Thursday, February 10, 2011

Pesan dari Cancun: Kiamat Modern Tak Perlu Datang Lebih Awal

















Saya cukup beruntung mendapatkan kesempatan untuk meliput konferensi perubahan iklim internasional yang diadakan di Cancun, Meksiko, November-Desember 2010. Pengetahuan saya tentang perubahan iklim selama ini bisa dibilang cukup, tapi saya tak pernah betul-betul memahami dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global yang sering saya baca di media cetak dan internet. Di Cancun, selama dua minggu penuh, saya melihat dan mendengar banyak hal yang membuka mata dan hati saya.

Perubahan iklim dirasakan oleh seluruh negara di dunia, namun ada negara-negara tertentu yang paling parah merasakan pengaruhnya. Dampak perubahan iklim tidak saja meliputi kekurangan bahan makanan, namun juga berpengaruh terhadap kemakmuran dan kesehatan penduduk—yang dipicu kelaparan dan kekurangan gizi—di daerah yang bersangkutan.

Dalam salah satu sesi di Cancun Messe, delegasi dari Uganda—betul, Uganda, tempat yang selama ini cuma saya dengar di televisi—menceritakan kondisi negaranya di mana bencana alam kian sering terjadi. Temperatur meningkat kurang lebih 0.28 derajat Celcius setiap dekade. Kalikan sepuluh, maka persoalan ini tak bisa dianggap remeh.

Perekonomian Uganda saat ini amat bergantung pada sumber daya alam, namun perubahan iklim telah mengakibatkan berbagai peristiwa cuaca ekstrim yang berujung pada rusaknya lahan pertanian. Kegagalan panen. Hama. Meningkatnya kelaparan dan kemiskinan. Kekeringan, kelangkaan air dan erosi tanah bukan hal asing di Uganda. Dan jangan lupakan pertumbuhan populasi yang mengakibatkan situasi bertambah parah, karena jumlah penduduk tak berimbang dengan ketersediaan air dan pangan.

Belum habis keterkejutan saya mendengar fakta-fakta itu, naik ke podium seorang pria berkulit gelap. Ia memperkenalkan diri sebagai delegasi dari Republic of Seychelles di benua Afrika. Namanya Ronny Jumeau. Dengan pelan ia menjelaskan bahwa situasi yang disebabkan kekurangan air dan kekeringan jauh lebih kompleks dibanding dugaan orang selama ini.

Suara Jumeau meninggi saat ia menegaskan bahwa negaranya bukanlah negara miskin. Kelangkaan air itu disebabkan oleh perubahan iklim. Musim hujan menjadi lebih pendek dan kekeringan menjadi ancaman yang tidak hanya merugikan, namun juga mematikan. Untuk mengatasi masalah ini, penggunaan air terpaksa dibatasi secara ketat. Beberapa daerah malah tidak mendapatkan jatah air sama sekali sehingga penduduk harus mengantri demi seember-dua ember air. Masalah berhenti sampai di sana? Tidak. Meningkatnya harga barang kebutuhan pokok seperti makanan dan minyak amat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.

Ruangan menjadi hening ketika Jumeau bicara dengan suara bergetar, “Bangsa kami adalah bangsa yang ramah. Kami senang tersenyum. Tidak mudah bagi kami untuk tersenyum, namun senyuman bisa meringankan beban hidup karena kami tidak mampu membayar terapis. Kami tersenyum, namun kami menderita. Seychelles adalah negeri yang indah, namun kami tidak bisa hidup dari keindahan belaka. Kami tidak bisa makan pasir. Kami tidak bisa minum air laut. Perubahan iklim yang disebabkan tingkah laku manusia telah menyebabkan semua kesusahan ini.”

Delegasi yang bercerita tentang kondisi negara mereka tak cuma orang dewasa. Anak-anak—bahkan yang berusia di bawah remaja—yang turut hadir dalam konferensi iklim Cancun tak mau ketinggalan.

Walter dari Belieze, yang usianya tak lebih dari 10 tahun, dengan berani bercerita tentang banjir yang melanda kotanya dan mengubah hidupnya. Bencana tersebut menyebabkan keluarganya kehilangan hasil pertanian selama berbulan-bulan dan menyisakan trauma mendalam.

“Saya adalah korban perubahan iklim. Saya hidup di daerah yang terus menerus mengalami bencana. Orang-orang kehilangan rumah, hasil panen, bahkan nyawa mereka,” lugas ia bercerita.

“Tolong lakukan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Berikan contoh kepada kami. Anak-anak akan mengikuti apa yang orang tua dan guru-guru lakukan. Tolong berikan contoh yang baik kepada kami.” Permintaan itu sederhana.

