Thursday, April 14, 2011
Pindahan!
2006-2011.
Nggak kerasa. Waktu cepat sekali berlalu. Menjelang 5 tahun menempati rumah maya ini, saya merasa sudah waktunya pindah. Ke tempat baru, dengan suasana baru, yang (moga-moga) lebih nyaman dari sebelumnya.
Dan inilah alamat baru saya:
Monggo, monggo. Silakan dikunjungi, disinggahi, dikomentari, apa pun.
Semoga betah. Semoga terhibur.
Nyok, pindahan!
-----
Nggak kerasa. Waktu cepat sekali berlalu. Menjelang 5 tahun menempati rumah maya ini, saya merasa sudah waktunya pindah. Ke tempat baru, dengan suasana baru, yang (moga-moga) lebih nyaman dari sebelumnya.
Dan inilah alamat baru saya:
Monggo, monggo. Silakan dikunjungi, disinggahi, dikomentari, apa pun.
Semoga betah. Semoga terhibur.
Nyok, pindahan!
-----
Saturday, April 2, 2011
On Getting Used To
"Eight people died in Afghanistan," my friend told me.
"Huh?"
That was my only response.
Afghanistan.
What's the first thing that comes into your mind when you hear the word?
"Eight people died in Afghanistan."
Why wasn't I surprised?
And now, take a glimpse of this beautiful country.
When was the last time you felt the sickening agony of the killings done by some people who called themselves the servants of God?
When was the last time you were shocked by the news about someone who jumped from the 5th floor of a shopping mall?
When was the last time you felt the painful stab on your chest when you saw the polices bringing out a package that contains bomb out of a building?
We are getting used to it. And that's the scariest thing of all.
-----
Thursday, February 10, 2011
Pesan dari Cancun: Kiamat Modern Tak Perlu Datang Lebih Awal
Saya cukup beruntung mendapatkan kesempatan untuk meliput konferensi perubahan iklim internasional yang diadakan di Cancun, Meksiko, November-Desember 2010. Pengetahuan saya tentang perubahan iklim selama ini bisa dibilang cukup, tapi saya tak pernah betul-betul memahami dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global yang sering saya baca di media cetak dan internet. Di Cancun, selama dua minggu penuh, saya melihat dan mendengar banyak hal yang membuka mata dan hati saya.
Perubahan iklim dirasakan oleh seluruh negara di dunia, namun ada negara-negara tertentu yang paling parah merasakan pengaruhnya. Dampak perubahan iklim tidak saja meliputi kekurangan bahan makanan, namun juga berpengaruh terhadap kemakmuran dan kesehatan penduduk—yang dipicu kelaparan dan kekurangan gizi—di daerah yang bersangkutan.
Dalam salah satu sesi di Cancun Messe, delegasi dari Uganda—betul, Uganda, tempat yang selama ini cuma saya dengar di televisi—menceritakan kondisi negaranya di mana bencana alam kian sering terjadi. Temperatur meningkat kurang lebih 0.28 derajat Celcius setiap dekade. Kalikan sepuluh, maka persoalan ini tak bisa dianggap remeh.
Perekonomian Uganda saat ini amat bergantung pada sumber daya alam, namun perubahan iklim telah mengakibatkan berbagai peristiwa cuaca ekstrim yang berujung pada rusaknya lahan pertanian. Kegagalan panen. Hama. Meningkatnya kelaparan dan kemiskinan. Kekeringan, kelangkaan air dan erosi tanah bukan hal asing di Uganda. Dan jangan lupakan pertumbuhan populasi yang mengakibatkan situasi bertambah parah, karena jumlah penduduk tak berimbang dengan ketersediaan air dan pangan.
Belum habis keterkejutan saya mendengar fakta-fakta itu, naik ke podium seorang pria berkulit gelap. Ia memperkenalkan diri sebagai delegasi dari Republic of Seychelles di benua Afrika. Namanya Ronny Jumeau. Dengan pelan ia menjelaskan bahwa situasi yang disebabkan kekurangan air dan kekeringan jauh lebih kompleks dibanding dugaan orang selama ini.
Suara Jumeau meninggi saat ia menegaskan bahwa negaranya bukanlah negara miskin. Kelangkaan air itu disebabkan oleh perubahan iklim. Musim hujan menjadi lebih pendek dan kekeringan menjadi ancaman yang tidak hanya merugikan, namun juga mematikan. Untuk mengatasi masalah ini, penggunaan air terpaksa dibatasi secara ketat. Beberapa daerah malah tidak mendapatkan jatah air sama sekali sehingga penduduk harus mengantri demi seember-dua ember air. Masalah berhenti sampai di sana? Tidak. Meningkatnya harga barang kebutuhan pokok seperti makanan dan minyak amat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.
Ruangan menjadi hening ketika Jumeau bicara dengan suara bergetar, “Bangsa kami adalah bangsa yang ramah. Kami senang tersenyum. Tidak mudah bagi kami untuk tersenyum, namun senyuman bisa meringankan beban hidup karena kami tidak mampu membayar terapis. Kami tersenyum, namun kami menderita. Seychelles adalah negeri yang indah, namun kami tidak bisa hidup dari keindahan belaka. Kami tidak bisa makan pasir. Kami tidak bisa minum air laut. Perubahan iklim yang disebabkan tingkah laku manusia telah menyebabkan semua kesusahan ini.”
Delegasi yang bercerita tentang kondisi negara mereka tak cuma orang dewasa. Anak-anak—bahkan yang berusia di bawah remaja—yang turut hadir dalam konferensi iklim Cancun tak mau ketinggalan.
Walter dari Belieze, yang usianya tak lebih dari 10 tahun, dengan berani bercerita tentang banjir yang melanda kotanya dan mengubah hidupnya. Bencana tersebut menyebabkan keluarganya kehilangan hasil pertanian selama berbulan-bulan dan menyisakan trauma mendalam.
“Saya adalah korban perubahan iklim. Saya hidup di daerah yang terus menerus mengalami bencana. Orang-orang kehilangan rumah, hasil panen, bahkan nyawa mereka,” lugas ia bercerita.
“Tolong lakukan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Berikan contoh kepada kami. Anak-anak akan mengikuti apa yang orang tua dan guru-guru lakukan. Tolong berikan contoh yang baik kepada kami.” Permintaan itu sederhana.
Coraline Norris, remaja manis berkulit hitam dari Haiti bercerita tentang badai topan yang menggerogoti negaranya. Juga tentang hidupnya yang tak pernah sama lagi sejak peristiwa tersebut.
“Usia saya baru 14 tahun dan saya sudah mengalami badai topan yang dahsyat. Saya beruntung bisa selamat, tapi setiap malam saya tidur dengan rasa takut karena saya tidak tahu bencana apa lagi yang akan melanda Haiti esok atau lusa,” tutur Norris.
“Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Di Haiti, ada ribuan anak seperti saya—kami selamat, kami bertahan hidup dan menginginkan kesempatan. Impian saya adalah menyumbangkan kebaikan bagi Bumi agar semua orang dapat hidup aman dan damai.” Saat Norris mengakhiri kalimatnya, banyak orang menyusut air di mata mereka.
Coraline Norris membacakan pidatonya
Protokol Kyoto akan segera berakhir tahun depan. Konferensi Iklim Cancun diharapkan membawa terobosan agar kerja sama internasional yang mengikat negara-negara di dunia dan akan berdampak secara langsung pada eksistensi planet ini dapat tercapai. Sayangnya, bagi banyak negara yang rentan terhadap perubahan iklim, menunggu bukanlah pilihan. Bencana akan tetap terjadi, dengan atau tanpa perjanjian yang mengikat. Kelaparan dan kekurangan mengintai layaknya monster yang bisa menyerbu dan mencabik kapan saja. Negara-negara ini tak bisa menunggu dunia bertindak. Mereka harus menyelamatkan diri sendiri.
