Sunday, October 28, 2007

Sunset

“Mau nambah lagi?”
Ingga menunjuk gelas fruit punch di depan Nadine dengan dagunya. Gelas jenjang itu sudah kosong sejak tadi. Isinya berganti menjadi gumpalan-gumpalan tisu yang terus dijejalkan Nadine sejak 1 jam yang lalu.

Nadine menggeleng sekilas dan kembali mengalihkan pandangan ke laut lepas. Ingga melakukan hal yang sama sambil bertopang dagu, bersyukur bahwa mereka makan di tepi pantai yang panoramanya indah. At least ada yang cukup menarik untuk dilihat dalam suasana awkward begini.

Sejak mereka tiba di Pulau Dewata kemarin siang, Nadine tidak henti-hentinya bersikap seperti orang yang mau mati besok. Pandangannya nyaris selalu kosong. Sorot matanya mirip orang yang siap bunuh diri. Untung diajak ngomong masih nyambung, walau untuk yang satu ini Ingga memilih menahan diri karena obrolan pasti akan didominasi topik yang sama.

Ingga memasukkan daging kelapa terakhir ke mulutnya, mengunyah malas-malasan. Mereka berada di salah satu tempat wisata terindah di dunia, di pantainya yang terkenal. Segala keindahan yang bisa ditawarkan hidup ada di sini, namun sikap Nadine yang terus-terusan gloomy merusak suasana liburan yang (seharusnya) nikmat ini. Dan Ingga terpaksa stuck di sini demi menjaga sahabat sehidup-sematinya agar tidak melakukan perbuatan tolol seperti menenggelamkan diri di laut atau loncat dari balkon kamar hotel.

Ingga tersenyum kecil, mendadak ingat pada Lintang Triwardhana, sepupu yang usianya hanya terpaut 2 tahun dengannya.

Seperti Nadine dan dirinya, Lintang juga sangat dekat dengan Ingga. Praktis hampir seumur hidup Ingga bergaul dengan kedua orang ini. Nadine adalah sahabatnya sejak kecil, sedang Lintang dan Mamanya pernah tinggal di rumah Ingga untuk waktu yang cukup lama.

Lintang adalah sosok perempuan yang mandiri, super cuek, blak-blakan dan keras kepala. Sampai sekarang ia belum pernah pacaran, karena 1 alasan yang sangat simpel: Pacaran itu ribet.

Lintang mencintai kebebasan seperti mencintai hidupnya sendiri. Mengikatkan diri dalam sebuah komitmen, walau judulnya ‘cuma’ pacaran, menurutnya hanya akan membatasi dirinya. Lintang menganggap komitmen sebagai sesuatu yang berpotensi mengekang kebebasan. Ingga hanya bisa manggut-manggut blo'on kala sepupunya mengutarakan hal itu, meski baginya pendapat Lintang agak berlebihan.

Tapi Nadine adalah cerita yang sama sekali berbeda. Paradoks segala paradoks. 2 tahun sudah cinta pertamanya kandas di tengah jalan. Cinta pertama adalah cinta terindah yang paling sulit dilupakan. Okay, mungkin itu benar. Tapi, hellowwww… 24 bulan?!

Perempuan lain mungkin akan marah dikhianati orang yang sangat dicintai. Atau kecewa. Sedih. Mengutuk. Semua adalah reaksi normal dari seorang gadis yang baru kehilangan cinta pertama. Tapi menangisi sampai 2 tahun? Itu cuma Nadine yang bisa.

Okay, mungkin Ingga agak keterlaluan membanding-bandingkan sahabatnya dengan orang lain, karena toh setiap orang memiliki pembawaan dan karakter yang berbeda. Tapi sikap Nadine bukan hanya menyusahkan dirinya sendiri, namun juga orang-orang yang menyayanginya. Keluarganya. Sahabat-sahabatnya. Juga seorang pria berinisial S yang berinisiatif mendekati Nadine dan mundur teratur saat menyadari sang putri tidak sanggup berpaling dari cinta pertamanya.

