Sunday, January 30, 2011

27

Saya tidak pernah berusaha memaafkan.

Saya percaya, berusaha memaafkan hanya akan menghasilkan pemaafan yang prematur. Pemaafan tidak perlu diupayakan. Ia akan hadir dengan sendirinya ketika hati sudah siap memaafkan, dan saya percaya hati punya waktunya sendiri.

Saat saya belum bisa memaafkan, yang saya lakukan adalah mengizinkan diri sendiri untuk merasakan apa pun yang muncul dalam hati saya sepenuhnya. Amarah. Kesedihan. Kekecewaan. Dendam. Dan yang paling sering saya lakukan adalah menulis. Menyampaikan apa yang saya rasakan kepada orang yang bersangkutan lewat berlembar-lembar tulisan, sekalipun tulisan itu hanya tersimpan di komputer saya.

Saat saya belum bisa memaafkan, saya mengizinkan diri saya menangis. Mengutuk. Memaki. Menyesali diri. Saya memberikan tempat dan ruang khusus agar emosi-emosi ini bisa hadir, seperti di malam hari sebelum tidur, satu jam setelah saya terbangun, atau setelah pekerjaan saya selesai. Dan pemaafan selalu hadir pada waktunya—setelah PR batin (meminjam istilah seorang teman) saya usai.

Hari ini saya berusia 27 tahun. Saat terbangun di pagi hari, saya memikirkan apa yang akan saya tuliskan di sini. Banyak pemikiran berlintasan, namun tak satu pun terasa pas. Setelah lama berusaha mengumpulkan kata, saya pun menyerah dan kembali tertidur.

Ketika saya membuka mata di siang hari, hal pertama yang melintas di benak saya adalah dia.

Tahun lalu kami melewatkan 30 Januari bersama. Dia memeluk pinggang saya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Dia yang menjadi topik banyak tulisan di blog ini setahun terakhir. Dia yang—meminjam istilah banyak orang—adalah sosok pertama yang saya sebut cinta.

Perpisahan itu meninggalkan bekas yang mendalam. Begitu dalam hingga saya tak punya nyali untuk menjajaki hubungan dengan orang lain. Saya bersikap defensif dan kendati saya tak berusaha menghindari pria lain, saya akan jadi pihak pertama yang kabur ketika hati mulai bereaksi. Saya demikian takut terluka dan setiap ingatan tentangnya memicu luka baru.

Siang ini, ketika saya membuka mata, hal pertama yang melintas di benak saya adalah dia. Apa yang seharusnya kami lakukan. Janji-janji yang tak terpenuhi. Namun anehnya, kali ini ingatan itu tak lagi memunculkan rasa sakit—pedih, marah, kecewa… apa pun.

Saya mengingatnya dan riak-riak itu tak lagi ada. Hati saya terasa… netral.

Dan tahulah saya, saya sudah siap memaafkan.

Saat saya duduk dalam hening—meditasi pertama saya di tahun 2011—air mata yang mengalir di wajah saya tak lagi disertai rasa sakit. Pemaafan muncul dengan sendirinya tanpa perlu saya usahakan. Dan ia hadir dengan indah.

Hari ini saya meninggalkan 26, dan inilah ‘bekal’ yang saya bawa untuk menjalani 27: penyadaran bahwa hati tidak butuh alasan untuk memaafkan.

Untuk itu, terima kasih, Hidup.

----

Thursday, January 13, 2011

Cerita Gadis

Gadis duduk di sudut tempat tidur, bergelung serupa bola. Di sekitarnya, bola-bola putih tersebar di atas kasur, bantal, lantai.

Gadis mengambil dua lembar tisu sekaligus dan membersit cairan dari hidungnya. Kepalanya pening dan ia baru sadar, sedari pagi perutnya belum terisi makanan. Hanya beberapa butir cokelat warna-warni yang kemarin dibelinya di toko kecil serba ada. Namun ia tak peduli.

Kalender di sisi meja rias penuh coretan merah. Kalender yang nyaris disobek-sobeknya namun urung mengingat akhir tahun masih lama dan ia tak punya kalender cadangan. Kalender tempat ia menghitung bulan, minggu, hari demi hari, menuju sebuah tanggal keramat.

Ulang tahunnya.

Sekaligus tanggal perjumpaannya dengan Lelaki.

Pria yang telah mengisi hidupnya satu tahun terakhir. Yang sudah ratusan kali menjadi alasannya menangis dan membenci hidup. Pria yang dicintainya setengah mati, yang meninggalkannya setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.

Pria yang berjanji menghadiahinya makan malam sebagai peringatan satu tahun perjumpaan mereka. Pria yang menghilang sebulan sebelum tanggal itu tiba, lenyap seperti direnggut angin, membawa hatinya, menyerpih jiwanya.