“Lepas dari ada atau tidaknya perjanjian yang mengikat, kami memerlukan tindakan nyata. Kami harus beradaptasi dengan perubahan yang terus terjadi. Kami tidak dapat makan pasir dan minum air laut sambil menunggu perjanjian internasional terbentuk. Setidaknya tunjukkan kepada kami apa yang harus kami lakukan.”
Jumeau tahu ia tidak memiliki pilihan. Afrika tidak seperti negara-negara adidaya yang berlimpah hasil bumi, di mana mayoritas penduduk hidup tenteram dan sejahtera. Afrika tidak seperti benua-benua lain yang penduduknya hingga kini masih menikmati mewahnya air bening di rumah masing-masing. Urgensi itu nyata.
Saya terpaku di tempat duduk saya. Semua yang baru saja saya dengar terasa tak nyata, sekaligus mengguncangkan. Bagai tamparan pedas yang tak ingin saya percayai. Di belahan dunia lain, yang selama ini cuma saya saksikan di televisi, jutaan orang menderita kelaparan dan kehausan. Bukan karena mereka miskin, namun karena alam berhenti memberi mereka makan.
Mendadak, saya merasa sangat bersyukur bisa datang ke tempat ini. Di mana mata hati saya dibukakan secara langsung oleh orang-orang yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Di mana saya mendapatkan pembelajaran berharga mengenai kelangsungan hidup planet yang kita tinggali bersama. Di mana saya sekali lagi diingatkan.
Ada orang-orang yang datang ke Cancun sebagai wakil negara untuk bernegosiasi dalam Konferensi Iklim. Ada yang datang atas nama pekerjaan—saya salah satunya. Ada pula yang datang untuk berlibur. Namun tak sedikit orang yang terbang ke tempat ini dengan harapan membuncah. Melintasi ribuan mil karena hanya di sini suara mereka dapat didengar oleh dunia. Mengarungi benua karena cuma di sini jeritan mereka dapat disuarakan. Dan barangkali... barangkali, di suatu tempat, puluhan ribu mil jauhnya, sebuah doa tengah dipanjatkan. Agar kesusahan cepat berlalu. Agar peristiwa alam tak perlu lagi jadi sesuatu yang ditakuti. Agar makanan dan air tak lagi jadi barang istimewa yang dikejar bagai berlian.
Perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata—lebih dari itu, ia tak terhindarkan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanya berupaya agar kiamat modern tak perlu datang lebih cepat dari perhitungan para ahli dan ilmuwan. Merubah gaya hidup bisa merupakan langkah sederhana yang besar artinya bagi eksistensi Bumi. Menanamkan kesadaran akan pentingnya mencintai dan merawat lingkungan hidup bisa jadi penyelamat bagi adik, anak, bahkan cucu kita kelak. Tindakan nyata yang dimulai dari diri sendiri—dari rumah kita sendiri—bisa menyelamatkan jutaan orang di dunia.
Perubahan iklim boleh terus terjadi. Pemanasan global boleh jadi sesuatu yang tak terhindarkan. Namun kita dapat melakukan sesuatu agar Jumeau-Jumeau dan Norris-Norris yang tersebar di seluruh penjuru dunia tidak perlu hidup dalam ketakutan akan hari esok.
Sadari bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata. Sadari bahwa merawat lingkungan hidup bisa jadi merupakan satu-satunya hal yang memungkinkan planet ini tetap ada bagi kelangsungan hidup anak-cucu kita kelak. Dan bertindaklah.
Saya dan Coraline Norris
-----
Monday, February 7, 2011
Pulang
Kartono baru menyelesaikan doanya ketika telepon di ruang tengah berdering. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan dan bangkit, namun dering itu keburu terputus. Sayup-sayup terdengar suara Ahdiyat.
Kartono melipat sarungnya. Keningnya berkerut mendengar suara Ahdiyat yang meninggi, seperti sedang berdebat. Saat ia keluar, Ahdiyat sedang duduk termangu di sofa usang di samping meja telepon.
“Itu tadi Pak RT,” jelas Ahdiyat tanpa diminta. “Kita diperingatkan supaya Minggu besok tidak berkumpul, atau tanggung sendiri akibatnya.”
Kartono memijat keningnya yang tidak sakit. Peringatan ini sudah yang ketiga kalinya. Terlalu banyak dalam satu bulan.
“Bapak sudah tahu?” Kartono menuang air es ke gelas beling, memberikannya pada Ahdiyat.
Ahdiyat meneguk air itu dan ketegangan di wajahnya berangsur reda. “Belum. Nantilah.”
Kartono dan Ahdiyat adalah mantan pengangguran, perantau dari Jawa Timur yang nyaris jadi gelandangan andai Pak Sugeng, pemuka agama yang dihormati di kampung itu, tidak menawari mereka bermalam di rumahnya dan membolehkan mereka tinggal di sana sampai mendapatkan pekerjaan. Bahkan setelah Kartono dan Ahdiyat memperoleh pekerjaan, Sugeng dan Rahmi, istrinya, mencegah mereka pergi dari rumah itu karena sudah kadung menganggap mereka anak sendiri.
Kartono pernah menanyakan soal itu kepada Sugeng. Kenapa mereka dilarang berkumpul dan beribadah di tanah mereka sendiri—lebih buruk lagi, rumah mereka sendiri.
Sugeng menatapnya sambil tersenyum, tapi Kartono belum pernah melihat wajahnya sesuram itu.
“Karena kita dianggap sesat.” Penjelasan itu rasanya tak cukup, tapi Kartono tak berkata apa-apa lagi.
Malam itu, meja makan terasa lebih sunyi dari biasanya. Mereka bersantap dalam diam.
“Jadi Minggu besok tidak ada ibadah, Pak?” Kartono memecah kesunyian.
Sugeng menghentikan suapannya. Semua mata tertuju pada pria setengah baya itu. Kartono baru menyadari betapa wajah lelaki yang sudah dianggapnya ayah sendiri itu kini dihiasi kerutan yang membuatnya tampak jauh lebih tua.
“Kita tetap berkumpul dan beribadah seperti biasa,” jawab Sugeng, “tapi kalau kalian ndak mau ikut, ndak apa.”
“Pak, Bapak tahu kami nggak akan ke mana-mana,” tegas Ahdiyat.
Sugeng tersenyum dan meneruskan suapannya.
Jemaah yang hadir minggu itu tak sebanyak biasanya. Sugeng berdiri dan menyampaikan ceramah dengan suaranya yang jernih dan tenang. Ahdiyat dan Kartono duduk di depan. Di dapur Rahmi sibuk menyiapkan jajanan pasar dan teh yang akan dinikmati bersama usai ibadah.
Semua berjalan seperti biasa. Hingga terdengar derap kaki disertai teriakan dari kejauhan. Riuh yang mendekati rumah kecil tempat mereka berkumpul.
“Cepat! Cepat!”
“Itu rumahnya! Mereka semua di sana!”
Jemaah berpandang-pandangan dengan bingung. Sugeng menghentikan ceramahnya. Ahdiyat yang pertama bangkit. Ia berjalan ke jendela dan menyibak tirai. Wajahnya seketika mengeras.
“Kita diserbu.”
