Friday, October 31, 2008

Malam ini, kembali mengenangnya.

Mama, apa kabar?
Baik-baikkah di sana?
Aku kangen sekali.
It’s been a long time.

Kadang
Ingin sekali menemuimu
Menaruh kepalaku di bahumu
Meski sekejap saja

Melihatmu tersenyum
Bukan hanya di mimpi
Mendengarmu tertawa
Yang bukan cuma di ingatan

Menjajari langkah-langkah gesitmu
Yang selalu terburu
Dan berseru,
Jangan cepat-cepat, kakiku tak cukup panjang.

Menjengukmu di dapur
Dengan daster dan rambut diikat
Mencoba membantu
Dan dimarahi karena membuat kotor

Mengadu di saat susah dan sebal
Selalu senang
Mendengar diriku dibela
Meski tak jarang aku yang salah

Mendengar namaku
Dalam doa yang kau bisikkan
Pagi, siang, petang
Tanpa jemu, tanpa lelah

Membaca ucapan ulang tahun
Berisi kata sayang dan wejangan
Agar selalu aku jadi anak yang baik
Dan semua hadiah lain tak lagi penting

Menemanimu di kamar, ruang tamu, meja makan
Bahkan ketika kau terlalu sakit
Untuk bisa menyambutku.
Sekadar bersamamu sudah cukup.

Menatapimu yang tertidur lelap
Bersyukur karena kau tak lagi didera
Memandangmu yang pulas dalam damai abadi
Berbahagia untukmu, meski aku ingin engkau selamanya ada.


Mama, apa kabar?
Indahkah di atas sana?
Aku kangen sekali.
:-)


Malam ini, empat tahun sudah saya mengenangnya. Dia tak akan terganti.
I love you, Mom.


*Ditulis sambil mendengarkan lagu ini.

Monday, October 27, 2008

Belajar dari Teletubbies

Satu senyuman. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Pernah dengar bahwa pelukan adalah nutrisi bagi jiwa?

Belum pernah?

Sekarang saya bilang lagi: pelukan adalah nutrisi jiwa.

Iya, benar.

Tidak percaya? Coba saja.

Kamu pikir, apa sebabnya Tinky-Winky, Dipsy, Lala, dan Poo selalu tersenyum?

Karena meski terhalang perut gendut dan kepala sebesar baskom, mereka tak pernah alpa berpelukan.

Karena perbedaan warna tak membuat mereka absen menyayangi.

Karena ukuran tak menghalangi mereka untuk berbagi cinta, meski ditontoni orang sejagat raya.

Pelukan adalah nutrisi jiwa. Suplemen hati yang tak perlu dibeli di toko obat.

Tidak percaya?

Kamu pikir, apa sebabnya Teletubbies tak pernah menangis?

Ah, sekarang kamu bilang saya konyol. Teletubbies hanya tokoh fiksi anak-anak.

Tapi, toh mereka tersenyum.

:-)

Jadi, ayo, ayo, belajar dari Teletubbies.

Satu senyuman setiap hari. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Cairkan penat di hati. Semaikan cinta. Dan rayakan kehidupan.

Friday, October 24, 2008

Saya tak mengenalnya. Tapi entah kenapa saya yakin sekali ia orang yang baik. Dalam arti sebenar-benarnya.

Saya tak mengenalnya. Tapi ada sejumput ngilu yang tebersit ketika mendengar kepergiannya.

Saya tak mengenalnya. Saya tak tahu untuk siapa harus berduka, dan mengapa. Namun itu tak penting.

Selamat jalan, Ruri.

Sunday, October 19, 2008

?

Seorang anak bertanya kepada Tuhan:

Engkau itu sebenarnya siapa?

Tuhan balas bertanya:

Menurutmu, siapa aku?

Anak itu terdiam, lama. Matanya mencari. Tapi yang ada hanya sosok familiar yang dijumpainya setiap hari sebelum ia berani menanyakan hal paling muskil di dunia.

Sosok itu menemuinya tiap malam saat ia duduk bersimpuh dengan tangan terkatup. Sosok itu mengabulkan doa-doanya dan mewujudkan mukjizat dengan cara yang tak terselami akal. Sosok itu berada di sana, mendengar semua keluhan dan ocehnya yang disampaikan dalam larik-larik kalimat bernama doa. Namun ia masih merasa asing. Hatinya kerap tak puas, sibuk mendamba, entah apa.

