Thursday, September 27, 2007

Berani Bermimpi

Saya sangat suka menonton film Denias: Senandung di Atas Awan, dan tidak pernah bosan memutarnya berulang kali.

Buat saya, Denias itu te-o-pe be-ge-te. Kalau Roeper & Ebert memberi 'two thumbs up' untuk film-film box office, saya memberi ‘four thumbs up’ (iya, jempol kaki juga dihitung ;) ) untuk bocah dari pedalaman Papua ini - bocah biasa dengan tekad yang luar biasa. Saya selalu mendapat insight baru setiap menonton ulang film ini, dan (sebagai penyandang predikat ratu mellow) tentunya selalu termehe-mehe menjelang akhir cerita. :)

Setahun terakhir, ada seseorang lagi yang menjadi sumber inspirasi saya. Bukan karena pencapaiannya, bukan karena prestasinya, tapi karena mimpinya.

Audrey Clarissa hanya seorang gadis biasa yang dibesarkan di Sukabumi. Yang membedakannya dari gadis-gadis lain di Sukabumi (dan seluruh Indonesia) adalah keberaniannya untuk bermimpi.

Keberanian itu diawali oleh sebuah keinginan: ingin Indonesia terdaftar sebagai anggota Organisasi Mahasiswa Farmasi Sedunia setelah organisasi ini berdiri selama puluhan tahun. Cita-citanya sederhana, namun besar: ingin melihat Indonesia eksis dalam dunia farmasi internasional – atau setidaknya, diakui keberadaannya.

Audrey bukanlah orang pertama yang menginginkan hal tersebut, tapi (saya rasa) ialah orang pertama yang memiliki cukup driving force dan tekad untuk mewujudkan impian itu.

Niatnya tidak surut meski langkah awalnya tertunda selama setahun karena wabah SARS. Sebaliknya, keinginan itu terus menggelora dan menciptakan driving force yang lebih kuat lagi. Berdasarkan pertimbangan akal sehat, hanya ‘orang gila’ yang berani mengajukan ide untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan simposium salah satu organisasi internasional tertua di dunia, persis ketika negaranya baru saja terdaftar sebagai anggota –setelah puluhan tahun tidak diakui eksistensinya- sekaligus menyanggupi untuk bertanggung jawab sebagai ketua panitia.

Keberanian dan driving force yang sama kini telah menghantar Audrey menjadi presiden International Pharmaceutical Students’ Federation yang pertama dari Asia. Seorang gadis sederhana dari Sukabumi telah mengharumkan bukan hanya Indonesia, namun Asia secara keseluruhan – karena ia berani bermimpi.

Saya selalu salut dengan mereka yang berani bermimpi besar, dan bangkit untuk mengejar mimpi itu. Bukan hanya bermimpi dan patah arang di tengah jalan, bukan sekedar berangan-angan dan melupakannya ketika hambatan datang, namun berani berjuang sampai mimpi itu betul-betul terwujud.

Denias tidak menunggu kesempatan. Ia bahkan tidak mau menunggu guru pengganti dari Jawa. Ia bangkit untuk mengejar mimpinya ke sekolah fasilitas, meski berdasarkan logika adalah mustahil untuk belajar di sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan tertentu dengan biaya yang tidak sedikit.

Audrey tidak menunggu kesempatan. Ia tidak menunggu dunia farmasi melirik Indonesia. Ia datang ke sana membawa Indonesia. Ia tidak menunggu dunia farmasi memberinya peluang. Ia menyodorkan diri kepada mereka, dan mereka memberinya kesempatan.

Denias dan Audrey tidak berbeda dengan orang-orang lain yang ada di sekitar mereka, pada waktu dan tempat yang sama. Hidup di tanah yang sama. Berdiri di negeri yang sama. Makan, minum dan menghirup udara yang sama. Yang menjadikan mereka berbeda adalah keberanian untuk bermimpi dan bangun dari tidur untuk mewujudkan mimpi itu.

Mereka tidak menunggu. Mereka mengejar mimpi. Mereka siap meraih kesempatan, namun ketika kesempatan tidak kunjung menyapa, mereka menciptakan kesempatan.

