meminimalkannya adalah dengan bicara sesedikit mungkin, agar tidak perlu memancing perdebatan maupun respon bernada aneh. Dan memang itulah yang saya lakukan. Namun akibatnya, saya merasa ‘terpenjara’; bahkan untuk sekedar membuka mulut pun harus dipikir seribu kali dulu. Kebebasan mengutarakan pendapat mulai menjadi sesuatu yang istimewa, karena kesempatan seperti itu jarang saya dapatkan.

Tapi, efeknya adalah, saya jadi mulai meragukan ‘keyakinan’ saya sendiri. Dulu saya tahu saya berbeda, dan tidak ambil pusing dengan fakta itu. Saya merasa nyaman dengan keberadaan dan pemikiran-pemikiran saya, yang seringkali tidak sejalan dengan kebanyakan orang. Saya percaya diri, dan saya bangga. Sekarang kepercayaan diri itu mulai goyah, dan kebanggaan menjadi mahal.

Rasa frustrasi itu perlahan merambat naik. Memberitahu bahwa ‘ada yang tidak beres’ dengan diri saya. Menyadarkan bahwa tentangan-tentangan yang saya alami disebabkan oleh ‘kekeraskepalaan’ saya untuk bertahan menjadi berbeda. Menantang nalar saya dengan pertanyaan, ‘Mau sampai kapan seperti ini?’.

Sungguh, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Menyerah dan berkompromi? Ikut menganut paham yang diyakini orang-orang lain? Turut mengamini konsep ideal yang berlaku di masyarakat? Menyerah pada tuntutan lingkungan dan mengubah jalan berpikir saya? … menjadi sama seperti kebanyakan orang?

Konflik batin itu berhenti hari ini, ketika saya menerima jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan pada seorang kawan melalui pesan pendek, “Menurut lo, gue ini aneh gak sih?”

Jawabannya datang dalam sebuah kalimat simpel.

“Kalo lo mikir lo aneh, maka aneh lah elo. :)”

Kesederhanaan itu membuat saya terdiam. Iya, rasanya seperti ditampar.

Selama ini, saya merasa diri saya ‘aneh’ karena tidak bisa memenuhi tuntutan lingkungan sosial untuk bertransformasi –menjadi sama- seperti mereka.

Ternyata saya salah.

Saya merasa aneh, karena saya mengizinkan pikiran saya berkata “Kamu aneh.”

Saya merasa abnormal, karena saya membiarkan benak saya teracuni dengan intimidasi.

Saya merasa tertekan, karena secara tidak langsung saya membiarkan tekanan itu menghimpit diri saya.

Padahal, sebenarnya semua berada dalam ‘kendali’ saya.

Orang boleh memiliki persepsi berbeda, bertindak sesuka hati dan mengatakan apapun yang mereka mau tentang saya, tapi pembentukan citra diri saya yang sesungguhnya tidak bergantung pada semua itu.

Saya adalah sebagaimana yang saya pikirkan.

Pesan pendek itu masih terasa menampar hingga detik saya menuliskan kalimat ini. Namun bedanya, kini saya terbebas dari himpitan konflik batin.

Saya unik.

Saya berbeda, dan saya bangga dengan perbedaan itu.


*Dipersembahkan bagi semua orang yang ‘terasing’ karena berbeda. Tidak ada yang
salah dengan itu, karena setiap perbedaan menciptakan warna yang memperkaya
keindahan dunia. Jadi, mari berbagi pencerahan ini. Kita unik karena kita
berbeda
. :)

Untuk Yang Tersayang. :)

Sayang,

Seharian ini saya tersenyum terus. Iya, agak mirip orang gila memang. Mau tahu alasannya? Saya selalu geli jika teringat polahmu tadi siang, ketika kamu berada dalam gendongan saya, dan dengan nyaman merengkuh leher dan pundak saya. Tiba-tiba kamu menggeliat, dengan gerakan yang begitu tiba-tiba sampai saya ngeri sendiri (maklum, lengan saya yang kurus ini agak ringkih untuk menahan gerakan mendadak dari tubuhmu yang semakin berat). Kamu bilang, kamu ingin pipis. Cepat-cepat saya menurunkanmu. Sayangnya, ucapanmu itu terlambat. Kamu sudah membasahi kemeja dan jaket saya dengan sukses. Saya hanya bisa tergelak melihat noda besar yang basah itu.