Coraline Norris, remaja manis berkulit hitam dari Haiti bercerita tentang badai topan yang menggerogoti negaranya. Juga tentang hidupnya yang tak pernah sama lagi sejak peristiwa tersebut.

“Usia saya baru 14 tahun dan saya sudah mengalami badai topan yang dahsyat. Saya beruntung bisa selamat, tapi setiap malam saya tidur dengan rasa takut karena saya tidak tahu bencana apa lagi yang akan melanda Haiti esok atau lusa,” tutur Norris.

“Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Di Haiti, ada ribuan anak seperti saya—kami selamat, kami bertahan hidup dan menginginkan kesempatan. Impian saya adalah menyumbangkan kebaikan bagi Bumi agar semua orang dapat hidup aman dan damai.” Saat Norris mengakhiri kalimatnya, banyak orang menyusut air di mata mereka.























Coraline Norris membacakan pidatonya


Protokol Kyoto
akan segera berakhir tahun depan. Konferensi Iklim Cancun diharapkan membawa terobosan agar kerja sama internasional yang mengikat negara-negara di dunia dan akan berdampak secara langsung pada eksistensi planet ini dapat tercapai. Sayangnya, bagi banyak negara yang rentan terhadap perubahan iklim, menunggu bukanlah pilihan. Bencana akan tetap terjadi, dengan atau tanpa perjanjian yang mengikat. Kelaparan dan kekurangan mengintai layaknya monster yang bisa menyerbu dan mencabik kapan saja. Negara-negara ini tak bisa menunggu dunia bertindak. Mereka harus menyelamatkan diri sendiri.

“Lepas dari ada atau tidaknya perjanjian yang mengikat, kami memerlukan tindakan nyata. Kami harus beradaptasi dengan perubahan yang terus terjadi. Kami tidak dapat makan pasir dan minum air laut sambil menunggu perjanjian internasional terbentuk. Setidaknya tunjukkan kepada kami apa yang harus kami lakukan.”

Jumeau tahu ia tidak memiliki pilihan. Afrika tidak seperti negara-negara adidaya yang berlimpah hasil bumi, di mana mayoritas penduduk hidup tenteram dan sejahtera. Afrika tidak seperti benua-benua lain yang penduduknya hingga kini masih menikmati mewahnya air bening di rumah masing-masing. Urgensi itu nyata.

Saya terpaku di tempat duduk saya. Semua yang baru saja saya dengar terasa tak nyata, sekaligus mengguncangkan. Bagai tamparan pedas yang tak ingin saya percayai. Di belahan dunia lain, yang selama ini cuma saya saksikan di televisi, jutaan orang menderita kelaparan dan kehausan. Bukan karena mereka miskin, namun karena alam berhenti memberi mereka makan.

Mendadak, saya merasa sangat bersyukur bisa datang ke tempat ini. Di mana mata hati saya dibukakan secara langsung oleh orang-orang yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Di mana saya mendapatkan pembelajaran berharga mengenai kelangsungan hidup planet yang kita tinggali bersama. Di mana saya sekali lagi diingatkan.

Ada orang-orang yang datang ke Cancun sebagai wakil negara untuk bernegosiasi dalam Konferensi Iklim. Ada yang datang atas nama pekerjaan—saya salah satunya. Ada pula yang datang untuk berlibur. Namun tak sedikit orang yang terbang ke tempat ini dengan harapan membuncah. Melintasi ribuan mil karena hanya di sini suara mereka dapat didengar oleh dunia. Mengarungi benua karena cuma di sini jeritan mereka dapat disuarakan. Dan barangkali... barangkali, di suatu tempat, puluhan ribu mil jauhnya, sebuah doa tengah dipanjatkan. Agar kesusahan cepat berlalu. Agar peristiwa alam tak perlu lagi jadi sesuatu yang ditakuti. Agar makanan dan air tak lagi jadi barang istimewa yang dikejar bagai berlian.

Perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata—lebih dari itu, ia tak terhindarkan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanya berupaya agar kiamat modern tak perlu datang lebih cepat dari perhitungan para ahli dan ilmuwan. Merubah gaya hidup bisa merupakan langkah sederhana yang besar artinya bagi eksistensi Bumi. Menanamkan kesadaran akan pentingnya mencintai dan merawat lingkungan hidup bisa jadi penyelamat bagi adik, anak, bahkan cucu kita kelak. Tindakan nyata yang dimulai dari diri sendiri—dari rumah kita sendiri—bisa menyelamatkan jutaan orang di dunia.