Nadine kembali menyusut matanya dengan selembar tisu. Tisu yang sama kemudian pindah ke hidungnya, sebelum masuk ke dalam gelas fruit punch sebagai persinggahan terakhir. Gelas itu hampir penuh. Ingga memperhatikan semuanya dalam diam, meski ia ingin sekali bertanya, ‘nggak capek ya nangis terus?’.

Padahal semalem udah maraton nangisnya. Sejak siaran berita Liputan 6 sampai 'Satu Nusa Satu Bangsa', which is, jam 2 pagi! Sayangnya, volume yang dikeraskan Nadine demi menyembunyikan isakannya malah membuat Ingga sukses begadang sampai subuh.

Thanks ya, Ing…” ucap Nadine lirih. Mata sembap itu lagi-lagi digenangi air. “Thanks udah jadi orang yang ngertiin gue selama ini, yang selalu paham kondisi gue…”

Ingga tidak tahu harus berkata apa.

Paham? Sebenarnya tidak. Entah sudah berapa kali ia meminta, membujuk, bahkan memohon agar Nadine merelakan pengharapan yang masih terus disimpannya bagi Pangeran Cinta, terlebih karena pengharapan itu tidak mungkin terwujud.

Pangeran Cinta sudah menemukan Putri Cantik belahan jiwanya. Ia tidak lagi berlayar di samudera luas karena sauh telah ditambatkannya di altar pelaminan. Nadine menerima undangan itu seminggu yang lalu. Dan itulah alasan mereka berada di Jimbaran sekarang, menatap laut yang terhampar indah tanpa bisa menikmatinya. Duduk di pantai berpasir lembut sambil sibuk dengan pikiran masing-masing. Ini sama sekali bukan liburan. Ini misi menyembuhkan hati, yang kalau dilihat dari sudut manapun, sepertinya si penderita malah tidak ingin sembuh.

Hari semakin gelap. Matahari sudah terbenam sejak tadi. Ingga sempat berdecak kagum melihat pemandangan fantastis yang tersaji di depan matanya saat sunset menjelang. Ia melirik Nadine, namun reaksi gadis itu datar saja. Sama seperti sunset yang memperoleh tepuk tangan meriah dari bule-bule yang berjajar di pinggir pantai, 2 tahun ini berbagai keindahan yang ditawarkan hidup seperti lewat begitu saja di depan Nadine. Terlihat, tapi tak tampak. Ada, namun tak disadari.

Tetapi, sekali lagi, hidup adalah pilihan. Setiap orang berhak untuk menjalani hidup dengan cara masing-masing. Apapun itu.

Ingga meraih ujung-ujung jari Nadine yang terasa dingin dan menggenggamnya. “Lo tahu, apapun yang terjadi, lo selalu punya gue.”

Nadine menatap sahabatnya dengan rasa terima kasih yang besar. “Thanks, Ing. Lo emang sahabat yang paling ngerti gue.”

Ingga tersenyum. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengusap lembut punggung tangan Nadine, menularkan dukungan dan kekuatan. Hanya Nadine yang bisa menolong dirinya sendiri. Bukan Ingga, bukan keluarganya, bukan sahabat-sahabatnya yang lain.

Ingga berharap itu akan segera terjadi. Dan ketika hari itu tiba, mungkin mereka akan bisa menikmati sunset dengan cara yang berbeda.

-----

Saturday, October 20, 2007

Menjaga Hati

Saya selalu nggak habis pikir kagum dengan orang-orang yang bisa selalu menahan diri dalam menghadapi sesuatu yang tidak enak atau menyakitkan tanpa pernah terpancing untuk membalas, atau setidaknya melampiaskan emosi. Jujur, walau saya nggak suka berantem, saya termasuk manusia yang tidak sabaran dan mudah naik darah, walau sering kali kekesalan saya hanya terlafalkan dalam hati, tidak sampai terucap.