Jemaah serentak bangkit. Mereka berebut melihat melalui jendela. Kerumunan orang semakin dekat. Teriakan semakin jelas terdengar dan dari jendela kusam itu tampak benda-benda yang berada di tangan mereka; parang, bambu, kelewang. Ketenangan musnah sudah.
Sugeng mengangkat tangannya.
“Jangan panik. Kita harus tetap tenang. Kartono, buka pintu belakang. Kita keluar lewat belakang. Jangan ribut.”
Dengan sigap Kartono melakukan perintah itu. Sebagian jemaah langsung mengikutinya, keluar lewat pintu belakang yang menghadap sawah dan melarikan diri secepat yang mereka bisa. Sebagian jemaah masih berkerumun dekat jendela, seperti terbius menyaksikan arak-arakan manusia yang kian dekat, mengacungkan senjata dengan penuh amarah.
“Jangan sampai ada yang lolos! Kepung kafir-kafir itu!”
“Tumpas semuanya! Binasakan!”
“Singkirkan kesesatan! Tolak kemaksiatan!”
“Pak, ayo cepat kita pergi,” Rahmi menarik tangan suaminya. Suaranya bergetar.
“Kamu duluan saja, sama Ahdiyat dan Kartono. Saya pergi kalau semua sudah keluar,” Sugeng menjawab tenang.
“Aku ndak akan ninggalin Bapak,” isak Rahmi, mendekap lengan Sugeng dengan kedua tangan seperti anak kecil memohon pada ayahnya. Sugeng memeluk istrinya. Tidak tersirat takut di wajah itu. Yang tampak hanya kesedihan.
Ahdiyat dan Kartono berhasil mengeluarkan semua orang dari rumah. Mereka merangkul Sugeng dan Rahmi, berjalan secepatnya ke belakang. Terdengar derakan keras disusul suara kaca pecah. Pintu terbentang lebar.
“Mereka kabur!”
“Itu pimpinannya!!”
“Kejar! Tangkap! Bunuh!!”
Kartono tak pernah merasa setegang itu. Lengannya yang merangkul kuat bahu ringkih Sugeng—yang menggandeng Rahmi yang kini tersedu-sedu—bagai mati rasa. Ahdiyat merangkul mereka dari belakang, menggunakan tubuhnya sebagai tameng.
“Itu mereka! Di sawah! CEPAT! KEJAR!”
Puluhan—tidak, ratusan—orang berjubah dan berkopiah putih berlari ke arah mereka. Parang dan bambu teracung ke udara.
“ANJING!” Bertahun-tahun mengenalnya, baru kali itu Kartono mendengar Ahdiyat berserapah.
Untuk pertama kali seumur hidupnya, ia merasakan ketakutan yang begitu hebat. Sekaligus kepasrahan luar biasa.
“Tangkap! Hajar! BASMI!!”
“Binasakan orang kafir!”
“BUNUH!!”
Tarikan kuat di kerah bajunya membuat Kartono terjungkal. Rangkulannya terlepas. Terdengar jeritan Rahmi.
Sesuatu yang keras menghantam kepalanya. Dan punggungnya. Terdengar suara berderak, tulang-tulang yang patah. Kartono tersungkur. Semua menjadi gelap.
* * *
Kartono membuka mata perlahan. Setengah linglung ia berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia mengerjapkan mata dan ingatannya berangsur pulih.
Orang-orang berjubah dan berkopiah. Bambu, batu, kelewang, dan parang.
Apakah mereka sudah pergi?
Tidak, belum. Teriakan-teriakan itu masih membahana.
Kartono tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tubuh-tubuh bergelimang lumpur itu tergeletak tanpa nyawa. Darah menggenang di tanah dan rerumputan. Pemandangan itu mengingatkannya pada hari raya kurban, namun kali ini, yang dipersembahkan adalah manusia.
Kartono tak sanggup berbicara. Tubuhnya seperti beku. Hanya matanya yang terus merekam apa yang sedang terjadi di hadapannya.
Sugeng, Rahmi dan Ahdiyat tak terlihat. Barangkali mereka berhasil selamat. Barangkali Ahdiyat berhasil membawa mereka kabur. Semoga mereka semua aman.
Kartono merasa seseorang mendekatinya. Ia menoleh. Seseorang berjubah putih berdiri di sampingnya. Ia tak mengenakan kopiah. Sorot matanya ramah.
Sosok berjubah putih itu tersenyum, mengulurkan tangan. Kartono menatapnya dan menyambut tangan itu. Tanpa perlu diberitahu, ia tahu ke mana mereka akan menuju. Pulang.
Sosok itu berbalik. Kartono mengikutinya. Sebelum beranjak, ia menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk terakhir kali. Ke bawah pohon akasia tempatnya membuka mata.
Di sana, sekelompok orang berjubah dan berkopiah mengerumuni tubuhnya. Menghantamkan batu sebesar nampan ke kepalanya. Darah muncrat. Orang-orang itu berteriak menyerukan nama Tuhan yang juga ia sembah.
-----
Jakarta, 7 Februari 2011. Sebagai tanda belasungkawa atas mereka yang pergi demi nama Tuhan.
Kartono melipat sarungnya. Keningnya berkerut mendengar suara Ahdiyat yang meninggi, seperti sedang berdebat. Saat ia keluar, Ahdiyat sedang duduk termangu di sofa usang di samping meja telepon.
“Itu tadi Pak RT,” jelas Ahdiyat tanpa diminta. “Kita diperingatkan supaya Minggu besok tidak berkumpul, atau tanggung sendiri akibatnya.”
Kartono memijat keningnya yang tidak sakit. Peringatan ini sudah yang ketiga kalinya. Terlalu banyak dalam satu bulan.
“Bapak sudah tahu?” Kartono menuang air es ke gelas beling, memberikannya pada Ahdiyat.
Ahdiyat meneguk air itu dan ketegangan di wajahnya berangsur reda. “Belum. Nantilah.”
Kartono dan Ahdiyat adalah mantan pengangguran, perantau dari Jawa Timur yang nyaris jadi gelandangan andai Pak Sugeng, pemuka agama yang dihormati di kampung itu, tidak menawari mereka bermalam di rumahnya dan membolehkan mereka tinggal di sana sampai mendapatkan pekerjaan. Bahkan setelah Kartono dan Ahdiyat memperoleh pekerjaan, Sugeng dan Rahmi, istrinya, mencegah mereka pergi dari rumah itu karena sudah kadung menganggap mereka anak sendiri.
Kartono pernah menanyakan soal itu kepada Sugeng. Kenapa mereka dilarang berkumpul dan beribadah di tanah mereka sendiri—lebih buruk lagi, rumah mereka sendiri.
Sugeng menatapnya sambil tersenyum, tapi Kartono belum pernah melihat wajahnya sesuram itu.
“Karena kita dianggap sesat.” Penjelasan itu rasanya tak cukup, tapi Kartono tak berkata apa-apa lagi.
Malam itu, meja makan terasa lebih sunyi dari biasanya. Mereka bersantap dalam diam.
“Jadi Minggu besok tidak ada ibadah, Pak?” Kartono memecah kesunyian.
Sugeng menghentikan suapannya. Semua mata tertuju pada pria setengah baya itu. Kartono baru menyadari betapa wajah lelaki yang sudah dianggapnya ayah sendiri itu kini dihiasi kerutan yang membuatnya tampak jauh lebih tua.
“Kita tetap berkumpul dan beribadah seperti biasa,” jawab Sugeng, “tapi kalau kalian ndak mau ikut, ndak apa.”
