Thursday, November 29, 2007

Bener-Bener Bosen

Pernah nggak merasa bosen BERAT pada pekerjaan rutin yang sudah dijalani selama kurun waktu tertentu?

Saya pernah. Dan nyebelinnya, sekarang juga sedang.

Saya ingat banget, waktu awal-awal bekerja, saya sangat bersemangat karena merasa menemukan tantangan baru (di samping mendapat aktivitas yang membebaskan saya dari perasaan sumpek akibat kelamaan jadi pengangguran). Saking semangatnya, saya nggak keberatan nginep berhari-hari di kantor demi menyelesaikan pekerjaan, malah saya sempat, lho, mikir, “Ini office hour-nya kok cepet amat, ya? Mestinya dipanjangin nih.”

*Tsah* :)

Setelah 3 bulan, perasaan ‘terbiasa’ itu mulai datang, tapi saya cuek dan tetap menjalani pekerjaan seperti seharusnya. Masuk bulan ketujuh, saya mulai gelisah mirip cacing dituangin garam (belum pernah liat? Coba deh, tapi dikit aja, kasian cacingnya, hehehe). Semua yang awalnya begitu menyenangkan dan penuh tantangan sekarang tidak lebih dari rutinitas yang harus diselesaikan tepat waktu. Bulan kedelapan sampai keduabelas, saya mulai gampang uring-uringan di kantor. Bosen kuadrat pangkat tiga dikali lima.

… sampai akhirnya atasan saya mempercayakan sebuah proyek yang cukup besar untuk saya tangani.

JRENG–JRENGGG…

Semangat yang tadinya redup –kayak bohlam 5 watt yang udah mau putus- lantaran kurang pasokan listrik mendadak berkobar-kobar lagi. Saking semangatnya dengan proyek baru ini, saya sampai nggak tidur berhari-hari, memikirkan segala macam hal dan merancang semua detil, sampai sekecil-kecilnya.

Proyek itu memakan waktu sekitar 1,5 bulan. Setelah selesai, beberapa teman melontarkan pujian, karena konon proyek serupa pernah dipercayakan kepada seorang (mantan) staff dan butuh setahun (!) untuk menyelesaikannya. Setelah larut dalam euforia selama beberapa minggu, perasaan familiar durjana itu lagi-lagi menyerang, dan saya kembali dilanda kejenuhan akut.

Akhirnya saya memberanikan diri mengajukan ide kepada atasan untuk melakukan inovasi pada job description, yang –edannya- disetujui. Sambil mikir, “Giling ih, ternyata gue mantep juga,” saya keluar dari ruangan beliau dengan cengiran lebar. Semuanya kembali terasa menyenangkan dan menggairahkan. Saya bekerja seperti kelinci kebelet beranak selama beberapa bulan…

…dan bosan lagi (!!!).

Buseeeeeet.

Dengan memasrahkan diri pada kehendak Yang Di Atas, saya pun kembali nekat mengetuk kantor pimpinan.

Usul diterima, dan saya bergembira ria.

Itu terjadi beberapa minggu lalu, ketika saya keluar dari ruangan atasan sambil siul-siul senang.

Sekarang?!

Udah jenuh LAGI…!

Alamaaak… TOBATTT!!!

MAYDAY, MAYDAY… Help me please!

*suntuk mode: on (kali ini nggak bisa di-off-in, tombolnya lagi rusak)*

*sigh*


By the way, kalau ada yang ngerasa inisial judul entri ini mirip nama grup musik atau film tertentu, emang sengaja, kok *wink wink*.

Friday, November 23, 2007

Ramah-Tamah

“Penting ya, beramah-tamah sama pimpinan?”

Meta berhenti mengaduk vanilla latte-nya yang baru dituangi brown sugar. Ia nyengir sambil menatap Ninda yang balik menatapnya dengan sedikit cemberut.

“Emang kenapa?”

“…”

“Kantor elo, ya?”

“He eh. Malesin.”

Meta menyesap vanilla latte-nya. Ia meletakkan gelas styrofoam sambil memaki kecil. “Sial! Panas banget.”

“Beramah-tamah itu penting kaliii, Nin. Dalam hidup bersosialisasi, kita per…”

“Gak usah sok bijak,” tukas Ninda, bertahan dalam ekspresi sebalnya. “Lo tau apa yang gue maksud.”