Saya selalu suka menonton film Denias, dan tidak pernah bosan memutarnya berulang kali.

Seperti dia, saya pun ingin terus belajar. Belajar bermimpi.

Tapi, yang paling penting, saya ingin bangun dari setiap mimpi dan mulai mengejarnya - satu demi satu. Seperti Denias. Seperti Audrey. Seperti jutaan orang lain di masa lalu dan masa kini, yang meraih impian karena belajar menciptakan kesempatan.

Dan saya mulai berpikir.

Mungkin… mungkin yang dibutuhkan bangsa ini bukan orang-orang spektakuler. Bukan peluang raksasa. Bukan janji-janji muluk. Bukan uluran tangan penuh belas kasihan.

Sesulit dan separah apapun kondisi suatu bangsa, saya percaya akan selalu ada harapan, selama masih ada orang-orang yang sanggup bermimpi -- mereka yang menggantung cita-cita dan bersedia menempuh proses untuk menggapainya, berapapun harga yang harus dibayar.

Saya juga selalu percaya bahwa anak-anak adalah pilar penopang bangsa. Apa yang telah diraih dan diwujudkan generasi sekarang akan diteruskan dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Apa yang kita capai pada masa kini akan diestafetkan kepada generasi di bawah kita, dan demikian seterusnya.

Saya percaya kekuatan suatu bangsa ditentukan oleh bagaimana mereka membangun masa kini dan mempersiapkan masa depan. Berlari sebaik mungkin, dan melatih (calon) pemegang tongkat estafet berikutnya untuk melanjutkan perjalanan yang telah dimulai.

Mungkin yang dibutuhkan bangsa ini sebenarnya hanya orang-orang biasa dengan tekad yang luar biasa.

Yang berani bermimpi dan bangun dari tidur untuk mewujudkannya, untuk kemudian meneruskan mimpi dan kekuatan yang sama kepada generasi di bawah mereka.

Mimpi untuk terus bangkit, bergerak maju dan berjuang menjadi lebih baik.

Kekuatan untuk terus mengejar mimpi, dan setelah berhasil meraihnya, menggunakannya bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk membangun bangsa dan negara.

Denias berani bermimpi. Audrey berani bermimpi.

Mari, belajar bermimpi.

“Beranilah bermimpi, dan bangunlah untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Jika kesempatan menghampiri, itu baik. Namun jika tidak, ciptakan saja kesempatan itu.”
*Au, if you read this: Thanks for being an inspiration. Ditunggu makan-makannya, Neng ;-)

Thursday, September 20, 2007

Manusia-Manusia Super

Tadinya mau posting entri lain, tapi berubah pikiran gara-gara begadang semalam.

Tadi malam saya lagi-lagi menginap di kamar Alex, setelah desperate menghadapi para penghuni kamar tempat saya beramai-ramai tidur selama training di kantor.

Saya bisa mentolerir dengkuran seseorang yang tidur persis di sebelah saya (ya mau diapain lagi, bow, udah dari sononya ‘kali), tapi mbok yaaaaao tidurnya jangan sambil nyetel radio! Kalaupun teuteub mau nyetel, tolong ya itu radionya jangan diumpetin entah di mana. G-A-N-G-G-U. Saya sedang menimbang-nimbang untuk membangunkan si pemilik radio, ketika handphone orang yang tidur di seberang saya berbunyi. Setelah berdering dengan frekuensi yang membuat saya tergoda mencelupkan handphone ke bak mandi, teman saya akhirnya mengangkat benda keparat itu. Dan ngobrol dengan asyiknya.

Edan. *untuk memperhalus kata geblekmonyongkampret*

Demi kesejahteraan jiwa, jadilah saya hijrah ke kamar Alex.