Tapi tenang, saya tidak marah kok. Mana bisa saya marah padamu? Kamu adalah sosok paling lucu, paling menyenangkan dan paling menggemaskan yang pernah saya temui. Saya tidak akan pernah bisa marah padamu, tidak peduli berapa sering pun kamu ngompol di gendongan saya, menumpahkan kuah sup yang berminyak ke tubuh saya, membasahi saya dengan liurmu, bahkan memukul kepala saya (saya tahu kok, kamu tidak sengaja melakukannya).

Kamu tahu, Sayang, kamu begitu berarti. Bukan hanya untuk saya, namun juga semua orang yang mencintaimu. Kamu sangat berharga. Mungkin kamu tidak ingat, Sayang, 2 tahun lalu, ketika kamu menghirup udara dunia untuk pertama kalinya, kami ada di sana. Menyaksikan kamu menggeliat. Mendengar tangisanmu. Melihat kamu tertidur dengan nyenyaknya. Dan kami merasa jadi orang paling bahagia di dunia. Sesungguhnya, kami sudah bersama denganmu jauh sebelum kamu lahir, Nak. Kalau kamu ingat suara-suara lembut yang berbisik di balik dinding elastis tempatmu tumbuh sebagai janin, itulah kami. Kalau kamu ingat belaian ringan yang menggetarkan dinding itu, itulah kami. Kami menyertaimu sejak kamu masih sangat, sangat kecil. Itu sebabnya, ketika kamu (akhirnya) tiba di dunia, kami bersukacita.

Tahukah kamu, Nak, kamu muncul di dunia dengan perjuangan panjang. Kehamilan Ibumu tidaklah mudah. Beliau melalui masa 9 bulan itu dengan sukar karena perubahan fisik yang dialaminya. Rasa sakit dan tidak nyaman menjadi ‘makanan’ sehari-harinya selama 7 bulan penuh, sementara kebanyakan orang hanya mengalaminya selama tri semester pertama. Tapi tahukah kamu, Ibumu adalah wanita yang kuat. Sekalipun bergumul dengan kelelahan fisik, insomnia dan sulit menerima makanan, Beliau tetap menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat baik; sebagai istri, pimpinan perusahaan dan ibu gembala sekaligus. Saya ingat malam-malam ketika ia bekerja dengan kaki bengkak dan perut mual. Ia memilih untuk menyelesaikan tanggung jawabnya dan mengabaikan rasa sakit itu. Ibumu wanita yang sangat mulia.

Proses kelahiranmu juga tidak terbilang mudah. Hari kemunculanmu sudah tiba, tapi kamu masih betah bersembunyi di dalam sana. Mungkin kamu masih ingin menikmati kehangatan rahim Ibumu. Yang jelas, sementara kamu berbaring nyaman di dalam sana, kami mulai panik. Sebulan lebih kami menanti, Nak. Sebulan lebih orangtuamu menunggu dengan sabar. Dan ketika saat itu akhirnya tiba, Ibumu bergumul selama belasan jam demi melahirkanmu. Induksi tanpa disertai suntikan epidural membuat Beliau kesakitan luar biasa. Ibumu berjuang melawan rasa sakit dan takut yang hebat, Nak, semuanya demi menyaksikanmu menghirup udara dunia dengan bebas. Demi mendengar tangisanmu yang pertama. Demi menimang dan membesarkanmu.

Ketika kamu berusia 40 hari, sesuatu terjadi. Kamu terkena penyakit bernama Stephen Johnson Syndrome (mudah-mudahan saya menulisnya dengan benar, karena saya tidak paham penyakit apa itu, dan tidak berminat mencari tahu). Penyakit itu membuatmu terbaring berhari-hari di ruang perawatan intensif Rumah Sakit. Dokter bahkan mengatakan, terlambat sedikit saja, kami bisa kehilangan dirimu. Kamu berbaring lemah di sana, Nak, dengan bengkak dan luka di sekujur tubuh. Ketika luka itu mengering, koreng yang ditinggalkan menimbulkan bau anyir yang pekat. Kami menangis melihatmu, namun yang paling menderita adalah orangtuamu. Saya tidak pernah melihat mereka ‘terpuruk’ seperti itu. Mereka orang yang kuat dan selalu ceria, tidak peduli sebesar apapun masalah yang mereka hadapi. Hari itu, mereka tertunduk dan menangis. Tapi itu semua justru menyadarkan saya, sebesar itulah cinta orangtua. Sebesar itulah cinta mereka padamu, Nak.