Mempertanyakan keberadaan Tuhan yang hakiki sama saja menyangkalnya. Ia tahu itu. Sejak kecil ia telah diajari untuk tidak mendebatkan Tuhan yang mahakuasa. Tuhan itu ada untuk disembah. Untuk diagungkan. Untuk menerima dan menjawab doa. Sejak belum fasih bicara ia telah mendengar itu. Sejak belum lancar berjalan ia telah duduk dalam kumpulan orang-orang suci; mendengarkan kidung yang tak dipahaminya, berdiri tertatih mencoba mencerna dengan akal secuil. Tahun-tahun berlalu, tak pernah sedikitpun ia sangsi dirinya akan masuk surga begitu habis masa kontraknya dengan dunia. Kavling itu telah dipatok atas namanya; orang saleh yang taat beribadah dan tak pernah melenceng dari ajaran agama. Tak sekejap pun ia meragu.

Namun, jiwanya tak pernah berhenti mencari. Sesuatu, entah apa. Ada sepotong rindu yang terus mengusik, mengingatkan bahwa pencarian itu belum selesai, meski ia tak tahu apa yang perlu ditemukan. Karena itu, malam ini diberanikannya dirinya. Mengangkat kepala yang selalu tertunduk. Melepaskan jemari yang selalu bertaut. Berdiri tegak bagai menantang. Menatap sosok dalam balutan putih yang bergeming dalam segala kemahakuasaannya:

Engkau itu sebenarnya siapa?

Sosok itu balas bertanya:

Menurutmu, siapa aku?

Lelah sudah ia. Murka, ditudingnya sosok itu. Sosok yang bertahun-tahun dipujanya. Disembahnya tanpa pertentangan. Diagungkannya tanpa penat dan bosan, meski hatinya tak pernah berhenti mendamba.

Apa susahnya bagimu untuk menjawab?!

Sang sosok tersenyum.

Kau tak memerlukan jawaban. Yang kau butuhkan hanya terus bertanya. Dan lebih banyak bertanya.

Kali ini, gantian si anak bergeming. Matanya menyala. Namun riak hatinya tak sedahsyat tadi. Setidaknya, sosok sialan di depannya sudah bicara lebih dari satu kalimat. Itu sebuah kemajuan.

Apa maksudmu? Jelaskan. Buat aku mengerti.

Belum lagi kalimatnya usai, sosok itu sudah menghilang. Lenyap tanpa bekas bagai ditelan kabut tak berwujud. Menyisakan kebingungan yang kian lama kian hampa.

Si anak menatap nanar. Tak sanggup terisak, apalagi terbahak. Hanya mampu diam, mencoba mencerna penjelasan sepotong dari sosok yang sejak kecil dipanggilnya Tuhan. Yang disembahnya tanpa syarat. Yang diagungkannya tanpa prasangka. Malam ini, seluruh keyakinannya terguncang. Tuhan yang sudah disapanya sejak lidahnya belum fasih berucap bahkan tak sudi diajak berkenalan.

Malam-malam berikutnya, ia langsung naik ke tempat tidur. Tanpa merasa perlu bersimpuh dan mengatupkan tangan. Selimut langsung ditarik menutupi dagu. Mata terpejam rapat. Tak ada lagi larik-larik kalimat bernama doa. Tak terdengar lagi lantunan kidung merdu bernafaskan ibadah. Lantainya terlalu dingin untuk dijadikan alas lutut telanjang. Malam terlalu singkat untuk dihabiskan dengan celoteh-celoteh panjang. Dan kebisuan itu terlalu menyakitkan untuk dilewati sendirian. Yang tersisa hanya kegelapan dan sunyi. Hingga pagi menjelang.

Ia tak menyesal.

Mungkin memang lebih baik begitu. Mungkin teka-teki itu memang tak butuh pemecah. Mungkin pertanyaannya memang tak berjodoh dengan jawaban.

Mungkin yang perlu dilakukannya hanya terus bertanya. Dan lebih banyak bertanya. Sampai tiba waktunya nanti.

Entah kapan.

Wednesday, October 15, 2008

Semacam Agak Kelewatan

Yayaya, saya juga suka males ngembaliin barang yang nggak jadi dibeli ke raknya. Apalagi kalau di supermarket besar dan udah terlanjur jalan jauh, paling enak memang asal taruh… toh nanti juga ada karyawan yang menemukan dan mengembalikan ke tempat semula.