“Pak, Bapak tahu kami nggak akan ke mana-mana,” tegas Ahdiyat.
Sugeng tersenyum dan meneruskan suapannya.
Jemaah yang hadir minggu itu tak sebanyak biasanya. Sugeng berdiri dan menyampaikan ceramah dengan suaranya yang jernih dan tenang. Ahdiyat dan Kartono duduk di depan. Di dapur Rahmi sibuk menyiapkan jajanan pasar dan teh yang akan dinikmati bersama usai ibadah.
Semua berjalan seperti biasa. Hingga terdengar derap kaki disertai teriakan dari kejauhan. Riuh yang mendekati rumah kecil tempat mereka berkumpul.
“Cepat! Cepat!”
“Itu rumahnya! Mereka semua di sana!”
Jemaah berpandang-pandangan dengan bingung. Sugeng menghentikan ceramahnya. Ahdiyat yang pertama bangkit. Ia berjalan ke jendela dan menyibak tirai. Wajahnya seketika mengeras.
“Kita diserbu.”
Jemaah serentak bangkit. Mereka berebut melihat melalui jendela. Kerumunan orang semakin dekat. Teriakan semakin jelas terdengar dan dari jendela kusam itu tampak benda-benda yang berada di tangan mereka; parang, bambu, kelewang. Ketenangan musnah sudah.
Sugeng mengangkat tangannya.
“Jangan panik. Kita harus tetap tenang. Kartono, buka pintu belakang. Kita keluar lewat belakang. Jangan ribut.”
Dengan sigap Kartono melakukan perintah itu. Sebagian jemaah langsung mengikutinya, keluar lewat pintu belakang yang menghadap sawah dan melarikan diri secepat yang mereka bisa. Sebagian jemaah masih berkerumun dekat jendela, seperti terbius menyaksikan arak-arakan manusia yang kian dekat, mengacungkan senjata dengan penuh amarah.
“Jangan sampai ada yang lolos! Kepung kafir-kafir itu!”
“Tumpas semuanya! Binasakan!”
“Singkirkan kesesatan! Tolak kemaksiatan!”
“Pak, ayo cepat kita pergi,” Rahmi menarik tangan suaminya. Suaranya bergetar.
“Kamu duluan saja, sama Ahdiyat dan Kartono. Saya pergi kalau semua sudah keluar,” Sugeng menjawab tenang.
“Aku ndak akan ninggalin Bapak,” isak Rahmi, mendekap lengan Sugeng dengan kedua tangan seperti anak kecil memohon pada ayahnya. Sugeng memeluk istrinya. Tidak tersirat takut di wajah itu. Yang tampak hanya kesedihan.
Ahdiyat dan Kartono berhasil mengeluarkan semua orang dari rumah. Mereka merangkul Sugeng dan Rahmi, berjalan secepatnya ke belakang. Terdengar derakan keras disusul suara kaca pecah. Pintu terbentang lebar.
“Mereka kabur!”
“Itu pimpinannya!!”
“Kejar! Tangkap! Bunuh!!”
Kartono tak pernah merasa setegang itu. Lengannya yang merangkul kuat bahu ringkih Sugeng—yang menggandeng Rahmi yang kini tersedu-sedu—bagai mati rasa. Ahdiyat merangkul mereka dari belakang, menggunakan tubuhnya sebagai tameng.
“Itu mereka! Di sawah! CEPAT! KEJAR!”
Puluhan—tidak, ratusan—orang berjubah dan berkopiah putih berlari ke arah mereka. Parang dan bambu teracung ke udara.
“ANJING!” Bertahun-tahun mengenalnya, baru kali itu Kartono mendengar Ahdiyat berserapah.
Untuk pertama kali seumur hidupnya, ia merasakan ketakutan yang begitu hebat. Sekaligus kepasrahan luar biasa.
“Tangkap! Hajar! BASMI!!”
“Binasakan orang kafir!”
“BUNUH!!”
Tarikan kuat di kerah bajunya membuat Kartono terjungkal. Rangkulannya terlepas. Terdengar jeritan Rahmi.
Sesuatu yang keras menghantam kepalanya. Dan punggungnya. Terdengar suara berderak, tulang-tulang yang patah. Kartono tersungkur. Semua menjadi gelap.
* * *
Kartono membuka mata perlahan. Setengah linglung ia berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia mengerjapkan mata dan ingatannya berangsur pulih.
Orang-orang berjubah dan berkopiah. Bambu, batu, kelewang, dan parang.
Apakah mereka sudah pergi?
Tidak, belum. Teriakan-teriakan itu masih membahana.
Kartono tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tubuh-tubuh bergelimang lumpur itu tergeletak tanpa nyawa. Darah menggenang di tanah dan rerumputan. Pemandangan itu mengingatkannya pada hari raya kurban, namun kali ini, yang dipersembahkan adalah manusia.
Kartono tak sanggup berbicara. Tubuhnya seperti beku. Hanya matanya yang terus merekam apa yang sedang terjadi di hadapannya.
Sugeng, Rahmi dan Ahdiyat tak terlihat. Barangkali mereka berhasil selamat. Barangkali Ahdiyat berhasil membawa mereka kabur. Semoga mereka semua aman.
Kartono merasa seseorang mendekatinya. Ia menoleh. Seseorang berjubah putih berdiri di sampingnya. Ia tak mengenakan kopiah. Sorot matanya ramah.
Sosok berjubah putih itu tersenyum, mengulurkan tangan. Kartono menatapnya dan menyambut tangan itu. Tanpa perlu diberitahu, ia tahu ke mana mereka akan menuju. Pulang.
Sosok itu berbalik. Kartono mengikutinya. Sebelum beranjak, ia menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk terakhir kali. Ke bawah pohon akasia tempatnya membuka mata.
Di sana, sekelompok orang berjubah dan berkopiah mengerumuni tubuhnya. Menghantamkan batu sebesar nampan ke kepalanya. Darah muncrat. Orang-orang itu berteriak menyerukan nama Tuhan yang juga ia sembah.
-----
Jakarta, 7 Februari 2011. Sebagai tanda belasungkawa atas mereka yang pergi demi nama Tuhan.
Sunday, January 30, 2011
27
Saya tidak pernah berusaha memaafkan.
Saya percaya, berusaha memaafkan hanya akan menghasilkan pemaafan yang prematur. Pemaafan tidak perlu diupayakan. Ia akan hadir dengan sendirinya ketika hati sudah siap memaafkan, dan saya percaya hati punya waktunya sendiri.
Saat saya belum bisa memaafkan, yang saya lakukan adalah mengizinkan diri sendiri untuk merasakan apa pun yang muncul dalam hati saya sepenuhnya. Amarah. Kesedihan. Kekecewaan. Dendam. Dan yang paling sering saya lakukan adalah menulis. Menyampaikan apa yang saya rasakan kepada orang yang bersangkutan lewat berlembar-lembar tulisan, sekalipun tulisan itu hanya tersimpan di komputer saya.
Saat saya belum bisa memaafkan, saya mengizinkan diri saya menangis. Mengutuk. Memaki. Menyesali diri. Saya memberikan tempat dan ruang khusus agar emosi-emosi ini bisa hadir, seperti di malam hari sebelum tidur, satu jam setelah saya terbangun, atau setelah pekerjaan saya selesai. Dan pemaafan selalu hadir pada waktunya—setelah PR batin (meminjam istilah seorang teman) saya usai.
