Monday, November 22, 2010

Yang Kukira Cinta

Pagi akan menjelang dalam hitungan jam. Tubuhku letih, namun mataku belum mampu terpejam. Seperti yang sudah-sudah, wajahmu kembali hadir. Namamu kembali terngiang, sembari benakku melafal segala yang kuingat tentang kamu. Namun entah kenapa aku tak lagi terlalu merindukanmu.

Bagaimana bisa, aku pun tak paham. Baru beberapa malam lalu pedih datang menggigit. Namun kini ia menyublim, menguap. Patah hati seharusnya tak sesingkat itu.

Barangkali yang kusebut cinta cuma fatamorgana. Barangkali aku belum tenggelam dalam impian tentangmu. Barangkali otakku mengabadikanmu namun hatiku belum terlanjur menyimpanmu. Atau barangkali, semua cuma kabut yang mampir untuk berlalu.

Aku ingin memahami kita. Aku ingin memahami kamu. Bukan sekali dua aku berkhayal; seandainya kita mengawali semua dengan benar. Tetapi yang terjadi jauh dari benar. Kamu dan aku sama-sama tahu, kita memulai dengan salah. Dan barangkali ini yang menjadi upahku—aku tergelincir dan tak ada lenganmu di sana.

Kamu tidak pernah menjadi milikku. Tidak sesaat pun. Otakkulah yang merekam begitu banyak kenangan, merangkainya bersama ilusi dan menipuku. Namun hati selalu tahu. Hatiku tahu.

Sekejap, kusayang kamu lebih dari siapa pun. Tanpa sempat kucegah. Tanpa sempat kukekang. Bukan bibirmu. Bukan lidahmu. Bukan lenganmu. Bukan jemarimu. Bukan pula tanggal lahir kita yang beda sehari. Aku menyayangimu tanpa tahu kenapa. Mungkin inilah yang mereka bilang karma. Barangkali. Aku tak paham.

Tak pernah kusayangi orang tanpa apa dan mengapa. Kamu yang pertama, namun mudah-mudahan bukan yang terakhir. Karena hatiku perlu terus mengalir. Ia perlu terus hidup.

Malam ini kulepas kamu dengan sebuah doa. Kiranya cinta mengisi hari-harimu dengan senyum dan tawa. Kiranya hatimu senantiasa hidup dan bersinar. Kiranya jiwamu menemukan damai yang kau cari. Kiranya bahagia selalu ada untukmu.

Kiranya kita bahagia. Dengan jalan yang kita tempuh sendiri-sendiri.



Pedih ini perlahan memudar, menguap. Namun aku akan selalu ingat, ia pernah ada.


~ Ubud, 11.11.10 ~

-----

Tuesday, November 16, 2010

Ubud, Saya dan Keberuntungan

“Kamu sangat beruntung.”

Saya tersenyum pada perempuan asal Polandia yang mengucapkan kalimat itu. Entah sudah berapa orang mengatakan hal yang sama ketika mereka mengetahui saya akan menghabiskan seminggu di resort di pinggir kota Ubud ini. Sebelumnya, Tammy, perempuan asal Thailand yang sempat tinggal dua malam di sini, mengatakan hal yang persis sama.

Saya tidak tahu apa yang membuat mereka berkata seperti itu. Faktanya, saya berada di sini hanya karena sudah terlampau penat dengan kehidupan di kota besar. Seminggu sebelum memesan tiket pesawat, saya pulang ke kamar pukul dua pagi, dengan kepala bagai dipalu dan sukar berjalan lurus—hasil dari menggelontor empat gelas minuman beralkohol sepanjang malam.

Esoknya, saya terbangun dengan kepala berdenyut. Sekujur tubuh saya lemas. Saya tergolek di tempat tidur, dan sebuah pertanyaan menghampiri saya.

Apa ini, Jen?”

Saya tidak bisa menjawabnya.

Saat itulah saya tahu. Saya harus pergi.

Saya menjelajah internet, mencari tiket murah yang bisa membawa saya ke Jawa Tengah. Yang terbayang di benak saya adalah Salatiga, kota kecil indah yang selalu saya anggap sebagai rumah kedua. Namun Merapi yang terus memuntahkan debu membuat saya mengurungkan niat.

