Friday, November 28, 2008

kepada yang merasa media gosip se-tanah air

Ketika kau gebrak itu pintu mobil
Sambil berteriak-teriak tak karuan seperti menyerbu maling
Dengan kalimat yang membuat pekak telinga dan nyali ciut
Sadarkah kau berapa yang terduduk lemas di balik kaca itu?

Ketika kau ketok itu palu untuk menjatuhkan vonis atas hidup orang
Adakah benakmu berbisik, salahkah ini
Atau memang otakmu tak lagi punya ruang untuk hati?

Ketika kau curi itu orang punya suara
Lalu kau palsukan, dibalur narasi dan aksara
Seperti pil pahit bersalut gula untuk membohongi lidah
Pernahkah kau bertanya apa karmamu kelak?

Ketika kau pakai itu orang punya nama
Dan kau jejalkan di bawahnya kebohongan demi kebohongan
Sempatkah kau berpikir, bagaimana kalau namamu yang ada di sana?

Ketika kau hujani itu orang punya hidup
Dengan lampu sorot besar-besar untuk kau kulik
Dan kau jadikan komoditi tanpa peduli bahwa orang juga berhak punya privasi
Tahukah kau resah dan gelisah yang hadir merampok batin?

Ketika kau angkat itu lensa hitam tinggi-tinggi
Dan kau dekatkan tigapuluh senti dari wajah seperti polisi memburu tersangka
Adakah kau mengerti semburat teror yang berlintasan di sana?

Jadi, kawan-kawan tersayang, teruslah mendulang apa yang kalian sebut rezeki dengan mendagangkan sejumput hidup orang. Tak usah khawatir akan karma, fakta dan etika, karena di sini kita cuma berdagang, dan dunia yang kita tinggali memang tak menyisakan tempat untuk nurani. Teruslah bekerja, dan sebut itu karya. Sebut yang kau kabar-kabari itu informasi faktual, akurat, terpercaya, setajam silet. Teruslah merampok hak dan kebebasan orang lain untuk punya ranah privat, toh kita cuma sama-sama cari makan. Toh, mereka yang terus kalian kutak-katik itu hanya segelintir orang yang sial karena ketempelan cap publik figur.

Saya di sini, menonton. Anda dan lakon-lakon yang silih berganti menjelmakan dagelan di panggung berjudul industri hiburan ini. Karena cuma itu yang saya bisa.

Kendati ini bakal sia-sia, saya tetap belum bosan berharap dan menunggu
Saat ketika manusia bisa jadi manusia.

:-)

Monday, November 24, 2008

Ta' Sobek-Sobek!

--pluk--

Saya meraba telinga kanan, lalu memungut kabel hitam tipis yang tergeletak di pangkuan. Kembali memasang earphone yang sudah berkali-kali jatuh sambil menghela napas panjang. Sejak tadi, hanya itu yang saya lakukan. Berulang-ulang menarik napas. Bukan karena earphone yang sudah uzur dan minta di-lem biru (lempar, beli baru), namun karena topik program radio yang sedang saya dengarkan sangat menguji kesabaran mental.

Penyesalan mulai merambat naik. SMS yang dikirimkan sahabat saya –narasumber tetap siaran radio gila (atau narasumber gila siaran radio tetap? Au ah. *wink-wink*)— tepat sebelum siaran dimulai sudah cukup memicu kecurigaan bahwa topik pagi ini akan mengusik kesejahteraan jiwa. Still, saya memasang earphone dan mencari-cari gelombang yang tak pernah berhasil saya hafal frekuensinya.

Topik yang menjadi objek pembahasan kali ini adalah tema yang sudah berkali-kali kami (saya dan sahabat) obrolkan dan selalu berhasil membuat saya cengar-cengir sebal, yakni mengenai penilaian yang tidak seimbang tentang uang, mentalitas ‘punya tapi miskin’, perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari (gila diskon, refleks menawar sampai ke satuan terkecil, penerapan ‘hemat pangkal kaya’ nan hiperbolis, perhitungan yang akurasinya sangat terjamin –kalau soal uang, ya. Soal lain mah belum cenchu- irit-pahit-medit, de-el-el. Yang belum tinggal bikin berhala dari duit aja)... sampai dampaknya terhadap ketenteraman batin.

Setiap kali pembahasan itu muncul, saya hanya mesam-mesem konyol dan membela diri sebisanya, atau balas nyeplos sekenanya. Tak pernah menganggapnya serius. Sampai sahabat saya nyeletuk bahwa ia berniat mengadakan seminar dimana pesertanya diharuskan membakar uang dan menggunting kartu diskon demi mengikis mentalitas ‘berduit tapi miskin’ yang meracuni pikiran seperti asap hitam knalpot bis kota –mengaburkan kejernihan pandang dan membuat sesak napas— saya masih mengira bahwa ia cuma bercanda. Main-main. Tidak sungguhan. Orang gila mana yang nekat membakar uang yang diperoleh dengan kerja keras? Emangnya duit turun dari langit?

