Sunday, June 28, 2009

Dicari: Pendengar yang Baik

Tinggal beramai-ramai di kos-kosan selalu memberi kejutan dan tantangan tersendiri untuk saya, sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di rumah yang berisi delapan kamar ini – setahun yang lalu. Saya belajar, meski menyenangkan dan seperti memiliki keluarga baru, tinggal bersama di bawah satu atap bukanlah hal yang mudah. Seringkali dibutuhkan usus yang panjang, berton-ton toleransi, bergalon-galon kesabaran, dan banyak lagi.

Saya yang menyukai keheningan, misalnya, harus rela jika suatu pagi terbangun dengan kaget karena suara keras tetangga sebelah, atau bunyi air dari keran yang diputar sampai pol. Saya yang membutuhkan suasana tenang untuk bekerja kadang harus merelakan pekerjaan saya tertunda akibat suara-suara berisik yang tidak bisa ditolerir telinga dan otak. Saya yang terbiasa mandi tanpa menggunakan alas kaki terpaksa ikut bersandal-jepit ria ketika mengetahui teman-teman saya menggunakan sandal di kamar mandi (nggak apa-apa juga kalau saya ingin tetap bertelanjang kaki, tapi kan jijik membayangkan lantainya?). Saya juga belajar membiasakan diri ketika tubuh yang sedang sakit tidak bisa mendapatkan istirahat secara optimal karena teman-teman serumah sibuk dengan aktivitas dan obrolan masing-masing.

Itu hal-hal sederhana yang membutuhkan adaptasi secara personal. Ada pula hal-hal lain yang meminta perhatian lebih, di luar yang biasa terjadi setiap hari. Salah satunya jika ada kawan yang sedang bermasalah dan butuh teman curhat. Tidak jarang, kegiatan sesederhana berjalan kaki ke warung menjadi ajang bagi-rasa yang memerlukan kesiapan telinga dan hati. Waktu istirahat di malam hari pun bisa menjelma menjadi ajang curhat massal. Memang tidak selalu hal seperti ini terjadi, banyak juga malam-malam ceria nan hedon dimana kami berfoya-foya menghamburkan tawa, lelucon dan cerita-cerita konyol, terpingkal-pingkal sampai sakit perut, atau sekadar menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama. Namun, ketika sesuatu yang serius terjadi pada salah satu di antara kami, diperlukan perhatian dan ‘penanganan’ yang lebih dari sekadar bercanda, tertawa, dan berkumpul. Di sinilah saya banyak belajar.

Sungguh, tidak mudah menjadi pendengar yang baik. Di awal perintisan karir untuk menjadi pendengar profesional *halah*, saya menemukan begitu banyak kendala. Mulai dari menahan lidah untuk tidak berkomentar, menunda opini, menjaga perhatian tetap tertuju pada lawan bicara (apalagi jika kisah yang sama sudah diulang puluhan kali), menyediakan diri untuk ‘hadir’ sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan (karena keberadaan tak selalu sama dengan kehadiran – kita bisa bersama seseorang tanpa sepenuhnya hadir, dan sebaliknya, kita bisa hadir baginya tanpa perlu bersamanya), sampai mendengarkan tanpa merumuskan penilaian apa pun.

Awalnya, saya pikir saya bisa menjalaninya dengan mudah. Mendengarkan orang lain adalah salah satu keahlian saya sejak jaman baheula; saya sudah terbiasa menghadapi orang yang ujug-ujug datang untuk curhat. Mulai dari sahabat, saudara, kerabat, orang tua, orang asing, kawan baru, sampai asisten rumah tangga teman saya.

Mendengarkan memang bukan sesuatu yang sulit. Namun mendengarkan tanpa menilai –sekadar hadir sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan— yang menjadi salah satu kriteria dari Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.

Setelah beberapa kali mencoba mengaplikasikan Nonviolent Communication dalam kehidupan sehari-hari, saya menyadari sesuatu: kemampuan saya mendengarkan selama ini nyaris tidak ada gunanya. Cara saya menyampaikan perasaan dan kebutuhan pun masih terseret-seret, padahal saya menyangka telah cukup gape dalam bercuap-cuap karena terbiasa menangani klien. Saya mengira dapat menjadi pendengar dan komunikator yang baik dengan ‘jam terbang’ yang tinggi, namun nyatanya, cara saya berkomunikasi tetap butut. Berkomunikasi tanpa kekerasan itu nggak gampang, Jendral.