Lagi-lagi Meta nyengir innocent. “Idealisme lo?”

Ninda tidak menjawab. Ia menyeruput mochacinno-nya seraya membuang pandangan ke luar jendela. Suasana Coffee Corner sore itu sangat comfy. Café mungil ini adalah tempat favorit Meta dan Ninda. Ambiance-nya selalu membuat mereka kangen ngopi-ngopi sambil curhat sana-sini.

Beberapa bulan terakhir, kebanyakan sesi ngopi Meta-Ninda diwarnai curhat Ninda tentang suasana kantor yang ditempatinya 10 bulan ini. Meta hanya nyengir-nyengir kuda mendengar curhat sahabatnya yang kali ini bukan tentang cowok super ganteng pacar barunya, dosen nyebelin nan genit yang hobi colak-colek seenak jidat atau cardigan Zara yang sudah lama diincarnya, melainkan setumpuk cerita tentang rasanya kerja kantoran, senangnya menerima gaji pertama, serunya belanja dengan uang hasil keringat sendiri, sampai tingkah rekan-rekan sekantor yang (menurutnya) super-duper-ngeselin.

“Gue gak ngerti kenapa orang-orang itu demen banget beramah-tamah sampe berlebihan sama pimpinan. Bikin sakit mata. Gerah.” Omel Ninda.

“Menjilat, maksud lo?”

Sort of.”

“Ngapain dipusingin, Neng. Biarin aja. Yang penting kan elo nggak,” cetus Meta geli.

“Gue gerah aja,” Ninda melipat kedua tangannya di dada, persis anak kecil yang merajuk. “Awalnya gue berusaha cuek. Tapi karena gue seruangan rame-rame, lama-lama ganggu banget. Dan mereka ngelakuin itu terang-terangan tiap kali atasan nongol. Pengen gue sambitin satu-satu,” Ninda bersungut-sungut, membuat Meta ingin sekali ngakak sepuasnya di depan fresh grad berlidah cabe rawit itu.

“Lo bayangin, ada gitu, yang tiap boss nongol, cara ngomongnya udah kayak ketemu menteri. Ngerunduk-runduk, nada dibikin semanis mungkin, intonasi direndah-rendahin biar terkesan hormat.”

“Hehehehe…”

“Ada juga yang kerjaannya ketawaaa melulu. Gue rasa dia digaji buat ketawa daripada buat kerja.”

“He?” Meta melongo bodoh. “Maksud lo?”

“Yaaa… boss gue kan orangnya ramah. Suka banget cerita. Apa aja diceritain. Jadi tiap boss gue cerita, lucu ga lucu, seru ga seru, dia selalu KETAWA. All the time.”

“Kok aneh sih?”

“Tau. Biar disayang, kali.”

“HUAHAHAHAHAHA.”

“Trus ada juga yang pendekatannya lewat anak boss.”

“Hah?”

“Iya. Pimpinan gue punya anak perempuan umur 5 tahun. Abis pulang sekolah, ‘ni anak sering diajak ke kantor. Ada satu staff yang selalu nurutin kemauan ‘tu anak. Minta apapun dikasih, mau apapun dibolehin. Padahal ya bo, gue ngeliat sendiri boss gue justru ngelarang hal-hal yang dibolehin itu. Otomatis ‘tu anak jadi deket sama staff yang satu itu. Nempel mulu. Dan ‘tu anak cerita deh ke nyokapnya kalo staff itu baik banget sama dia.” Ninda misuh-misuh panjang lebar. Embun di gelasnya sudah lama membentuk genangan di atas meja.

“Ya biarin aja lah, Say. Mau mereka licking ass pemimpin, itu urusan mereka. Yang penting kan lo nggak gitu.”

“Iyaaa, tapi gue jadi ngerasa gak fair ajaaa.” Bibir Ninda semakin maju. Meta tertawa geli. Di saat-saat seperti ini Ninda lebih mirip anak SMU yang lagi ngambek sama pacar ketimbang karyawan perusahaan swasta.

“Gak fair gimana maksud lo?”