Saya punya beberapa teman yang seperti itu: supersabar, nggak pernah marah, tutur katanya selalu halus, ramah budi bahasa, nggak pernah mengucapkan atau melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain, ringan tangan (dalam arti suka menolong, bukan ngegampar orang)… pokoknya TOP lah, sampai saya sering merasa minder sendiri berdekatan dengan mereka, karena meski termasuk golongan Pencinta Damai, tidak jarang saya mengeluarkan kalimat protes maupun celaan *uuups* dalam menghadapi hal-hal tertentu yang melanggar batas kesabaran saya, mulai dari yang paling nggak waras (komat-kamit ngedumel nggak jelas), curhat ke teman, sampai ngomel langsung ke orang yang bersangkutan.

Sejujurnya, tiap selesai menyalurkan kejengkelan, sering saya menyesal dan berpikir, “Ya elah Jen, segitu aja kok dibawa kesel…” dan saya lantas membuat janji pada diri sendiri untuk lebih menguasai temperamen dan menjaga lidah, walau seringnya… gagal lagi.

Salah 1 hal yang paling cepat memancing emosi saya adalah jika saya merasa sudah melakukan yang terbaik, namun tindakan itu justru disalahpahami oleh orang yang bersangkutan, apalagi jika diembel-embeli prasangka. Duuuh, berasa disilet, hehehe. Menyangkut hal ini, seorang teman pernah berkata dengan bijaknya, “Kalau kita melakukan yang terbaik dan disalahpahami, biarkan saja. Itu malah bisa menguji keikhlasan kita. Kalau kita-nya betul-betul ikhlas, mau dianggap bagaimana pun, diperlakukan kayak apapun seharusnya nggak terpengaruh.”

Dia mengucapkan itu setahun yang lalu, ketika kami bercakap-cakap persis sehari setelah lebaran. Saya terdiam. Sampai hari ini, 12 bulan setelah mendengar kalimat itu, saya masih mengakui: itu nggak gampang, bok.

Sama sekali tidak gampang.

Menjaga nurani agar selalu bersih dan murni bukanlah sesuatu yang mudah. Menjaga hati dari kontaminasi agenda pribadi, walau terdengar sepele, sama sekali bukan hal remeh yang dapat dilakukan sekejap mata. Berkali-kali, dalam banyak hal, saya merasa tertohok menyadari bahwa tindakan saya dimotori oleh ketidaktulusan yang meski tidak kasat mata, tetap diketahui oleh suara kecil bernama nurani ini. Berkali-kali juga saya menegur diri agar lebih mampu melindungi hati dari motif terselubung, setiap kali saya melakukan sesuatu yang (menurut saya) baik.

Menjaga hati, lidah, tindakan dan khususnya menjaga nurani adalah sesuatu yang masih terus saya ‘gumuli’ hingga detik ini. Bukan untuk menjadi manusia serba sempurna yang tidak pernah berbuat kesalahan, namun untuk menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Saya ingin menjadi manusia yang lebih baik, terutama dalam hal-hal sederhana seperti lebih banyak bersyukur, bermurah hati memberi maaf, melupakan kesalahan (it’s easier to forgive than forget, right?), tidak mudah terbawa emosi, menjaga perkataan, sikap, tindakan maupun pikiran agar senantiasa tulus, melapangkan hati, dan yang terpenting, terus mendengarkan bisikan kecil yang bersemayam jauh di dalam kalbu tanpa tergoda untuk menepisnya demi sesuatu yang bernama ego.

Semoga saya bisa… :)

*Dedicated to Steven & Elly Agustinus, manusia-manusia terbaik yang saya kenal, yang telah menjadi 'rumah' bagi begitu banyak orang. Terima kasih karena tak pernah lelah mengingatkan, menegur serta memberi inspirasi. Dan terima kasih untuk sebuah 'kamar' yang senantiasa tersedia bagi saya... :)

Friday, October 12, 2007

‘Stila-Aria: Sahabat Laut’ vs. Mayer Complex

Jelang lebaran, saya sudah pasrah dengan kenyataan bahwa libur kali ini saya harus tinggal di rumah layaknya satpam, karena orang rumah punya acara sendiri-sendiri yang tidak bisa diganggu-gugat.