Sudah beberapa bulan saya mencoba mempraktekkan jenis komunikasi ini (mendengarkan dan menyampaikan isi hati tanpa kekerasan), dan kemampuan saya masih setara dengan anak balita yang sedang belajar jalan. Tertatih-tatih dan berulang kali terjerembab. Di awal masa belajar, saya bahkan sempat menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil dan ngomel-ngomel berat kepada seorang sahabat yang pertama kali memperkenalkan pola komunikasi ini. Satu-satunya hal yang membuat saya bertahan adalah karena saya tersentuh oleh tindakan sahabat saya yang kerap bertanya, “Ingin didengarkan saja, atau ingin diberi saran?” ketika saya menghubunginya untuk curhat.

Buat saya, itu keren. Sumpah.

Dialah orang pertama yang menanyakan hal seperti itu sepanjang sejarah percurhatan saya. Dia menyediakan telinganya untuk saya sampahi, dan pada saat yang sama memberikan saya ruang untuk memilih; apakah saya ingin mendengar opininya atau tidak. Saya selalu takjub dengan kemampuannya untuk tetap menjadi netral setelah sesi curhat panjang nan membosankan dengan masalah yang berkali-kali saya ulang seperti kaset rusak. Dia tidak ikut-ikutan marah dan menyumpahi orang yang saya kutuki, tidak terburu-buru mengungkapkan pendapat, dan tidak pernah menjatuhkan penilaian –apalagi penghakiman— atas kelebihan stok airmata yang dengan semena-mena saya tumpahkan kepadanya.

Hal-hal tersebut membuat saya bertahan. Bukan karena saya ingin mengikuti jejaknya, melainkan karena saya telah merasakan manfaat dari Komunikasi Tanpa Kekerasan. Saya tahu rasanya tidak didengarkan, karena itu, kini saya ingin mendengarkan. Saya ingin mendengarkan, karena saya telah didengarkan. Sesederhana itu.

Bukan sekali-dua saya mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam sesi curhat-ke-teman-dekat. Setelah berkali-kali menceritakan isi hati kepada beberapa orang yang cukup karib, saya mendapati, sebagai komunikator, ada kalanya saya hanya ingin didengar. Mungkin ini terdengar tidak adil bagi orang yang saya curhati karena terkesan ‘egois’, ‘ingin nyampah doang’, ‘nggak mau diberi input balik’, dan sebagainya. Seandainya saja saya bisa bilang kepada semua orang yang pernah menjadi tong sampah saya: saya senang dengan saran, masukan dan komentar kalian. Seandainya saya bisa berkata seperti itu. Kenyataannya, tidak. Bahkan, berkali-kali setelah mendengarkan masukan dan saran dari orang yang saya curhati, saya merasa menyesal sudah bercerita. Bukan karena saya tidak suka dengan isi sarannya, namun karena bukan itu yang saya butuhkan.

Saya menghargai setiap masukan, saran, komentar, koreksi, dan apa pun yang diberikan orang kepada saya, dan saya berterimakasih atas perhatian dan waktu yang mereka luangkan, namun ada kalanya saya hanya butuh didengarkan. Ada kalanya saya tidak butuh opini atau solusi. Saya hanya memerlukan telinga yang bisa menampung unek-unek saya, dan barangkali, bahu untuk ditangisi.

Itu sebabnya, kini saya sangat membatasi diri untuk mencurahkan isi hati kepada orang lain. Sangat sedikit orang yang saya percayai untuk menampung sampah-sampah batin saya. Bukan karena saya tidak menghargai predikat ‘saudara’, ‘sahabat’, atau ‘kawan baik’ di belakang nama begitu banyak orang yang cukup akrab dengan saya, melainkan karena saya membutuhkan orang yang bisa mendengarkan.

Jika saya memerlukan saran, saya akan mendatangi orang yang bisa dimintai saran. Jika saya memerlukan pendapat, saya akan menemui orang yang kompeten untuk memberi pendapat. Tapi hanya orang-orang tertentu yang saya percayai untuk mendengarkan. Seringkali, mereka tidak memiliki petuah berharga atau wejangan bijak untuk disampaikan, namun telinga dan hati mereka telah menolong saya menemukan jawaban dan solusi jauh melampaui yang dapat diutarakan bahasa. Kepada merekalah saya berhutang begitu banyak terima kasih.