“Gak fair, karena mereka ngedapetin perhatian lebih dari pimpinan dengan cara-cara kayak gitu, sementara mereka-mereka itu sebenernya pada gak becus kerja.”

“Dih, segitunya amat sih,” Meta menukas. “Sah-sah aja lo sebel, tapi ga usah segitunya kali.”

Seriously, Met.” Ekspresi Ninda berubah sungguh-sungguh. ”Gue kan seruangan sama mereka. Gue tau kualitas dan cara kerja mereka kayak gimana. Tipe yang dikit-dikit nanya, dikit-dikit minta tolong, dikit-dikit ngeluh. Trus kalo diajak diskusi, keliatan banget telminya. Gue sampe capek.”

“HUAHAHAHAHAHA. Nasib lo, Nin.”

Yeah,” Ninda menghela nafas pasrah. “Itu sebabnya gue mati-matian nge-push kapasitas gue. Pokoknya kinerja dan kualitas gue harus di atas rata-rata. Gue pengen –dan harus- nunjukin prestasi lebih dari mereka-mereka itu.”

“Supaya lo eksis di mata boss?”

“Sebagian, iya. Sebagiannya lagi, karena gue pengen buktiin kalo gue bisa berhasil tanpa perlu licking ass.” Ninda menuntaskan mochacinno-nya. Ia menghempaskan gelas kosong ke atas meja, membuat genangan air di atasnya terpercik kemana-mana.

Meta manggut-manggut sambil menyapukan tisu ke lengannya yang basah kena air. “Moral of the story…” ia mengembangkan senyum kocak, “Kalo gak bisa beramah-tamah sama pimpinan, mendingan punya prestasi.”

“Ember.” Ninda mengangkat alis sambil bertopang dagu. “I know I can do it.” sambungnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Buktinya, ada satu produk -namanya Concept- yang sama anak-anak disebut produk gagal. Penjualannya amblas, tapi sejak gue handle 3 bulan ini, penjualan mulai naik dan ordernya lumayan.”

Meta tersenyum. Bangga akan pencapaian sang sahabat yang belum genap setahun bekerja di kantor barunya. Bangga akan sifat keras kepala Ninda yang tidak takut menentang arus dan berani berkompeten secara sehat. Sesuatu yang sama sekali tidak mudah -- Meta tahu itu, karena ia pernah tersingkir dari area persaingan yang sama, di mana ia tidak sanggup bertahan. Tapi Ninda adalah cerita lain. Ninda, dengan kapasitas otak dan idealismenya yang sekeras batu, akan mampu bertahan, bahkan terus naik.

I know you can.”

Saturday, November 17, 2007

Hei... Kamu.

Hei, kamu yang di sana…

Lagi ngapain?

:-)

I know this is ridiculous. Baru 1 jam lalu kita pisahan, tapi saya sudah ngerasa kangen sama kamu.

Kamu yang selalu mengisi hati saya dengan cara-cara yang unik, dari dulu sampai sekarang. Anehnya, saya sering, lho, nggak sadar bahwa kamu ada di situ -- di sudut terpencil itu. Saya sangat jarang berpikir tentang kamu, tapi setiap habis bertemu kamu, otak saya pasti dipenuhi khayalan-khayalan menggelikan. Tentang kamu. Tentang kita.

Kamu adalah pahlawan masa kecil saya. Kamu selalu jadi ksatria buat saya, walau tidak ada naga yang harus dikalahkan atau musuh jahat yang harus ditumpas. Kamu ada di sana, dan itu cukup untuk membuat saya merasa seperti putri yang dijagai ksatria. Aneh sebetulnya. Kalau saya bertengkar dengan anak lain, kamu tidak terlalu membela saya. Malah, kamu lebih banyak diam. Tapi kamu ada di sana, dan kehadiran kamu selalu lebih dari cukup.

Kamu ingat nggak, waktu saya SMP (eh, atau SD tingkat akhir ya?), mereka mengolok-olok saya waktu saya bilang saya suka kamu. Mereka ngetawain saya habis-habisan, sampai saya ogah ketemu mereka selama berhari-hari. Malu! Saya sempat sebal pada mereka, tapi saya nggak bisa berbuat apa-apa karena saya tahu mereka punya alasan untuk berbuat seperti itu. Dan sialnya, alasan mereka benar.

