Saturday, March 29, 2008

Konversasi Akhir Minggu Lalu...

Umur yang mendekati (atau sudah melewati) seperempat abad memang bukan alasan seseorang bisa disebut DEWASA. Bukti yang tak terbantahkan untuk kasus ini ditemukan minggu lalu, dalam konversasi-konversasi tolol di sebuah restoran.

Waktu bebek panggang disajikan (dengan kepala bebek utuh):
+ Ih bebeknya ngeliatin gue! (mengambil daun selada untuk …menutup mata si bebek)
- Ngapain sih lo?
+ Abisnya gue gak enak makan diliatin!

;-D

+ Mbak, ini menu terakhir, ya?
Pramusaji: Iya, abis ini buah.
- Yah, gue masih laper nih (berpandang-pandangan dengan kecewa).
+ Ah tenang aja. Bentar lagi kan tiup lilin, trus potong kue.

;-D

Waktu melihat kondisi meja yang naas dengan piring kosong berserakan -- melukiskan rasa lapar yang teramat sangat:
+ Kenapa kita makannya ganas-ganas bener ya?
- He eh. Makanan udah abis masih laper aja. Padahal dulu kita kalo ke sini, baru beberapa menu aja udah kenyang ya.
+ Mungkin itu.. pertanda kita mulai tuir?
- Hah?
+ Iya. Dulu kan kita masih kecil. Makannya dikit…

;-D

Datanglah sepupu dari meja seberang, membawa sepiring udang:
+ Nih, buat kalian.
- Wuaaaa, ASIIIK! (lupa diri, lupa umur, lupa sikon)
+ Tapi burung daranya gue ambil ya. (sambil mengangkut beberapa potong daging burung)
- Yah… (jadi agak menyesal)

Hehehe.

*Just in case ada salah satu 'anggota pembuat kerusuhan' yang baca entri ini: I had great time, guys! ;-D

Saturday, March 22, 2008

"Titip ya, Kak."

Kali pertama (dan terakhir) saya bertemu dengannya adalah dalam bis antar kota jurusan Sukabumi-Jakarta.

Setelah dengan cakepnya ketinggalan travel, saya memilih untuk pulang naik bis. Ternyata angkutan umum itu penuh. Saya salah satu yang beruntung mendapatkan kursi terakhir. Beberapa penumpang terpaksa berdiri. Tukang jualan hilir-mudik di sepanjang lorong bis yang sempit, mengundang makian dari beberapa penumpang yang tersenggol atau terinjak, sementara asap rokok tidak berhenti menguar bagai kabut tebal. Belum lagi pengamen yang tidak berhenti naik-turun dengan penuh semangat. Tidak ada AC, jendela pun sulit dibuka. Lagipula, gerimis di luar membuat beberapa orang yang berdiri protes ketika kaca jendela digeser. Kena tampias, katanya.

Saya memangku tas berisi pakaian dan postman bag, memeluknya erat-erat dengan paranoia berlebihan. Jujur, rasanya agak gimanaa gitu. Saya yang terbiasa manja dengan kenyamanan mobil travel, mendadak merasa risih.

“Jam berapa, Kak?” pertanyaan itu membuat saya menoleh.

“9 kurang 10.” jawab saya kepada gadis berpostur imut dengan rambut pendek yang duduk berselang 1 kursi dari saya.

Ia beringsut dari tempat duduknya. “Titip tas ya, Kak. Pengen pipis,” katanya polos. Saya cuma mengangguk.

Tidak lama setelah ia kembali, seorang laki-laki setengah baya masuk dan duduk di antara kami. Mengingat sempitnya bangku yang saya duduki, saya sempat berpikir untuk meletakkan tas di rak atas kursi. Tapi niat itu gagal, karena tas saya terlalu gendut untuk dijejalkan di situ. Sama sekali tidak muat.

Udara panas mulai membuat saya gerah. Teriakan-teriakan pedagang asongan dan pekatnya asap rokok membuat saya menghela nafas. Ini bakal jadi perjalanan yang tidak menyenangkan.