Dan saya mengingat malam-malam itu seperti baru kemarin. Malam-malam panjang setelah kamu sembuh, di mana orangtuamu tidak tidur demi memantau kondisimu. Malam-malam di mana mereka menyelinap masuk ke kamarmu dan duduk berjam-jam di sana demi memasukkan beberapa cc susu ke perutmu, karena kamu selalu menolak bila disodori susu saat kamu terbangun. Iya, kami tahu, susu hypoallergenic itu memang amit-amit rasanya. Aromanya pun membuat mual, lebih mirip air kaporit daripada susu bayi. Saya ingat, betapa Ibumu mudah sekali sakit karena daya tahan tubuhnya menurun drastis, akibat bermalam-malam tidak tidur. Saya ingat betapa Ayahmu jadi rentan terhadap flu dan pegal-pegal, akibat membuaimu semalaman. Semua agar kamu bisa tidur dengan nyaman dan tumbuh sehat. Nak, mereka sangat mencintaimu.

Lalu tiba saatnya kamu belajar bicara. Betapa mata ayahmu berbinar bangga saat kamu mulai menyebutkan suku kata pertamamu, disambung dengan ‘Dad’, kemudian ‘Mom’. Betapa wajah Ibumu bersinar-sinar saat bibir mungilmu mengeluarkan kata-kata lucu. Pemandangan seperti itu takkan bisa dibeli dengan apapun, Sayang.

Kami semua heboh ketika kamu mulai belajar berjalan. Kami heboh menyemangatimu, berlomba menuntunmu dan menjadi ‘penjaga’ di sampingmu – agar kamu tidak terpelanting. Bayangkan betapa bahagianya kami saat kamu mulai menyusuri lantai, setapak demi setapak, dengan langkah-langkah mungilmu. Bayangkan betapa berisiknya kami, ketika kamu terjatuh dan menangis. Selanjutnya, kami akan heboh berseru menenangkanmu dengan kalimat sakti: “Nggak apa-apa, Alex kan hebat!” sehingga kata-kata itu menjadi ‘mantra’mu di kemudian hari (“Ga pa-pa-pa-pa!”).

Waktu berlalu begitu cepat, Nak, seperti pusaran angin yang tak berkompromi. Kamu semakin besar. Kamu semakin lincah, lucu dan berat (hehehe). Tahukah kamu, rasa sayang kami padamu tidak berkurang. Justru semakin bertambah, karena ketika kamu tumbuh dalam kehangatan cinta, kami juga turut bertumbuh bersamamu.

Hari ini, Sayang, saya memutuskan untuk menulis sesuatu yang dapat kamu baca (dan kenang) di kemudian hari. Ketika kamu cukup besar untuk memahami isi tulisan ini, kami pun sudah semakin tua. Mungkin saat itu memori akan masa kecilmu sudah berlubang-lubang, sehingga lebih baik jika saya menuliskannya sekarang.

Ingat selalu, Nak… kamu ada di dunia ini untuk sebuah tujuan yang besar. Kamu tercipta untuk menjadi luar biasa. Kamu ada berkat doa yang tidak pernah berhenti, yang terus dipanjatkan orangtuamu dan orang-orang yang menyayangimu. Kamu besar dalam kehangatan cinta, dan cinta yang sama akan terus menyala dalam dirimu. Jangan pernah lupakan malam-malam sunyi ketika Ayah dan Ibumu duduk di sisimu dan mendoakanmu. Jangan pernah lupakan rasa nyaman dalam dinding elastis itu, ketika Ayahmu menumpangkan tangannya yang hangat dan berdoa bagimu. Jangan lupakan masa-masa dimana tangan mereka membelai lembut tubuhmu, mengusap sayang keningmu, mengayunmu dalam lengan-lengan kokoh dan menciummu dengan segenap cinta. Jangan pernah lupakan itu, walau mungkin kamu masih terlalu kecil untuk mengingatnya. Jika kamu belum dapat menyimpannya dalam memorimu, setidaknya ingatlah cinta itu.