Untung tak dapat diraih, malang tak da *...ah, sudahlah*. Ternyata, sahabat saya tidak bergurau. Bedanya, ia tidak benar-benar membuat seminar, melainkan mengangkat topik tersebut dalam pembahasan radio hari ini. Lengkap dengan latihan bakar-membakar, yang demi keamanan lingkungan, diganti dengan sobek-menyobek. Iya, uang. Bukan kertas bekas, bukan bungkus pisang goreng. Dan saya merasa ‘terjebak’.

Separuh otak saya langsung ribut menyuruh mematikan radio, namun untuk alasan yang tak pasti, saya malah terus mendengarkan. Setiap jeda iklan dan lagu, saya berulang kali tergoda menekan ‘switch off’ dan melanjutkan tidur, tapi sinkronisasi tidak berlaku pagi ini.

Dan terjadilah momen sialan bersejarah itu. Sahabat saya mengeluarkan selembar limapuluh ribuan (iya, uang. Bukan daun singkong) dan mendekatkannya pada microphone (eh, dideketin nggak sih? Pokoknya gitu lah). Bunyi sobekan yang terdengar –lambat dan jelas— nyaris mengubah saya menjadi psikopat.

Limapuluh ribu. D i s o b e k.

Dan masih banyak orang di luar sana yang nggak bisa makan.

Yang nggak mampu beli baju.

Yang nggak sanggup bayar uang sekolah.

Yang banting tulang jadi kuli demi mengais rupiah dan bisa mati setiap saat ketimpa beton.

Yang jualan koran di lampu merah saat panas terik cuma supaya bisa dapet sepuluh-duapuluh ribu.

Yang ngesot-ngesot mengemis di pinggir jalan.

Yang naik-turun ngamen di angkutan umum dengan resiko kelindes kontainer.

Limapuluh ribu. D i s o b e k.

Dan ia masih berani mengajukan ‘saran’ kepada pendengar untuk melakukan hal serupa. Tidak harus sama jumlahnya, boleh mencoba dengan nilai satu persen dari total gaji.

Tidak banyak, memang. Katakanlah gaji yang didapat satu juta, maka yang disobek ‘hanya’ sepuluh ribu rupiah.

Tapi kan, bok... TETEP AJA DUIT!!!

Siaran selesai tak lama kemudian, dan saya sungguh penasaran ingin melihat tampang para host yang agaknya tidak kalah shocked dengan latihan berbasis terapi itu. Saya meraih dompet dan melangkahkan kaki ke warung nasi untuk membeli sarapan. Tapi, sepanjang jalan, benak saya tak henti-hentinya bergemuruh. Entah kenapa. Saya kehilangan konsentrasi dan hanya berjalan menyeret kaki seperti orang bodoh. Untung nggak ketabrak truk.

Sekembalinya ke kosan, saya duduk di ruang tamu dan menyantap sarapan sambil terbengong-bengong. Seperti orang ‘hilang’. Pikiran saya menolak diajak berfokus, namun saya juga tak mampu mencermati kemana ia mengembara.

Mendadak, entah darimana datangnya, saya merasakan sesuatu ‘bergolak’ di dalam diri. Saya bahkan tidak sempat menelusuri sumbernya, karena ia muncul begitu saja tanpa terbendung. Campuran antara sengit, kesal, dan tidak rela. Ingatan tentang suara uang yang disobek semakin memicu refleks untuk mengambil pisau dapur dan memutilasi orang. Semakin mengingatnya, semakin saya membenci ‘adegan’ itu. Semakin saya bersumpah TIDAK AKAN PERNAH melakukan ketololan kegilaan serupa. No freaking way, orang Sunda bilang.

Namun, sebagaimana sinkronisasi tidak berlaku pagi ini, tangan saya justru memunculkan respon berkebalikan.

Cepat, tanpa berpikir, saya mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dari dalam dompet. Kemudian merobeknya sekuat tenaga persis seperti perempuan yang baru patah hati menyerpih koleksi surat cintanya sampai potongan terkecil. Setelah sobekan-sobekan itu teronggok di atas meja –sekumpulan kertas yang kini tak lagi punya makna—barulah saya merasakan sensasi lain: dada saya sesak oleh luapan emosi. Bahkan tanpa saya tahu kenapa.

Amarah itu menggelegak. Seperti air mendidih yang siap meluber. Saya merasa perlu masuk ke dalam gua demi menetralisir emosi, atau saya akan mencekik makhluk hidup pertama yang saya temui. Saya merasakan kemarahan yang amat-sangat, entah pada siapa. Tanpa alasan spesifik.

Ketika wajah sahabat saya hadir dalam benak, percikan api itu seperti bertemu bensin. Stimulus yang cukup fatal. Saya betul-betul marah. I seriously wanted to murder him. Dan berhubung sahabat saya akan menjalani trip ke luar negeri dalam waktu dekat, saya sempat berpikir, “Bagus deh, sebaiknya emang gak ketemu-ketemu dulu… demi mencegah pertumpahan darah.”

Saya memandangi sobekan uang yang tertumpuk di meja, dan lagi-lagi menghela napas. Panjang dan lama itulah Coki-Coki .

Bo, d-u-a-p-u-l-u-h r-i-b-u. Kebuang begitu aja. Disobek-sobek pula. Ampunilah saya, Gusti nu Agung. Semoga nggak sampai kualat.

Singkat cerita, tak lama setelah saya kekenyangan memamah ransum, handphone berdering. Sumpah mati saya malas mengangkatnya begitu melihat nama si penelepon.