:-)

Saya percaya, kita terlahir di dunia sebagai bayi yang tidak mengenal baik-buruk benar-salah. Pengkondisianlah yang memperkenalkan kepada kita apa itu hitam, apa itu putih. Apa itu baik, apa itu buruk. Dalam proses pendewasaan, kita diajar bahwa mengekspresikan perasaan dan kebutuhan seutuhnya bukanlah sesuatu yang baik. Beberapa dari kita bahkan telah begitu terbiasa menekan perasaan dan mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Tanpa disadari, perasaan dan kebutuhan yang tidak pernah diijinkan berekspresi itu menjelma menjadi penilaian dan penghakiman yang kita jatuhkan pada orang lain – entah melalui tutur kata, tindakan, maupun pemikiran.

Penilaian dan penghakiman tersebut akan memancing reaksi serupa dari orang-orang yang menerimanya dan memulai siklus yang terus berulang dalam hidup kita. Lingkaran setan yang tidak pernah ada ujungnya. Kita terus berputar di dalamnya, menjalani siklus yang sama sepanjang hayat, dan menyangka telah turut berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Kita mengira, dengan menempatkan perasaan dan kebutuhan di urutan kesekian, kita telah memberikan sumbangsih untuk terciptanya kerukunan dan persatuan.

Bagi saya, perdamaian dunia tidak ditandai dengan berakhirnya peperangan. Perdamaian dunia tidak diawali dengan gencatan senjata dari kubu-kubu yang bertikai. Perdamaian dunia dapat dimulai dari diri kita sendiri, dengan menghentikan siklus kekerasan yang selama ini memerangkap kita dan begitu banyak orang yang terhubung dengan kita. Cara menghentikan siklus itu adalah dengan jujur kepada perasaan dan kebutuhan yang kita miliki. Cara memutuskan lingkaran setan itu adalah dengan berhenti menjatuhkan penilaian dan mulai berdiam diri. Sekadar bernafas dan memperhatikan bisa jadi hadiah paling berharga yang bisa kita berikan bagi seseorang. Sekadar hadir dan mendengarkan bisa menjadi sumbangan terbesar kita untuk terciptanya kerukunan dan persatuan yang bukan cuma slogan. Pertanyaannya, bersediakah kita?

Mungkin kedengarannya berlebihan, namun saat ini, rasanya saya akan lebih memilih duduk bersama orang-orang sederhana yang bersedia menyediakan hati dan telinga untuk semata hadir dan mendengarkan, daripada mereka yang kemampuan berpikirnya menyaingi kecepatan cahaya, sanggup merangkai sejuta makna dan merangkumnya dalam kalimat-kalimat bijak, serta sigap memberi berbagai petuah dan masukan tanpa diminta.

Kita sudah kelebihan stok orang pintar dan orang bijaksana. Kita butuh lebih banyak pendengar yang baik.


*Informasi selengkapnya mengenai Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) dapat disimak di sini.

**Gambar dipinjam dari gettyimages.com, dengan pemotongan seperlunya.
:-)

Saturday, June 20, 2009

Malaikat Kecil

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Saya pernah memandangnya dengan iba. Ayah-ibu saya sudah lama bercerai, dan saya bisa memahami rasanya tinggal bersama orangtua yang tak lagi lengkap. Ternyata saya salah. Orang bilang, perpisahan selalu berujung luka. Tidak bagi dia. Untuknya, perpisahan adalah sebuah awal baru. Dari keluarga besar yang dulu tidak dimilikinya. Dari kebahagiaan yang semakin bertambah seiring bergulirnya waktu. Dari seorang ayah dan seorang ibu, kini dia punya dua ayah dan dua ibu, seorang adik laki-laki, dua calon adik bayi yang belum ketahuan jenis kelaminnya, dan seekor kucing bernama Tjondro.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Senyumnya menerbitkan hangat di hati, layaknya mentari yang tak pernah jemu membagi sinar. Jika anak-anak seusianya sering malu bertemu orang baru, dia takkan segan mempertontonkan segala jenis keahlian, mulai dari bergoyang dombret, bernyanyi lagu Batak keras-keras, menggebuk drum di udara, sampai berjoget-joget lincah. Rambut kriwilnya tak pernah diam, sama seperti tubuhnya yang selalu bergerak kesana-kemari.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Rabu malam pukul sepuluh adalah saat yang selalu saya nantikan, karena malaikat kecil itu akan berjingkrak-jingkrak di depan pintu begitu mendengar suara mobil mendekati rumah. Dia akan menunggu dengan manis, lalu menyambut kami layaknya pahlawan pulang dari medan perang. Hangat, gembira, penuh kebahagiaan. Setelah itu, ia akan mengucapkan kalimat pendek yang selalu diulangnya: “Mbak Jenjus, peluk.” Dan saya akan mendekapnya erat sambil membaui rambutnya yang wangi.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Dia bercahaya, dan dia benderang. Kehangatan itu tak pernah habis untuk dibagi. Dia akan segera tumbuh dewasa, dan sinarnya akan berpijar semakin terang. Dia tak perlu mentari, karena dialah sang empunya surya. Sayap-sayapnya akan menjadi kuat dan mengepak. Dia akan membubung tinggi dan ketika saat itu tiba, saya berharap saya bisa mengantarnya sambil tersenyum lebar.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Lihatlah dia di sana. Tertawa riang sekali.