Konyolnya, gosip bahwa saya suka kamu sempat tersebar luas, dan saya kembali jadi bulan-bulanan. Saya cemas banget, kuatir kalau kamu mendengarnya. Bukan, saya bukan takut kamu akan marah atau menjauhi saya. Saya hanya tidak mau kamu mendengar itu dari orang lain.

Mereka bilang itu cuma cinta monyet, dan saya percaya. Saya yakin perasaan itu hanya bagian dari sebuah fase hidup yang akan hilang dengan sendirinya ketika saya menapak ke fase berikutnya. Dan memang itu yang terjadi. Seiring bertambahnya usia, kamu mulai tenggelam dalam dunia kecilmu, begitu juga saya. Kita tak lagi sering bertemu. Kita tak lagi bermain bersama, karena kita telah tumbuh besar. Hidup tidak sesederhana dunia kanak-kanak di mana segalanya tampak begitu mudah. Hidup tidak sesimpel masa-masa di mana kita tak perlu bersusah-susah memikirkan karir, cinta dan tetek-bengek kehidupan yang menyebalkan (heran, kenapa dulu kita pengen banget cepat-cepat tumbuh dewasa, ya?).

Kita makin jarang bertemu, sampai akhirnya tidak pernah sama sekali. Saya hanya mendengar berita tentang kamu dari adik-adikmu. Kamu lulus kuliah. Kamu diterima di sebuah perusahaan jasa. Kamu menjalin hubungan dengan seorang perempuan berkacamata minus (pssst, mereka bilang, perempuan itu mirip saya!). Kamu putus dengan dia (yaaay!). Karirmu terus menanjak. Kamu mendapat promosi yang cukup besar dengan jabatan dan fasilitas yang membuat saya terkagum-kagum. Saya sangat bangga mendengarnya. Kamu hebat.

Ketika akhirnya saya bertemu lagi denganmu, sumpah, saya kaget melihat ‘penampakan’mu. Kamu, yang dulu bermain bersama saya dengan kaus oblong dan celana pendek, sekarang mengenakan kemeja lengan panjang dan dasi. Raut lugu dan cupu (maaaaap!) yang dulu selalu menghiasi wajah kamu, sekarang digantikan aura maskulin dan kematangan pria dewasa. Hanya satu yang tidak berubah dari kamu: ketulusan yang selalu terpancar dari mata jernih kamu. Kebaikan hati yang selalu membuat saya leleh sama kamu.

Saya tersentak.

Mereka bilang itu cuma cinta monyet. Tapi kenapa hati saya jadi deg-deg-serrr nggak jelas begini? Kenapa pipi saya jadi panas? Dan kenapa juga saya jadi tergoda memasang foto kamu sebagai wallpaper HP saya?!

O-H M-Y G-O-D.

Nggak. Nggak boleh. Pokoknya NGGAK.

Saya terus menggaungkan kata-kata itu pada diri sendiri -- berkali-kali, demi mengusir imaji yang terus menyelinap usil di otak saya. Imaji tentang kamu. Tentang KITA. Konyol.

Saya merasa sangat bodoh. Memelihara cinta monyet sampai setuir ini, padahal jelas-jelas itu mustahil terwujud.

Jadi, saya kembali berusaha menguasai diri, sekuat tenaga. Saya mencoba segala cara untuk melenyapkan pikiran tentang kamu dari sel-sel otak ini.

Saya cukup berhasil. Selama berbulan-bulan, kamu hanya singgah sesekali di benak saya, dan itu tidak mengganggu saya. Saya lumayan repot dengan berbagai hal sehingga tidak punya banyak waktu untuk memanjakan diri dengan bayangan kamu.

Sampai saya ketemu kamu lagi, hari ini.

DAMN.

Semua usaha saya jadi mentah begitu saja, karena dengan bodohnya saya kembali termehe-mehe dengan kehadiran kamu. Saya kembali deg-deg-serrr nggak penting ketika berada di dekat kamu. Saya kembali salting seperti anak SMP baru pacaran.

Ah, sungguh tolol.

Sekarang saya harus berusaha ekstra keras (lagi) untuk melupakan kamu; kali ini untuk seterusnya.