Hari ini saya berusia 27 tahun. Saat terbangun di pagi hari, saya memikirkan apa yang akan saya tuliskan di sini. Banyak pemikiran berlintasan, namun tak satu pun terasa pas. Setelah lama berusaha mengumpulkan kata, saya pun menyerah dan kembali tertidur.
Ketika saya membuka mata di siang hari, hal pertama yang melintas di benak saya adalah dia.
Tahun lalu kami melewatkan 30 Januari bersama. Dia memeluk pinggang saya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Dia yang menjadi topik banyak tulisan di blog ini setahun terakhir. Dia yang—meminjam istilah banyak orang—adalah sosok pertama yang saya sebut cinta.
Perpisahan itu meninggalkan bekas yang mendalam. Begitu dalam hingga saya tak punya nyali untuk menjajaki hubungan dengan orang lain. Saya bersikap defensif dan kendati saya tak berusaha menghindari pria lain, saya akan jadi pihak pertama yang kabur ketika hati mulai bereaksi. Saya demikian takut terluka dan setiap ingatan tentangnya memicu luka baru.
Siang ini, ketika saya membuka mata, hal pertama yang melintas di benak saya adalah dia. Apa yang seharusnya kami lakukan. Janji-janji yang tak terpenuhi. Namun anehnya, kali ini ingatan itu tak lagi memunculkan rasa sakit—pedih, marah, kecewa… apa pun.
Saya mengingatnya dan riak-riak itu tak lagi ada. Hati saya terasa… netral.
Dan tahulah saya, saya sudah siap memaafkan.
Saat saya duduk dalam hening—meditasi pertama saya di tahun 2011—air mata yang mengalir di wajah saya tak lagi disertai rasa sakit. Pemaafan muncul dengan sendirinya tanpa perlu saya usahakan. Dan ia hadir dengan indah.
Hari ini saya meninggalkan 26, dan inilah ‘bekal’ yang saya bawa untuk menjalani 27: penyadaran bahwa hati tidak butuh alasan untuk memaafkan.
Untuk itu, terima kasih, Hidup.
----
Saya percaya, berusaha memaafkan hanya akan menghasilkan pemaafan yang prematur. Pemaafan tidak perlu diupayakan. Ia akan hadir dengan sendirinya ketika hati sudah siap memaafkan, dan saya percaya hati punya waktunya sendiri.
Saat saya belum bisa memaafkan, yang saya lakukan adalah mengizinkan diri sendiri untuk merasakan apa pun yang muncul dalam hati saya sepenuhnya. Amarah. Kesedihan. Kekecewaan. Dendam. Dan yang paling sering saya lakukan adalah menulis. Menyampaikan apa yang saya rasakan kepada orang yang bersangkutan lewat berlembar-lembar tulisan, sekalipun tulisan itu hanya tersimpan di komputer saya.
Saat saya belum bisa memaafkan, saya mengizinkan diri saya menangis. Mengutuk. Memaki. Menyesali diri. Saya memberikan tempat dan ruang khusus agar emosi-emosi ini bisa hadir, seperti di malam hari sebelum tidur, satu jam setelah saya terbangun, atau setelah pekerjaan saya selesai. Dan pemaafan selalu hadir pada waktunya—setelah PR batin (meminjam istilah seorang teman) saya usai.
Hari ini saya berusia 27 tahun. Saat terbangun di pagi hari, saya memikirkan apa yang akan saya tuliskan di sini. Banyak pemikiran berlintasan, namun tak satu pun terasa pas. Setelah lama berusaha mengumpulkan kata, saya pun menyerah dan kembali tertidur.
Ketika saya membuka mata di siang hari, hal pertama yang melintas di benak saya adalah dia.
Tahun lalu kami melewatkan 30 Januari bersama. Dia memeluk pinggang saya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Dia yang menjadi topik banyak tulisan di blog ini setahun terakhir. Dia yang—meminjam istilah banyak orang—adalah sosok pertama yang saya sebut cinta.
Perpisahan itu meninggalkan bekas yang mendalam. Begitu dalam hingga saya tak punya nyali untuk menjajaki hubungan dengan orang lain. Saya bersikap defensif dan kendati saya tak berusaha menghindari pria lain, saya akan jadi pihak pertama yang kabur ketika hati mulai bereaksi. Saya demikian takut terluka dan setiap ingatan tentangnya memicu luka baru.
Siang ini, ketika saya membuka mata, hal pertama yang melintas di benak saya adalah dia. Apa yang seharusnya kami lakukan. Janji-janji yang tak terpenuhi. Namun anehnya, kali ini ingatan itu tak lagi memunculkan rasa sakit—pedih, marah, kecewa… apa pun.
Saya mengingatnya dan riak-riak itu tak lagi ada. Hati saya terasa… netral.
Dan tahulah saya, saya sudah siap memaafkan.
Saat saya duduk dalam hening—meditasi pertama saya di tahun 2011—air mata yang mengalir di wajah saya tak lagi disertai rasa sakit. Pemaafan muncul dengan sendirinya tanpa perlu saya usahakan. Dan ia hadir dengan indah.
Hari ini saya meninggalkan 26, dan inilah ‘bekal’ yang saya bawa untuk menjalani 27: penyadaran bahwa hati tidak butuh alasan untuk memaafkan.
Untuk itu, terima kasih, Hidup.
----
Thursday, January 13, 2011
Cerita Gadis
Gadis duduk di sudut tempat tidur, bergelung serupa bola. Di sekitarnya, bola-bola putih tersebar di atas kasur, bantal, lantai.
Gadis mengambil dua lembar tisu sekaligus dan membersit cairan dari hidungnya. Kepalanya pening dan ia baru sadar, sedari pagi perutnya belum terisi makanan. Hanya beberapa butir cokelat warna-warni yang kemarin dibelinya di toko kecil serba ada. Namun ia tak peduli.
Kalender di sisi meja rias penuh coretan merah. Kalender yang nyaris disobek-sobeknya namun urung mengingat akhir tahun masih lama dan ia tak punya kalender cadangan. Kalender tempat ia menghitung bulan, minggu, hari demi hari, menuju sebuah tanggal keramat.
Ulang tahunnya.
Sekaligus tanggal perjumpaannya dengan Lelaki.
Pria yang telah mengisi hidupnya satu tahun terakhir. Yang sudah ratusan kali menjadi alasannya menangis dan membenci hidup. Pria yang dicintainya setengah mati, yang meninggalkannya setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Pria yang berjanji menghadiahinya makan malam sebagai peringatan satu tahun perjumpaan mereka. Pria yang menghilang sebulan sebelum tanggal itu tiba, lenyap seperti direnggut angin, membawa hatinya, menyerpih jiwanya.
Berhari-hari, Gadis bagaikan lumpuh. Teman-temannya mulai menyadari perbedaan pada dirinya.
“Kamu kurus sekali sekarang, Dis?”
“Ah, masa sih?” Gadis menjawab ceria, berharap mereka tak menyadari redup matanya. Tak semua orang perlu tahu.
Hari berlalu lambat.
Gadis tak lagi bisa membedakan kekuatan yang membuatnya mampu bangun setiap pagi dan menjelang hari dengan senyum—penyangkalan, perih yang ditutup-tutupi, atau tanda kesiapan bahwa ia bisa meneruskan hidupnya tanpa dibayang-bayangi Lelaki?
Jika itu tanda, mengapa air matanya masih turun setiap malam? Mengapa perih membuatnya menghabiskan lagi setengah pak tisu di tempat tidur, bergelung seperti anak kesakitan dan membuat amarahnya bergolak hingga nyaris dilemparnya benda-benda ke dinding?
