Friday, May 21, 2010

Pada Sebuah Perpisahan

“Memang ini adanya. Bukan salah siapa-siapa. Aku berharap bisa bersamamu lebih lama, tapi semua sudah berubah.”


Aku selalu mendambakan laki-laki tegap berkulit eksotis dengan sorot mata yang bisa melelehkan perempuan. Bahkan sekejap aku pernah mengangankan laki-laki yang matanya cokelat muda, berhidung mancung, Kaukasian. Segala hal yang dijual sinetron murahan. Barangkali karena tak peduli betapa aku berusaha jadi pandai dan berkelas, perempuan memang mudah takluk pada keindahan.

Kamu tidak indah. Usia kita terpaut belasan tahun. Tidak ada kotak-kotak kekar di perutmu. Dadamu tidak bidang. Kulitmu terang, bukan cokelat eksotis. Namun aku menyayangimu lebih dari yang kutahu. Lebih dari yang kumampu.

Sayang itu tidak lahir sekejap mata. Butuh berkali-kali pertemuan dan entah berapa puluh pertukaran pesan melalui jagat maya dan komunikasi selular sampai aku sadar, hatiku jatuh sudah. Cinta itu lahir tanpa permisi, seperti Tuhan yang kadang mengetuk pintu kita tanpa diminta.

Seharusnya kamu menjadikan dia percobaan belaka. Seharusnya kamu tidak jatuh cinta. Seharusnya kamu sadar dari dulu.”

Aku tahu itu lebih dari kuhafal perkalian matematika. Lebih jelas dari satu ditambah satu sama dengan dua. Aku tahu itu sejak kamu menyatakan bukan aku satu-satunya dalam hidupmu. Bahwa sudah belasan tahun kamu menjalani pilihan ini. Bahwa kamu tidak siap untuk terikat. Bahwa manusia tidak pernah berubah.

Aku membuat diriku percaya bahwa aku mampu mengendalikan cinta dan ia takkan muncul tanpa diundang. Kututup hatiku rapat-rapat dan kubuat pengingat yang kutengok belasan kali dalam sehari. Pengingat untuk selalu berpegangan. Agar aku tak perlu tergelincir.

Namun hati memang curang. Didesaknya aku ke tepi jurang dan aku tak pernah sama lagi. Kubiarkan diriku jatuh kendati kutahu akan terhempas hancur. Tidak ada jaring pengaman di sana dan aku tetap melompat. Aku menjadi orang yang berbeda. Egoku membengkak dan membuncah. Mendorongmu menjauh, membuatmu jengah.

Hingga sampailah kita ke titik ini.

Apa ini gara-gara seks?”

Pertanyaan itu menghantuiku seperti perempuan berambut panjang yang kadang muncul di sudut kamar, sebelum akhirnya aku menyerah.

Barangkali iya. Barangkali juga tidak. Apa gunanya mencari tahu? Setahuku cinta tidak butuh alasan. Manusialah yang bersusah payah merangkai formula untuk merumuskan cinta. Jatuh cinta karena begini. Jadi sayang karena begitu. Toh akhirnya kita menyerah pada kesederhanaan itu: Mencintai karena mencintai.

Ini bukan salah siapa-siapa. Aku berharap bisa bersamamu lebih lama, tapi semua memang sudah berubah.”

Aku tak bisa mencegahmu pergi. Dan aku tak ingin merengkuhmu kembali jika itu cuma akan menderamu.

Kamu layak untuk bahagia seperti aku juga ingin bahagia. Namun izinkan aku menyampaikan apa yang tak pernah tuntas diucapkan bibirku. Sekali saja.

Aku mencintai dadamu yang tidak bidang, bulu-bulu kasar di tubuhmu, tahi lalatmu. Aku mencintai caramu tertawa, tarikan sudut bibirmu, senyum lebarmu. Aku mencintai lipatan perutmu, pundakmu, lengan-lenganmu yang besar. Aku mencintai kening lebarmu, mata teduhmu, bibirmu. Aku mencintai caramu menatapku. Aku mencintai kecupanmu yang berkali-kali. Aku mencintai pelukanmu lebih dari aku mencintai hujan.

Aku mencintaimu lebih dari hamparan pasir hangat, merdu gelombang laut, semburat keemasan senja, dan lengkungan pelangi.

Aku mencintaimu lebih dari semua keindahan yang pernah kutemui.

Serumit dan sesederhana itulah aku menyayangimu.

-----

Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Monday, May 10, 2010

10 Things I Learn About Me

Saya tidak bisa menyenangkan semua orang, namun melihat orang lain terluka akibat perbuatan saya adalah sesuatu yang menyakitkan.

Menyakiti orang lain, apa pun alasannya, sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Dan pada akhirnya, diri sendirilah yang paling menderita.

Kebahagiaan bukan untuk dicari. Ia datang dan pergi dengan sendirinya.

Sekuat apa pun saya berusaha mempertahankan sesuatu, ia akan pergi jika sudah waktunya.