Jika waktu berlalu dan kamu semakin dewasa, banyak hal akan berubah, Sayang. Akan tiba waktunya kamu terlalu besar untuk kami gendong dan ciumi. Akan tiba saatnya kamu menapaki fase hidup yang tidak dapat kami masuki. Akan tiba saatnya ketika segala hal yang biasa kami lakukan bagimu tidak dapat kami lakukan lagi. Karena kamu telah tumbuh dewasa.

Satu pesan kami, Nak… teruslah bertumbuh. Bertumbuh dalam cintaNya. Bertumbuh dalam anugerahNya. Bertumbuh dalam kekuatanNya. Temukan Dia dalam sosok orangtuamu, dan teruslah bertumbuh menjadi seperti mereka, karena orangtuamu adalah teladan terbaik yang dapat kau jumpai (bahkan kami pun belajar dari mereka).

Dan pesan kami yang terakhir, Nak (okay, pesan saya tepatnya)… kalau kamu sudah besar nanti, jangan lupakan tangan-tangan yang pernah menggendongmu. :)

Kami mencintaimu, selalu.

Salam sayang,


Auntie Jenny

*Sebuah persembahan untuk Merpati kecil yang selalu
tersenyum, dan mereka yang disebut 'Ayah' dan 'Ibu'. Tabik. :)

Wednesday, June 13, 2007

E-mail di Penghujung Hari

E-mail itu bertengger di baris teratas inbox, dengan subject yang -sejujurnya- tidak terlalu menarik perhatian saya (maab… saya memang termasuk spesies yang selalu mendahulukan e-mail dengan subject menarik :)).

Saya tidak langsung membacanya, melainkan memusatkan perhatian pada timbunan spam yang memadati inbox. Setelah itu saya beralih pada beberapa situs yang sedang saya buka. Setelah semuanya selesai, barulah saya kembali ke e-mail tadi.

Ia seorang Ibu dengan 3 anak. Suaminya berulangkali ditahan karena narkoba, dan belum keluar dari penjara setelah penangkapan terakhir. Orangtuanya memaksanya meninggalkan sang suami, tapi ia memilih bertahan karena tidak ingin bercerai. Tekanan semakin kuat. Sang suami hanya bisa memberi janji belaka, tanpa pernah sungguh-sungguh berubah. Hidupnya semakin sulit. Komunitas tempat ia berada tidak memberikan dukungan yang dibutuhkannya, bahkan sekedar untuk menguatkan dan menghiburnya. Si pemimpin komunitas pun bersikap cuek, acuh tak acuh. Seakan pergumulan yang dialami anggota komunitasnya itu tidak berarti dan tak layak dilirik sebelah mata.

Saya tidak mau bercerai, karena saya tahu cerai itu dilarang,” tulisnya. “Tapi saya hampir tidak tahan lagi. Saya tidak tahu apakah saya sanggup menjalani kehidupan seperti ini…”

Mata saya menelusuri baris-baris terakhir e-mail itu. Hati saya mencelos membaca rangkaian kata yang sederhana, namun jelas penuh rasa sakit itu.

Mendadak saya malu, karena selama ini saya begitu mudah terdistraksi dan patah semangat hanya karena masalah-masalah kecil, yang sama sekali tidak sebanding dengan kesulitan yang dialami Ibu muda ini. Mendadak saya malu karena sering mengkhawatirkan hal-hal remeh, yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan mengingat banyaknya hal lain yang patut mendapat perhatian lebih. Mendadak saya malu karena terlalu sering memikirkan diri sendiri, sementara di luar sana banyak orang bergumul dengan keringat dan airmata demi terus menjelang hidup.

E-mail itu berakhir dengan sebuah pertanyaan sederhana: “Apa yang harus saya lakukan?”