Nada dering yang tak asing menggugah kesadarannya. Nada dering itu dipasang khusus untuk orang-orang terdekat—keluarga, sahabat dan siapa lagi kalau bukan Lelaki.
Jantungnya berdetak cepat.
Mungkinkah itu Lelaki?
Mungkinkah nuraninya tergugah?
Mungkinkah ia menelepon untuk mengucapkan maaf, atau sekadar menyapa?
Sigap, Gadis meraih benda mungil seukuran tak lebih dari telapak tangan itu.
Di seberang sana terdengar isak tangis.
Jantungnya bagai membeku.
Isak tangis itu semakin keras. Gadis menggenggam telepon dengan hati tak karuan.
Sahabatnya, seorang perempuan, baru saja kehilangan bayinya. Sepuluh menit lalu dokter meninggalkan kamar rumah sakit tempatnya berbaring dengan sebuah vonis: bayi mungil mereka tak lagi punya denyut nadi. Lilitan tali pusar di lehernya telah mengambil nyawanya.
Delapan bulan usia janin itu, siap menjenguk dunia, yang harus pergi hanya beberapa hari sebelum ulang tahun ibunya. Hadiah paling berharga yang sudah dinanti-nantikan itu kini harus direlakan, entah bagaimana caranya.
Gadis tergugu. Tak sepatah kata pun sanggup terucap.
Embun hangat jatuh pelan-pelan. Menyusuri pipinya. Menderas, jatuh ke pangkuan.
Mendadak, perihnya lenyap tak tersisa. Mendadak, yang ia inginkan hanya berlari, secepat kedua kakinya sanggup membawa, atau terbang sekalian kalau bisa, ke sisi sahabatnya untuk memeluk dan menggenggam tangannya.
Mendadak, segala kalut dan sengsaranya tak lagi punya arti.
Mendadak, Gadis tersadar.
Barangkali, air matanya malam ini, adalah cara Semesta memberitahu.
-----
Gadis mengambil dua lembar tisu sekaligus dan membersit cairan dari hidungnya. Kepalanya pening dan ia baru sadar, sedari pagi perutnya belum terisi makanan. Hanya beberapa butir cokelat warna-warni yang kemarin dibelinya di toko kecil serba ada. Namun ia tak peduli.
Kalender di sisi meja rias penuh coretan merah. Kalender yang nyaris disobek-sobeknya namun urung mengingat akhir tahun masih lama dan ia tak punya kalender cadangan. Kalender tempat ia menghitung bulan, minggu, hari demi hari, menuju sebuah tanggal keramat.
Ulang tahunnya.
Sekaligus tanggal perjumpaannya dengan Lelaki.
Pria yang telah mengisi hidupnya satu tahun terakhir. Yang sudah ratusan kali menjadi alasannya menangis dan membenci hidup. Pria yang dicintainya setengah mati, yang meninggalkannya setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Pria yang berjanji menghadiahinya makan malam sebagai peringatan satu tahun perjumpaan mereka. Pria yang menghilang sebulan sebelum tanggal itu tiba, lenyap seperti direnggut angin, membawa hatinya, menyerpih jiwanya.
Berhari-hari, Gadis bagaikan lumpuh. Teman-temannya mulai menyadari perbedaan pada dirinya.
“Kamu kurus sekali sekarang, Dis?”
“Ah, masa sih?” Gadis menjawab ceria, berharap mereka tak menyadari redup matanya. Tak semua orang perlu tahu.
Hari berlalu lambat.
Gadis tak lagi bisa membedakan kekuatan yang membuatnya mampu bangun setiap pagi dan menjelang hari dengan senyum—penyangkalan, perih yang ditutup-tutupi, atau tanda kesiapan bahwa ia bisa meneruskan hidupnya tanpa dibayang-bayangi Lelaki?
Jika itu tanda, mengapa air matanya masih turun setiap malam? Mengapa perih membuatnya menghabiskan lagi setengah pak tisu di tempat tidur, bergelung seperti anak kesakitan dan membuat amarahnya bergolak hingga nyaris dilemparnya benda-benda ke dinding?
Nada dering yang tak asing menggugah kesadarannya. Nada dering itu dipasang khusus untuk orang-orang terdekat—keluarga, sahabat dan siapa lagi kalau bukan Lelaki.
Jantungnya berdetak cepat.
Mungkinkah itu Lelaki?
Mungkinkah nuraninya tergugah?
Mungkinkah ia menelepon untuk mengucapkan maaf, atau sekadar menyapa?
Sigap, Gadis meraih benda mungil seukuran tak lebih dari telapak tangan itu.
Di seberang sana terdengar isak tangis.
Jantungnya bagai membeku.
Isak tangis itu semakin keras. Gadis menggenggam telepon dengan hati tak karuan.
Sahabatnya, seorang perempuan, baru saja kehilangan bayinya. Sepuluh menit lalu dokter meninggalkan kamar rumah sakit tempatnya berbaring dengan sebuah vonis: bayi mungil mereka tak lagi punya denyut nadi. Lilitan tali pusar di lehernya telah mengambil nyawanya.
Delapan bulan usia janin itu, siap menjenguk dunia, yang harus pergi hanya beberapa hari sebelum ulang tahun ibunya. Hadiah paling berharga yang sudah dinanti-nantikan itu kini harus direlakan, entah bagaimana caranya.
Gadis tergugu. Tak sepatah kata pun sanggup terucap.
Embun hangat jatuh pelan-pelan. Menyusuri pipinya. Menderas, jatuh ke pangkuan.
Mendadak, perihnya lenyap tak tersisa. Mendadak, yang ia inginkan hanya berlari, secepat kedua kakinya sanggup membawa, atau terbang sekalian kalau bisa, ke sisi sahabatnya untuk memeluk dan menggenggam tangannya.
Mendadak, segala kalut dan sengsaranya tak lagi punya arti.
Mendadak, Gadis tersadar.
Barangkali, air matanya malam ini, adalah cara Semesta memberitahu.
-----
Saturday, January 8, 2011
Just a Little Wish...
"May your coming year be filled with magic and dreams and good madness.
I hope you read some fine books and kiss someone who thinks you're wonderful, and don't forget to make some art -- write or draw or build or sing or live as only you can.
And I hope, somewhere in the next year, you surprise yourself."
(Neil Gaiman)
Amen to that. :-)
I hope you read some fine books and kiss someone who thinks you're wonderful, and don't forget to make some art -- write or draw or build or sing or live as only you can.
And I hope, somewhere in the next year, you surprise yourself."
(Neil Gaiman)
Amen to that. :-)
Thursday, January 6, 2011
Tuhanku
Kau datang padaku dan bertanya,
Apakah kau percaya Tuhan?
Tentu.
Sudah terlalu banyak kualami untuk berkata tak ada tuhan
Ia bagiku senyata embusan napas dan senyaring suaramu.
Tuhanku tak punya nabi dan rasul untuk menyampaikan pesan
Ia tak butuh sekelompok orang untuk membelanya
Dan tak merasa perlu mendirikan kerajaan di muka Bumi.
Tuhanku mencintai tanpa syarat dan tak pandang rupa
Ia tak mengenal benci dan umatnya tak perlu berjuang menyatukan perbedaan
Karena perbedaan diciptakannya untuk memberi warna dunia.
Tuhanku kutemui di mana-mana, setiap hari
Tanpa perlu kuinjak tempat ibadah, tanpa kubuka kitab suci.
Tuhanku tak minta kau percaya padanya dan tak mesti disanjung
Ia hanya ada dan cuma itu yang perlu kutahu.