Perubahan iklim boleh terus terjadi. Pemanasan global boleh jadi sesuatu yang tak terhindarkan. Namun kita dapat melakukan sesuatu agar Jumeau-Jumeau dan Norris-Norris yang tersebar di seluruh penjuru dunia tidak perlu hidup dalam ketakutan akan hari esok.

Sadari bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata. Sadari bahwa merawat lingkungan hidup bisa jadi merupakan satu-satunya hal yang memungkinkan planet ini tetap ada bagi kelangsungan hidup anak-cucu kita kelak. Dan bertindaklah.




















Saya dan Coraline Norris


-----

Monday, February 7, 2011

Pulang

Kartono baru menyelesaikan doanya ketika telepon di ruang tengah berdering. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan dan bangkit, namun dering itu keburu terputus. Sayup-sayup terdengar suara Ahdiyat.

Kartono melipat sarungnya. Keningnya berkerut mendengar suara Ahdiyat yang meninggi, seperti sedang berdebat. Saat ia keluar, Ahdiyat sedang duduk termangu di sofa usang di samping meja telepon.

“Itu tadi Pak RT,” jelas Ahdiyat tanpa diminta. “Kita diperingatkan supaya Minggu besok tidak berkumpul, atau tanggung sendiri akibatnya.”

Kartono memijat keningnya yang tidak sakit. Peringatan ini sudah yang ketiga kalinya. Terlalu banyak dalam satu bulan.

“Bapak sudah tahu?” Kartono menuang air es ke gelas beling, memberikannya pada Ahdiyat.

Ahdiyat meneguk air itu dan ketegangan di wajahnya berangsur reda. “Belum. Nantilah.”

Kartono dan Ahdiyat adalah mantan pengangguran, perantau dari Jawa Timur yang nyaris jadi gelandangan andai Pak Sugeng, pemuka agama yang dihormati di kampung itu, tidak menawari mereka bermalam di rumahnya dan membolehkan mereka tinggal di sana sampai mendapatkan pekerjaan. Bahkan setelah Kartono dan Ahdiyat memperoleh pekerjaan, Sugeng dan Rahmi, istrinya, mencegah mereka pergi dari rumah itu karena sudah kadung menganggap mereka anak sendiri.

Kartono pernah menanyakan soal itu kepada Sugeng. Kenapa mereka dilarang berkumpul dan beribadah di tanah mereka sendiri—lebih buruk lagi, rumah mereka sendiri.

Sugeng menatapnya sambil tersenyum, tapi Kartono belum pernah melihat wajahnya sesuram itu.

“Karena kita dianggap sesat.” Penjelasan itu rasanya tak cukup, tapi Kartono tak berkata apa-apa lagi.

Malam itu, meja makan terasa lebih sunyi dari biasanya. Mereka bersantap dalam diam.

“Jadi Minggu besok tidak ada ibadah, Pak?” Kartono memecah kesunyian.

Sugeng menghentikan suapannya. Semua mata tertuju pada pria setengah baya itu. Kartono baru menyadari betapa wajah lelaki yang sudah dianggapnya ayah sendiri itu kini dihiasi kerutan yang membuatnya tampak jauh lebih tua.

“Kita tetap berkumpul dan beribadah seperti biasa,” jawab Sugeng, “tapi kalau kalian ndak mau ikut, ndak apa.”

“Pak, Bapak tahu kami nggak akan ke mana-mana,” tegas Ahdiyat.

Sugeng tersenyum dan meneruskan suapannya.

Jemaah yang hadir minggu itu tak sebanyak biasanya. Sugeng berdiri dan menyampaikan ceramah dengan suaranya yang jernih dan tenang. Ahdiyat dan Kartono duduk di depan. Di dapur Rahmi sibuk menyiapkan jajanan pasar dan teh yang akan dinikmati bersama usai ibadah.

Semua berjalan seperti biasa. Hingga terdengar derap kaki disertai teriakan dari kejauhan. Riuh yang mendekati rumah kecil tempat mereka berkumpul.

“Cepat! Cepat!”

“Itu rumahnya! Mereka semua di sana!”

Jemaah berpandang-pandangan dengan bingung. Sugeng menghentikan ceramahnya. Ahdiyat yang pertama bangkit. Ia berjalan ke jendela dan menyibak tirai. Wajahnya seketika mengeras.

“Kita diserbu.”

Jemaah serentak bangkit. Mereka berebut melihat melalui jendela. Kerumunan orang semakin dekat. Teriakan semakin jelas terdengar dan dari jendela kusam itu tampak benda-benda yang berada di tangan mereka; parang, bambu, kelewang. Ketenangan musnah sudah.

Sugeng mengangkat tangannya.

“Jangan panik. Kita harus tetap tenang. Kartono, buka pintu belakang. Kita keluar lewat belakang. Jangan ribut.”