Saya nggak keberatan, sebetulnya. Malah senang, karena saya termasuk spesies yang demen ngendon di rumah. Mencari damai *tsah* dengan setumpuk DVD, novel, hot cocoa dan Chitato.

Tahun ini, selain memanjakan diri dengan hal-hal di atas, saya –yang sedang terobsesi menyelesaikan novel perdana- berniat menghabiskan waktu di depan komputer; menulis dan mengunduh riset sebanyak 100 halaman *sedap!* yang belum tersentuh kemarin-kemarin. Kenap nap harus pakai riset segala? Itulah hasil kesombongan penulis pemula yang dengan belagu menciptakan setting nan ribet.

;-D

Anyway, selain menulis, rencananya saya akan menghabiskan waktu dengan leyeh-leyeh sambil menonton ulang Desperate Housewives dan membaca novel terbaru Sitta Karina yang terbit awal bulan ini. Rencana itu tersusun dengan rapinya, dan saya bergirang hati saban membayangkan bahwa lebaran kali ini akan jadi liburan yang damai-tenteram-menyenangkan…

… sampai saya mampir ke blog Haqi, 2 hari menjelang lebaran, dan baru sadar kalau… novel itu belum kebeli.

Halah.

Padahal, waktu pengumuman tentang novel itu muncul di milis, saya sempat menelepon penerbitnya untuk memesan di muka. Saya suka memesan novel-novel terbitan Terrant Books secara langsung, karena selain dapat diskon 25%, buku dikirim ke rumah tanpa dikenakan biaya sedikit pun. Ngirit, bo. :-)

Sayangnya, beberapa kali menghubungi Terrant Books, saya selalu mendapat jawaban yang sama: harga buku belum bisa dipastikan. Saya menelepon terlalu awal.

Ya wis, sebagai orang yang senantiasa menggampangkan perkara, saya pun berpikir, sutralah, nanti aja deh…

Sialnya, saya lupa bahwa selain sindrom penggampangan perkara, saya juga menderita Mayer Complex. Berpedoman pada rumusan Jeng May yang senantiasa tajam-akurat-terpercaya, mungkin saya bisa menyimpulkan Mayer Complex sebagai sebuah anomali psikologis yang ditandai dengan kerapnya si penderita mengalami distraksi fokus dan melakukan tindakan-tindakan impulsif yang berujung pada kedodolan tingkat tinggi dan degredasi memori akut.

*Do I sound smart?* ;-D

Jadi begini…

Pengumuman terbitnya novel sengaja tidak saya hapus dari e-mail, dengan tujuan mengingatkan saya agar segera memesan ke pihak yang berwenang. Setiap hari saya membuka e-mail. Setiap hari juga saya melihat e-mail dengan subjek yang sama. Dan saya tetap lupa.

Saya beberapa kali mengunjungi situs Sitta Karina. Cover novel yang bersangkutan terpampang jelas pada halaman muka, dan saya tetap nggak ngeh.

Parah?

Belum seberapa.

Puncak Mayer Complex ini adalah beberapa hari lalu, ketika saya membahas sesuatu dengan Mbak Sitta melalui SMS, di mana sepanjang proses jempol memencet keypad, mencari nama dalam phone book, memasukkan nomor, menekan ‘send’, menerima delivery report dan mendapat pesan balasan; saya sama sekali tidak ingat bahwa saya punya rencana luhur berkaitan erat dengan sang penerima pesan: membeli novelnya untuk pengisi liburan.

Gedubrak.

Yes, saya baru benar-benar ngeh waktu membaca reviewnya di blog Haqi.

Sejutatopanbadai.

Kalau pesan ke penerbit sekarang, novel baru akan saya terima -paling cepat- beberapa hari setelah lebaran. Sama juga bohong.

Maka, demi rencana yang sudah disusun jauh-jauh hari, saya pun melanggar komitmen suci atas nama ngirit.