(Eh, atau sebaiknya nggak usah berusaha terlalu keras aja, ya? Soalnya ada yang bilang, semakin diusahakan, malah makin susah lupanya.)

Kamu tahu, saya sering berkhayal nakal: alangkah enaknya kalau kita tidak pernah tumbuh dewasa. Kita bisa terus bermain-main. Saya jadi putri, dan kamu adalah ksatria; meski tidak ada naga yang harus dikalahkan dan musuh jahat yang harus ditumpas.

Sayangnya, itu nggak mungkin.

Kita tetap tumbuh dewasa, dan kita tetap tidak bisa bersama-sama.

Kenapa?

Karena kamu sepupu saya.

:-)

Saturday, November 10, 2007

Kekuatan Sang Pemimpi

Saya tidak pernah bisa mengetik sepuluh jari. Satu-satunya kesempatan di mana saya belajar mengetik adalah saat duduk di kelas 3 SMU, di mana syarat kelulusan mutlak adalah mengantongi sedikitnya SATU dari dua ijazah ujian nasional: Akuntansi dan Mengetik.

Sebagai pembenci angka sejati, saya mengandalkan kelulusan pada ijazah mengetik, yang sialnya, sama sekali tidak saya kuasai. Alhasil, selama 3 jam setiap minggu -di ruangan sumpek di sudut gedung sekolah- saya berkutat dengan mesin tik butut yang huruf-hurufnya ditempeli stiker hitam, merelakan mata saya ditutup dengan kain buluk dan belajar menghafal letak huruf di bawah ancaman hukuman. Jangan tanya kenapa. Itulah metode mengajar guru saya yang herannya terbukti efektif membuat kami lulus hanya dengan persiapan selama 6 bulan, walau tentu saja, sebagai efek sampingnya kami membenci beliau setengah mati.

Setelah belajar mati-matian, saya lulus dengan nilai seadanya. Sangat tidak sebanding dengan jerih lelah selama 6 bulan, tapi itulah hasil yang didapat jika terbalik memasang kertas stensil pada ujian mengetik berstandar nasional. :-)

Saya bertekad tidak akan menyia-nyiakan ‘ilmu’ yang didapat dengan susah payah itu. Saya selalu ingin menjadi penulis. Sejak belajar mengetik, saya menguasai satu-satunya mesin ketik di rumah dan saya bertekad akan mengoptimalkan kinerja mesin tua itu. Jadi, mulailah saya menulis, eh, mengetik. Tidak tanggung-tanggung. Saya mengetik cerpen sepanjang 9 halaman.

Pekerjaan itu memakan waktu semalaman. Hasilnya adalah berlembar-lembar kertas HVS yang penuh tipp-ex dan jari telunjuk yang pegal setengah mati. Tim penilai ujian nasional telah melakukan kesalahan besar dengan meluluskan saya. Berulang kali saya menjebloskan jari ke sela-sela tombol huruf dan membuat kesalahan konyol yang (sialnya) tidak bisa di-undo.

Dengan penuh percaya diri saya mengirim cerpen itu ke majalah; mahakarya pertama yang dibuat dengan mesin ketik usang. Saya sangat bangga. Optimis luarbiasa. Redaksi majalah itu pasti terkesan.

*Sebelum ditanya, mending saya jawab dulu: Nggak tuh, saya nggak mikir panjang sama sekali. Dengan bego polos saya berasumsi, kalau redaksi menganggap naskah saya bagus, ya tugas mereka dong untuk ngetik ulang. Hihihi.

Cerpen tersebut saya tulis lebih dari 5 tahun yang lalu. Sampai sekarang tidak ada kabar apapun dari majalah yang bersangkutan. Sejujurnya, saya bahkan ragu naskah itu DIBACA, secara penuh tipp-ex dan ‘lo-taulah-gimana-hasil-ketikan-mesin-tik-butut’.

:-D

Menjadi penulis adalah cita-cita terbesar saya. Melihat karya saya diterbitkan adalah mimpi yang selalu saya jaga baik-baik agar tidak layu. Sayangnya, berapa kali pun mencoba, saya tidak pernah melihat mimpi itu terwujud.

Saya melihat mimpi berbunga di pekarangan rumah orang. Mimpi saya sendiri tetaplah berupa benih dalam pot yang tidak kunjung bertunas.