Entah berapa puluh menit saya habiskan untuk mencaci-maki marah-marah, nggerundel nggak jelas, bahkan berkata keras-keras: “KETERLALUAN, IH!”

Saya tahu, tidak adil berkata seperti itu kepada sahabat saya, karena toh tindakan menyobek-nyobek uang adalah keputusan saya sendiri. Tanggung jawab saya sepenuhnya. Lha, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa, kok. Tapiii… tetap saja, saya perlu menyalahkan orang lain supaya bisa merasa lebih baik.

*Sounds familiar? ;-D*

Ia tidak marah, malah tertawa-tawa. Dan membuat saya semakin jengkel. Menit-menit berikutnya saya habiskan dengan berulangkali menarik napas dan mengomel. Sampai akhirnya saya capek sendiri. Sempat muncul perasaan ngilu yang awalnya saya kira akan tumpah keluar. Saya pikir saya akan menangis. Dan ia bilang, tidak apa-apa. Saya boleh menangis. Tapi, ternyata nyeri itu hanya sesaat. Luapan energi yang terasa mencengkeram tiba-tiba melonggar, dan saya kembali termangu-mangu. Masih sambil mengoceh, tapi tidak seintens tadi. Pegel, bok.

Why should I listen to you?”

Meski terdengar kasar, dalam kondisi seperti ini saya benar-benar tidak ingin menahan apa pun. Saya membiarkan diri saya berceloteh sepuasnya, mengeluarkan apa saja yang bergolak di dalam tanpa merasa perlu menyensornya.

You don’t have to. Just experience it,” ia menjawab kalem.

Perlahan, emosi saya menyurut. Yang tertinggal kini hanya lelah. Seperti orang habis berolahraga... atau dehidrasi? Orang yang baru selesai berolahraga seharusnya merasa segar. Saya hanya merasa letih. Seperti ada tenaga yang hilang dari diri saya. Namun gejolak itu, angkara murka *halah* yang meletup-letup sejak mendengarkan siaran, mulai kehilangan daya genggamnya. Mengendur. Hanya menyisakan penat, yang entah kenapa, terasa... benar. Nyebelin, nyakitin, tapi benar. Seakan-akan memang itulah ‘jatah’ saya. Pengalaman yang harus saya lalui dan reguk esensinya, meski rasanya jauh dari enak.

Dan kemarahan itu... yang bahkan tak saya mengerti karena timbul begitu saja tanpa analisa logis... yang menyembul dan ‘membakar’ saya... rasanya kini mulai saya pahami.

Perasaan itu muncul karena saya merasa keyakinan saya terenggut. Diambil secara paksa oleh tangan yang tak terlihat. Apa yang saya anggap benar dari hasil observasi, studi kasus dan pengalaman hidup bertahun-tahun –okay, okaaay, sebagai hasil pembenaran diri— seperti terampas begitu saja dan saya tak kuasa mencegahnya. Kebenaran semu yang saya rengkuh erat-erat itu direnggut oleh siaran sembilanpuluh menit dan dua lembar sepuluh ribuan yang kini teronggok dalam serpihan-serpihan kecil. Tak peduli berapa nominalnya, yang saya tahu hanya, rasa ‘sakit’ itu benar-benar nyata. Dan saya terkesima sendiri. Tidak menyangka emosi saya bisa bergolak sedahsyat itu hanya karena uang duapuluh ribu.

Sebelum mengecam saya sebagai makhluk pelit nan medit, mari saya jelaskan sesuatu. Saya bukan orang yang anti mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak memberi timbal balik kepada saya. Dalam kondisi-kondisi tertentu, saya sama sekali tidak keberatan mengeluarkan uang yang nominalnya bahkan jauh lebih besar dari yang baru saya sobek, untuk sesuatu yang tidak mendatangkan keuntungan apa pun. Sebagai umat Kristiani yang baik, saya tidak pernah lupa menyisihkan sepersepuluh (sepuluh persen lho, bukan satu persen) dari penghasilan saya untuk diberikan kepada Gereja. Bukan sekali-dua juga saya mentraktir office boy (ketika masih jadi pekerja kantoran dulu), memberi sembako, membelikan makanan untuk anak-anak jalanan, menyumbang untuk berbagai kegiatan sosial, dan sebagainya.

*Stop sebentar. Sebelum saya melanjutkan, tolong pahami bahwa saya menulis hal-hal di atas bukan untuk pamer budi. Saya hanya menjelaskan apa yang saya rasa perlu. Don’t get me wrong, K?*

Saya tidak punya masalah dengan itu semua. Bahkan, ketika saya terpaksa ‘kehilangan’ sejumlah uang karena kebodohan dan kecerobohan saya sendiri –seperti dikibulin supir taksi, termakan rayuan investasi berbasis agama yang ternyata penipuan, ikut-ikutan main saham dan rugi banyak, atau kalap belanja sampai uang ludes untuk hal-hal nggak penting— saya tidak pernah berlarut dalam penyesalan. Bagi saya, selalu ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari setiap peristiwa. Kebodohan dan kecerobohan akan menjadikan saya lebih mawas diri dan berhati-hati dalam mengelola uang. Mempersembahkan sejumlah uang ke tempat ibadah adalah sesuatu yang sudah seyogianya dilakukan, karena itu tertulis dalam buku panduan sejuta umat kitab suci. Berderma kepada mereka yang membutuhkan senantiasa membuat hidup terasa lebih berguna mendatangkan kepuasan batin yang tak terukur nilainya. Setidaknya, saya tahu apa yang saya keluarkan bermanfaat bagi orang lain.