Pengamen selesai mendendangkan lagu. Kantong bekas permen mulai diedarkan. Saya ingat ada beberapa lembar ribuan di dompet, tapi dompet itu ada dalam postman bag (di dalam kantung ber-retsluiting pula) yang sedang saya dekap erat-erat di celah sempit antara perut saya dan tas pakaian.

Ah, bodo deh.

Saya hanya menjawab sodoran kantung permen dengan gelengan.

Si gadis rambut pendek membungkuk-bungkuk, merogoh tas yang ditaruh di lantai bis sebagai pijakan kaki. Tidak lama, sekeping ratusan berpindah tangan.

“TAHU, TAHU, TAHU! Lima sarebu, masih anget!!!”
“KACANG! KACANG REBUS!”
“PERMEN, TISU, ROKOK! Aqua-nya, Neng?”

Saya kembali menggeleng.

“Buat di jalan? Kalo haus?”

“Nggak, Bang.” Saya mulai menyesali keputusan untuk duduk di pinggir. Sudah beberapa kali peti asongan menyerempet kepala saya, dan entah berapa kali kaki saya terinjak pedagang-pedagang slebor.

“Tisunya, Neng? Permen buat di jalan?”

“NGGAK.”

Saya memejamkan mata, berusaha tidur.

“SELAMAT PAGI BAPAK-IBU SEKALIAN, SENANG JUMPA DENGAN ANDA SEMUA, IZINKAN KAMI MENGHIBUR ANDA DENGAN TEMBANG-TEMBANG MERDU…”

D-A-R-N. This is going to be a long day.

Saya adalah tukang tidur, terutama dalam kendaraan yang sedang bergerak. Saya bahkan biasa tidur pulas di angkot (yang menurut teman-teman saya berbahaya, which is true, hahaha!). Di mobil, angkot, taksi, travel, ojek (!), saya selalu terlelap dengan mudahnya. Tapi hari ini adalah pengecualian.

Lagi-lagi saya menampik ketika kantung uang diedarkan, meski dompet saya ada di balik kain hijau penutup tas. Males, males, males.

Saya melirik ke samping. Si gadis berambut pendek kembali membungkuk-bungkuk, meraih ransel di bawah kaki. Kali ini dua keping ratusan berpindah tangan.

Dan itulah yang terjadi selama sisa perjalanan. Sekali waktu, saya ingat bahwa saya masih punya uang ribuan dalam saku celana dan memberikannya untuk seorang pengamen bersuara merdu. Tapi cuma itu. Si gadis berulang kali merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa keping rupiah untuk SETIAP pengamen yang naik ke bis. Semua pengamen dikasih!

Hebat, batin saya. Saya, tanpa alasan yang benar-benar spesifik, tiba-tiba merasa salut padanya. Entah kenapa. Mungkin karena keikhlasannya memberi. Mungkin karena kerelaannya mengulurkan rupiah demi rupiah, sementara ia sendiri hanya berbalut sehelai kaus hitam lusuh dan ransel merah kotor. Mungkin karena nurani saya ikut terketuk oleh tindakannya memberi tanpa terhalang kepapaan.

Tiba-tiba saya merasa sejuk, meski udara panas semakin menggigit.

Bis berhenti sejenak di halte Grogol. Lelaki yang duduk di antara saya dan si gadis beranjak turun. Dengan lega kami menggeser tubuh agar lebih leluasa duduk.

Pengamen terakhir meloncat naik: 3 orang bocah berumur sekitar 8 sampai 4 tahun yang membawa kecrekan dan amplop-amplop putih. Saya tersenyum geli. Mengamati tingkah mereka jauh lebih menghibur daripada mendengar nyanyiannya, karena suara mereka ...sumpah fals, bo.

Tapi mereka lucu dan menggemaskan. Beda dengan anak jalanan yang sering saya jumpai, ketiga bocah ini justru asyik bercanda dan tertawa-tawa ribut.

Saya mengambil dompet dan baru mengeluarkan selembar rupiah, ketika siku saya disenggol.