Bahkan setelah saya mengganti mesin ketik dengan seperangkat komputer, bunga yang saya lihat tetap tumbuh di pekarangan orang. Novel atas nama orang. Cerpen atas nama orang. Artikel atas nama orang. Mimpi saya tetaplah benih yang bersemayam jauh di dalam lapisan tanah kotor dan lembap.

Awal 2006, saya menemukan sebuah majalah yang langsung membuat liur saya bertetesan. Majalah itu adalah sebuah kompilasi cerpen yang terbit setiap bulan dengan mengusung penulis-penulis kawakan sebagai editor: Putu Wijaya, Seno Gumira, Jujur Prananto dan entah siapa lagi.

Saya berdiri di depan rak Gramedia sambil memegangi majalah itu. Ketika saya membawanya ke kasir, semua kegagalan saya terlupakan. Saya tahu, nama saya akan tercatat dalam majalah tersebut.

Beberapa minggu setelahnya, saya pergi mengunjungi kawan di Jakarta Selatan. Ketika berhenti untuk membayar tol, pandangan saya singgah pada si penjaga loket; wanita berusia awal duapuluhan berambut sebahu yang wajahnya superkecut. Malamnya, saya duduk di depan komputer dan menulis cerita berjudul ‘Anugerah Terindah’ dengan tokoh utama gadis jutek penjaga loket. Saya mengirim cerpen itu ke redaksi majalah impian, dan memasrahkan diri pada hasilnya.

Que sera-sera. What will be, will be.

3 bulan kemudian, menjelang malam, sebuah e-mail mampir di inbox saya. Cerpen saya diterima.

Malam itu menjadi malam yang ajaib dalam hidup saya. Saya tersenyum-senyum di depan komputer warnet selama setengah jam penuh.

Saya membayar ongkos warnet sambil tersenyum lebar.
Saya berjalan ke tempat parkir dengan senyum superlebar.
Saya berhenti di tukang jagung bakar –untuk membelikan pesanan si Papah- masih dengan senyum lebar.
Saya menunggui jagung matang sambil cengar-cengir. Encik paruh baya penjual jagung tampak begitu cantik, dan pengipas arang berkaus kumal menjelma menjadi pangeran tampan.

*Okay, okay, HIPERBOLA. Hehehe.

Malam itu, saya mengalihkan pandangan dari pekarangan tetangga. Benih di pot saya mulai bertunas.

Beberapa minggu lalu, saya mampir ke toko buku dan iseng membeli novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata: Sang Pemimpi. Karena sibuk, saya mengabaikan novel itu selama beberapa hari. Ketika akhirnya punya waktu luang, saya mulai membaca dan tidak bisa berhenti.

Ikal dan Arai, tokoh utama dalam kisah nyata ini, adalah sosok-sosok yang bukan hanya memahami makna ‘bermimpi’. Mereka bertahan demi mimpi. Mereka mengejar mimpi. Mereka hidup untuk mewujudkan mimpi.

Ikal dan Arai hanya 2 dari sekian banyak pemuda Melayu pedalaman yang terpaksa pasrah menerima kenyataan terlahir sebagai rakyat miskin di daerah terpencil yang penduduknya bahkan belum pernah melihat kuda. Dalam kondisi serba sulit, mereka tidak punya pilihan selain berjuang mempertahankan hidup sambil menggali keindahan sebuah mimpi. Menahan berat peti dan bau amis ikan sebagai konsekuensi dari pekerjaan kuli angkut pelabuhan sambil terus memeluk mimpi-mimpi.

Tekad untuk tidak mendahului nasib telah menghantar 2 pemuda yang hingga lulus SMA tidak pernah mengenal Kentucky Fried Chicken ini ke Sorbonne, Perancis, sebuah tempat yang bertahun-tahun silam digaungkan oleh seorang guru dan menjelma menjadi sebutir benih dalam hati mereka. Benih yang terus dipelihara dan dijaga dengan setia, tidak peduli semustahil apapun tampaknya, sesukar apapun kondisinya.