Tapi... menyobek-nyobek uang... meski nilainya ‘hanya’ duapuluh ribu...

...seperti mengobok-ngobok kakus dengan tangan telanjang.

Pergumulan batin saya *tsah!* tidak berhenti sampai di situ. Prinsip ideal tentang uang yang sudah terkonstruksi di benak ini -dan entah sudah berapa lapis karatnya akibat dibiarkan berkerak bertahun-tahun- telah menjelma menjadi sesuatu yang saya rangkul sebagai kebenaran. Setidaknya, untuk diri saya sendiri. Saya demikian percaya diri dan selalu memandang prinsip itu sebagai pilar kokoh penopang kelangsungan hidup, yang tanpanya, separuh diri saya tiada. Dan kini, pilar itu luluh sudah. Bangunan kecil saya terguncang, siap runtuh.

Lama setelah percakapan kami berakhir, saya masih termenung. Saya meraih serpihan-serpihan uang itu. Sahabat saya berpesan agar sobekan itu tidak dibuang, supaya saya bisa melihatnya sesekali dan mengingat pelajaran berharga di balik ‘latihan’ itu. Bahwa apa yang saya anggap sebagai barang berharga sesungguhnya tak lebih dari selembar kertas. Benda itu tidak memenjarakan saya. Penilaian atasnyalah yang menjadikan saya terpenjara. Harapan dan ketakutan yang tersimpan di balik pemahaman yang keliru telah menciptakan begitu banyak konflik dan stres di dalam batin.

Saya meletakkan sobekan-sobekan itu di atas tempat tidur dan terpekur menatapinya. Lama. Kemudian, saya mengeluarkan handphone dan memotretnya.

Lalu, bagaikan disiram air dingin di siang bolong (atau kesamber petir di tengah lapangan – kira-kira efeknya sama, lah), saya terperangah. Kesadaran itu menyerbu benak saya bagai sekumpulan prajurit yang mengendap-endap; menyelinap dan menunggu aba-aba untuk menyerang. Untuk memancingnya keluar hanya dibutuhkan sepenggal isyarat... atau seberkas sinar dari handphone berkamera yang saya genggam.

Kesadaran itu muncul berupa pencerahan. Melalui duapuluh ribu yang hancur tersobek-sobek, saya berjumpa dengan sisi lain dalam diri saya. Bagian dari Jenny yang nyata, ada, meski tak pernah saya sadari keberadaannya. Saya menemukan berlapis-lapis lensa yang membatasi jarak pandang dan cara saya melihat hidup. Saya menemukan keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan harapan yang terwujud dalam kerja keras, dengan label mengejar impian. Berbarengan dengan padamnya lampu kamera; bersamaan dengan munculnya gambar pada layar handphone, saya sadar... saya adalah sebatang bonsai yang mengira dirinya pohon raksasa. Saya adalah burung kecil yang terlalu takut terbang ke angkasa dan mematuk orang yang membukakan pintu kandangnya.

Masih ‘shocked’ dengan perubahan emosi dan reaksi hati yang bagaikan rollercoaster, saya memilih untuk duduk diam. Mengamati apa yang timbul ke permukaan. Hanya merasakan, sepenuhnya. Tanpa menilai.

Lalu, datanglah rasa terakhir, yang tak saya sangka akan muncul. Tipis, namun perlahan menguat seiring ‘pulih’nya kesadaran saya. Memenuhi ruang pikiran yang masih terlampau peka untuk mencerna apa yang terjadi.

Rasa itu bernama Bangga dan Lega.

Bukan karena merasa hebat. Bukan karena merasa lebih. Namun karena saya merasa ‘menang’. Bukan atas siapa-siapa, melainkan atas berbagai konflik yang telah lama membelenggu batin tanpa saya sadari.

Dalam serpihan-serpihan kertas itu, saya bersua dengan separuh diri saya yang lain. Jenny yang berani. Bukan berani merobek uang, namun berani menghadapi monster yang bersemayam di dalam diri, menerimanya apa adanya, dan –akhirnya- berdamai dengannya. Menyongsong langit biru yang selama ini hanya mampu saya pandangi dari balik sangkar meski pintunya telah lama terbuka. Menjelang kebebasan yang terhampar di depan mata sepenuh hati; tanpa mempertanyakannya, tanpa bergumul. Memandang hidup bukan lagi sebagai arena gulat dimana saya bertempur dengan harapan, keinginan dan ketakutan, melainkan taman bermain dengan aneka wahana yang terkadang menguji nyali, membuat tertawa gembira, merengut sebal, berdebar-debar, dan banyak lagi. Di tengah rasa yang silih berganti hadir –entah itu mencekam, menghanyutkan, menyenangkan, membuat ketagihan— saya sadar bahwa saya hanya sedang bermain.