Bocah itu sedang tidur dengan pulasnya ketika saya mengendap-endap masuk dan merebahkan diri di alas karet bongkar-pasang tempat bermainnya. Kurang nyaman, tapi lumayan lah. Saya menutupi tubuh dengan selimut tebal dan bersiap-siap tidur

...ketika Alex mendadak bangun, dengan kronologis sebagai berikut:

30 detik pertama: guling-guling di ranjang.
30 detik kedua: mulai memanggili Ncus.
30 detik ketiga: Ncus terbangun dan menghampiri Alex.
30 detik keempat: Alex menolak ditidurkan kembali.
30 detik kelima: Alex merengek dan mulai menangis.
30 detik keenam: Ncus berusaha mendiamkan.
30 detik ketujuh: Alex menjerit.
30 detik kedelapan: Alex semakin keras menjerit.
30 detik kesembilan: Alex masih betah menjerit.
30 detik kesepuluh: Mommy dan Daddy keluar kamar.

30 detik kesebelas sampai seterusnya, terjadi adu mulut paling menegangkan sedunia antara Mommy-Daddy dan Alex.

Hancurlah istirahat malam yang tenang dan syahdu.

Saya? Pasrah di balik selimut. Lha mau ngapain lagi?

Jangankan ikut campur, tindakan paling gagah yang saya lakukan cuma mengintip sahabat saya yang sedang duduk di meja makan dengan ekspresi desperate, sementara sang suami masih keukeuh adu suara dengan si bocah.

Pukul 3 pagi, akhirnya Alex capek dan terlelap - setelah dibuai di kamar, ruang tamu, ruang makan, teras dan dapur (seriously).

Dan menangis lagi pada pukul 8.

What a day.

Hari ini, sahabat saya (Daddy-nya Alex) kembali mengajar dalam training, seperti biasa. 3 session pagi-siang, 1 session malam. Plus menjadi narasumber sebuah program radio yang menyita seluruh waktu istirahat sorenya. Saya cuma geleng-geleng heran melihatnya cuap-cuap dengan intensitas yang tidak menurun sedikit pun. Kok bisa, ya? FYI, menurut si Ncus, rewelnya Alex ternyata sudah berlangsung selama beberapa malam dan dengan suksesnya menjadikan sahabat-sahabat saya makhluk nokturnal.

Hari ini Alex didisiplin; tidak boleh main keluar rumah dan tidak boleh ikut para Auntie & Uncle jalan-jalan ke mall seperti yang sempat dijanjikan kemarin sore. Sebagai gantinya, DVD anak-anak siap menemaninya bermain dan makan siang.

Si bocah kriwil berlari gembira ketika saya dan dua orang teman datang ke rumah. Dia berlari-lari menyambut sambil minta diajak pergi, yang sayangnya, kali ini tidak bisa kami penuhi.

Dia tertawa-tawa memamerkan gigi yang belum semuanya tumbuh sambil memeluk boneka 'Sweet Banana' erat-erat, bikin geli sekaligus gemas.

Namun, dari semuanya, yang paling menyentuh adalah pemandangan di siang hari, ketika Daddy pulang ke rumah untuk makan siang.

Daddy menjenguk Alex yang asyik bermain di kamar bersama Ncus.

Begitu melihat ayahnya, Alex segera berdiri di atas tempat tidur, memanggil-manggilnya sambil berloncatan gembira.

Daddy tersenyum lebar dan mengembangkan tangan. “Sini, hug Daddy.”

Alex berlari ke pelukan Daddy dan menghadiahkan 2 ciuman, pipi kiri dan kanan. Adu mulut paling menegangkan sedunia yang baru terjadi 10 jam sebelumnya terlupakan sama sekali. Di balik punggung Daddy, Mommy tersenyum menyaksikan scene itu. Mengintip sambil tertawa.

Buat saya, mereka ini adalah manusia-manusia super. Mereka, dan semua orangtua di seluruh belahan dunia – karena orang-orang ini mampu berkali-kali merasa kesal, capek, jenuh, letih, jengkel, marah dan menangis tanpa pernah kehilangan cinta.

