Friday, December 28, 2007

Perjalanan Dadakan dan Pilihan Tahun 2008

“Milih aja lama.” cetus seorang teman ketika kami mengantri di sebuah gerai kopi, tepat di belakang remaja-remaja bawel yang ribut memilih pesanan sambil bercanda.

Beberapa sibuk memilih kopi, membatalkan pesanan untuk memilih yang lain, kemudian berdiskusi muffin mana yang paling enak. Sisanya sibuk ngobrol dengan berisik tanpa berniat menyingkir, menyebabkan antrian mandek di situ.

“Baru milih kopi, belum milih hidup.” tambah teman saya, yang langsung saya setujui.

Beberapa minggu terakhir, banyak banget kejadian menyebalkan yang saya alami (entah memang nyebelin, atau saya-nya aja yang mulai senewen), mulai dari komputer rusak, berurusan dengan manusia-manusia paling ngeselin sedunia yang kelakuannya bikin pengen garuk-garuk tanah, sampai hal-hal sepele yang dengan mudahnya bikin saya naik darah dan bawaannya pengen nyolot.

Demi kesehatan jiwa, saya memutuskan untuk berlibur.

Awalnya saya berniat pergi ke Jawa Tengah. Traveling sendirian, keliling-keliling sampe bego, miskin-miskinan kalau perlu (yang diketawain semua orang dan bikin saya bolak-balik mikir: Emang salah gitu, kalo gue jalan-jalan bukan buat shopping?).

Niat itu agak goyah setelah saya ngobrol via SMS dengan seorang kawan yang baru kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan masa jabatan di Belanda. Setelah lama tidak berjumpa *alah*, saya pikir seru juga kalau ketemuan, mumpung liburan dan Neng Supersibuk ini sedang punya waktu luang.

Niat ke Jawa Tengah sama sekali berubah ketika kawan lain mengajak jalan-jalan ke Puncak. Saya mengiyakan dan langsung mengepak pakaian untuk perjalanan selama 5 hari dengan rute Puncak-Bandung-Sukabumi.

(FYI, keputusan diambil sehari sebelum perjalanan. Super dadakan. Don’t ask why.)

24 Desember, pukul 9 pagi, saya turun dari mobil dan menarik nafas dalam-dalam, menghirup kesegaran hawa Puncak. Saat yang lain asyik melihat-lihat kaktus mini dan anggrek, saya menyelinap ke kamar mandi dan membasuh wajah dengan air dingin. Segar sekali. Tidak lama kemudian, poffertjes manis-gurih dan secangkir cokelat mengepul datang –- sajian pertama dalam liburan-menyejukkan-hati.

Saya menyesap cokelat panas, mengunyah sepotong poffertjes, melihat rimbunan pohon dan pucuk gunung di luar jendela, dan merasa kepenatan saya pelan-pelan menguap. Sebagian.

Udara sejuk. Titik-titik gerimis di kaca mobil dan di permukaan kulit. Hujan lebat yang membasuh bumi dari debu polusi. Kuda-kuda yang ditudungi plastik agar tak kedinginan. Rumah peristirahatan aneka rupa dan bentuk. Nasi timbel hangat dan teh panas. Pisang goreng bersalut keju dan cokelat. Puding nikmat diguyur vla dan kue dengan rhum yang banyak. Chardonnay dengan es batu. Bercanda dan tertawa sampai sakit perut. Mengobrol sampai mulut terasa kering. Semuanya menyegarkan hati.

Esok paginya, saya sampai di Bandung. Kali ini sendirian.

Nasi goreng sosis yang gurih. Milkshake cokelat yang menyegarkan. Menitipkan tas di sebuah factory outlet supaya bisa jalan-jalan dengan santai. Numpang men-charge handphone di tempat yang sama (mokal? Iya lah. Abis gimana lagi, kepepet, hahaha!). Berburu oleh-oleh untuk si kecil Alex sambil harap-harap cemas, mudah-mudahan tas saya aman. Bertemu si Jeng yang baru kembali dari misi-menunaikan-panggilan-hati. Mencicipi Starbucks lagi, setelah berbulan-bulan (kayak di Jakarta nggak ada aja :D). Lukisan seniman tattoo yang bikin terkagum-kagum. Cerita-cerita kocak sambil cekikikan. Menghitung mobil berplat B di parkiran mal. Membahas segala hal yang tak penting. Semuanya menenteramkan hati.

Malamnya saya berangkat ke Sukabumi.