Dan akhirnya, saya tersadar. Keberanian sejati mungkin bukanlah keberanian untuk membela apa yang kita pandang benar, menjunjungnya tinggi-tinggi dan melindas apa pun yang menghalangi jalan kita. Bukan juga keberanian untuk berhadapan dengan rasa takut tanpa tergoda mundur. Bukan pula keberanian untuk berdiri gagah menentang kelaliman dan menyongsong maut di medan perang.

Keberanian sejati, mungkin, adalah keberanian untuk menyadari penjara yang mengungkung kita selama ini; melihat jeruji-jerujinya sebagaimana adanya -bukan kamar emas beranjang empuk tempat sepiring makanan disuguhkan setiap hari, melainkan pasung yang membelenggu kemerdekaan batin-... lalu mengambil keputusan dan bertindak membebaskan diri – apa pun wujud kebebasan itu. Meski dunia mencela kita sebagai idiot separuh gila.

:-)


*Entri ini saya dedikasikan untuk Pawang Sobek tercanggih sepanjang masa. Selamat, Anda berhasil! Tapi, ingatlaaah... selama Partai Kaypang belum resmi dibubarkan, mawas diri biar nggak ketularan hendaknya perlu. ;-D

Monday, November 17, 2008

Rahasia

Siang tadi, Nak, aku tersenyum. Mengintip wajah lelapmu di balik selimut. Menyimak bibir mungilmu yang membentuk sebuah lengkungan lembut. Menebak-nebak, mimpi apa yang membuatmu tampak begitu damai.

Lalu, aku teringat sesuatu. Tepatnya, seseorang. Tidak, banyak orang.

Ingatanku melayang pada mereka, yang menganggapmu makhluk malang karena harus membagi cinta pada ayah dan ibu yang telah berseberangan jalan selagi kau masih terlalu muda untuk mengerti makna perpisahan. Mereka yang menyangka kau telah kehilangan begitu banyak kesenangan saat kanak-kanak seusiamu sedang rakus-rakusnya mereguk kegembiraan. Mereka yang mengira hidupmu tak lagi lengkap karena kau tidak seperti anak-anak mereka yang orangtuanya tinggal di bawah atap yang sama dan tidur dalam kamar yang sama, meski kita tak tahu apa yang terjadi di balik ruangan berdinding empat itu. Mereka yang menatapmu dengan sorot iba dan menggeleng prihatin akan masa depanmu yang (katanya) menggantung suram seperti langit mendung pukul enam.

Mereka yang mengira… ah, sulit aku mengatakannya, Nak… mereka yang mengira engkau terluka, sengsara, pahit, dan tidak bahagia.

Beramai-ramai mereka berdoa untuk kebahagiaanmu. Mungkin karena mereka sungguh peduli. Mungkin juga karena ego mereka terusik tatkala melihatmu duduk dengan senyum terentang. Dan mereka tak putus-putusnya berceloteh tentang cinta, Tuhan, perpisahan, dan kebenaran. Yang belum mereka ocehkan mungkin cuma akhirat, karena mereka belum pernah mati, meski kalau kutilik dari cara mereka berbicara, separuh dari mereka barangkali sudah hidup di neraka.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak.

Kebahagiaan bukan substansi tanpa wujud yang melayang-layang di udara -menunggu diraih- sementara jutaan orang beriak-riak di bawahnya seperti cacing kena garam, menggapai putus asa sekadar untuk mencicipinya barang sekelumit. Kebahagiaan, Nak, adalah apa yang kutemukan di wajahmu ketika kau berlarian tak tentu arah sambil menari-nari dan berlompatan. Kebahagiaan adalah binar yang kutangkap di matamu saat kau berceloteh panjang lebar dalam bahasa yang hanya kau mengerti sendiri. Dan kebahagiaan itu, Nak, didamba begitu banyak orang, bahkan oleh mereka yang menyangka dirinya tahu arti bahagia.

Kebahagiaan, Nak, adalah sesuatu yang membuat banyak orang rela kehilangan jam-jam tidur berharga, memperlakukan tubuh bak mesin yang dinamonya bisa diputar hingga melampaui limit dan mati-matian memeras segumpal sel di balik jidat demi menghasilkan lebih banyak daya untuk bekerja lebih keras, lebih giat, lebih rajin, yang dikiranya akan mendatangkan lebih banyak uang, lebih banyak stempel sukses, dan lebih banyak kesenangan. Lalu mereka duduk, menghela napas panjang, kecapaian, dan menyangka telah mencapai. Tersenyum hanya untuk sesaat, karena tak ada cukup ruang untuk jeda di sini. Terlalu banyak yang harus diraih. Terlalu banyak yang harus dikejar. Dan mereka mengira, semakin banyak mendapat, semakin mereka bahagia.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak. Kebahagiaan adalah pemandangan indah yang kulihat kemarin sore, saat kita berbaring malas di sofa -engkau di sampingku sambil memamah keripik- menonton kartun di televisi dan membiarkan angin menidurkan kita perlahan. Senyap dan lama.