Thursday, September 13, 2007

Karena Hidup Memang GOKIL


“Banyak orang yang nggak sadar kejadian-kejadian lucu bisa didapat dari hidup sehari-hari, bahkan yang tragis dan memalukan. Contohnya di dalam buku ini, terdapat 20 Cerita Gokil yang semuanya membuat sesuatu yang sebenernya simpel-simpel saja menjadi hal yang pantas untuk ditertawakan. Duapuluh cerita ini, dengan angle penceritaan yang berbeda-beda, menggeser persepsi, mencari celah, dengan lihai memainkan kata-kata yang pada akhirnya berujung pada satu tawa panjang pembaca.

Summing up, silakan bilang tengkiu yang sebesar-besarnya terhadap tertawa, karena tertawa bisa ngebuat kebodohan kita sehari-hari dan printilan nggak penting jadi tampak begitu menyenangkan.

Read on and laugh on.”
(Raditya Dika, penulis bestseller Kambing Jantan)

Saya, tanpa bermaksud menyalahkan alter ego, pada kenyataannya memang tidak sebijaksana yang tampak dalam entri-entri di blog ini (itu juga dengan catatan kalau ada yang nganggep bijaksana. Kalau nggak, ya maab, jangan disambit ;-)).

Saya, pada kehidupan nyata, sering sekali melakukan hal-hal konyol di luar batas kesadaran yang tidak jarang menimbulkan efek samping seperti yang tertulis di sini.

Saya, tidak malu mengakui bahwa saya clumsy. Ceroboh. Panikan. Impulsif. Dodol. Sedikit sarap.

Beberapa bulan lalu, seorang sahabat* yang sudah kenyang dengan kecacatan saya mengirim e-mail berisi pemberitahuan tentang Sayembara Cerita Gokil yang diadakan sebuah penerbit. 20 cerita yang terpilih akan dibukukan.

Tanpa pikir panjang, saya mengetik sebuah cerita -kisah nyata yang juga melibatkan sahabat* yang sama dan ditulis dengan hiperbola, tentunya- kemudian mengirimkannya ke si penerbit. Tanpa diedit, tanpa dipikir.

Beberapa minggu kemudian, to my surprise, saya mendapat telepon. Saya sudah lupa sama sekali tentang draft Cerita Gokil yang saya kirim, sehingga dialog yang terjadi antara saya dan pihak penerbit adalah:

“Dengan Mbak Jenny?”
“Betul, siapa ini?”
“Saya dari Mediakita. Selamat, cerita yang Mbak Jenny kirimkan ke Sayembara terpilih, dan akan kami bukukan.”
“.....”
“Sekali lagi, selamat. Dan cerita itu nantinya ak… …hallo? Mbak Jenny…?”
“Mmm… maaf Pak… tapi CERITA YANG MANA YA?”

Hehehe. Sumpah lupa, bow!

;-D

Anyway, busway

Hidup memang penuh dengan hal-hal tak terduga. Bagi saya, hidup juga penuh dengan hal-hal kecil yang bisa membuat kita tertawa setiap hari. Sebagian mungkin menyebalkan. Sebagian lagi menjengkelkan. Yang lain mungkin bikin malu tujuh turunan. Apapun itu, saya percaya hidup selalu terdiri dari rangkaian kisah yang tidak akan habis direncah maknanya. Untuk dipelajari. Untuk dikenang. Untuk dihargai. Untuk ditertawakan.

So, quoting Raditya Dika, READ ON. Laugh on.

Dan jangan pernah berhenti untuk ‘belajar’ tertawa. Karena hidup itu GOKIL, Jendral. ;-)

*Tengkyuuu ya, Djeung! ;-)

Monday, September 10, 2007

Cerita Sebatang Pohon

Salah satu wanita yang paling saya kagumi di dunia adalah Tante saya, a.k.a putri sulung dari 9 bersaudara yang menikah pada usia 18 tahun, langsung memiliki anak dan menjalani kehidupan yang tidak bisa dibilang mudah.