Si gadis menyodorkan uang seribuan kepada saya. “Titip ya, Kak,” ucapnya sambil menunjuk amplop putih yang saya pegang.

Saya memasukkan uang ke dalam amplop dan memberikannya kepada bocah yang paling besar. Lalu saya berpaling pada si gadis yang sudah asyik memperhatikan kendaraan di luar jendela.

Penasaran, saya mengajaknya ngobrol. Ternyata ia gadis yang supel dan tidak segan-segan bertanya balik. Ia bekerja di Sukabumi dan sedang dalam perjalanan pulang ke Pandeglang, Banten.

“Sampe sananya bisa malem, Kak. Lumayan jauh,” ungkapnya. Saya manggut-manggut sambil nyengir.

Ingatan saya cukup payah. Saya memiliki kapasitas otak yang sangat terbatas untuk mengingat nama orang. Jangankan nama, wajah aja suka nggak hafal. Bahkan setelah ngobrol cukup panjang, sampai detik ini saya tidak bisa mengingat namanya.

Yang saya ingat hanya jawaban terakhir yang diberikannya sebelum kami berpisah di terminal. Didorong penasaran, saya bertanya apa pekerjaannya di Sukabumi. Dugaan saya, dia bekerja di pabrik atau toko.

Ia memandangi saya dengan polos. Rambutnya kusut dan kelelahan membayang di matanya, tapi dia tetap tersenyum.

“Saya pembantu rumah tangga, Kak.”

Friday, March 14, 2008

I Love You!

Untuk cinta yang tanpa syarat, 24/7: I love you.

Untuk sepasang mata yang selalu bersinar lembut saat tatapan kita bertemu: I love you.

Untuk tidak pernah lupa menelepon, “Udah makan belum? Jangan lupa makan teratur, jangan kecapean kerjanya”: I love you.

Untuk obrolan-obrolan santai di dalam mobil, waktu kita berkendara menyusuri jalan tol yang lengang pada Minggu pagi atau Minggu malam: I love you.

Untuk curhat-curhatnya yang membuat saya merasa ‘penting’ dan dipercaya: I love you.

Untuk bercandaan yang garing tapi tetap kocak: I love you.

Untuk mendukung setiap pilihan yang saya jalani dalam hidup: I love you.

Untuk selalu ada bagi saya, kapan pun, dimana pun: I love you.

Untuk petuah-petuah berharga yang tidak menggurui: I love you.

Untuk nasehat-nasehat bijaksana yang tidak pernah membosankan didengar berulang kali: I love you.

Untuk memberi teladan lewat tindakan dan perbuatan, bukan kata-kata belaka: I love you.

Untuk ketekunan dan ketabahan yang membuat saya semakin mengerti makna bersyukur: I love you.

Untuk setiap tetes keringat dan tekad yang selalu saya kagumi: I love you.

Untuk kerelaannya berkorban tanpa pernah mengharap pamrih: I love you.

Untuk senantiasa menekankan bahwa yang terpenting bukanlah apa yang kita miliki, melainkan bagaimana cara kita menjalani hidup: I love you.

Untuk tetap bertahan menghadapi saya dalam masa-masa sukar dimana saya menjelma jadi perempuan paling menyebalkan sedunia: I love you.

Untuk menjadi diri sendiri; sosok yang selalu membuat saya merasa nyaman dan dicintai apa adanya: I love you.

Untuk menempatkan saya sebagai prioritas, dalam hati dan kehidupan: I love you.

Untuk mengajarkan bahwa yang terpenting bukanlah pertalian darah, melainkan cinta yang dipilin dengan ketulusan tanpa pernah mementingkan diri sendiri: I love you.

Untuk setiap helai uban dan kerut di wajah yang bertambah seiring usiamu, yang menandakan betapa lamanya kita telah bersama dan saling menyayangi: I love you.

Thank you for making me the luckiest girl on earth, Dad. I will always, always be so much proud of you.


*Terinspirasi sebuah percakapan di Minggu malam saat menyusuri tol berdua dengan Ayah, dan sebuah entri di blog ini. ;-)

Saturday, March 8, 2008

Resep Bahagia (?)