Bertemu lagi dengan Jeng ini. Shocked mendapati ternyata dia memelihara DELAPAN anjing, sementara saya paling takut dengan hewan satu itu. Sok Berakrab ria dengan anjing-anjing demi menghilangkan fobia, dan jerit-jerit ketika diterjang sampai jatuh dan digigit (nggak sakit sebenernya, malah lebih kerasa malunya, hehehe), serta belajar menghafal kebiasaan masing-masing anjing. Nasi uduk ungu plus teh panas. Pangsit pengantin dan soto mie di pinggir jalan. Lapis legit dan tiramisu lembut dengan Bailey. Menyimak foto dan cerita perjalanan. Menyusuri Sukabumi di bawah siraman air dari langit pukul 3 sore. Ngobrol sampai jam 4 pagi. Maraton menyetel dorama sampai jam 2 subuh.

Ketika saya tersadar, semua penat sudah hilang. Lenyap entah ke mana. Mungkin terbawa hembusan angin dingin yang membuat saya merapatkan jaket. Mungkin pergi bersama uap teh panas dalam hujan bulan Desember. Mungkin menyingkir ketika saya larut dalam alur dorama. Atau ketika saya cengar-cengir norak campur senang setiap kali anjing-anjing menggemaskan itu datang untuk minta disayang (dan menjilati saya dengan lidah yang basah dan hangat)...

-----

Saya memandang keluar dari balik kaca mobil.

Kabut mulai turun. Makin lama makin tebal, sampai tidak terlihat apa-apa kecuali gumpalan putih yang membatasi jarak pandang. Beberapa orang yang tadinya tidur terbangun, duduk tegak sambil mencoba memperhatikan jalan – dan sia-sia karena kabut sangat pekat dan nyaris tidak bisa ditembus lampu mobil. Mobil-mobil lain tidak terlihat. Pohon dan pembatas jalan lenyap dari pandangan, tertutup kabut putih dingin yang bergulung-gulung.

Mobil terus bergerak. Pelan dan hati-hati. Menembus kabut tanpa suara. Merayap pasti.

Menjelang tikungan, kabut mulai menipis. Setelah melewati tikungan, gumpalan putih itu hilang sama sekali, meninggalkan pemandangan yang bersih dan jernih. Semua orang dalam mobil mendesah lega.

Sambil memandang keluar –ke jalanan yang basah oleh rintik dari langit, saya membuat sebuah keputusan untuk tahun yang akan datang. Bukan resolusi dengan daftar panjang, bukan rancangan hebat disertai target, bukan pula rencana liburan selanjutnya. Hanya sebuah pilihan sederhana untuk 2008 yang akan segera menjelang.

Saya telah menetapkan untuk terus melangkah maju, ada atau tanpa kabut.


Feliz Navidad y Año Nuevo!
Merry Christmas and Happy New Year! :)

Thursday, December 20, 2007

Si Nyolot Janet

“DUUUH, DUNIA SEMPIT BANGET SIH!”

Saya menoleh, spontan mencari sumber suara itu. Teriakan itu terasa agak mengganggu, karena diucapkan dengan nada tajam dan *ehem* nyolot di antara kerumunan anak Sekolah Minggu berusia antara 2 sampai 12 tahun yang memadati aula gereja dalam rangka perayaan Natal.

There she was, duduk di atas tempat tidur dengan beberapa anak perempuan lain, sibuk menghias kaus kaki Natal dengan bahan seadanya. Dalam perayaan kali ini, semua anak diwajibkan menghias kaus kaki flanel yang nantinya akan diisi hadiah dan mereka semua menginap di aula yang sudah disulap jadi lautan matras.

Namanya Janet. Rambutnya pendek dan ia satu kepala lebih tinggi dari anak-anak seusianya. Sekilas melihat saja, ia sudah tampak menonjol. Begitu ia buka mulut, semua orang menoleh.

Sumpah, cara bicaranya sangat nyolot untuk ukuran anak SD.

Beberapa anak yang sudah selesai dengan pekerjaan masing-masing menghampiri kerumunan kecil itu dan asyik menonton sambil berceloteh ribut.

“KITA HARUS SABAR YA LON, BIKIN PRAKARYA DI RUANGAN KAYAK GINI!”

Ilona -anak yang diajak bicara- tidak menyahut. Beberapa pasang mata menatap Janet dengan sorot terganggu, tapi ia tidak peduli. Nggak nyadar, malah.

Semakin banyak anak yang datang berkerubung. Matras dan bantal diinjak-injak. Janet melirik matrasnya yang tidak jauh dari situ.