Di bangku-bangku itu, empat orang tak lepas menatapinya dengan senyum bangga. Bukan cuma dua.

:-)


*Picture taken from Keenan’s Fan Page.

Thursday, June 11, 2009

A Ship That Never Sinks

Hari ini, saya masuk ke teras rumah mayanya, dan tersenyum membaca guratan terbarunya. Perlahan, airmata saya mengembang. Dan saya tertegun sendiri. Sejak kapan kebahagiaannya menjadi kebahagiaan saya, dan kesedihannya kesedihan saya? Sejak kapan tawanya menjelma menjadi tawa saya, dan lukanya luka saya?

Saya tak pernah tahu. Kami tak pernah sadar. Namun cinta telah memungkinkan segalanya. Dalam persahabatan yang terus tumbuh, jarak hati itu tak lagi ada, meski kami terpisah ruang dan waktu.

Tahun ini adalah tahun kesepuluh kami, dua sosok yang amat berbeda; yang seringkali membuat kami tertawa sendiri karena rentang yang terlampau mencolok justru mampu mengawetkan persahabatan selama satu dekade. Persahabatan yang tak terduga, setelah sekian banyak pertengkaran dan adu mulut yang seolah tiada habisnya. Persahabatan yang dulu kerap dipandang sebelah mata, karena kami tak ubahnya hitam dan putih digandengkan jadi satu.

Perbedaan itu nyata dalam segala hal: usia, warna kulit, selera, karakter, pembawaan. Satu-satunya kesamaan di antara kami barangkali hanya apresiasi terhadap keberadaan satu sama lain; sebuah ikrar tak tersurat yang tersimpan di hati masing-masing untuk saling menyayangi dan menerima apa adanya, meski kejujuran kadang bisa jadi hal paling menyakitkan di dunia.

Dia orang pertama yang hadir ketika Ibu saya meninggal bertahun-tahun silam. Dia menemani saya hampir setiap hari, menyisihkan waktu sepulang kantor dan menunda jam istirahat agar saya punya tempat menuangkan segala sedih dan lelah.

Dia satu-satunya orang yang berkata, “Apapun keputusan yang lo buat, gue bakal tetap jadi sahabat lo,” ketika kawan-kawan saya yang lain ‘gugur’ satu persatu karena tak bisa menerima pilihan saya yang berseberangan dengan keyakinan mereka.

Dia satu dari sedikit sahabat yang saya percayai untuk mendengar segala rahasia yang tak berani saya bagi kepada dunia. Bukan karena petuah sakti maupun wejangan berharganya, namun semata karena ia pendengar yang baik. Dan saya tahu, kepercayaan saya terjaga aman dalam tangannya, begitu pula sebaliknya.

Dia orang pertama yang menerima SMS saya dalam begitu banyak hal, mulai dari tebakan tak penting, lelucon garing, celoteh absurd, diskusi serius, sampai curhat patah hati. Meski saya tak selalu menjawab telepon-teleponnya, nomornya selalu berada di urutan teratas daftar prioritas –berjajar dengan keluarga saya— untuk dihubungi kembali segera setelah saya punya waktu.

Dan dia satu dari sangat sedikit orang yang betul-betul tahu luar dan dalamnya seorang Jenny Jusuf. Bukan karena persahabatan yang terjalin selama satu dekade, melainkan karena keterbukaan untuk saling menerima apa adanya telah memberi ruang yang cukup bagi terciptanya kebebasan dan rasa nyaman.