Kota berikutnya adalah Ubud. Saya jatuh cinta pada Ubud sejak mengunjunginya pada bulan Februari 2009. Lebih dari satu setengah tahun saya merindukan tempat itu.

Saya berhasil menemukan tiket dengan harga bersahabat. Selanjutnya, penginapan. Saya tidak tahu harus menginap di mana.

Seorang kawan yang baru-baru ini pergi ke Ubud bercerita tentang sebuah resort yang membuatnya jatuh cinta. Dari resort tersebut para tamu dapat menikmati dua pemandangan sekaligus: sawah dan sungai. Saya membuka situs resort itu dan nyaris mengurungkan niat. Anggaran saya tidak memadai.

Namun tiket sudah saya dapatkan. Saya harus pergi. Saya pun menelepon Michi dan berbicara dengan wanita pengelola resort. Setelah berbincang singkat, ia memberikan harga khusus kepada saya. Bukan diskon, sebenarnya. Hanya harga kamar utuh tanpa dikenai pajak dan service charge 15%. Setelah menghitung-hitung, saya memutuskan untuk berangkat. Sendirian.

Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu apa yang salah. Baru kali ini saya merasakan penat dan jenuh yang luar biasa selama tinggal di Jakarta. Saya lahir dan besar di sini. Adalah sesuatu yang tidak masuk akal—setelah 26 tahun menjalani semuanya dengan baik-baik saja—untuk merasa muak luar biasa pada kehidupan di metropolitan yang penuh gempita. Jakarta adalah rumah saya. Saya memiliki kehidupan yang baik, pekerjaan yang baik, dan teman-teman saya berada di sini. Apa yang salah?

Entahlah.

Yang saya tahu hanya, saya harus secepatnya pergi, atau saya akan mati pengap. Julangan gedung dan ribuan kendaraan yang bagaikan parkir di jalan selepas pulang kantor menghimpit kewarasan saya. Kehidupan yang penuh hiruk-pikuk dan hingar-bingar telah menggerogoti saya. Kebosanan teramat-sangat pada rutinitas yang saya jalani setiap hari—tanpa jeda, tanpa perbedaan—mencuri kebahagiaan saya.

Barangkali tidak ada yang salah. Barangkali memang sudah waktunya untuk pergi.

Saya tiba di Michi pada pukul 21:30 waktu setempat, setelah pesawat saya mengalami tunda terbang selama dua jam. Sesampainya di resort, saya disambut pengelola hotel dan housekeeper yang memberikan saya tur keliling sebagian wilayah resort.

Setelah memilih kamar, saya menikmati makan malam di restoran. Melihat saya sendirian, Wayan, pria paruh baya pengelola resort, menemani saya. Ia menjelaskan asal-usul dipilihnya nama Michi, filosofi yang terkandung di baliknya dan sebagainya. Di akhir percakapan, ia menawarkan diri untuk membaca telapak tangan saya.

Saya sempat risih, namun akhirnya membiarkannya mengamati telapak tangan kiri saya. Setelah mengutarakan beberapa hal tentang diri saya, ia kembali bercerita tentang Michi. Tentang aliran sungai. Tentang hidup yang hendaknya dibiarkan mengalir, ke mana pun ia mau; tanpa dibebani ambisi dan keinginan yang memberatkan. Tentang kesederhanaan. Tentang kebahagiaan. Tentang senyuman.

Mendengar Wayan bicara, entah mengapa mata saya membasah. Saya tahan agar cairan itu tidak mengumpul dan menetes. Saya tidak tahu mengapa, dan tidak ingin tahu. Yang saya tahu, saya berada di sini. Jauh dari gegap-gempita metropolitan yang menyesakkan. Itu sudah cukup.

Setelah makan, saya kembali ke kamar. Kamar saya terletak persis di atas sungai berarus deras. Saya sempat menyangka hujan lebat turun dan akhirnya sadar bahwa suara menderu itu adalah arus air.