Kebenaran, Nak, adalah sesuatu yang dibela habis-habisan oleh begitu banyak orang; tak peduli ia otentik atau bekas pakai, absolut atau usang belaka. Mereka mengusungnya dengan jumawa, membawanya bertempur dengan semangat patriotik, menyerang ranah pribadi orang lain demi menjejalkan sepotong kebenaran versi sendiri yang sudah berjamur, lalu menyebut diri pemberani – tanpa sadar bahwa kebenaran hakiki tak pernah membutuhkan pembela. Barangkali, dalam hati mereka menganggap diri titisan orang suci atau martir, meski era Muhammad dan Yesus sudah lama berlalu.

Sini kuberitahu, Nak. Kebenaran versiku –dan mungkin versimu juga, kelak— tidak perlu pembela. Karena apa yang benar bagiku belum tentu benar bagi yang lain. Dan yang otentik bagimu nanti, juga belum tentu sejalan dengan yang lain.

Mau tahu satu rahasia lagi?

Ini antara kita saja. Jangan bilang-bilang.

Surga bagiku, Nak, bukan kubah mahabesar dengan jalan-jalan emas yang akan kita masuki sesudah mangkat. Bukan juga taman penuh bunga tempat bermain kerub yang akan kita jumpai setelah perjalanan ini tiba di ujung waktunya. Surga adalah bercanda denganmu dan mendengarmu tertawa keras-keras. Surga adalah memandangimu menyuap roti cokelat ke mulut, mengunyahnya lahap-lahap, lalu berkata minta tambah. Surga adalah ketika kau memanjat ke pangkuanku dan bersandar di sana, sementara aku menciumi rambut ikal halusmu yang lembap dan bau wangi. Surga adalah melihatmu tertidur dan menyelimutimu rapat-rapat agar hangat hingga pagi menjelang.

Surga adalah matahari kecil yang bersinar benderang di wajahmu ketika kau menggandengku untuk minta dipakaikan celana pendek. Surga adalah jari-jarimu yang menggenggam tanganku saat kita menyusuri jalan setapak di samping rumah. Surga adalah larimu yang secepat angin ketika bermain di kolam pasir yang banyak semut. Surga adalah teriakan ributmu yang memanggilku untuk melihat cacing di selokan. Surga adalah kepalamu yang menyuruk perlahan di antara lenganku ketika kau berbaring sambil minta didekap.

Surga adalah senyummu, gelakmu, cahaya di matamu. Aku bahkan tak perlu mati untuk pergi ke sana.

*Sebuah persembahan untuk malaikat cilik yang matanya selalu tertawa, juga untuk kedua orang tuanya, yang dengan sepenuh hati ingin saya acungi dua jempol. Tabik! :-)

Friday, November 14, 2008

Somewhere in the Middle

dear god,
i know you are there, listening.
if you don’t mind,
let’s meet up
in the middle.


you know my number, rite?
:-)


*Inspired by this song, a true genius. Kudos for you, Mark Hall!

Wednesday, November 12, 2008

Dariku dan Yang Tak Bernama


Hari ini, kutitipkan sebaris doa
PadaNya yang tak bernama
Tuk senantiasa menabur bunga di sepanjang jalanmu
Entah ia lurus, berlubang, penuh tanjakan, atau bak labirin.

Hari ini, kusematkan selarik asa
PadaNya yang tak bernama
Agar bahagia mengiringi tiap langkahmu
Dan dijaganya kau dalam susah dan sedih.

Hari ini, kusulamkan seuntai pesan
UntukNya yang tak bernama:
Ingat-ingatlah ia selalu
Dan jangan Kau luputkan tanganMu barang sedetik.

Malam ini, di bawah langit yang berpendar
Kulekatkan namamu di antara ribuan jentik cahaya
Dan bertelut padaNya yang tak bernama
Kubisikkan tiga baris sederhana:

Simpankan cinta ini untuknya.
Kiranya bahagia ini akan abadi
Meski hidup cuma ilusi.


Hei, kalian yang di sana.
Mudah-mudahan menjadi hadiah yang manis di hati.
Selamat berbahagia, yaaa. :-)



*Gambar (pastinya) dari gettyimages.com

Monday, November 10, 2008

Sadisme

Entri ini buat kamu.

Ya, kamu, yang belum sudi saya sebut namanya sampai sekarang.

Harap camkan ini baik-baik, karena dari semua tulisan yang saya buat, ini akan jadi salah satu yang paling sadis, meski kamu takkan tahu kamulah orangnya.

Saya benci kamu. Sangat. Dan sialnya, bukan karena sesuatu yang pernah kamu lakukan terang-terangan pada saya. Kenapa sial? Karena kalau kamu berbuat jahat terhadap saya, akan jauh lebih mudah bagi saya untuk membencimu setengah mampus dan merancang hal-hal kejam untukmu. Mengirim fotomu ke dukun santet Mencekikmu sampai biru dan megap-megap kehabisan napas, misalnya. Atau menculikmu di tengah malam buta, mengikat kepalamu dengan karung dan membenamkanmu di rawa-rawa sampai namamu cuma tinggal sejarah. Dan orang tak perlu tahu kamu pernah ada.

Saya benci kamu. Sangat. Dan ironisnya, kita malah belum pernah bertatap muka.

Saya benci kamu. Sangat.

Kenapa? Karena kamu telah menghancurkan mimpi-mimpi saya. Dan kamu melakukan itu dengan mudahnya, bahkan tanpa perlu banyak usaha. Kamu tinggal merangkai aksara, dan ketika membacanya, saya remuk berkeping-keping.