Saya termangu. Lama.

Berdoa? Jawaban standar yang klise – tanpa bermaksud mengecilkan makna doa sedikitpun.
Bersabar? Lebih basi lagi.
Berbesar hati?
Berserah diri?

… ... apa…???!!

Saya memutuskan sambungan internet dan mematikan komputer. E-mail itu masih bertengger di sana, di baris teratas inbox.

Saya tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.

Tuesday, June 12, 2007

Iseng-iseng, Tentang Komitmen

Tergelitik dan terpesona *alah* oleh novel TESTPACK karangan Ninit Yunita (yang bercerita tentang kekuatan sebuah komitmen, dan sumpah Keren banget!), saya lantas berandai-andai dan mencoba menyimpulkan arti komitmen -- versi saya sendiri, tentunya.

Setelah berhari-hari merenung (bo’ong benerrr) sambil mengintip halaman terakhir TESTPACK *haha!*, saya berhasil menggali beberapa makna komitmen. Kalau ada yang punya definisi lain tentang komitmen, monggo lho, ditunggu pendapatnya… :)

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang suami menerima istrinya dengan segala kekurangan dan kelemahannya tanpa menghakimi. Bersyukur ketika istrinya tampil menawan, dan sama bersyukurnya ketika sang istri mengenakan daster dengan wajah berminyak tanpa make-up. Bersyukur ketika bentuk tubuh sang istri berubah setelah melahirkan, dan tetap mengecupnya sayang sambil bilang, “Kamu cantik.”

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang suami tidak membongkar kelemahan istrinya pada orang lain. Sebaliknya, menutupi rapat-rapat setiap kekurangan itu dan dengan bangga bertutur bahwa sang istri adalah anugerah terindah yang pernah hadir dalam hidupnya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri menunggui suaminya pulang hingga larut malam, membuatkan teh hangat dan makanan panas, dan tetap terbangun untuk menemani sang suami bersantap serta mendengarkan cerita-ceritanya yang membosankan di kantor.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri bertahan ketika suaminya jatuh sakit, dan dengan sukacita merawatnya setiap hari. Menghiburnya, menemaninya, menyuapinya, memandikannya, membersihkan kotorannya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang istri terus mendampingi suaminya tanpa mengeluh atau mengomel. Sebaliknya, dengan setia tetap mendukung dan menyemangati meski sang suami pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa sepeser uang pun.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat sepasang suami istri memutuskan untuk terus mengikatkan diri dalam pernikahan, dengan tulus dan sukacita, meskipun salah satu dari mereka tidak bisa memberikan anak.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat putra pelaku kriminal berkata kepada Ayahnya, “Saya percaya pada Papa. Papa tetap yang terbaik.”

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang yang bergelar S3 dengan jabatan direktur perusahaan multinasional pulang ke rumah orangtuanya, mencium mereka dengan hormat, serta memanggil mereka ‘Ayah’ dan ‘Ibu’.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang Ayah menerima kembali anaknya yang telah menyakiti dan meninggalkannya begitu rupa dengan tangan terbuka, memeluknya dan melupakan semua kesalahan yang pernah dilakukan si anak terhadapnya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang Ibu mengelus sayang anak yang pernah mencacinya, dan tetap mencintainya tanpa syarat.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang mengulurkan tangan kepada sahabatnya yang terjerembab, menariknya berdiri dan membantunya berjalan tanpa mengatakan, “Tuh, apa kubilang! Makanya…”

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seorang pekerja menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik, sekalipun tugas itu amat berat dan upah yang diperoleh tidak sepadan.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang membulatkan hati dan tekad demi mencapai sebuah tujuan, sekalipun ia belum dapat mengetahui hasil akhir dari tujuan tersebut. Berjerih payah dan berkorban demi menyelesaikan tujuannya, sekalipun semua orang meninggalkannya.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang rela meninggalkan segala sesuatu yang berharga demi memenuhi panggilan hidupnya, walau harga yang harus dibayar tidak sedikit dan medan yang ditempuh tidak ringan.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang memikul resiko dan konsekuensi dari keputusannya tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan penuh rasa syukur sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses.

Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang berani setia dan percaya, meski harapannya tidak kunjung terpenuhi dan tidak ada yang dapat dijadikan jaminan olehnya.

Komitmen adalah sesuatu yang melampaui segala bentuk perbedaan, perselisihan dan pertengkaran. Ia tidak dapat dihancurkan oleh kekurangan, kelemahan maupun keterbatasan lahiriah… karena ketika kita berani mengikatkan diri dalam sebuah komitmen, kita telah ‘mati’ terhadap kepentingan diri sendiri.

Izinkan saya menyimpulkan tulisan ini dengan kalimat seorang perempuan bijak yang saya temukan beberapa waktu lalu:

“In the final analysis, commitment means: ‘Here I am. You can count on me. I won’t fail you.’”

Menoleh Sekilas.

Saya tidak akan melupakan malam itu. Sembilan tahun yang lalu, ketika saya terduduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong dan sisa airmata yang sudah mengering di pipi.

Saya tidak lagi sanggup mengalirkan airmata. Tangis saya sudah kering. Telinga saya tersumpal oleh earphone yang terus melantunkan lagu-lagu rohani, namun saya tak lagi mendengar sepatah kata pun.

Yang ada di benak saya hanya satu: Saya ingin mati. Dengan mudah dan cepat.

Saya pecinta produk instan, mulai dari mie, junk food, makanan ringan, sampai kematian. Saya tidak ingin merasa sakit hanya untuk meninggalkan dunia ini, tapi saya betul-betul siap untuk pergi. Apapun akan saya lakukan, asal saya tidak perlu berurusan dengan segala hal yang menyakitkan. Menyakitkan tubuh, maupun jiwa saya.

Kehampaan itu menyelimuti saya, sama pekatnya seperti kegelapan yang menaungi kamar saat lampu dimatikan. Segala sesuatu seakan sirna dengan perlahan, memudar dari jarak pandang dan pendengaran saya. Semuanya menjadi kabur. Saya siap untuk pergi.

Sampai lagu itu terdengar.

Lagu dari earphone yang tadinya tidak sanggup menembus telinga saya yang tuli oleh rasa sakit. Sebaris kata yang sejak tadi berputar tanpa henti dalam walkman, namun tak mampu singgah di benak saya yang terfokus pada cara mengakhiri nyawa. Melodi sederhana yang tiba-tiba meledak bagai bom di pikiran saya, entah oleh apa, dan mengapa.

Dan bersamaan dengan tergugahnya sel-sel otak saya, kalimat berikutnya singgah di telinga saya.

Kenapa mau mengakhirinya dengan cara seperti ini?
Kenapa semua yang sudah kamu lakukan harus menjadi sia-sia?
Untuk apa jerih payahmu, jika semua berakhir sampai di sini?

Saya mengingat malam itu seperti baru kemarin.
Peristiwa sembilan tahun lalu, ketika saya terduduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong dan tidak lagi sanggup mengalirkan airmata.

Semua berubah ketika suara itu bergema di benak saya. Semua berubah ketika pertanyaan-pertanyaan sederhana itu mengguncang kesadaran saya dengan cara yang tak terpahami. Semua berubah ketika airmata saya, yang sudah kering akibat terlalu banyak menangis, kembali mengalir. Satu-satu.

Malam itu, Ia menyelamatkan bukan hanya nyawa saya, namun juga jiwa saya.

Sunday, June 10, 2007

The Calling - 3 (Analogi Lantai 20).

Sebuah percakapan tentang Panggilan Hidup --antara saya dan seorang sahabat—beberapa jam lalu, sambil menikmati bakpia kacang hijau. :)

Sahabat: Kita harusnya belajar dari mereka yang udah melangkah duluan. Ibarat tangga, mereka udah naik sampai lantai 20, kita masih di lantai 2. Ya terang aja kita belom bisa ngeliat apa-apa. Tapi mereka yang udah di lantai 20 itu, bisa melihat segala keindahan dari sana. Pemandangan yang jauh lebih luas, yang gak akan bisa dilihat oleh kita yang masih di bawah.