Define your happiness...















...ah, nevermind ;-D.


*Goji: semacam sari buah (yang katanya) dari Himalaya. Or something like that.

Monday, March 3, 2008

Warna-warni Februari

Lupakan banjir yang merendam rumah sampai sepinggang. Lupakan mengungsi di kantor berminggu-minggu dan memakai kemeja yang itu-itu saja (eh, tapi tetep dicuci lho! Sumpah! ;-D). Lupakan perasaan dag-dig-dug yang selalu muncul ketika hujan lebat turun. Lupakan reruntuhan tembok di depan rumah. Lupakan cat dinding yang mengelupas, pintu-pintu yang rusak dan tidak bisa ditutup, juga aroma banjir yang menyengat.

Meski sempat senewen waktu banjir kemarin, banyak hal menggembirakan terjadi di Februari ini – terutama menjelang akhir bulan, saat situasi sudah kembali kondusif. *tsah!*

Salah satunya, formulir pendaftaran yang sudah saya tunggu-tunggu sejak 2007 akhirnya datang juga. Pendaftaran apa? Ada deh. Bukannya pelit, cuma agak males cerita karena orang-orang yang sempat saya beritahu –alih-alih mendukung—malah jadi tergila-gila dengan saya (“GILA LO! Ngapain sih begitu-begituan?!” – I know, garing. Hehehe). Yang jelas, I’m so excited about it.

Selanjutnya, proyek kantor yang saya tangani 2 bulan ini akhirnya selesai juga. Beberapa rekan sempat mempertanyakan hal ini, karena di tengah-tengah pengerjaan sempat muncul beberapa masalah yang menyebabkan saya terpaksa menunda untuk waktu yang cukup lama. Deadline akhir Februari, dan ketika masalah-masalah itu datang saya sempat sangsi, bisa kelar nggak ya? Ya sudah, akhirnya modal nekat. Setiap ditanya, dengan (sok) yakin saya selalu menjawab, ”Nggak mundur kok. Tetap selesai akhir Februari.” Tanggal 22, jam 4 sore, proyek yang melelahkan jiwa raga *maap, hiperbola* itu selesai. Fiuuuuuuh.

Lalu, setelah khawatir berlebihan akibat kebanyakan nonton berita tentang situasi di Timor Leste pasca tertembaknya Ramos Horta, akhirnya saya mendapat kabar yang melegakan: Jeung ini baik-baik saja. (Ya maaf, saya memang suka paranoid teu puguh.) Abis gimana yaaa… berita tentang status darurat di daerah rawan konflik –di mana sahabat saya berada—yang berpotensi dilanda kerusuhan massal sampai tentara bersenjata dengan tank baja bersiaga di seluruh penjuru kota mungkin memang bisa menimbulkan efek berupa khawatir berlebihan. Hihihi. Belum lagi minimnya sarana yang menyebabkan komunikasi jadi terhambat. Sumpah, saya lega setelah tahu bahwa dia baik-baik saja. ;-)

Setelah cukup lama mengungsi (baca: pindah-pindah tidur sampai berasa jadi tunawisma), akhirnya saya bisa pulang ke rumah, meski aroma banjir masih setia menyapa hidung dan perabot masih berantakan – belum bisa ditata karena separuh rumah masih dalam perbaikan. Nggak apa lah, yang penting tidur di rumah sendiri, di kamar sendiri! ;-D

Setelah radang tenggorokan dan pilek yang menyiksa, akhirnya si kecil Alex kembali ceria dan bisa bermain lagi. Lari sana-sini, main sepeda pagi-siang-sore, lompat-lompatan sambil menonton Elmo, berseru-seru minta dibacakan buku, bercanda sampai tergelak-gelak… aduduh… senangnyaaa…