Karena mobil dipakai adik saya ke Puncak, motor adalah alternatif satu-satunya untuk mencapai Gramedia terdekat di Puri Indah. Setelah menuntaskan beberapa daily chores, jam 11 saya sudah siap tempur untuk mendapatkan ‘Stila-Aria’ (yup, judul novelnya). Sebelum berangkat, dengan pintar saya menelepon Gramedia, memastikan novel itu ada di sana. Well, you know… just in case.

Saya mengganti kostum rumah dengan jins dan kaus, menyambar kunci, dan baru sadar…

…helm satu-satunya ketinggalan di kantor.

Aaaarrrghhhhh.

Dengan menyalahkan Mayer Complex, saya pun memutuskan untuk nekat pergi. Di lampu merah perempatan, hal pertama yang saya lakukan adalah clangak-clinguk memastikan tidak ada polisi. Betapa leganya ketika melihat 2 orang ibu dan 1 Mas-mas yang juga tidak pakai helm. At least, sesial-sialnya (baca: kalau sampai ketangkep), penderitaan yang ditanggung bersama akan terasa jauh lebih ringan.

Sebagai warga negara yang baik dan taat hukum (walau masih menganut prinsip bahwa menghindari polisi adalah alasan dominan untuk penggunaan helm *wink*), akhirnya saya berhenti di toko pinggir jalan untuk membeli helm a la tukang bangunan seharga 12 ribu rupiah. Jiwa tenteram, hati sejahtera.

Semua kedodolan berakhir ketika saya sampai di rumah 2 jam kemudian, dengan Stila-Aria di tangan.

Pfiuuuuuh... :-)

Now, the review.

Walau saya merasa Stila-Aria tidak se’nampol’ Lukisan Hujan dan Pesan Dari Bintang, saya sangat menikmati novel terbaru dari Sitta Karina ini. Novel ini penuh dengan pesan moral yang diselipkan di mana-mana tanpa berkesan menggurui -yang sangat khas Sitta Karina- dan dialog-dialognya sukses membuat saya kangen pada kejayaan masa sekolah. Stila-Aria disajikan secara lugas dan cerdas, dengan taburan informasi yang memperluas wawasan. *sedap gak bahasanya?* Novel remaja ini sukses membuat saya yang sudah tidak remaja berkali-kali senyum-senyum edan, tertawa, terharu, surprised… plus tergoda untuk mencoba neenlit lagi. (halah, novel satu aja nggak kelar-kelar mau ganti haluan.)

Four thumbs up for Sitta Karina! ;-D
*Tuh, Dol, gue masih pake ‘remaja’! Gyahahahahah.

Tuesday, October 9, 2007

Desperate Housewives Season 3

Baru menamatkan Desperate Housewives Season 3, dan agak kecewa dengan endingnya. Tapi, biar gimana juga, serial ini akan selalu jadi favorit saya dan tidak akan membosankan untuk ditonton berulang-ulang. Kalau Ibu ini menyamakan diri dengan Bree Van de Kamp (eh, sekarang Bree Hodge ya?) yang living the life of Lynette Scavo, maka figur yang paling pas buat saya adalah Susan Mayer (when you meet me in person, you will know why. Hahaha!).


Life sucks and they deal with it.

Itulah yang paling saya suka dari serial ini. Selain plot yang selalu sukses membuat saya mehe-mehe dan sok mikir keras untuk nebak ‘ini pasti nyambungnya ke sini, ntar pasti jadinya kayak gini, de-es-te’ (yang ternyata salah ;-D), saya sangat suka dengan karakter-karakternya yang kuat dan kutipan-kutipan dalam dialog maupun narasi yang nggak pernah ada matinya. Dalem, bok!