Saya: Iya. Tapi untuk bisa begitu, kita harus percaya dulu, bahwa keindahan itu memang ada. Gimana bisa ngikutin, kalau kita nggak punya keyakinan bahwa sesulit apapun lahan yang kita lalui, seberat apapun medan yang kita tempuh, kita pasti akan menemukan keindahan itu? Bukankah itu yang bisa bikin kita terfokus pada sebuah tujuan, dan nggak berpaling dari prosesnya? Perjalanan dari lantai 2 ke lantai 20 itu gak enteng, lho.

Sahabat: Ya, yang pertama diperlukan emang fondasi yang kuat dulu. Kepercayaan. Baru habis itu mulai melangkah. Kalau fondasi udah terbangun, bisa dipastikan bahwa kita nggak bakal berhenti di tengah jalan. Bahwa apapun yang terjadi, sesukar apapun kondisinya, kita akan terus melangkah sampai tujuan itu tergenapi.

Saya: Apalagi untuk ke lantai 20 itu, nggak ada eskalator. Kudu naik pake kaki sendiri… hehehe.


Ya, saya tahu ini sudah entri ketiga. Semoga tidak membosankan... karena saya masih punya emotional push untuk menulis hal serupa. :) :)

Thursday, June 7, 2007

The Calling - 2.

Teman saya --seorang traveller— baru saja kembali dari misi sosial, menjadi relawan di daerah konflik.

Ia membawa 'oleh-oleh' berupa pencerahan bagi saya.

"Gue belajar banyak, terutama soal keberanian meninggalkan comfort-zone. Setelah sekian lama gue berada ditengah2 lingkungan sosial yang selalu mencap bahwa kegiatan sosial yang mblesek-mblesek dan melarat-larat itu kurang lebih konyol/merupakan aksi bunuh diri, eh gue ketemu dong dengan orang-orang yang punya pemikiran beda. Panggilan hidup mereka emang turun ke jalan dan hidup melarat-larat. Mereka harus menghadapi tantangan lingkungan sosial. Tapi berhubung itu panggilan hidup, mereka jalan terus - mengalami luka karena keputusan mereka.

Memang ada yang harus bergerak, supaya doa ga percuma. Supaya kasih itu bukan cuma di mulut."

Pernyataan itu membuat saya tergelitik. Saya meraih buku besar tebal di sudut kamar, dan mulai membukanya.

Cari, cari, cari…

Itu dia.

Pandangan saya tertumbuk pada sebaris kalimat. Saya membacanya berulang-ulang, dan tidak bisa berhenti.

Teman saya betul. Doa saja tidak cukup. Bicara saja tidak cukup.

Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: “Ini aku, utuslah aku!” (Yesaya 6: 8)

Monday, June 4, 2007

The Calling.

“Gue gak ngerti,” ucap seorang kawan saat kami berkendaraan menyusuri jalanan yang terik di siang bolong, “kok ada, ya, orang yang bisa hidup tanpa passion sedikitpun?”

“Ngejalanin hidup begitu aja, kerja tinggal kerja, kawin tinggal kawin, habis itu punya anak, tua, meninggal… that’s it.” Tambahnya. “Sedangkan gue, gue gak bisa hidup tanpa passion.” Ia menyelesaikan kalimatnya sambil melajukan mobil ke sebuah restoran cepat saji, tempat kami menikmati santap siang.

Saya langsung menyetujui perkataannya itu bulat-bulat. Jujur saja, saya sering tidak habis pikir dengan ‘doktrin’ takdir yang dianut kebanyakan orang. Bahwa setiap manusia diciptakan dengan lingkaran hidup yang mutlak hukumnya: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, menjadi tua, meninggal dan masuk surga. (Maka dari itu, jangan banyak cingcong. Jalani saja apa yang sudah digariskan dari ‘sononya’, dan Anda akan bahagia. Titik.)

Please don’t get me wrong. Saya tidak bilang hidup dalam lingkaran itu salah. Saya sendiri ingin, kok, suatu saat nanti menikah, punya anak, punya cucu, dan bahagia sampai tua. Hanya saja, saya tidak bisa membayangkan menjalani siklus itu tanpa mengetahui tujuan saya berada di dunia ini.