Tapiii, seasal-asalnya, mbok yaooo.....



;-D

Sunday, October 12, 2008

Bukan Cuma Cinta

Sunyi ini merebak. Kita berhadapan dalam hening. Perlahan, kurasakan damai yang indah ketika tatapan kita bersua.

Keindahan ini tak tertakar bahasa dan tak terjabar kata, mungkin kau merasakan hal yang sama.

Saat aku mendengarmu bicara dan mendadak yang ada hanya kita, karena suara-suara lain tak mampu meredam percakapan jiwa ini.

Saat kita saling menyimak dan kusadar, lewat kamu, aku memperoleh hadiah terindah di dunia.

Saat aku merasa bahagia sekaligus takut kehilangan, sampai akhirnya aku memilih untuk tak menggenggam, hanya mengamati.

Saat kita berdekapan dan kutemukan diriku dalam detak jantungmu; kala pelukmu mencairkan taring-taring es di hati dan aku luluh bersamanya. Jiwa kita menari, dan seketika kutahu kamu dan aku adalah satu.

Dan meski akalku tak sanggup mencerna mengapa kau terbahak tanpa alasan, mengapa kau terjungkir tanpa sebab, mengapa kau terpaku menatapiku tanpa kedip, mengapa kau mengerang seolah kesakitan, mengapa kau bergaya bak Kung Fu Master (dan malah mengingatkanku pada film anak-anak dengan tokoh panda gendut tukang makan), mengapa kau membuat ekspresi lucu dan nyaris membunuhku karena kebanyakan tertawa, entah bagaimana, aku bisa memahamimu.

Kau tahu, separuh otakku memberi sinyal untuk kabur mendapatimu bertingkah aneh, melotot, bermuka lucu, bersenandung tanpa lirik, berkumur-kumur tanpa arti. Namun jiwaku ingin mendekapmu erat karena di sana kudapati kesempurnaan yang tak butuh skenario.

Aku begitu lelah mencari Tuhan, sampai kurela menyerahkan nyawa hanya untuk bertemu denganNya barang semenit-dua. Sekadar bersua dan menyapa, memberitahuNya aku kangen Dia, meski setelah itu aku mati. Akan kuberikan semua, tanpa batas, tanpa syarat, karena jiwaku telah penat mencari.

Aku tahu Dia selalu menjawab doa. Namun tak pernah kusangka Dia punya begitu banyak rupa. Tak pernah sekali pun terbersit, barangkali sebenarnya Dia tak sejauh yang kukira. Tak pernah aku tergoda berpikir, mungkin Dia begitu nyata, hanya aku yang tak menyadarinya, karena batin ini terlalu lama terkungkung dalam cangkang.

Aku tahu Dia selalu menjawab doa. Namun yang terpampang dalam benakku adalah Dia hadir bagaikan kembang api; semarak, penuh warna, meletup gegap-gempita.

Kau tahu, seperti apa rasanya ketika Dia betul-betul menjumpaiku?

Mercon yang meledak di jempol kaki mungkin lebih pas untuk menggambarkannya, ketimbang kembang api warna-warni nan meriah.

Tak perlu banyak suara. Cukup sekali letus, dan kau tahu telah mengalaminya, lebih dari apa pun yang dapat diungkap panca indera, melampaui apa yang sanggup diterangkan logika.

Kau tahu, mati-matian aku mencari kosakata untuk merangkai pengalaman ini, dan akhirnya aku menyerah. Kalimat panjang tak lagi banyak gunanya, dan otakku sudah kehabisan energi untuk memilah kata-kata berpuisi.

Aku berhenti mencoba. Yang ingin kulakukan kini hanya merengkuhnya erat, selama aku masih diijinkan. Mereguknya sepenuh jiwa, karena aku telah lama kehausan. Kata-kata tak lagi cukup, dan barangkali memang tak perlu.

Kau tahu apa yang paling ingin kusimpan dalam celengan memoriku?

Damai tak terperi yang meringkusku saat pandangan kita bertemu. Bahagia yang memberangus saat jiwa kita bercengkerama dan hatiku tak lagi tandus. Detak jantung dan irama nafasmu saat kita berdekapan dan semuanya menjadi sakral.

Selamanya aku tak ingin melupakan tatap matamu. Karena di dalamnya aku bersua dengan Diri. Karena di dalamnya kutahu aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Karena di dalamnya kudapati Aku yang sejati. Aku yang tak cuma nama. Aku yang tak hanya statistik. Aku yang tak terperangkap identitas.