Hiperbolis? Tidak. Kamu tahu, saya benar-benar nyaris mengubur semua mimpi saya. Dalam semalam. Dan itu semua gara-gara kamu. Kamu dan rangkaian aksaramu, yang ingin saya abaikan, saya anggap sampah, namun tidak pernah bisa.

Saya benci kamu. Sangat.

Tapi malam ini, saya sadar.

Saya salah.

Bukan karena membencimu (memangnya membenci itu salah? Nggak juga. Yah, setidaknya 'kan saya mengaku :-P), tapi karena pernah berniat menenggelamkan mimpi-mimpi saya.

Bodoh sekali, kalau dipikir-pikir. Memangnya, kamu siapa? Begitu pentingkah kamu, sampai gara-gara kamu, saya harus kehilangan impian yang sudah saya sirami dan pupuki bertahun-tahun?

Saya masih membenci kamu. Sangat. Tapi, malam ini saya tahu, mimpi-mimpi itu tak perlu terkubur. Impian dan harapan hanya bisa mati dalam hati dan pikiran saya. Selama saya bisa menjaganya, mereka akan terus hidup.

Jadi, dengarkan ini baik-baik. Suatu hari nanti, sayap-sayap ini akan mengepak. Saya akan membubung tinggi. Amati dan tunggu sampai saat itu tiba. Dan saya mengatakan ini bukan untuk membuktikan diri kepadamu (memangnya, kamu siapa, sampai saya perlu membuktikan diri segala?). Saya akan terbang tinggi, karena di situlah tempat saya.

Langit biru tanpa batas itu adalah rumah saya. Dan akan saya kepakkan terus sayap-sayap ini sampai mereka cukup kuat untuk membawa saya terbang tinggi.

Sampai ketemu di atas sana. Dan tolong, belajarlah terbang lebih baik. Karena, siapa tahu, ketika kita bertemu nanti, saya masih ingin membunuh kamu.


*Tanpa bermaksud ikut-ikutan, bagi yang membaca ini dan merasa bisa menebak siapa orangnya (atau mencoba menyangkut-nyangkutkan dengan entri ini), tolong simpan energi Anda. Percayalah, Anda salah.

Hatur Nuhuuun :-)

Pagi-pagi, baru melek, belom sempet sikat gigi apalagi mandi, dapet SMS dari Ami, katanya saya dapet award. Langsung deh meluncur ke blog ibu ini*...

...TA-DAAA!




Duh, makasih banyak yaaa, Jeng Popi... terharu saya! :-)

*iyaaa, prioritas utama saya begitu bangun pagi emang internetan, bukan sikat gigi. Puas? Hyahahahaha.


Wednesday, November 5, 2008

Lagi, Tentang Cinta.

Minggu sore. Sebuah mal di pinggiran Jakarta. Bedah buku dan accoustic performance dari seorang penulis yang diiringi permainan apik pianis merangkap terapis. *Hi, there! ;-)*

Mendung masih bergelayut di luar, kendati matahari mulai muncul dan menghapus sisa-sisa gerimis yang membuat hari yang (semestinya) cerah menjadi sedikit suram.

Saya, merasa pegal setelah sejam lebih mondar-mandir, mulai mencari tempat duduk di antara puluhan bangku yang penuh terisi dan kerumunan orang yang memadati sekitar panggung.

Di atas panggung, ibu ini sedang diwawancarai oleh moderator yang juga teman saya, membuat saya tak henti-hentinya nyengir geli mendengar banyolan ngaco (orang Betawi bilang: ngebacot), sekaligus berdecak kagum mengakui kehebatannya. Benar-benar emsi kelas kakap. Dua emsi yang saya saksikan sebelum acara bedah buku hari ini mendadak terlihat seperti amatiran.

Saya berdiri tak jauh dari tepi panggung sambil terus jelalatan mencari bangku kosong. Ah, itu dia. Seorang laki-laki kurus-tinggi baru saja beranjak dari tempatnya. Saya menunggu. Dua menit, tiga menit, ia tidak kembali. Dan tidak meninggalkan apa pun di sana. Saya masih menunggu. Cukup banyak yang menonton sambil berdiri, tapi tidak satu pun yang tergerak menduduki kursi lipat hitam itu.

Yasuds, berarti memang jatah saya. Semoga kamu nggak balik. Kalaupun balik, ya maab, siapa suruh kursinya ditinggal-tinggal. *evil grin*

Saya duduk memangku tas, mengikuti jalannya acara sambil menimbang-nimbang apakah sebaiknya mengambil foto lagi atau tidak, karena menurut sahabat saya yang meminjamkan, sisa memorinya hanya cukup untuk mengambil sepuluh gambar. Saya sudah berfoya-foya selama setengah jam pertama, dan ragu-ragu untuk memotret lagi.

Seingat saya, sebentar lagi ada kuis berhadiah bagi pengunjung yang dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Siapa tahu ada momen menarik yang bisa saya potret. Saya menyilangkan tangan di depan dada, mengingat-ingat rundown yang hanya sempat saya baca sekilas, dan kini entah berada dimana.

-----

“Sekarang waktunya kuis!”

Pengumuman lantang itu membuat saya mendongak.