Berhari-hari, Gadis bagaikan lumpuh. Teman-temannya mulai menyadari perbedaan pada dirinya.

“Kamu kurus sekali sekarang, Dis?”

“Ah, masa sih?” Gadis menjawab ceria, berharap mereka tak menyadari redup matanya. Tak semua orang perlu tahu.

Hari berlalu lambat.

Gadis tak lagi bisa membedakan kekuatan yang membuatnya mampu bangun setiap pagi dan menjelang hari dengan senyum—penyangkalan, perih yang ditutup-tutupi, atau tanda kesiapan bahwa ia bisa meneruskan hidupnya tanpa dibayang-bayangi Lelaki?

Jika itu tanda, mengapa air matanya masih turun setiap malam? Mengapa perih membuatnya menghabiskan lagi setengah pak tisu di tempat tidur, bergelung seperti anak kesakitan dan membuat amarahnya bergolak hingga nyaris dilemparnya benda-benda ke dinding?



Nada dering yang tak asing menggugah kesadarannya. Nada dering itu dipasang khusus untuk orang-orang terdekat—keluarga, sahabat dan siapa lagi kalau bukan Lelaki.

Jantungnya berdetak cepat.

Mungkinkah itu Lelaki?

Mungkinkah nuraninya tergugah?

Mungkinkah ia menelepon untuk mengucapkan maaf, atau sekadar menyapa?

Sigap, Gadis meraih benda mungil seukuran tak lebih dari telapak tangan itu.

Di seberang sana terdengar isak tangis.

Jantungnya bagai membeku.

Isak tangis itu semakin keras. Gadis menggenggam telepon dengan hati tak karuan.

Sahabatnya, seorang perempuan, baru saja kehilangan bayinya. Sepuluh menit lalu dokter meninggalkan kamar rumah sakit tempatnya berbaring dengan sebuah vonis: bayi mungil mereka tak lagi punya denyut nadi. Lilitan tali pusar di lehernya telah mengambil nyawanya.

Delapan bulan usia janin itu, siap menjenguk dunia, yang harus pergi hanya beberapa hari sebelum ulang tahun ibunya. Hadiah paling berharga yang sudah dinanti-nantikan itu kini harus direlakan, entah bagaimana caranya.



Gadis tergugu. Tak sepatah kata pun sanggup terucap.

Embun hangat jatuh pelan-pelan. Menyusuri pipinya. Menderas, jatuh ke pangkuan.

Mendadak, perihnya lenyap tak tersisa. Mendadak, yang ia inginkan hanya berlari, secepat kedua kakinya sanggup membawa, atau terbang sekalian kalau bisa, ke sisi sahabatnya untuk memeluk dan menggenggam tangannya.

Mendadak, segala kalut dan sengsaranya tak lagi punya arti.

Mendadak, Gadis tersadar.

Barangkali, air matanya malam ini, adalah cara Semesta memberitahu.

-----

Saturday, January 8, 2011

Just a Little Wish...

"May your coming year be filled with magic and dreams and good madness.

I hope you read some fine books and kiss someone who thinks you're wonderful, and don't forget to make some art -- write or draw or build or sing or live as only you can.

And I hope, somewhere in the next year, you surprise yourself."

(Neil Gaiman)


Amen to that. :-)

Thursday, January 6, 2011

Tuhanku

Kau datang padaku dan bertanya,
Apakah kau percaya Tuhan?

Tentu.
Sudah terlalu banyak kualami untuk berkata tak ada tuhan
Ia bagiku senyata embusan napas dan senyaring suaramu.

Tuhanku tak punya nabi dan rasul untuk menyampaikan pesan
Ia tak butuh sekelompok orang untuk membelanya
Dan tak merasa perlu mendirikan kerajaan di muka Bumi.

Tuhanku mencintai tanpa syarat dan tak pandang rupa
Ia tak mengenal benci dan umatnya tak perlu berjuang menyatukan perbedaan
Karena perbedaan diciptakannya untuk memberi warna dunia.

Tuhanku kutemui di mana-mana, setiap hari
Tanpa perlu kuinjak tempat ibadah, tanpa kubuka kitab suci.

Tuhanku tak minta kau percaya padanya dan tak mesti disanjung
Ia hanya ada dan cuma itu yang perlu kutahu.

Kau tanya padaku,
Apakah kau percaya Tuhan?

Tentu.
Namun barangkali
Kita tak sedang membicarakan Tuhan yang sama.


Jakarta, Januari 2011. Diiringi sebuah doa, agar tak perlu lagi darah tumpah karena Tuhanku dan Tuhanmu tak sama.