Entah pengalaman ini datang atau pergi, tergenggam atau tergelincir, nyata saat ini atau basi esok pagi, entah ia menetap atau sekadar mampir, tiga puluh menit menyibak diri bersamamu adalah momen yang ingin kuawetkan selamanya.

Karena di sana aku menemukan Tuhan.

Dan kuyakin, ini bukan cuma cinta.

Ini surga.


*Inspired by Dyad experiencesebuah momen yang akan selalu terangkul sepenuh hati.

**Untuk semua partner Dyad saya, terima kasih atas keindahan dan kegilaan yang kita bagi dalam hening, ketika kehadiran kalian menolong saya untuk menyibak lapisan demi lapisan terdalam diri. Semoga tulisan ini dapat memberi arti pada momen ajaib yang kita alami bersama, meski ia tak terukur kata. :-)

Tuesday, October 7, 2008

Untuk Kamu, Han :-)

Terima kasih banyak...

... untuk setiap momen, setiap detik, yang selalu membuat saya takjub dan tak habis-habisnya jatuh hati pada kehidupan.

... untuk setiap kesempatan (dan pilihan) untuk bertumbuh menjadi lebih baik setiap harinya.

... untuk peristiwa-peristiwa ajaib yang berulangkali membuat saya terbengong-bengong karena tak pernah menyangka akan bisa mengalaminya.

... untuk setiap manis dan pahit yang silih berganti hadir dalam hidup ini, dan membuatnya semakin kaya makna dan warna -- meskipun ketika hal-hal tak enak terjadi, saya kerap merasa frustrasi dan menyumpah-nyumpah teu puguh. ;-)

... untuk tidak pernah jemu mengingatkan bahwa ada begitu banyak hal dalam hidup yang patut disyukuri, jauh melebihi apa pun.

... untuk setiap tarikan nafas, udara segar pagi, sinar mentari, semburat langit senja, aroma tanah, air putih sejuk, binar mata kanak-kanak, humor garing yang sungguh tak penting, dan tertawa sampai sakit perut, yang menjadikan setiap hari layak dirayakan dengan penuh syukur.

... untuk menjadi Sahabat superkeren yang selalu bisa diandalkan setiap saat dan selalu bersedia dihubungi kapan pun. Terima kasih karena senantiasa bersabar, tidak pernah bosan menyediakan telinga, dan tidak pernah bete mendengarkan ocehan-ocehan saya.

... untuk selalu menjawab doa-doa saya, yang tergila dan ter-absurd sekalipun.

... untuk membuat saya jatuh cinta, lagi dan lagi. PadaMu. Pada hidup, yang tak henti-hentinya membuat saya terpukau sampai kata-kata kehilangan makna. Pada setiap momen, setiap milisekon, yang berulang kali membuat saya bersyukur bahwa saya terlahir ke dunia, sebagai saya. Apa adanya.

... untuk mengenalkan saya pada setapak panjang bernama Kehidupan, dan menuntun saya untuk berjalan di dalamnya, langkah demi langkah. Merunut jengkal demi jengkal tanpa pernah sekalipun melepaskan tangan saya.

... untuk tak putus mengajarkan kepada saya makna cinta, dan menjadi Cinta itu sendiri. Seutuhnya.

Dan yang terpenting dari semuanya... terima kasih karena selalu ada.

Sungguh, terima kasih banyak.

:-)


I’ve seen the tears and the heartache, and I felt the pain
I’ve seen the hatred in so many lives, and lost in vain
And yet through this darkness there’s always a light that shines through
And takes me back home

All of the promises broken
And all of the songs left unsung
Seems so far away as I make my way back to you

You gave me faith and you gave me a world to believe in
You gave me a love to believe in
And feeling this love I can rise up above
And be strong and be whole once again

I know that dreams we hold on to, can just fade away
And I know that words can be wasted with so much to say
And I when I feel helpless there’s always a hope that shines through
And makes me believe

And I see for one fleeting moment
A paradise under the sun
I drift away and I make my way back to you

Life goes on
Can leave us with sorrow and pain
And I hold on
To all that you are
To all that we’ll be
And I can go on once again

Cause your love heals my soul once again
I can live and I can dream once again
Cause you made me believe

(A World to Believe in – Celine Dion)

Saturday, October 4, 2008

...dan makhluk itu bernama Cinta.