Banyak scene dalam season 3 ini yang menjadi favorit saya, di antaranya ketika para housewives ini berusaha melakukan yang terbaik untuk diri mereka dan malah mengakhirinya dengan kesalahan besar -- seperti Susan yang memutuskan untuk kencan dengan pria lain setelah sia-sia menunggui Mike yang koma selama 6 bulan dan mendapati bahwa Mike siuman justru ketika ia pergi berlibur dan Edie Britt telah menggantikan tempatnya saat ia kembali; atau seperti Bree, yang berusaha melakukan yang terbaik untuk orang-orang yang ia cintai, dan justru mendapati hasil berkebalikan.


Bree: I’m so tired of feeling like the worst mother who ever lived. I’ve tried so hard to set a good example. I’ve done the best to teach you kids right from wrong. Why isn’t it taking?
Andrew: It took. I mean, we know the difference between right and wrong. We just chose wrong.
Bree: Why?
Andrew: Sometimes when you push a kid really hard to go one way, the other way starts to look more entertaining.

Somehow, saya menemukan korelasi antara para desperate housewives ini dengan percakapan saya dan seorang teman, beberapa minggu lalu, ketika lagi-lagi membahas tentang pilihan hidup.

+ “Terus, kalo pilihan yang kita buat ternyata salah, gimana? Shouldn’t we regret it?”
- “Ngapain nyesel? Berguna? Nggak kali. Hidup itu untuk jalan maju terus, keputusan adalah awalnya. Kalo gak seneng sama apa yang dijalanin, ya bikin keputusan lain aja. Ganti arah.”

Entah korelasi beneran atau saya aja yang nyambung-nyambungin, tapi kok ya sepertinya tidak ada yang lebih tepat untuk merefleksikan kalimat nyebelin-tapi-bener teman saya itu, selain dialog Lynette dengan Caroline Bigsby saat ia disandera di supermarket.

Lynette: What is the matter with you?
Caroline: Have you not been paying attention? My husband cheated on me!
Lynette: Who cares? We all have pain, but we deal with it! We swallow it and get going with our lives! What we don’t do is go around shooting strangers!

Okay, ini nggak penting, tapi saya sampai memutar episode yang sama 3 kali cuma untuk nonton scene ini, bow. :-)

Moral of the story?
1. ‘Desperate Housewives’ ROCKS.
2. Do your best. When life sucks, hang on. Deal with it, swallow it and get going. :-)

*Eh, eh, gue udah punya Fesbuk! YAY! :-D*

Gambar diambil dari http://www.starpulse.com/

Wednesday, October 3, 2007

Di Bawah Langit (Tanpa) Bintang

Kemarin malam, saya duduk sendirian di teras rumah seorang teman. Sambil mengeringkan rambut yang basah setelah keramas, saya menengadah ke langit.

Kosong. Yang ada cuma hamparan gelap dengan dua titik cahaya. Sesepi rumah yang sedang saya tunggui, yang ditinggalkan pemiliknya mudik ke Jawa Tengah.

Sumpah, susah banget nemu langit berbintang di kota yang penuh polusi seperti Jakarta. Tapi, somehow saya merasa cukup dengan keheningan yang tenteram itu.

Kemarin, saya lelah berpikir. Lelah mempertanyakan segala sesuatu. Lelah menguras emosi.

Saya hanya ingin beristirahat dan membiarkan sel-sel otak bernafas lega.

So there I was, sitting alone. Menikmati setiap menit yang diberikan malam sunyi tanpa bintang.

Dan saya merasa damai.

Sesaat, saya ingin waktu berhenti supaya saya bisa lebih lama menikmati keheningan itu. Keheningan yang menggerakkan saya untuk memulai dialog sederhana dengan Sang Pencipta, yang kerap terlupa oleh egoisme atas nama kesibukan.

Kemarin, saya kembali diingatkan.

Bahwa bersyukur, meski terdengar remeh, dapat mengangkat begitu banyak beban.

Bersyukur tidak menyelesaikan masalah, namun membuat kita mampu menghadapinya tanpa menjadi terlalu penat.

Bersyukur tidak menghilangkan persoalan, namun membuatnya terasa jauh lebih ringan.

Kemarin, di bawah langit tanpa bintang, saya kembali diingatkan.

Bersyukur itu tidak bisa cuma sekali.