Kau tanya padaku,
Apakah kau percaya Tuhan?
Tentu.
Namun barangkali
Kita tak sedang membicarakan Tuhan yang sama.
Jakarta, Januari 2011. Diiringi sebuah doa, agar tak perlu lagi darah tumpah karena Tuhanku dan Tuhanmu tak sama.
Apakah kau percaya Tuhan?
Tentu.
Sudah terlalu banyak kualami untuk berkata tak ada tuhan
Ia bagiku senyata embusan napas dan senyaring suaramu.
Tuhanku tak punya nabi dan rasul untuk menyampaikan pesan
Ia tak butuh sekelompok orang untuk membelanya
Dan tak merasa perlu mendirikan kerajaan di muka Bumi.
Tuhanku mencintai tanpa syarat dan tak pandang rupa
Ia tak mengenal benci dan umatnya tak perlu berjuang menyatukan perbedaan
Karena perbedaan diciptakannya untuk memberi warna dunia.
Tuhanku kutemui di mana-mana, setiap hari
Tanpa perlu kuinjak tempat ibadah, tanpa kubuka kitab suci.
Tuhanku tak minta kau percaya padanya dan tak mesti disanjung
Ia hanya ada dan cuma itu yang perlu kutahu.
Kau tanya padaku,
Apakah kau percaya Tuhan?
Tentu.
Namun barangkali
Kita tak sedang membicarakan Tuhan yang sama.
Jakarta, Januari 2011. Diiringi sebuah doa, agar tak perlu lagi darah tumpah karena Tuhanku dan Tuhanmu tak sama.
Sunday, December 26, 2010
Natal, Kata dan Cinta
24 Desember 2010.
Saya duduk dengan seorang sahabat di dalam restoran yang mulai temaram. Lampu-dimatikan satu persatu, kursi-kursi disusun di atas meja—pengusiran secara halus. Namun kami bergeming. Ia dengan sebatang rokok, saya dengan suapan nasi dan kuah hangat.
Entah siapa yang mengawali, kami mulai saling bertutur. Tentang bersyukur. Tentang belajar. Tentang hidup yang selalu punya 1001 macam cara untuk memberi, mengingatkan, mengajarkan. Dan pembicaraan di ruang temaram itu menghasilkan kesimpulan yang sama: selalu ada banyak hal dalam hidup yang bisa disyukuri, tak peduli situasi yang sedang dihadapi. Selalu ada banyak hal yang bisa mengingatkan betapa hidup tak melulu terdiri dari pencobaan—bahwa hidup sebenarnya indah.
Asap rokok menari-nari di udara. Saya menyeruput sisa kaldu ayam. Saya harus bergegas. Empatpuluhlima menit lagi kebaktian Natal dimulai.
Saya duduk sendiri di ujung barisan, dalam ruangan besar yang dingin luar biasa. Kedua kaki saya gemetar. Namun denting piano yang memainkan lagu-lagu Natal lambat laun menghilangkan perasaan tidak nyaman.
Melewatkan malam di gereja bukanlah kebiasaan saya. Baru kali ini saya menghadiri kebaktian Natal yang diselenggarakan pada malam tanggal 24, namun entah bagaimana, semua terasa… tepat.
Kebaktian dimulai. Lagu-lagu dinyanyikan. Saya ikut bernyanyi, perlahan. Dan tiba-tiba, seluruh beban di hati saya seakan terangkat begitu saja. Bukan peristiwa ilahi. Bukan juga mujizat Natal. Tidak ada malaikat menampakkan diri, dan saya tidak sedang mabuk anggur Perjamuan.
Apa ini?
Lamat-lamat, saya mencoba mencerna apa yang terjadi. Hingga jawaban itu datang.
Saya sedang memaafkan.
Betul, memaafkan.
Saya tercenung sendiri ketika jawaban itu muncul di benak saya.
Memaafkan? Memaafkan siapa?
Entahlah. Yang saya tahu hanya, hati saya membuka lebar dan malam ini ia melepaskan semua yang menyumbatnya satu tahun terakhir. Segala sedih. Segala kecewa. Segala gundah. Segala khawatir. Segala gembira. Segala bahagia. Segala senang. Semua dilepasnya tanpa kecuali.
Berbagai nama dan wajah muncul di benak saya, silih berganti, sebelum saya sadar, saya tidak sedang memaafkan orang lain. Saya sedang memaafkan hidup. Memaafkan setiap hal yang dihantarkannya kepada saya setahun terakhir, kadang melalui orang-orang yang saya kenal, kadang melalui peristiwa yang terjadi begitu saja, yang tidak saya sukai, yang mengecewakan, yang membuat saya terluka. Dan akhirnya saya sadar, saya sedang memaafkan diri sendiri.
Penyadaran itu muncul dengan amat sederhana. Benak saya tak punya banyak waktu dan energi untuk menganalisa. Batin sayalah yang mencerna semuanya, dan saya tahu. Saya sedang berdamai. Dengan apa pun yang menjadi jatah saya. Dengan apa pun yang digariskan bagi saya. Suka atau duka. Senang atau susah. Sulit atau mudah.
Dua jam berlalu dengan cepat. Saya meninggalkan gereja yang baru pertama saya kunjungi itu dengan perasaan campur aduk; senang, terharu, terkejut dan setengah mati kedinginan. Sebuah santapan manis untuk menutup tahun yang akan memasuki penghujungnya tujuh hari lagi.
Kebaktian ini barangkali kebaktian terindah yang pernah saya ikuti selama tiga tahun terakhir, dan Natal ini adalah Natal paling menyentuh selama entah berapa tahun terakhir, namun keduanya bukan hal terbaik yang saya alami hari ini.
Peristiwa terbaik hari ini?
Sahabat yang mengantarkan saya ke gereja untuk mengikuti kebaktian Natal adalah seorang Muslim.
Cinta, tidak paham arti perbedaan.
-----
Gambar diambil dari sini.
Saya duduk dengan seorang sahabat di dalam restoran yang mulai temaram. Lampu-dimatikan satu persatu, kursi-kursi disusun di atas meja—pengusiran secara halus. Namun kami bergeming. Ia dengan sebatang rokok, saya dengan suapan nasi dan kuah hangat.
Entah siapa yang mengawali, kami mulai saling bertutur. Tentang bersyukur. Tentang belajar. Tentang hidup yang selalu punya 1001 macam cara untuk memberi, mengingatkan, mengajarkan. Dan pembicaraan di ruang temaram itu menghasilkan kesimpulan yang sama: selalu ada banyak hal dalam hidup yang bisa disyukuri, tak peduli situasi yang sedang dihadapi. Selalu ada banyak hal yang bisa mengingatkan betapa hidup tak melulu terdiri dari pencobaan—bahwa hidup sebenarnya indah.
Asap rokok menari-nari di udara. Saya menyeruput sisa kaldu ayam. Saya harus bergegas. Empatpuluhlima menit lagi kebaktian Natal dimulai.
Saya duduk sendiri di ujung barisan, dalam ruangan besar yang dingin luar biasa. Kedua kaki saya gemetar. Namun denting piano yang memainkan lagu-lagu Natal lambat laun menghilangkan perasaan tidak nyaman.
Melewatkan malam di gereja bukanlah kebiasaan saya. Baru kali ini saya menghadiri kebaktian Natal yang diselenggarakan pada malam tanggal 24, namun entah bagaimana, semua terasa… tepat.