Kami tak perlu tahu segalanya tentang satu sama lain. Ranah privat itu tak perlu dipangkas. Saling menyayangi tidak lantas menjadi alasan untuk menghakimi dan menjajah area paling pribadi yang sama-sama kami miliki. Pada akhirnya, rasa sayang itu tak lagi mengenal kata 'karena', karena tak ada syarat di sana. Dari sanalah persahabatan ini tumbuh. Dari dermaga itulah perahu mungil ini meluncur.

Kini, saat angka itu genap sepuluh, begitu banyak hal telah kami lalui bersama. Hidup membawa kami menempuh jalur masing-masing, dan sebelas digit nomor telepon adalah satu-satunya penghubung kami sekarang. Kendati terbatas, jalur itu tak pernah tertutup. Kendati terpisah, senyum dan cerita itu tak pernah habis untuk dibagi. Dengan cinta, Jakarta-Batam tak terlampau jauh untuk diseberangi.

Persahabatan adalah perahu yang tak pernah tenggelam. Saya tak tahu apakah itu benar. Tapi satu hal yang saya tahu pasti, dari berjuta perahu bernama persahabatan yang ada di dunia, milik kami masih tetap mengapung hingga hari ini. Dan saya mensyukuri setiap detiknya.

Congratulations, Ine. To you. To us. I am so proud.


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Saturday, June 6, 2009

Fan(s)atisme

I’ve lost the sparks.”

Itulah yang saya cetuskan ketika sedang duduk sambil ngobrol santai dengan Mbak ini di sebuah restoran Jepang. Waktu itu, kami sedang membahas Fan Page dan komentar-komentar di dalamnya.

Sebagai salah satu administrator Fan Page, saya membuka account tersebut minimal dua kali sehari. Lebih sering dari minum obat. Jika dibandingkan dengan total anggota yang sudah mencapai belasan ribu, jumlah komentar yang masuk ke Fan Page setiap hari memang tidak sampai satu persennya, namun bukan jumlah komentator juga yang membuat saya bengong jaya, melainkan isi komentarnya.

Tidak sedikit penggemar yang bisa dimasukkan dalam kategori hardcore dari caranya memuji-muji, keinginan menggebu untuk bertemu, apresiasi pribadi terhadap Mbak ini, dan sebagainya. Sedikit banyak, membaca komentar-komentar mereka membuat saya merenung dan berpikir, dulu saya kayak gitu nggak, ya? Bukan bermaksud membanding-bandingkan, hanya saja, saya pernah merasakan kekaguman yang serupa, jauh sebelum berkenalan dengannya.

Saya jatuh cinta dengan karya-karya beliau sejak Filosofi Kopi terbit. Kekaguman itu semakin bertambah ketika saya menemukan blog-nya, meski saya tidak paham isinya. Yang ada di pikiran saya waktu itu hanya, “Keren bener bisa merangkai kata kayak gini.” Jadilah saya penggemar setia yang tidak pernah melewatkan satu pun entrinya dan sesekali memberanikan diri berkomentar… supaya eksis di memorinya. Siapa tahu, dengan rajin berkomentar, lama kelamaan ia akan hafal nama saya. Gunanya? Nggak ada, sih – namanya juga ngefans, harap maklum. :-)

Layaknya fans pada umumnya, saya sering sekali berkhayal, seandainya saja saya bisa bertemu langsung dengannya. Di luar kota pun akan saya bela-belain, demi bertatap muka dengan idola. Sayangnya, saat itu ia sedang vakum meluncurkan buku, sehingga acara-acara seperti bedah buku –yang memungkinkan penggemar berjumpa langsung dengan penulis—tidak ada sama sekali. Atau, kalaupun ada, informasinya tidak sampai ke telinga saya.

Ketika akhirnya kami bertemu langsung —di rumahnya pula— jangan ditanya bagaimana rasanya. Badan gemetar, telapak tangan berkeringat dingin, dan saya tidak bisa duduk rileks. Malam itu saya bergulingan di kasur tanpa bisa tidur, dan esok paginya terbangun dengan pertanyaan, yang kemarin itu mimpi bukan ya? Saya memeriksa ponsel untuk memastikan nomor beliau tersimpan di sana, sebagai bukti bahwa saya tidak bermimpi.

Beberapa hari kemudian, melampaui mimpi ketiban duren, kejatuhan bulan dan segala perlambang rezeki lainnya, saya mendapat kabar bahwa beliau berniat merekrut saya menjadi asisten pribadi. Lagi-lagi saya tidak bisa tidur saking senangnya. Saya menunda sekian hari untuk mengabarkannya kepada keluarga, for the sake of… jaga-jaga aja, siapa tahu kali ini beneran cuma mimpi. Ternyata saya tidak bermimpi, dan keluarga saya menyambut kabar bahagia tersebut dengan kendurian tujuh hari tujuh malam.