“TERUS AJA INJEK-INJEK RANJANG GUA! BIKIN TANGAN GATEL AJA PENGEN MUKUL!”

Saya menoleh ke arah yang dimaksudnya, dan melihat bocah yang dengan inosen enjot-enjotan di atas matras Janet.

Si kecil Alex.

Hayyyah.

“Janet, kamu itu terlalu jujur kalo ngomong,” cetus Ilona, yang pembawaannya halus dan sangat lembut.

“Emang.” Janet membalas cuek.

“Menurut aku kamu terlalu kasar,” sela adik Ilona.

Janet diam saja. Saya sempat mikir, “Dalem bo, daleeeem” dan menyangka Janet akan menghentikan polahnya.

Seorang guru Sekolah Minggu menghampiri Janet, memperhatikan pekerjaan tangannya dan berkomentar di depan anak-anak lain, “Ini manik-maniknya kalo ditempel di sini, warnanya jadi mati.”

(FYI, guru Sekolah Minggu ini adalah seorang bapak dua anak yang mengajar di kelas Senior.)

“TERUS AJA KASIH TAU SEMUA ORANG!!”

Buset dah.

Setelah puas melihat-lihat, saya meninggalkan mereka.

Tadi pagi, saya kembali untuk menonton anak-anak itu berburu kado Natal dan menghias ginger bread.

Setiap anak mendapat sepotong ginger bread, whipped cream, permen dan cokelat aneka bentuk untuk menghias kue masing-masing. Setelah berkeliling, saya kembali nyangkut di tempat Janet dan kawan-kawan.

Cukup lama Janet menunggu giliran untuk menyaluti kuenya dengan whipped cream, karena sendoknya hanya satu. Ketika tiba gilirannya, Janet memulas kuenya dengan hati-hati dan rapi. Setelah seluruh permukaan kue tersalut whipped cream, ia mulai mengambil cokelat mungil berbentuk bulat.

Saya terus mengamatinya bekerja. Boleh juga. Sangat cermat dan telaten, jauh lebih rapi dibanding teman-temannya.

Lumayan deh, biar galak seenggaknya kerjaannya bagus, pikir saya usil.

Tiba-tiba, seorang gadis cilik menghampiri kelompok Janet dan langsung berjalan ke arahnya.

Janet sedang berkonsentrasi menyusun cokelat supaya tidak merusak lapisan whipped cream yang mudah sekali tercecer. Badannya membungkuk, keningnya berkerut-kerut.

Bocah itu duduk persis di sebelah Janet, nyaris menempelkan tubuh ke lengan Janet, mengacungkan ginger bread yang bentuknya nggak karuan sambil berseru lantang:

“CICI JANET, LIAT DEH PUNYA AKU.”

Mampus dah.

Saya sungguh iba pada nasib si bocah tak berdosa.

Tapi Janet tidak berteriak.

Ia menoleh, memperhatikan ginger bread yang nggak jelas wujudnya itu dan berkata pelan, ”Iya, nanti ya, lagi ngerjain ini dulu.”

Bocah itu menarik tangannya dan duduk nyaman di sisi Janet, masih dengan posisi hampir lendotan di lengan Janet.

Bocah kedua datang dan melakukan hal yang sama: menunjukkan hasil karyanya kepada Janet dan menunggu komentar gadis itu.

Lalu bocah ketiga datang, dan begitu seterusnya. Janet meladeni mereka dengan sabar sambil terus berkonsentrasi menyelesaikan ginger bread-nya.

Akhirnya kue berbentuk boneka itu selesai dihias. Janet menyingkirkan sisa cokelat dan memandang ‘prakarya’nya dengan bangga. Saat itu, di sekelilingnya sudah berkumpul anak-anak kecil yang usianya tak lebih dari 5 tahun.

Saya melongo bego.

Kemana monster kecil yang tadi malam?

Usai perayaan, saya duduk di meja makan dan ngobrol dengan seorang guru Sekolah Minggu yang juga kawan saya. Saya bertanya tentang Janet dan sikapnya semalam.

“Oh, Janet. Iya tuh, semua orang nanyain tentang Janet.” Ucap kawan saya sambil cengar-cengir. “Anaknya emang gitu, tapi sebenernya dia baik. Sama anak kecil ngemong banget, malah.”

Saya kembali bengong dengan blo’on.

Di pojok ruangan, Janet sedang sibuk berfoto dengan Ilona dan adiknya memakai kamera handphone dalam berbagai gaya. Setiap kali kamera selesai dijepretkan, mereka akan berebut mengamati hasilnya sambil tergelak-gelak seru. Semuanya, termasuk Janet.