“Bermimpilah, sebab Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”

Itulah kalimat yang selalu mereka ucapkan. Kalimat yang kesaktiannya menyaingi daya magis ilmu madraguna -- bukan karena jampi bertuah, melainkan karena kata-kata sederhana itu telah memberi kekuatan pada kaki-kaki mereka untuk terus berlari.

Saya menutup buku dengan perasaan campur aduk; antara terharu, senang dan geli.

Mereka benar.

Kekuatan yang sama telah membuat mimpi saya bertunas, walau saya tetap tidak bisa mengetik sepuluh jari. :-)


* Untuk versi ‘serupa tapi tak sama’ dari tulisan ini, silakan klik di sini.

*Makasih banyak ya Ami, atas kesempatannya.. I really appreciate it! :-)

Gambar diambil dari www.fotosearch.com

Monday, November 5, 2007

Sosok Sejati

Saya mengenalnya beberapa tahun lalu, ketika kami datang ke sebuah acara yang sama dan saya melihatnya dikerumuni perempuan-perempuan yang heboh meminta tips seputar kecantikan dan kesehatan kulit. Karena penasaran, saya ikut mendekat.

Informasi yang dipaparkan beliau tentang banyaknya penderita kanker kulit di Indonesia akibat pemakaian produk perawatan dan make-up yang mengandung merkuri sangat menarik perhatian (kala itu belum banyak orang yang tahu bahwa sebagian besar produk kecantikan yang beredar di pasaran mengandung zat berbahaya ini). Jadilah saya bergabung dalam kerumunan kecil itu, menjadi salah satu perempuan bawel yang bertanya ini-itu tentang perawatan kulit -- walau pada akhirnya informasi tetaplah informasi, alias nggak dilakukan, hehehe.

Ketika acara itu selesai, pertemanan kami berlanjut. Seorang wanita kharismatik yang usianya menginjak pertengahan limapuluh dengan perempuan yang baru menamatkan masa ABG. Dua ‘dunia’ yang sangat nggak nyambung, sebetulnya, karena usia beliau bahkan jauh di atas Ibu saya. Tapi herannya, saya betah-betah saja bergaul dengan beliau (malah enjoy!), begitu pula sebaliknya. Believe it or not, kami bisa menghabiskan 3 sampai 5 jam sekali ngobrol.

Beliau selalu bermurah hati memberikan tips dan nasehat berharga mengenai perawatan kulit dan berbagai aspek kesehatan ditinjau dari segi medis *sedap, bahasa gua!*. Dan kami, perempuan-perempuan haus informasi ini, selalu mendengarkan dengan senang hati, karena tips-tips canggih seperti itu tidak mudah didapatkan secara gratis dari pakar kecantikan sekaliber beliau *ihiwww*.

Beliau telah beberapa kali memperoleh penghargaan dari pemerintah atas jasa-jasanya dalam dunia medis, secara spesifik dalam bidang kosmetologi. Beberapa bulan yang lalu, atas undangan dari Oom Bush, beliau menginjakkan kaki di Gedung Putih. Meski begitu, di tengah kesibukannya yang segudang beliau selalu bersedia meluangkan waktu untuk menolong kami-kami yang buta ilmu kesehatan.

Ketika seorang kawan melahirkan anak pertama, beliau memonitor perkembangan si calon ibu dan jabang bayi melalui teman baiknya -seorang dokter kandungan- untuk memastikan proses persalinan berjalan dengan lancar sesuai keinginan si ibu: melahirkan dengan normal. Ketika putra sahabat saya menderita penyakit berbahaya Stevens-Johnson syndrome, beliau ikut repot mencari informasi mengenai penyakit yang terbilang langka itu dan menghubungi teman-temannya sesama dokter untuk mencari penanganan terbaik yang dapat ditempuh demi kesehatan si bayi. Ketika tante seorang teman lain menderita tumor otak ganas, beliau memberi rujukan ke rumah sakit terpercaya (baca: kemungkinan malprakteknya bisa diminimalkan) dan dengan sukarela memantau perkembangan si pasien yang notabene tidak dikenalnya sama sekali.

Salah satu omelan favoritnya setiap bertemu saya adalah, “ITU MUKA KENAPA MERAH-MERAH LAGI? Kemarin perasaan udah mulusan! Pasti makan donat lagi ya?”

Hehehe.