Tanggal 23 kemarin, di acara launching novel terbaru Sitta Karina, saya bertemu dengan teman-teman adik-adik milis yang super-heboh. Walau tidak ikut bergabung dengan kerumunan, saya cukup menikmati jalannya acara. Tidak disangka, Farida Susanty –pemenang Khatulistiwa Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat—juga hadir di situ. Saya sempat menyapa penulis berusia 17 tahun ini, dan salut dengan sikapnya yang sangat rendah hati. (Four thumbs up for you, Dear. Terima kasih atas konversasi singkatnya, yang membuat saya banyak berpikir tentang tujuan hidup dan arti pencapaian. Thanks sudah berbagi. Terus bercahaya ya, sebarkan rasa syukur, inspirasi dan kebahagiaan pada sebanyak mungkin orang ;-) )

Last but not least… novel dari penulis favorit saya –yang sudah ditunggu-tunggu sejak tahun lalu—akhirnya terbit! Saya selalu termehe-mehe membaca karya-karya Sitta Karina yang smart, witty dan ‘beda dari yang lain’. Yang paling saya tunggu-tunggu adalah saga keluarga Hanafiah yang nggak ada matinya. Sembilan novel, bow. Kapan kita bisa kayak gitu ya, Qi? ;-D

‘Seluas Langit Biru’ adalah novel favorit saya setelah ‘Pesan Dari Bintang’ dan ‘Lukisan Hujan’ (masing-masing karya penulis yang sama). Relationship Bianca dan Sora –tokoh-tokoh sentral—diceritakan dengan intens dan touchy. Bianca adalah perempuan tomboi, cuek dan saklek yang ‘unik sendiri’ di keluarga besar Hanafiah. Ketika sepupu-sepupunya menikmati kehidupan social butterflies yang serba gemerlap, Bianca memilih mendalami martial art dan menggemari segala sesuatu yang berbau ninja. Hidupnya berbalik 180 derajat ketika ia dijodohkan dengan Sultan yang gila kerja, kaku dan sedingin es, atas nama kelancaran bisnis keluarga. Belum sempat menata hati dari shock dan sindrom ‘ini-tidak-adil’, Bianca harus menghadapi kenyataan bahwa Sora –ksatria penyelamat yang dimuntahi dan diciumnya saat mabuk—adalah adik tiri Sultan.

Ending-nya tidak terlalu sulit untuk ditebak, namun alur cerita novel ini sama sekali tidak klise (walau saya sempat mempertanyakan sikap pasrah Bianca yang mengikuti perjodohan tersebut tanpa ‘perlawanan’ berarti. Menurut saya, Bianca terlalu ‘manut’ untuk ukuran cewek ninja sableng yang pernah menerobos masuk ke mansion pada malam buta ;-D). Fluktuasi hubungan Bianca-Sultan-Sora dipaparkan dengan menggelitik -- seru untuk disimak sampai halaman terakhir. Selain plot yang intens, dalam novel ini Sitta Karina memberikan banyak informasi yang memperkaya wawasan, di samping pesan moral yang diselipkan di sana-sini. Tidak sedikit penggalan cerita yang merupakan refleksi dari idealisme penulis dan sukses bikin saya ketawa-ketawa bego tengah malam, saking ‘nampol’nya. ;-D Kerennya, itu semua disampaikan dengan wajar dan tanpa berkesan menggurui.

Congratulations, Mbak. Setelah Diaz, Chris, Inez dan Bianca, ditunggu kisah Nara & Reno-nya. ;-) Eh, tapi mungkin ‘Magical Seira 3’ dulu yang bakal terbit, ya?

-----

By the way... kok tahu-tahu sudah Maret lagi, ya? Time is running so fast, kadang-kadang saya merasa ‘hilang’ dalam cepatnya perputaran waktu. Banyak yang ingin dilakukan. Ingin diselesaikan (salah satunya novel, yang tertunda entah sejak kapan). Ingin pergi ke banyak tempat, tapi padatnya aktivitas seperti memerangkap keinginan demi keinginan dalam sebuah kandang kecil.

Ya sudahlah. Mungkin nanti. Sekarang saya masih menikmati zona nyaman yang bebas resiko. Ha! ;-D

For now, selamat bulan Maret, semuanya. ;-)