Saya bisa lari menjauhi apa pun di dunia, kecuali diri saya sendiri.

Penghakiman terbesar tidak datang dari orang lain, melainkan diri sendiri.

Kejujuran dan meminta maaf bukan sesuatu yang sulit, dan ia menyembuhkan.

Berdamai dengan diri sendiri jauh lebih penting ketimbang bersahabat dengan seisi dunia.

Saya rindu diri saya yang lama. Yang polos, bodoh dan tidak menghakimi dunia.

Ya, saya tersesat. Saya ingin pulang.

-----

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Sunday, May 9, 2010

Bunda

Satu setengah tahun berjuang melawan kanker, akhirnya Mama terpaksa menyerah. Namun, sebagaimana sifatnya yang tertutup dan tidak ingin menyusahkan orang, Mama menyimpan penderitaannya rapat-rapat, bahkan sampai detik terakhir.

Hari itu, untuk kesekian kalinya beliau dibawa ke rumah sakit karena komplikasi setelah menjalani kemoterapi. Ia pergi ditemani Ayah, Paman, dan Nenek. Saya tidak merasa perlu ikut mendampinginya. Saya, yang sudah terbiasa dengan kunjungan rutin ke rumah sakit lima hari dalam sebulan, menganggap hari itu sama seperti hari-hari lainnya.

Saya berdiri di depan pintu, melepas kepergian Mama sambil melambaikan tangan. Ia dengan daster panjang kesayangannya. Ia dengan kepala polos tanpa penutup, karena ia membenci wig dan topi yang membuat gerah. Ia dengan wajah mengernyit, tanpa satu pun keluhan terlontar.

Hari itu tanggal 14 Juli. Mama pergi ke rumah sakit tanpa saya di sisinya. Ia tidak pernah kembali lagi.

Saya merelakan kepergian Mama, karena saya lebih memilih kehilangan seorang ibu ketimbang melihatnya menderita dalam kesakitan. Namun, perlahan-lahan kehilangan itu menjelma menjadi lubang hitam. Saya merindukannya, dan kini saya tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Satu-satunya saat di mana kami dapat berjumpa lagi, barangkali nanti, ketika saya menyusulnya ke surga. Meski saya tidak bisa memungkiri perasaan bahwa dalam saat-saat tertentu, ia terasa begitu dekat.

Seolah-olah Mama tidak pernah pergi dari sisi saya. Ia hadir dalam saat-saat terberat di mana saya merasa hidup tidak lagi ada gunanya dan saya ingin mati saja. Ia hadir dalam masa-masa paling mengecewakan di mana yang ingin saya lakukan hanya mengubur diri di bawah selimut dan menghindari dunia.

Seakan-akan Mama ada dan berbisik, “Tidak apa-apa, Nak. Semua akan baik-baik saja,” meski tangannya tak dapat menjangkau wajah saya yang berairmata.

Ia hadir dalam saat-saat penuh kebahagiaan di mana saya berkhayal dapat menghambur ke kamarnya dan menceritakan apa yang saya rasakan dengan penuh sukacita. Ia hadir dalam masa-masa penuh kegembiraan ketika saya berbangga hati atas pencapaian yang saya raih. Seakan-akan Mama ada, tepat di sisi saya, tersenyum lebar, dan berbisik, “That’s my girl.”

Betapa saya rindu mempersembahkan setiap kemenangan dan keberhasilan saya untuknya, dan saya tahu dia tahu.

Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya sadar: saya keliru.

Mama tidak pergi ke tempat asing bernama Surga di mana kami terpisah selamanya. Saya tidak perlu menanti sampai mati untuk berjumpa lagi dengannya. Saya tidak perlu menunggu sampai masa kontrak saya dengan dunia berakhir untuk bisa menemuinya.

Mama tidak pergi ke tempat lain. Ia pulang ke hati saya. Sebuah tempat di mana ia akan abadi dan tak terganti. Dan kami akan selalu bersama. Selamanya.


I know you’re listening, Mom. Welcome home.”

* * *

Once in a dream, I saw you telling me
That you’ve traveled in the dark
Just to find that little spot
How you’d settle for a light
In the vastness of the night
Then I saw some tears were coming from your eyes
As you said you’d found your paradise
And I began to ask you: why you have to cry?

And now, it’s so dreamlike I hear you telling me
It’s been such a perfect grace; it’s been such a perfect place
To be in my heart at last, and have angels singing you a song
And it’s time for me to say goodbye to those eyes
To let you go so sleeplike and hear you whisper: why we have to cry?

It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now you can’t see where it ends and where it starts
It’s our life and our love that you wish to have, where you wish to be
In this tiny spark of memory, mortality
What’s left for me to do is to welcome you home
Back to my heart, back to heaven’s light
Back to my heart, and we’re never apart

(Back to Heaven's Light - Dewi Lestari)


*Tulisan yang sama pernah dimuat di sini sebagai salah satu pemenang 'Rectoverso Moment' yang diadakan CosmopolitanFM bekerjasama dengan GoodFaith Production.