Yup, beliau ‘mengharamkan’ saya sering-sering makan donat dan telur demi mengendalikan populasi jerawat di wajah saya. Masalahnya oh masalahnya, sebagai penggemar sejati donat –khususnya yang dijual di mal-mal dengan brand berupa inisial seorang tukang cukur yang berkonversi jadi tukang roti dan donat- saya sangat sulit menahan keinginan untuk tidak nyemil kue bolong itu. Dan buat saya, tidak ada yang bisa menyamai kenikmatan makan telur ceplok pakai kecap asin dan cabe rawit. Alhasil, jerawat pun terus berkembang biak. Setiap kali diomeli, saya cuma cengar-cengir sambil minta ampun dan mencoba mengurangi konsumsi 2 makanan ‘haram’ itu, yang biasanya cuma bertahan beberapa bulan sebelum saya kembali memamahnya secara konsisten. Hihihi. (duhhh, maap, Tan!)

Kemarin siang kami kembali bertemu. Saya, beliau dan beberapa teman duduk membentuk kerumunan kecil yang superberisik. Beliau memukul saya dengan bercanda ketika saya berkomentar bahwa larangannya makan donat dan telur sangat menyiksa kesejahteraan jiwa. Seorang teman yang wajahnya sedang jerawatan parah juga tidak luput dari omelan. Kami sedang sibuk ngeles sambil tertawa-tawa heboh, ketika seorang kawan mendadak menyeruak ke dalam kerumunan sambil mengulurkan sebuah bungkusan kepada si Tante.

“Titipan dari Edo,” ia menyebut nama anak bungsu Tante yang sedang menempuh pendidikan di London. Rupanya si kawan baru kembali dari perjalanan dinas di kota yang sama.

“Oh, dari Edo?!” wajah si Tante berubah sumringah. Surprised campur senang.

Kawan tersebut hanya mampir sebentar untuk menyerahkan titipan. Setelah ngobrol beberapa jenak, ia pamit dan Tante memasukkan bungkusan itu ke dalam tasnya. Saat saya mengira obrolan akan kembali berlanjut, Tante membatalkan niatnya menutup tas. Ia melongok ke dalam tas dan membuka bungkusan itu, mengintip isinya cepat-cepat. Ketika mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca.

“Makasih ya, Pepi,” serunya pada si kawan yang sudah beranjak menjauh. Beliau mengeluarkan bungkusan itu dari tas dan mendekapnya erat-erat di dada dengan kedua tangan.

“Aduh, senengnya…” komentarnya lirih. “Baiknya… dia inget sama Tante. Kalo yang dua lagi kan udah cuek, udah pada gede…” ia merujuk pada dua putrinya yang tinggal di Eropa.

Obrolan tidak jadi berlanjut. Tante terus mendekap bungkusan itu di dadanya. Saya memperhatikan beliau menyusut airmata dengan ujung jari, sementara sepasang manik itu terus berbinar dengan kebahagiaan yang sulit dideskripsikan.

Tanpa bermaksud mengecilkan makna sebuah pemberian, saya yakin isi bungkusan itu tidaklah seberapa dibandingkan tas buatan perancang yang disandang beliau maupun perhiasan yang sangat mencolok dan tidak pernah absen dikenakannya.

Bertahun-tahun mengenalnya, saya tidak pernah melihat beliau memegang sertifikat penghargaan dari pemerintah maupun trofi bergrafir indah -yang menunjukkan catatan prestasi nan fantastis dan selalu mengundang decak kagum orang- seperti mendekap hadiah sederhana dari putra tersayangnya.

Ia adalah seorang wanita berkharisma yang memancarkan aura kesuksesan sejati. Namanya tercatat dalam kumpulan profil orang-orang yang berjasa memberikan kontribusi secara langsung bagi kemajuan Negara, dan prestasinya telah menghantarnya ke Gedung Putih untuk bertemu orang nomor 1 di Amerika.

Kemarin siang, jauh di balik pesona gemerlap nan berkilau yang disandang beliau sebagai figur masyarakat -dengan segala pencapaiannya- saya memandang dengan kagum ketika sosok yang bersembunyi di lapisan terdalam itu memunculkan diri.

Sosok sejati itu adalah seorang Ibu.