Beliau dan 8 saudaranya (termasuk Ibu saya) dibesarkan dalam kondisi serba kekurangan. Cerita yang paling sering saya dengar adalah sup kacang hijau yang dicampur banyak air dan es batu supaya encer, sebutir telur ceplok yang dibagi 6, bikin prakarya nebeng teman (bukan karena males ngerjain sendiri, tapi karena tidak punya uang untuk membeli bahan), berjualan es mambo, sampai nonton TV beramai-ramai di rumah seorang sepupu dan diolok-olok karenanya. Belum lagi Kakek saya yang sangat keras dalam mendidik anak.

Setelah menikah, kehidupan yang dijalani Tante saya tetap tidak gampang, karena beliau menikah dengan seorang pria yang supersederhana. Ia membesarkan ketiga anaknya dalam rumah mungil berlantai tanah yang kerap kebanjiran.

“Kalau banjir, Tante selalu was-was,” kisahnya. “Soalnya tiap habis banjir, suka banyak binatang masuk rumah.”

Binatang di sini, salah duanya adalah ular dan cacing-cacing kecil yang suka bersembunyi di lipatan kasur. Saking seringnya, beliau hafal suara gemersak yang ditimbulkan seekor ular. Tiap kali bunyi itu terdengar, mereka tidur dengan was-was dan esok paginya bergerilya membongkar rumah untuk mencari si ular. Sebelum anak-anaknya pergi tidur, Tante saya akan menelusuri jengkal demi jengkal kasur kapuk, memastikan tidak ada cacing yang melata di sana.

Begitulah beliau hidup. Sialnya lagi, Oom saya semasa mudanya adalah jelmaan Buto Ijo. Nyeremin. Emosi beliau sangat mudah terpancing, bahkan oleh hal paling sepele. Sebagai ayah yang sangat menyayangi anak, sifat perfeksionis dan temperamen meledak-ledak adalah kombinasi berbahaya. Oom saya sanggup mengomel dari terbit matahari sampai pada masuknya, hanya karena di tubuh anaknya terdapat SATU GIGITAN NYAMUK.

Bukan memar, bukan luka sobek, bukan goresan. Bukan sulap, buk... *ah, sudahlah* ;-D
Satu gigitan nyamuk cukup untuk membuat Oom saya naik darah sepanjang hari. Dan gigitan nyamuk yang sama sempat membuat Tante berniat mengajukan gugatan cerai karena tidak tahan dengan kelakuan si Oom.

Suatu siang, Tante mengamati anaknya yang sedang bermain dan nyaris bunuh diri melihat TIGA GIGITAN NYAMUK di wajah si bocah. Saking hebatnya gejolak batin itu *tsah*, rasa takut yang selalu muncul mendadak berubah menjadi kemarahan. Ketika Oom pulang, hal pertama yang dilakukan si Tante adalah membuka pintu lebar-lebar dan berseru sekeras-kerasnya,

“TUH! ANAK KAMU DIGIGIT NYAMUK LAGI! BUKAN SATU. TIGA! TUH LIAT BENTOLNYA TIGA!!! SEKARANG KAMU MAU APA?! MAU NGAPAIIIN???!!”

Shocked, Oom saya cuma bisa bengong dan berkata pelan,”Ya udah, mau diapain lagi…” -- yang disambut bahagia oleh Tante,

“NAH, GITU DONG!! KENAPA GAK DARI DULU NGOMONG KAYAK GITU.”

Hihihihihi.

Seiring bertambahnya usia pernikahan, lambat laun keduanya berubah. Pelan tapi pasti, Oom saya menjadi figur suami terpuji dan ayah teladan yang sabar dan sangat mencintai keluarga. Kehidupan mulai berbelok. Puluhan tahun setelah mengucapkan janji sehidup-semati dan tinggal di rumah berlantai tanah, mereka berhasil menghantar anak-anak meraih gelar Master di Negeri Paman Sam dan menggapai kesuksesan. Sekarang ketiga sepupu saya sudah menikah, dan Tante mulai menempuh fase baru dalam hidupnya: menjadi seorang nenek.