Kebaktian dimulai. Lagu-lagu dinyanyikan. Saya ikut bernyanyi, perlahan. Dan tiba-tiba, seluruh beban di hati saya seakan terangkat begitu saja. Bukan peristiwa ilahi. Bukan juga mujizat Natal. Tidak ada malaikat menampakkan diri, dan saya tidak sedang mabuk anggur Perjamuan.
Apa ini?
Lamat-lamat, saya mencoba mencerna apa yang terjadi. Hingga jawaban itu datang.
Saya sedang memaafkan.
Betul, memaafkan.
Saya tercenung sendiri ketika jawaban itu muncul di benak saya.
Memaafkan? Memaafkan siapa?
Entahlah. Yang saya tahu hanya, hati saya membuka lebar dan malam ini ia melepaskan semua yang menyumbatnya satu tahun terakhir. Segala sedih. Segala kecewa. Segala gundah. Segala khawatir. Segala gembira. Segala bahagia. Segala senang. Semua dilepasnya tanpa kecuali.
Berbagai nama dan wajah muncul di benak saya, silih berganti, sebelum saya sadar, saya tidak sedang memaafkan orang lain. Saya sedang memaafkan hidup. Memaafkan setiap hal yang dihantarkannya kepada saya setahun terakhir, kadang melalui orang-orang yang saya kenal, kadang melalui peristiwa yang terjadi begitu saja, yang tidak saya sukai, yang mengecewakan, yang membuat saya terluka. Dan akhirnya saya sadar, saya sedang memaafkan diri sendiri.
Penyadaran itu muncul dengan amat sederhana. Benak saya tak punya banyak waktu dan energi untuk menganalisa. Batin sayalah yang mencerna semuanya, dan saya tahu. Saya sedang berdamai. Dengan apa pun yang menjadi jatah saya. Dengan apa pun yang digariskan bagi saya. Suka atau duka. Senang atau susah. Sulit atau mudah.
Dua jam berlalu dengan cepat. Saya meninggalkan gereja yang baru pertama saya kunjungi itu dengan perasaan campur aduk; senang, terharu, terkejut dan setengah mati kedinginan. Sebuah santapan manis untuk menutup tahun yang akan memasuki penghujungnya tujuh hari lagi.
Kebaktian ini barangkali kebaktian terindah yang pernah saya ikuti selama tiga tahun terakhir, dan Natal ini adalah Natal paling menyentuh selama entah berapa tahun terakhir, namun keduanya bukan hal terbaik yang saya alami hari ini.
Peristiwa terbaik hari ini?
Sahabat yang mengantarkan saya ke gereja untuk mengikuti kebaktian Natal adalah seorang Muslim.
Cinta, tidak paham arti perbedaan.
-----
Gambar diambil dari sini.
Monday, November 22, 2010
Yang Kukira Cinta
Pagi akan menjelang dalam hitungan jam. Tubuhku letih, namun mataku belum mampu terpejam. Seperti yang sudah-sudah, wajahmu kembali hadir. Namamu kembali terngiang, sembari benakku melafal segala yang kuingat tentang kamu. Namun entah kenapa aku tak lagi terlalu merindukanmu.
Bagaimana bisa, aku pun tak paham. Baru beberapa malam lalu pedih datang menggigit. Namun kini ia menyublim, menguap. Patah hati seharusnya tak sesingkat itu.
Barangkali yang kusebut cinta cuma fatamorgana. Barangkali aku belum tenggelam dalam impian tentangmu. Barangkali otakku mengabadikanmu namun hatiku belum terlanjur menyimpanmu. Atau barangkali, semua cuma kabut yang mampir untuk berlalu.
Aku ingin memahami kita. Aku ingin memahami kamu. Bukan sekali dua aku berkhayal; seandainya kita mengawali semua dengan benar. Tetapi yang terjadi jauh dari benar. Kamu dan aku sama-sama tahu, kita memulai dengan salah. Dan barangkali ini yang menjadi upahku—aku tergelincir dan tak ada lenganmu di sana.
Kamu tidak pernah menjadi milikku. Tidak sesaat pun. Otakkulah yang merekam begitu banyak kenangan, merangkainya bersama ilusi dan menipuku. Namun hati selalu tahu. Hatiku tahu.
Sekejap, kusayang kamu lebih dari siapa pun. Tanpa sempat kucegah. Tanpa sempat kukekang. Bukan bibirmu. Bukan lidahmu. Bukan lenganmu. Bukan jemarimu. Bukan pula tanggal lahir kita yang beda sehari. Aku menyayangimu tanpa tahu kenapa. Mungkin inilah yang mereka bilang karma. Barangkali. Aku tak paham.
Tak pernah kusayangi orang tanpa apa dan mengapa. Kamu yang pertama, namun mudah-mudahan bukan yang terakhir. Karena hatiku perlu terus mengalir. Ia perlu terus hidup.
Malam ini kulepas kamu dengan sebuah doa. Kiranya cinta mengisi hari-harimu dengan senyum dan tawa. Kiranya hatimu senantiasa hidup dan bersinar. Kiranya jiwamu menemukan damai yang kau cari. Kiranya bahagia selalu ada untukmu.
Kiranya kita bahagia. Dengan jalan yang kita tempuh sendiri-sendiri.
Pedih ini perlahan memudar, menguap. Namun aku akan selalu ingat, ia pernah ada.
~ Ubud, 11.11.10 ~
-----
Bagaimana bisa, aku pun tak paham. Baru beberapa malam lalu pedih datang menggigit. Namun kini ia menyublim, menguap. Patah hati seharusnya tak sesingkat itu.
Barangkali yang kusebut cinta cuma fatamorgana. Barangkali aku belum tenggelam dalam impian tentangmu. Barangkali otakku mengabadikanmu namun hatiku belum terlanjur menyimpanmu. Atau barangkali, semua cuma kabut yang mampir untuk berlalu.
Aku ingin memahami kita. Aku ingin memahami kamu. Bukan sekali dua aku berkhayal; seandainya kita mengawali semua dengan benar. Tetapi yang terjadi jauh dari benar. Kamu dan aku sama-sama tahu, kita memulai dengan salah. Dan barangkali ini yang menjadi upahku—aku tergelincir dan tak ada lenganmu di sana.
Kamu tidak pernah menjadi milikku. Tidak sesaat pun. Otakkulah yang merekam begitu banyak kenangan, merangkainya bersama ilusi dan menipuku. Namun hati selalu tahu. Hatiku tahu.
Sekejap, kusayang kamu lebih dari siapa pun. Tanpa sempat kucegah. Tanpa sempat kukekang. Bukan bibirmu. Bukan lidahmu. Bukan lenganmu. Bukan jemarimu. Bukan pula tanggal lahir kita yang beda sehari. Aku menyayangimu tanpa tahu kenapa. Mungkin inilah yang mereka bilang karma. Barangkali. Aku tak paham.
Tak pernah kusayangi orang tanpa apa dan mengapa. Kamu yang pertama, namun mudah-mudahan bukan yang terakhir. Karena hatiku perlu terus mengalir. Ia perlu terus hidup.
Malam ini kulepas kamu dengan sebuah doa. Kiranya cinta mengisi hari-harimu dengan senyum dan tawa. Kiranya hatimu senantiasa hidup dan bersinar. Kiranya jiwamu menemukan damai yang kau cari. Kiranya bahagia selalu ada untukmu.
Kiranya kita bahagia. Dengan jalan yang kita tempuh sendiri-sendiri.
Pedih ini perlahan memudar, menguap. Namun aku akan selalu ingat, ia pernah ada.
~ Ubud, 11.11.10 ~
-----
Subscribe to:
Posts (Atom)