Apa maksud Sang Pencipta membentuk tubuh ini, mengisinya dengan nafas hidup dan melahirkannya ke dunia?
Apa esensi kehidupan yang perlu saya pahami?
Apa yang harus saya kerjakan selama di dunia ini?

Saya percaya Sang Mahapintar menciptakan saya dengan tujuan tersendiri.
Saya tidak percaya Ia membiarkan saya lahir ke dunia hanya untuk menambah populasi penduduk Bumi yang sudah semrawut. Saya yakin Ia mendesain kehidupan ini untuk suatu maksud, dan bukan semata untuk menjalani siklus dalam lingkaran (yang oleh beberapa orang disebut) takdir.

Kawan saya betul. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa pernah mengetahui panggilan saya; tanpa sempat mencicipi kegairahan dari tujuan tersebut. Dan saya tidak ingin mati sebelum mengecap kebahagiaan itu. Menjalani hidup yang penuh passion itu nikmat, Jendral.

Passion yang sama, yang membuat seorang teman saya meninggalkan pekerjaan dan kehidupan mapannya di Amerika untuk kembali ke Indonesia dan memulai segala sesuatunya dari nol, demi menggenapi tujuan awal yang telah ditetapkan Sang Khalik baginya.

Passion yang sama, yang membuat seorang sobat mengambil komitmen untuk menyerahkan hidupnya ke dalam pelayanan pada usia 16 tahun, di saat anak-anak seusianya menenggelamkan diri dalam eforia masa remaja.

Passion yang sama, yang membuat seorang kawan lain membulatkan tekad untuk berkutat dengan tabung ukur dan obat-obatan di laboratorium belasan jam sehari; berjuang melawan rasa bosan dan penat demi sebuah keyakinan bahwa suatu saat industri farmasi di negeri tercinta ini akan bangkit dari keterpurukan.

Passion yang sama, yang membuat sahabat saya meninggalkan pekerjaannya yang menyenangkan demi menjadi relawan di daerah konflik Aceh dan Timor Leste; mengabaikan komentar apatis yang menyebutnya ‘aneh’ dan ‘melawan takdir’ untuk mengabdikan hidup di tempat yang tidak semua orang mau mendatangi.

Saya ingin hidup dalam passion yang sama. Saya tidak ingin mati tanpa pernah tahu bagaimana rasanya hidup dalam panggilanNya, dan menggenapi tujuan yang telah Ia tetapkan atas diri saya sejak detik pertama saya melihat dunia.

Maka saya mulai bertanya.
MendatangiNya untuk menanyakan rancanganNya atas hidup ini.
Membuka telinga dan hati untuk menerima jawabanNya, serta mempersiapkan diri untuk hidup dalam jawaban itu.

Dan Ia mulai bicara, dengan caraNya sendiri.
Menunjukkan garis besar dari tujuan penciptaan saya.
Menyingkapkan kepada saya makna sejati dari sebuah panggilan – bahwa sebuah panggilan tidak diukur dari apa yang tampak secara lahiriah, namun dari esensi tujuan itu sendiri.
Mengajarkan saya bagaimana hidup dalam panggilan itu.
Membimbing saya dalam ketidaktahuan saya.
Memperlihatkan langkah demi langkah yang harus saya tempuh.
… Menuntun saya untuk menaiki anak tangga pertama.

Gairah itu meletup dalam hati saya bagai senapan laras panjang yang ditembakkan tanpa ampun. Kebahagiaan saya nyaris tidak terbendung.

Ia benar-benar memiliki rencana khusus bagi saya. Ia menetapkannya untuk saya. Ia mempercayai saya.
Dan saya ingin Ia tahu, saya bersungguh-sungguh dengan panggilan tersebut. Saya tidak akan menyia-nyiakannya.

“Ya.” Jawab saya. “Ya, ya, ya.”

Kehidupan akan terus berlanjut, dengan lingkarannya yang tak pernah putus: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, menjadi tua, mati dengan bahagia dan masuk surga.

Siklus yang sama akan terus berputar, saya tahu itu.

Namun, kini saya memilih untuk menjalaninya dengan cara yang berbeda.


Untuk Sahabat:
We’ve found it, Sis! Let the passion burns in our hearts forever! :))