“Ada dua buku dan CD yang akan kita bagi-bagi. Kalau sudah punya, ya nggak apa-apa, bisa dikasih ke temannya, saudaranya...”

Saya menegakkan tubuh, bersiap menyalakan kamera. Sebentar lagi MC akan mempersilakan ibu ini untuk mengajukan pertanyaan sehubungan dengan buku yang sedang dibahas, dan pengunjung akan berebutan mengacungkan jari. Siapa cepat (dan bisa menjawab, ya. Kalau nggak, ya batal, hehehe), dia dapat.

“Siapa di sini yang datang berdua sama pacar???”

.....

Lha?

Kok…?

“Hayooo… siapa yang di sini datangnya berdua pacaaaaar? Ngakuuu!”

Saya memandang ke panggung, bingung. Ibu ini tampak sama herannya. Hanya teman saya yang cengar-cengir, dengan rencana yang cuma dia (dan Tuhan) yang tahu.

Tak berapa lama, sepasang muda-mudi *halah, muda-mudi bo! So sembilanpuluhan* naik ke panggung. Keduanya tersipu-sipu, senyam-senyum tanpa arti.

Dan teman saya yang kocak nan jenius itu memang terbukti nggak ada matinya. Sambil menyerahkan microphone, ia menodong si laki-laki –yang ternyata sudah berstatus suami, bukan pacar- untuk mengungkapkan perasaan sayangnya pada istrinya. Dan sang istri juga diwajibkan untuk merespon balik. Seketika, suasana berubah ramai.

Saya tergelak tanpa bisa ditahan, meski pasutri tersebut *ohmaigod – pasutri! Asa cacat kosakata* belum mengucapkan apa-apa, masih berdiri sambil cengar-cengir mokal. Pasti bakal seru.

Melihat gelagat ‘kalau-nggak-dipaksa-nggak-bakal-ngomong’ yang mereka tunjukkan, MC semakin bersemangat menyuruh sang suami bicara.

Akhirnya, masih dengan gestur malu-malu kucing, ia mendekatkan mic ke mulutnya. Sambil memandang istrinya –setengah tertunduk, entah rikuh atau jengah- ia mulai bersuara.

“Adek…”

Refleks, saya menajamkan pendengaran, meski sebenarnya tidak perlu.

“…dua tahun kita nikah –tiga tahun sama pacaran- aku tahu, aku bukan orang yang romantis…”

Kalimat itu mengalir lancar. Sederhana.

“…aku jarang ajak kamu makan di restoran, jarang ajak kamu jalan-jalan, atau beliin barang…”

Saya termangu di kursi, membisu sambil menggenggam kamera erat-erat. Tanpa ingin menjepretkannya satu kali pun. Penonton mendadak sunyi.

“Tapi, aku mau bilang… aku sayang kamu. Buat aku, cuma kamu seorang... satu-satunya...”

Mendadak, tenggorokan saya terasa nyeri. Kamera semakin erat tergenggam. Dalam keadaan mati.

“Kamu… tidak tergantikan.”

Sunyi kembali memecah. Sang istri menanggapi kalimat-kalimat suaminya dengan senyum malu-malu dan wajah tertuju ke bawah. Nggak heran. Saya juga akan melakukan hal yang sama seandainya berada di atas panggung bersama artis favorit dan mendengarkan pernyataan cinta suami sambil ditontoni orang se-mall.

Semua orang menunggu responnya. Termasuk saya, yang bahkan tidak ingat lagi akan tugas mendokumentasikan acara.

“Aku juga sayang kamu,” ia membalas pelan, tersipu. Menunduk dengan rona tipis di kedua pipi.

Tepuk tangan bergemuruh, riuh.

Mata saya membasah. Saya tahan kuat-kuat agar kaca bening itu tak luruh mengalir.

Kamu tidak tergantikan.

Mereka bukan pasangan Cinderella dan Prince Charming. Tanpa bermaksud merendahkan, saya ingin berterus terang bahwa fisik, penampilan dan pembawaan mereka bahkan tidak memenuhi kriteria pasangan ideal yang bisa mengundang decak kagum orang. Namun mata itu bersinar tulus. Dan kata-kata sederhana yang tak terpoles keindahan bahasa itu jauh lebih sempurna dari kalimat cinta apa pun yang pernah saya dengar.

Tidak ada ekspresi berarti di wajah pasangan itu. Tidak ada kalimat-kalimat bahagia. Tidak ada wajah yang berbinar penuh cinta, tidak ada mata yang bercahaya sukacita, tidak pula ada bahasa tubuh yang melukiskan keajaiban kasih yang diungkap tanpa pretensi. Hanya semburat semu yang nyaris tak kentara. Namun, semua itu mendadak tidak lagi penting.

Rona tipis itu sudah menjelaskan segalanya. Cinta itu tak butuh suara untuk bisa jadi juara.



Malam ini, saya hanya ingin mendengar lagu-lagu cinta. Malam ini, ijinkan saya bermimpi. Tentang seseorang yang bersedia hadir tanpa syarat, memandangi wajah lelap saya sambil membisikkan sebaris indah “Kamu tak tergantikan”. Hanya untuk saya. Ah, dasar mellow sumellow! ;-D


*Gambar diambil dari gettyimages.com