Esok paginya, ketika saya keluar dari kamar, pemandangan indah menyambut saya. Hamparan hijau sawah dan pepohonan, air sungai yang memecah bebatuan dan hawa sejuk yang dibawa aliran deras itu menemani pagi pertama saya di Ubud. Saya melangkah ke restoran untuk sarapan. Sejumlah karyawan tersenyum menyambut kedatangan saya dan mengucapkan selamat pagi.

Sejenak, saya tercekat. Tidak terbiasa dengan keramahan itu. Bukannya saya tidak pernah menemui keramahan di kota besar, namun keramahan itu adalah keramahan yang sudah dilatih. Senyum itu adalah senyuman yang tersungging secara otomatis, karena pembeli dan pengguna adalah raja. Di resort kecil ini, semua orang menyambut saya dengan senyum lebar. Bukan senyum basa-basi, bukan pula senyum formal penyedia layanan kepada customer-nya. Ketika saya menatap mereka, mata mereka ikut tersenyum.

Pada hari kedua, saat saya sedang menikmati camilan sore sambil bekerja, seorang karyawan menghampiri saya.

“Ini jatuh kemarin...” Ia menyodorkan secarik kertas berukuran kecil. Saya mengambil kertas itu dan terbengong sesaat. Kertas putih itu adalah tiket bioskop bekas yang belum sempat saya buang. Barangkali kertas itu jatuh dari dompet ketika saya mengeluarkan uang untuk membayar makan malam saya hari sebelumnya.

Saya memperhatikan kertas itu dan secercah haru menyusupi batin saya.

Betapa remehnya. Betapa sederhananya. Betapa bermaknanya.

Setiap hari saya menikmati sarapan sambil melihat hamparan sawah, merasakan semilir angin dan mendengarkan arus sungai. Siangnya saya berkunjung ke pusat kota, mencicipi makanan di beberapa restoran yang direkomendasikan kawan dari Jakarta dan jalan-jalan tak tentu arah. Di malam hari, saya mematikan kipas angin dan tidur dengan selimut sambil mendengarkan deruan air di bawah sana. Dan esok paginya saya akan kembali bangun, keluar kamar, menarik napas dalam-dalam menghirup udara segar yang bersih, memanjakan mata dengan hamparan hijau dan kembali melangkahkan kaki ke restoran untuk sarapan.

Saya akan menjumpai senyum ramah di wajah setiap karyawan hotel. Tak jarang mereka menyapa, “Tidurnya enak semalam?” “Hari ini mau ke kota?” dan sebagainya. Dan mata mereka selalu ikut tersenyum. Wayan yang lebih banyak bekerja di lantai dua sering melongokkan kepala ketika saya melintasi kolam renang di bawah. Ia akan berseru, “Apa kabar?” dan saya akan menjawab dengan seruan pula.

Wajah-wajah tersenyum itu ada di mana-mana. Seorang karyawan perempuan bahkan menitipkan pesan, “Hati-hati di jalan, ya...” ketika saya berkata bahwa saya berniat mengunjungi kota untuk makan babi guling. Saya tertegun dan bibir saya otomatis mengembangkan senyum dan mengucapkan terima kasih, namun hangat yang merambati hati saya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Karena lokasi yang sedikit terpencil dan berada di antara hamparan sawah dan sungai, sinyal telepon genggam sering sulit didapat. Koneksi internet sering terputus, bahkan mati sama sekali, padahal telepon genggam dan internet adalah dua hal yang sangat esensial bagi saya di Jakarta. Anehnya, saya tak terlalu merasa kehilangan. Di tempat ini, setiap hari saya tersenyum.

Wanita Polandia itu menghabiskan jus semangkanya dan berpamitan. Ia datang hanya untuk melihat-lihat dan akan segera pergi ke kota lain.

“Kamu sangat beruntung.”

Saya memandangi punggungnya yang bergerak menjauh. Saya menatap seorang karyawan resort tak jauh dari kami yang berdiri dengan senyum ramahnya.

Mendadak senyuman itu terasa jauh lebih berarti ketimbang hal-hal lainnya.

Ya, saya memang beruntung.

-----