Oom dan Tante saya mengawali babak baru dalam hidup dengan serba kekurangan. Yang mereka punyai hanya benih dari spesies tumbuhan bernama Kasih Sayang, yang disirami dengan Kesabaran dan diberi pupuk Kebesaran Hati, hari demi hari. Kini pohon itu telah tumbuh kuat. Menaungi Oom dan Tante. Membuat mereka tak lagi rentan terhadap hujan dan sengatan matahari.

Saya tidak pernah bosan mendengar cerita-cerita Tante dan membiarkan imajinasi saya berkembang menjadi sebuah harapan yang semoga tidak terlalu muluk untuk diwujudkan.

Pernikahan saya nanti, mungkin bukanlah pesta mewah di hotel bintang lima yang biayanya setara dengan rumah 3 lantai, karena saya adalah manusia pelit yang lebih memilih punya rumah sendiri dan tabungan untuk membiayai pendidikan si kecil - kalau sudah punya anak nanti. Saya tidak ingin berkeluh-kesah karena tagihan kartu kredit yang tidak kunjung lunas (seperti yang diucapkan seorang teman kemarin, “Nikahnya kapaaan, lunasnya kapan.”), pun tidak ingin deg-degan saat merancang repelita anak saya kelak. (Akur, Jeng? ;-D)

Seandainya diberi kelebihan (dan kemudahan) untuk ‘hidup lebih leluasa’, puji Tuhan. Saya bukan tipikal sosok rendah hati pun baik budi seperti kontestan reality show yang ketika ditanya “Kalau menang, uangnya buat apa?” jawabannya adalah, “Buat bangun Gereja dan Mesjid.” Saya, seperti banyak perempuan lain di muka bumi, menginginkan pernikahan dan kehidupan yang lebih dari layak.

Tapi, di atas segalanya, yang paling saya dambakan adalah kehidupan pernikahan yang terus bertumbuh - seperti pohon yang berasal dari sebutir benih. Mungkin sederhana, tapi memiliki akar yang kuat.
Mungkin tidak sempurna, tapi dapat terus menjulang sampai menjadi pohon yang kokoh dan rindang.
Tidak goyah diterpa angin, tidak gentar menghadapi badai, tidak kalah melawan terik sang Surya, mampu memberi perlindungan bagi burung-burung kecil, dan meneduhkan siapa pun yang bernaung di bawahnya.

Semoga.

Thursday, September 6, 2007

Sepenggal Cerita Akhir Pekan ;-)

Akhir pekan.
Tumpukan kertas, tugas dan deadline.
Restoran bergaya kapitalis tidak jauh dari kantor.
Saya dan seorang sahabat.

Setelah memesan makanan, kami sama-sama diam. Sesuatu yang janggal karena selama saya bersahabat dengannya, setiap pertemuan selalu diwarnai obrolan heboh, canda sinting dan tawa gila.

Saya tidak berusaha mengisi keheningan itu. Saya hanya menyentuh cangkir berisi teh madu panas dan membiarkan kesunyian terus mengambang.

Saya menatapnya. Wajah itu pucat dan kehilangan rona. Setahun belakangan, wajah itu sering sekali dihiasi ekspresi yang sama, tapi malam ini adalah puncaknya.

Sahabat saya terduduk lemas. Rambutnya sedikit acak-acakan, wajahnya berminyak tanpa make-up. Sesuatu yang biasa untuk saya, mengingat saya termasuk dalam spesies perempuan cuek yang tidak peduli penampilan. Tapi tidak bagi dia. Sahabat saya sangat memperhatikan penampilan. Malam ini menjadi luar biasa karena ia rela terlihat berantakan di sebuah restoran mewah.

Ia terdiam. Matanya memandang kosong ke sebuah sudut. Saya tidak berniat mengusiknya. Juga tidak ingin bertanya.

Makanan datang. Kami menghabiskannya tanpa banyak cakap. Sesi makan malam itu terasa tidak menyenangkan. Bukan karena penyanyi berusia setengah baya dengan kepala nyaris botak yang melantunkan ‘Terajana’ dengan suara super-fals di pojok ruangan (seriously!), bukan juga karena keheningan yang terus mendominasi meja mungil kami. Tapi karena mata itu begitu hampa. Karena senyum yang biasa bermain di sana tidak ada lagi. Karena wajah di depan saya begitu pias. Karena, tanpa perlu diucapkan, saya tahu hatinya sangat sakit.