“Itu siapa?”

Saya mengalihkan perhatian dari layar laptop dan menoleh ke arah yang ditunjuk teman saya dengan dagunya.

Seorang bapak tua baru saja memasuki ruangan seminar tempat kami menjadi panitia. Seminar tersebut dilangsungkan selama sembilan hari dan diikuti oleh peserta dari berbagai kota. Selain menjadi seksi sibuk yang merupakan kewajiban setiap orang berlabel panitia, saya juga kebagian tugas mendata dan mengumpulkan foto setiap peserta.

“Nggak mungkin peserta,” saya menjawab pelan, supaya tidak terdengar oleh si bapak yang kini sibuk menata bawaannya di pojok ruangan, tanpa permisi sama sekali, bahkan tanpa memandang kami. Barang-barangnya tidak terlalu banyak, hanya sebuah ransel lusuh dan dua dus berukuran sedang yang tampak kontras dengan karpet tebal dan interior ruang seminar.

Teman saya menghampirinya dan berbasa-basi menanyakan namanya. Setelah menjawab sekenanya, bapak tua itu menarik sebuah kursi yang menganggur di sudut, duduk bersandar di sana, dan tidur.

Hayah.

Saya dan teman-teman panitia cuma bisa berpandang-pandangan.

Tabir misteri itu baru tersingkap ketika si bapak membuka matanya yang memerah dan tersenyum penuh kantuk. Ternyata beliau hanya tidur-tidur ayam (BTW, ada yang bisa menjelaskan kenapa disebut ‘tidur-tidur ayam’? Hehehe).

“Saya mau nengok istri,” jelasnya sederhana. “Dia ikut seminar di sini.”

“Nama istrinya siapa, Pak?”

“Indrawati.”

Saya terdiam. Pandangan saya beralih ke balik pintu kaca, tempat dimana para peserta mengikuti jalannya seminar.

Itu dia. Orang yang dimaksud sedang duduk di deretan tengah, agak ke belakang. Penampilannya sangat sederhana. Rambutnya yang keabuan disanggul, punggungnya sedikit bungkuk dan wajahnya yang berkeriput tampak lelah, namun ia tetap semangat menyimak seminar. Sibuk mendengarkan dan mencatat.

Ibu Indrawati adalah peserta tertua yang berasal dari Salatiga, Jawa Tengah. Ragu-ragu, saya melirik si kakek.

“Bapak dari mana?” Saya bertanya hati-hati.

“Salatiga,” jawabnya sambil tersenyum, memamerkan gigi-gigi kecoklatan yang sebagian sudah mengeropos, bahkan patah.

“Di Jakarta Bapak tinggal di mana?” Saya penasaran.

“Ada saudara di Kramat,” ia menjawab dengan mata berkaca-kaca, sepertinya masih ngantuk berat. “Tapi saya ndak lama di sini, paling dua hari. Habis itu pulang ke Salatiga.”

“Kangen sama Ibu ya, Pak?” Duh, Bapak, maafkan saya yang terlalu cerewet, tapi sungguh saya tak bisa menahan diri untuk terus bertanya.

Beliau tidak menyahut. Hanya senyumnya yang merekah semakin lebar. Dan binar matanya lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan saya.

Saya meninggalkan beliau dan kembali ke kursi saya (karena ‘kembali ke laptop’ agak mengingatkan pada bapak pelawak berinisial T ;-D). Sambil mengetik, berulang kali saya menengok ke arahnya (bapak tua, bukan bapak pelawak – ini apaan sih? Hahaha!). Menatapi punggungnya. Mengamatinya bersandar di sana dan tertidur pulas. Sekadar melihat tanpa bersuara.

Jam makan siang tiba. Para peserta berhamburan keluar, berebut menyerbu tumpukan kotak styrofoam putih yang berisi makanan dengan ganas. *Ehm, nggak usah dibayangin, hiperbola. ;-)*

Bapak tua itu tak ikut beranjak, agaknya maklum bahwa ia tak mendapat jatah karena bukan peserta. Namun matanya mencari-cari.

Sosok yang ditunggunya keluar tak lama kemudian. Mereka saling merangkul. Di depan orang-orang yang lalu-lalang. Dengan ransel lusuh dan dus-dus Aqua diikat tali rafia yang kontras dengan karpet tebal dan interior ruangan.

Untuk sejenak, ruangan itu hanya milik mereka berdua. Dan tak ada lagi yang nampak kontras di sana.