*You don’t seriously believe that, do you?*

Teman-teman saya yang mengetahui perekrutan tersebut mengulang pertanyaan yang sama dari waktu ke waktu: “Gimana caranya lo bisa kerja sama dia?”, “Ketemu di mana?”, “Sejak kapan kenalnya?” dan sebagainya, dengan nada kagum plus penasaran. Dan saya selalu memberi jawaban yang sama, diawali dengan kalimat, “Ceritanya, gue kan ngefans banget…”.

Yes, I considered myself a very lucky girl.

Sepuluh bulan sudah berlalu sejak perjumpaan pertama saya dengannya. Hari itu, dalam obrolan remeh mengenai Fan Page, ingatan demi ingatan kembali berkilasan di benak saya. Hanya saja, kali ini, saya merasa ada yang ‘kurang’.

Saya masih menggemari karya-karya beliau, namun kekaguman terhadap penulis sekaligus penyanyi favorit saya itu lenyap sudah. Saya mencoba menggali ingatan, sejak kapan, kok bisa, dan sebagainya, tapi saya tidak berhasil menemukan jawaban.

Saya pun menduga-duga: apakah karena kami terlalu sering bertemu? Perjumpaan fisik memang tidak setiap hari, bahkan kadang tidak seminggu sekali, tapi komunikasi melalui e-mail dan SMS kami lakukan setiap hari. Apakah itu yang membuat saya ‘mati rasa’?

Apakah percikan itu hilang karena akses yang ada memungkinkan saya untuk mengenal beliau dengan lebih mendalam, dan saya menemukan begitu banyak hal biasa dari sosok yang pernah saya anggap luar biasa?

Apakah kedekatan bisa memapas rasa kagum? Apakah percikan itu hilang karena saya mengetahui seorang Dewi Lestari ternyata begini dan begitu, atau tidak begini dan tidak begitu?

Apakah kekaguman itu hilang karena saya lebih sering numpang makan dan numpang mandi melihatnya di rumah, bersantai dengan pakaian seadanya dan wajah polos, ketimbang berdiri di atas panggung dengan make-up tebal dan gaun berkilauan?

Entahlah. Mungkin iya. Yang pasti, percikan itu lenyap entah kemana.

Di satu sisi, saya bersyukur. Somehow, saya justru merasa lebih jernih dalam berelasi dan bekerja ketika saya tidak lagi menganggap beliau sebagai sosok panutan. Pun ketika saya berada seruangan dengannya dimana ‘peran’ yang saya jalankan bukan lagi sebagai bawahan, melainkan ‘sesama’ – contohnya ketika kami sama-sama menjadi peserta meditasi mingguan.

Dulu, saya selalu ragu bersuara dalam sesi-sesi diskusi, karena saya berpikir, “Duh, kalo gue bilang gini, ntar apa pendapatnya, ya? Salah nggak, ya? Konyol nggak, ya?”.

Dulu, saya sering sekali sungkan menyampaikan pendapat, apalagi yang berseberangan dengan pendapatnya, karena saya berpikir, “Siapalah gue? Yang ada juga dia yang bener, gue yang salah” – bukan karena beliau atasan saya, namun karena saya merasa kecil bila dibandingkan dengan idola saya.

Dulu, saya selalu berhati-hati melontarkan lelucon, bukan karena takut menyinggung dirinya, melainkan karena saya tidak mau dianggap aneh olehnya.

Sekarang? Bablas rek. Jangankan beda pendapat, berselisih aja sudah lebih dari sekali. :-)

Lepas dari itu semua, saya bersyukur bahwa pudarnya percikan itu justru membuat saya bisa melihat sosoknya dengan lebih natural. Seiring dengan lunturnya citra demi citra yang terkonstruksi di benak saya tentang ‘Dee sebagai penulis favorit’ dan ‘Dewi Lestari sebagai penyanyi idola’, saya menemukan banyak pelajaran, baik dari keberadaannya sebagai orang biasa maupun dari relasi kami sebagai atasan dan bawahan. Terkadang, saya melihat beliau bukan lagi sebagai atasan belaka, melainkan teman yang bisa diajak bercanda konyol dan bertukar cerita-cerita remeh. Ketika citra ‘idola-penggemar’ mulai tersingkir, yang tersisa adalah sebentuk relasi yang terasa nyata dan apa adanya. Bisa menyenangkan, bisa menjengkelkan, bisa membuat tertawa terpingkal-pingkal, bisa juga membuat sebal.