Dengan sigap Kartono melakukan perintah itu. Sebagian jemaah langsung mengikutinya, keluar lewat pintu belakang yang menghadap sawah dan melarikan diri secepat yang mereka bisa. Sebagian jemaah masih berkerumun dekat jendela, seperti terbius menyaksikan arak-arakan manusia yang kian dekat, mengacungkan senjata dengan penuh amarah.

“Jangan sampai ada yang lolos! Kepung kafir-kafir itu!”

“Tumpas semuanya! Binasakan!”

“Singkirkan kesesatan! Tolak kemaksiatan!”

“Pak, ayo cepat kita pergi,” Rahmi menarik tangan suaminya. Suaranya bergetar.

“Kamu duluan saja, sama Ahdiyat dan Kartono. Saya pergi kalau semua sudah keluar,” Sugeng menjawab tenang.

“Aku ndak akan ninggalin Bapak,” isak Rahmi, mendekap lengan Sugeng dengan kedua tangan seperti anak kecil memohon pada ayahnya. Sugeng memeluk istrinya. Tidak tersirat takut di wajah itu. Yang tampak hanya kesedihan.

Ahdiyat dan Kartono berhasil mengeluarkan semua orang dari rumah. Mereka merangkul Sugeng dan Rahmi, berjalan secepatnya ke belakang. Terdengar derakan keras disusul suara kaca pecah. Pintu terbentang lebar.

“Mereka kabur!”

“Itu pimpinannya!!”

“Kejar! Tangkap! Bunuh!!”

Kartono tak pernah merasa setegang itu. Lengannya yang merangkul kuat bahu ringkih Sugeng—yang menggandeng Rahmi yang kini tersedu-sedu—bagai mati rasa. Ahdiyat merangkul mereka dari belakang, menggunakan tubuhnya sebagai tameng.

“Itu mereka! Di sawah! CEPAT! KEJAR!”

Puluhan—tidak, ratusan—orang berjubah dan berkopiah putih berlari ke arah mereka. Parang dan bambu teracung ke udara.

“ANJING!” Bertahun-tahun mengenalnya, baru kali itu Kartono mendengar Ahdiyat berserapah.

Untuk pertama kali seumur hidupnya, ia merasakan ketakutan yang begitu hebat. Sekaligus kepasrahan luar biasa.

“Tangkap! Hajar! BASMI!!”

“Binasakan orang kafir!”

“BUNUH!!”

Tarikan kuat di kerah bajunya membuat Kartono terjungkal. Rangkulannya terlepas. Terdengar jeritan Rahmi.

Sesuatu yang keras menghantam kepalanya. Dan punggungnya. Terdengar suara berderak, tulang-tulang yang patah. Kartono tersungkur. Semua menjadi gelap.


* * *


Kartono membuka mata perlahan. Setengah linglung ia berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia mengerjapkan mata dan ingatannya berangsur pulih.

Orang-orang berjubah dan berkopiah. Bambu, batu, kelewang, dan parang.

Apakah mereka sudah pergi?

Tidak, belum. Teriakan-teriakan itu masih membahana.

Kartono tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tubuh-tubuh bergelimang lumpur itu tergeletak tanpa nyawa. Darah menggenang di tanah dan rerumputan. Pemandangan itu mengingatkannya pada hari raya kurban, namun kali ini, yang dipersembahkan adalah manusia.

Kartono tak sanggup berbicara. Tubuhnya seperti beku. Hanya matanya yang terus merekam apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Sugeng, Rahmi dan Ahdiyat tak terlihat. Barangkali mereka berhasil selamat. Barangkali Ahdiyat berhasil membawa mereka kabur. Semoga mereka semua aman.

Kartono merasa seseorang mendekatinya. Ia menoleh. Seseorang berjubah putih berdiri di sampingnya. Ia tak mengenakan kopiah. Sorot matanya ramah.

Sosok berjubah putih itu tersenyum, mengulurkan tangan. Kartono menatapnya dan menyambut tangan itu. Tanpa perlu diberitahu, ia tahu ke mana mereka akan menuju. Pulang.

Sosok itu berbalik. Kartono mengikutinya. Sebelum beranjak, ia menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk terakhir kali. Ke bawah pohon akasia tempatnya membuka mata.

Di sana, sekelompok orang berjubah dan berkopiah mengerumuni tubuhnya. Menghantamkan batu sebesar nampan ke kepalanya. Darah muncrat. Orang-orang itu berteriak menyerukan nama Tuhan yang juga ia sembah.

-----

Jakarta, 7 Februari 2011. Sebagai tanda belasungkawa atas mereka yang pergi demi nama Tuhan.