Dia tidak ada bedanya dengan anak-anak lain. Polos, heboh, ceria dan sama berisiknya.

Saya memandangnya, dan langsung merasa malu karena terlalu cepat menghakimi.

:)

Wednesday, December 12, 2007

Buon Compleanno!

Hari ini, persis setahun yang lalu, saya mulai ‘aktif’ di blogosphere, menjadi satu dari sekian ribu blogger di Indonesia (belum bisa ngomong ‘juta’, soalnya target belum tercapai -- bukan begitu, Panitia? *wink-wink*). Terinspirasi ini dan ini, saya mulai menulis entri saya yang pertama. Yayaya, saya memang suka ikut-ikutan, so what? :)

Entri ini nggak penting, tapi buat saya penting. Ulang tahun pertama selalu paling berkesan, toh?

:)

Untuk para bloghopper yang sudah meluangkan waktu untuk mampir dan mengintip blog ini –baik silent reader maupun yang merespon lewat comment box dan email- terima kasih banyak. Dukungan dan masukan kalian besar banget artinya buat saya. Tahu nggak, saya sering banget membaca ulang komentar di blog dan e-mail, dan komen-komen tersebut selalu menyemangati saya untuk tetap menulis saat saya merasa nggak PD. Terima kasih karena telah menjadi energy booster buat saya, jauh melebihi yang dapat kalian bayangkan.

Jadi, selamat ulang tahun, blog tersayang. Semoga ke depannya saya bisa terus mengisi halaman demi halaman dengan hal-hal yang berguna, di samping ngomel-ngomel curhat colongan tentunya. :)

Ti amo!

Thursday, December 6, 2007

Menemukan Surga

We just can’t be separated.”

Itu jawaban singkat teman saya beberapa minggu lalu, waktu saya keheranan melihatnya gloomy berat akibat ditinggal suami keluar kota selama 4 hari. Gak tanggung-tanggung bo, ‘perpisahan’nya pakai nangis segala.

Pengantin baru?

Nggak juga. Mereka sudah menikah selama 1,5 tahun, tapi (memang) belum pernah berpisah semalam pun.

Awalnya saya nggak habis pikir. 4 hari gitu loh. Saya sempat meledeknya,”Baru juga 4 hari. Kalo 2 minggu gimana coba?”

“Nggak boleh.” Teman saya menjawab tandas. Saya ngakak.

“Lah, tapi kalo tugas kantor kan mau gak mau?” Pancing saya.

I’ll make him say ‘no’.” Lagi-lagi ia menjawab tegas, “kecuali gue boleh ikut,” tambahnya cuek. Singkat, padat dan bikin bengong.

Mendengar jawaban itu, saya jadi terdiam.

Mungkin memang ada orang-orang seperti itu, yang saking cintanya sampai nggak bisa pisah sehari pun -- mereka yang menemukan ‘surga’ dalam diri pasangannya dan tidak sanggup ‘kehilangan’ walau sebentar saja. Sejujurnya, saya nggak bisa membayangkan apa jadinya kalau si suami harus pergi selama 10 hari, misalnya. Benar-benar nggak kebayang.

Di sisi lain, saya merasa menemukan ‘hal baru’ yang membuat saya bertanya-tanya: Kalau gue nikah nanti, kira-kira bakal kayak gitu nggak, ya?

*Uhmm… mudah-mudahan nggak. Tersiksa bo! Hehehe.

Anyway, selain gloomy berat, teman saya jadi kehilangan semangat selama ditinggal suami. Males kerja, males makan, males ngapa-ngapain. Kalau kehilangan ‘surga’, hidup rasanya kayak di ‘neraka’ kali ya? :-)

Tadi siang saya menonton acara TV yang meliput panti perawatan khusus orang cacat mental di Jawa Tengah (namanya lupa). Bukan rumah sakit jiwa, melainkan semacam asrama yang diperuntukkan bagi mereka yang menderita gangguan jiwa. Pendiri sekaligus pengelola panti itu adalah seorang pria berpenampilan ‘nyentrik’ yang sekilas tampak sangar. Tapi, ketika wajahnya di-close up dalam wawancara, sepasang matanya bersinar lembut.

“Dulu panti ini cuma diisi 5 orang,” ia memulai ceritanya, disusul tayangan yang menampilkan aktivitas sehari-hari para penghuni panti: mendengarkan ceramah, melakukan pekerjaan ringan atau sekedar duduk-duduk di beranda.