*Sebal? Emang pernah? Ya pernah, lah. Namanya juga berhubungan dengan sesama manusia.*

Seiring berjalannya waktu, saya mulai mampu mengintip berbagai ruang di hati dan menelusuri lebih jauh: mengapa saya merasa begitu membutuhkan kehadiran seseorang yang lebih tinggi, lebih hebat dan lebih segala-galanya untuk dijadikan panutan, daripada melihat ke dalam diri dan mempercayai kemampuan saya sendiri? Mengapa saya selalu merasa perlu ‘mengikuti’ seseorang daripada berjalan dengan tuntunan kaki sendiri? Mengapa saya merasa ada yang kurang jika saya tidak punya figur idola yang bisa saya puja-puji?

Everyone needs someone to look up to, kata Tante Whitney. Kalimat itu telah saya jadikan pembelaan, namun saya merasa ada yang kurang pas dengan justifikasi parsial itu. Benarkah saya selalu membutuhkan sosok panutan sebagai penerang jalan dalam hidup ini?

*HALAH*

Saya belajar banyak.

Tidak ada yang salah dengan menjadikan seseorang sebagai idola, apalagi jika yang bersangkutan memang punya seribu satu kualifikasi untuk menjunjung predikat tersebut. Tidak ada yang salah juga dengan mengagumi orang lain dan bertekad ingin menjadi seperti dia. Hanya saja, dalam proses tersebut, terkadang kita lupa, bahwa citra yang terbentuk di pikiran kita seringkali tidak sama dengan realita yang sesungguhnya.

Yang sering terjadi adalah, ketika kita mengidolakan seseorang, benak kita dengan kreatifnya menyusun begitu banyak persepsi –bahkan definisi— tentang sosok yang kita kagumi, berdasarkan informasi sepotong-sepotong yang kita kumpulkan dari mana-mana – majalah, televisi, cerita orang, pertemuan langsung yang hanya sekian menit, dan sebagainya. Faktanya, jangankan yang mengidolakan, orang yang tidak mengidolakan saja bisa punya begitu banyak persepsi yang belum tentu sejalan dengan kenyataan.

Kejernihan yang terdistorsi ini lantas membuat kita memiliki penilaian yang kurang akurat. Tidak heran kita begitu mudah ‘disesatkan’. Tidak heran kita begitu mudah menjatuhkan penghakiman atas orang yang tidak kita kenal secara pribadi, hanya dengan menontoninya di televisi atau membaca beritanya di tabloid. Tidak heran kita begitu mudah terpancing dengan berbagai pemberitaan dan isu seputar kehidupan si idola, yang sebenarnya bukan urusan kita. Yang lebih ekstrim lagi, tidak jarang kita merasa ‘memiliki hak’ atas idola yang bersangkutan, karena kita telah ‘menginvestasikan’ begitu banyak perhatian dan rasa kagum atas figurnya. Ingat kasus Aa’ Gym? :-)

Tidak ada yang salah juga dengan berharap bisa bertemu idola, berdekatan dengannya, menjalin pertemanan, bahkan, kalau bisa, menyebutnya sahabat. Trust me, been there done that. Hanya saja, harapan-harapan ini dapat menyedot begitu banyak energi tanpa kita sadari, sekaligus menciptakan beragam ilusi dan mimpi yang tak kalah dahsyat dari Indonesia menang Piala Dunia. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan itu semua, dan tidak ada yang salah dengan meyakini Persija bisa mengalahkan Manchester United, namun sungguhkah kita ingin hidup dalam ilusi?

Ada kalanya pula, kita mendapatkan rasa ‘aman’ dengan ‘berlindung’ di balik sosok yang dipuja, dan menganggap perspektif kita tentang dirinya adalah gambaran yang sudah pasti benar. Tanpa sadar, kita menabung begitu banyak ekspektasi dalam diri seseorang yang tidak kita kenal secara langsung. Orang-orang yang hanya kita lihat di televisi, kita dengar suaranya, kita baca tulisannya. Kita menerjemahkan kekaguman tersebut dengan pemahaman kita sendiri, ke dalam bahasa kita sendiri, dan menganggapnya sah. Tidak heran kita begitu mudah kecewa ketika mendapati sosok idola kita ternyata tidak sesuai dengan gambaran ideal itu, atau memunculkan reaksi berlebihan ketika sang idola berbuat sesuatu yang sebetulnya amat wajar dan biasa dilakukan semua orang.