“Jelek banget,” gumam saya saat ‘Terajana’ kembali melengking, memperkosa telinga dengan nada patah-patah. “Mending elu aja yang nyanyi.”

Sahabat saya punya suara yang bagus. Berbeda dengan saya yang berpotensi menimbulkan kekacauan massal begitu menyanyi.

Ia tersenyum. Tipis.

“Boleh aja kalo diizinin mah.”

Saya nyengir kuda. Sangat yakin bahwa manajer restoran tidak akan keberatan posisi penyanyinya digantikan selama 5 menit oleh seorang perempuan dengan kemampuan vokal setara Celine Dion. (okay, okaaay… hiperbola.)

Saya menghampiri si Manajer dan mencolek bahunya.

Benar, kan, dia setuju. ;-)

“Elu gila, ah,” bisik sahabat saya, ketika saya menyeretnya mendekati si penyanyi. Ia melangkah keluar restoran. Saya menahannya.

“Apaan sih lo,” protesnya.

Saya kembali menunjukkan wajah kuda tertawa.

“Tadi katanya mau. Udah dibolehin, tuh!” Saya menggamit lengannya. “Trust me, you’re gonna feel better. Lepasin semuanya. Let it go.”

.....

Malam itu, lagu yang pernah dipopulerkan Ruth Sahanaya mengalun dengan keindahan yang menyaingi penyanyi aslinya. Beberapa pengunjung menoleh dengan raut terkesan. Seorang Ibu mencolek anaknya dan menunjuk-nunjuk ke arah kami. Sisanya tampak lega karena terbebas dari keharusan mendengarkan lagu-lagu Ratu dan Naff yang dinyanyikan secara tidak wajar oleh pria setengah uzur.

Suara itu memenuhi ruangan dengan indah, menutupi denting keyboard yang tidak sempurna lantaran pemainnya kurang menguasai lagu.

Gelombang kesedihan menerpa saya. Setiap kata mewakili rasa sakit yang tersembunyi selama lebih dari 12 purnama.

Saya menemaninya menghabiskan malam. Saya tidak berusaha mengorek. Biarlah. Saya juga tidak memupuk kesedihannya. ia tidak perlu itu. Yang diperlukannya hanya seseorang untuk berbagi malam. Untuk memahaminya dalam hening.

Selang beberapa jam, sebuah pesan mampir di inbox saya. SMS dari sahabat saya yang lain, yang sedang bersukaria di negeri tetangga.

Baru naik sepeda, berenang & sunbathing. Sekarang lagi di atas genteng, liat bintang, ngopi, denger MP3 player. Hidup ini syedap Kakak!
sender: sobatgokil

Saya cengar-cengir sendiri, antara iri, sebal dan geli. Membayangkan tumpukan pekerjaan yang mustahil diabaikan dan terus-menerus membunyikan sinyal peringatan di otak.

Lalu saya tertawa.

Betapa beruntungnya saya, punya sahabat seperti mereka. Orang-orang yang selalu menyentuh hidup saya dengan cara yang khas; membuat saya terharu dan tertawa pada saat yang sama.

Mereka yang selalu bersedia berbagi tawa dan sedih, senang dan susah, gembira dan kesal dalam berbagai cara. Entah itu sekedar banyolan nyeleneh, canda gila nan absurd, obrolan santai yang sungguh tak penting, diskusi gak-jelas-juntrungannya, curhat berujung ngomel, sampai berbagi keheningan di restoran kapitalis diiringi ‘Terajana’.

Semuanya indah. Semuanya berarti. Karena mereka sahabat saya.

Saya membalas SMS itu dengan cepat. Satu kata, sepenuh jiwa.

Kampreeeet!

;-D

Semoga kami akan terus berbagi.

*OOT: Buat yang nanyain kabarnya Alex, ini foto terbarunya, bareng Mommy & Daddy. ;-)*