Ijinkan saya punya cinta seperti itu jika saya tua nanti, saya membatin, entah pada siapa.

Cinta yang tak lekang oleh wajah keriput, rambut beruban, gigi keropos, ransel lusuh dan pakaian seadanya. Cinta laksana embun pagi, sinar mentari, dan semilir angin yang selalu ada setiap hari. Sederhana, dan senantiasa baru.

-----

Dalam perjalanan pulang, saya duduk di angkot dan tak henti-hentinya berpikir. Bukan tentang bapak tua dan istrinya. Belakangan ini otak saya dipenuhi begitu banyak persoalan, yang kalau dipikir-pikir lagi, kebanyakan sampahnya daripada pentingnya. Namun sampah-sampah itu tak sudi pergi meski saya sudah berusaha keras. Semakin ditepis, semakin awet bercokol.

*Oh, well, what you resist persists, right? ;-)

Lelah. Jengkel. Muak.

Khawatir. Risau. Gelisah. Tak menentu.

Jalanan macet. Udara gerah. Penumpang berjejalan. Keringat bertetesan.

Hidup saya sebulan terakhir. Rollercoaster tanpa ujung. Tanpa operator, tanpa karcis, tanpa durasi, dan saya tak bisa berteriak minta berhenti meski sudah penat meluncur naik-turun.

Saya duduk bertopang dagu, menghela nafas dalam-dalam.

Angkot berhenti di pinggir jalan. Seorang ibu yang sedang menggendong anak berjalan mendekat. Spontan saya menggeser tubuh, merapatkan diri ke sudut. Tempat yang tersisa hanya cukup untuk satu orang. Si ibu harus memangku anaknya selama perjalanan.

Pintu angkot yang terlalu rendah membuatnya terpaksa mengeluarkan upaya ekstra untuk bisa masuk dan duduk di samping saya. Seketika pandangan seluruh penumpang tertuju pada sosok sederhana berbalut jarit itu.

Bocah yang digendongnya menderita hydrocephalus.

Tidak ada penumpang yang bersuara tatkala si ibu membetulkan posisi duduk anaknya agar nyaman dipangku dan meluruskan letak kain jarit di sekeliling tubuh si bocah, melindunginya dari hembusan angin.

Si bocah mengeluarkan suara-suara aneh. Baru saya sadar, bibirnya tak mampu mengatup. Kedua mata dan mulutnya tertarik sedemikian rupa hingga terus mendelik dan menganga.

“Haaaa... aaaaaa... haa.”

Sang ibu tertawa pelan mendengar bahasa yang hanya dipahami mereka berdua. Ia mengangguk-angguk, senyumnya lepas tanpa beban. Ia merogoh tas, mengeluarkan dot dan memasukkannya ke mulut si bocah.

“Umurnya berapa, Bu?” seorang penumpang menyela aktivitas kecil itu.

“Lima,” sang ibu menjawab ramah. Tak disangka, bocah di pelukannya ikut tersenyum. Seolah mengerti apa yang sedang diobrolkan dan menganggapnya lucu.

“Haaaa... aaaaa... aaaa.”

Senyum itu terus merekah dari mulut yang tak mampu mengatup dan disumpal dot bayi. Bahkan sepasang mata yang mendelik itu ikut tersenyum. Kepala yang terayun lemah dalam gendongan sang ibu tak sanggup menahannya untuk membagi kegembiraan pada seluruh penumpang angkot yang kini menontoni mereka.

Sang ibu mengayun anaknya perlahan. Menyambut senyumnya dengan mata berbinar, seolah ingin berkata sederhana, “Aku sayang kamu, apa adanya.”

Mata saya membasah.

Mendadak, seluruh jaringan kusut di otak saya kehilangan maknanya.

Mendadak, apa yang saya sebut beban dan masalah seperti mengambang begitu saja, menyisakan ruang hening, dan saya terhanyut di sana.

Mendadak, saya tak peduli lagi pada rollercoaster yang masih terus meluncur naik-turun, dengan saya di dalamnya. Tak ingin berteriak minta berhenti.

Jenis cinta apa yang kau punya, Ibu?
Aku ingin sekali memilikinya.

Cinta itu tak terbeli, dan tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun, si anak telah mendapatkannya. Lunas.

Mendadak, saya hanya ingin punya cinta.


secarik kenangan yang tersisa, agustus 2008