“Cara kami merawat dan menyembuhkan mereka adalah melalui pendekatan agamis,” ia kembali bertutur. Rambut keriting yang terurai panjang dan jenggot yang dibiarkan dalam keadaan serupa tidak menutupi ketulusan yang terpancar dari matanya.

“Untuk penghuni yang baru datang dan belum bisa mengendalikan tingkah laku, kami siapkan ruangan khusus berbentuk seperti sel. Kami tempatkan mereka di sana selama 3 hari, maksimal 7 hari. Setelahnya kami lepaskan, dengan syarat mereka harus membawa sebuah bangku kemana-mana. Tujuannya untuk menguji dan melihat sejauh mana mereka bisa dipercaya. Setelah itu, kami bebaskan mereka sepenuhnya di dalam panti.”

Kalimat-kalimat itu sempat membuat saya bergidik, ditambah gambar seorang wanita yang menangis keras-keras di balik pintu berterali besi. Tapi, sekali lagi, ada ketulusan dalam suara laki-laki itu. Kedengarannya kejam, tapi apa yang dilakukannya semata-mata demi kebaikan seluruh penghuni panti.

Saya terkesima.

Tidak banyak yang berani bergaul dengan orang gila, namun pria bersahaja ini menghabiskan setengah hidupnya untuk merawat puluhan orang yang terkucil dari masyarakat dan terlunta-lunta akibat gangguan jiwa.

Sebagian dari kita mungkin akan mengernyit jika melihat orang gila berkeliaran di pinggir jalan. Sebagian lagi mungkin cepat-cepat menyingkir. Sebagian lagi mungkin memilih untuk cuek. Tidak dengan pria ini, karena orang gila adalah dunianya.

Lagi-lagi saya teringat dengan teman yang mewek karena ditinggal suami selama 4 hari.

Baginya, sang suami adalah segalanya.

Akhir-akhir ini saya sedang dekat dengan Alex, putra sahabat saya (sekaligus satu-satunya anak kecil yang namanya paling beredar di sini ^_^). Belum lama ini, Alex ditinggal daddy-nya untuk perjalanan dinas selama hampir sebulan penuh (tiap minggu pulang, tapi cuma sebentar). Di minggu terakhir, Mommy menyusul. Jadilah saya menginap di rumah mereka, menjaga si kecil bersama nanny-nya.

Sebelum menginap di sana, saya sudah sering bermain dengan Alex, membacakannya buku, menemaninya jalan-jalan atau sekedar nonton TV. Tapi menjumpainya first thing in the morning, mendengarnya mengucapkan “Morning, Auntie” dengan suara cadel, memandikannya karena ia ngotot “Da au bui Ncus, bui Auntie” (terjemahan bebas: Nggak mau mandi sama Suster, mau sama Auntie), membacakannya buku sementara ia bersandar di dada saya, memeluknya, menggendong, memangku dan merasakan tubuh mungilnya bergelung nyaman dalam pelukan saya, adalah hal-hal yang sama sekali berbeda.

Mendengarkan rengekannya, menenangkannya, mengusap punggungnya ketika ia kangen pada Mommy dan Daddy mendadak menjadi sesuatu yang priceless buat saya. Mendengar gelak tawanya saat bermain kereta-keretaan, mendiamkan saat ia menangis dan membujuk sambil mengelus-elus kepalanya tiba-tiba menjadi sangat menyentuh dan meninggalkan kesan mendalam, padahal saya sudah mengenal bocah ini sejak ia lahir.

Bersama Alex menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Merasakannya bersandar di tubuh saya dan membiarkannya naik ke pangkuan saya (lalu meringkuk di sana) selalu memberikan sensasi menyenangkan yang susah diungkapkan. Kalau menurut Mbakyu ini, sepertinya itulah yang dinamakan keajaiban.

Sepotong surga dalam dunia.

Indah, bos. :-)

Iklan terakhir selesai ditayangkan (iya, ini mikirnya selama jeda iklan :-)). Wajah laki-laki bersahaja itu kembali muncul di layar. Pertanyaan terakhir si pewawancara adalah: Bagaimana rasanya hidup dengan begitu banyak orang gila?

Ia tersenyum.

“Orang gila adalah teman-teman saya. Nafas saya. Orang gila adalah surga saya.” Itulah caranya menjawab.

Saya ikut tersenyum.

Semua orang mencoba memaknai hidup dengan mencari surga dalam wujud yang berbeda-beda, menurut rupa yang terlihat oleh hati. Berbahagialah mereka yang menemukannya. :-)

Gambar diambil dari gettyimages.com