Atau, pernah dengar yang seperti ini: bertengkar dengan orang lain karena tidak terima idola kita dijelek-jelekkan? Kekeuh jumekeuh berdebat sampai mulut berbusa demi membela idola? Menjadikan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan idola sebagai patokan standar tingkah laku dan perkataan – bahkan menjadikannya prinsip hidup? Menghabiskan tabungan untuk memburu idola ke ujung dunia, lalu pingsan ketika melihatnya? Yang terakhir ini dialami oleh teman dari kenalan saya, yang bela-belain nonton konser Michael Jackson di luar negeri dan langsung pingsan begitu melihat MJ muncul (bahkan nggak sempat nonton!) . :-D

Itulah yang saya sebut fan(s)atisme.

Nggak bisa tidur setelah bertemu idola di mal, memaksa anak berfoto dengan idola padahal anaknya nggak mau, ngebet ingin berjumpa sampai kebawa mimpi tiga hari tiga malam, dan memuja-muji idola sesering mungkin dimana pun ada kesempatan juga berpotensi bagus untuk berkembang menjadi fan(s)atisme. Hehehe.

I’ve lost the sparks. Dan itu pula yang saya katakan dengan terus terang. Setelah mengucapkannya, saya menatapnya dengan deg-degan sambil membatin, kelar deh kerjaan gue abis ini.

Otak saya membantah, lo nggak bilang juga dia nggak tahu. Toh, nggak penting juga. Lo jujur atau nggak, nggak bakal ngaruh. Saya tidak tahu apakah saya melakukan hal yang benar, namun entah bagaimana, saya merasa dia berhak tahu.

Ternyata, reaksinya di luar dugaan.

“Baguslah,” ucapnya ringan, kemudian melanjutkan makan dengan santai.

Saya nyengir sendiri, lalu mereguk ocha yang mulai dingin. Belakangan saya tahu, ia sependapat bahwa tiadanya percikan justru menyehatkan relasi yang kami jalani, dengan segala dinamikanya.

:-)

Ada yang bilang, percikan adalah sesuatu yang harus terus dijaga, dipelihara, bahkan dikobarkan, karena ‘api’ membuat kita ‘menyala’ – hidup, bertenaga dan penuh semangat. Memiliki idola memang bisa memberi berbagai manfaat positif, seperti memacu kita untuk meraih impian, berusaha memiliki kehidupan yang lebih baik, dan banyak lagi. Namun, bagi saya, yang terpenting bukanlah berupaya mempertahankan percikan tersebut, karena seperti air, nafas, dan segala bentuk energi lain, api merupakan energi yang punya siklus masuk dan keluar. Bisa surut dan membuncah, bisa redup dan berkobar.

Mungkin –hanya mungkin— ada baiknya percikan itu sesekali padam. Barangkali, ada baiknya api itu tak senantiasa berpijar. Tanpa ‘pendar-pendar api’, kita akan mampu melihat dengan jelas sosok yang berada di baliknya, yang selama ini tertutup oleh sinar menyilaukan. Ketika kita dapat melihatnya, barangkali kita juga bisa memperoleh kesempatan untuk mengintip lebih jauh ke dalam kamar hati dan menyadari beragam isi yang tersimpan di sana.


*Dengan mempublikasikan tulisan ini, resmi sudah saya melanggar satu lagi pakem tak tertulis dalam dunia kerja: haram hukumnya ngomongin bos di internet! Semoga bulan depan masih bisa gajian... *crossing fingers* :-D

**Mudah-mudahan nggak ada pendukung Persija yang baca tulisan ini.

***Gambar dipinjam dari gettyimages.com.

Tuesday, June 2, 2009

..--_--..

Lelah..

Kata itu terpampang di status Facebook seorang kenalan, beberapa detik setelah halaman ‘Beranda’ saya terbuka.

Hanya satu kata.

Saya termangu. Lama.



Saya juga.



Lelah menyimpan tanpa bisa mengutarakan.

Lelah menahan tanpa bisa mengungkapkan.

Lelah memendam tanpa bisa menyampaikan.



s a y a

i n g i n

s e k a l i

s a j a



mendapat kesempatan
untuk bilang



saya sayang kamu



Dan mereka bilang, mencintai itu enak.

Kentut.


-----