Tuesday, April 21, 2009

Sehari di Situ Gintung

“Ada apa, Mas?”
“Nggak apa-apa. Tadi saya liat sesuatu. Saya pikir kaki. Taunya bukan.”
“Kaki?”
“Iya. Kalo bener, mau saya ambil.”
“Hah? Caranya?”
“Dibuntel.”
“Hah?! Pakai apa?”
“Ya pakai apa aja, yang ada di sini.”


Jawaban terakhir itu membuat saya mingkem dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Saya mempercepat langkah sambil terus merunduk, berhati-hati agar tidak menginjak paku atau benda tajam yang menyembul dari retakan lumpur. Di depan, relawan yang berbaik hati mengajak saya turun ke lokasi bencana paling parah di Situ Gintung terus berjalan dengan langkah-langkah mantap. Sesekali ia menoleh untuk memastikan saya tidak tertinggal, dan sekali-dua kali mengulurkan tangan untuk membantu saya berjalan di atas lumpur licin.

Sambil berjalan, ia terus bercerita. Tentang arwah-arwah yang mendatangi para relawan dan penduduk setempat untuk memberitahu dimana jasad mereka terkubur. Tentang satu keluarga yang tidak mampu menyelamatkan diri sehingga mereka semua meninggal di tempat. Tentang seorang laki-laki yang ditugaskan keluar kota dan kembali hanya untuk mendapatkan rumahnya telah berubah menjadi timbunan puing. Tentang seorang ayah yang anak-istrinya tewas mengenaskan. Tentang seorang ibu dan bayinya yang sampai sekarang belum ditemukan. Tentang seorang anak yang selamat gara-gara tersangkut di pohon nangka, sementara seluruh keluarganya tewas. Tentang seorang tukang bakso yang kehilangan istrinya yang sedang mengandung, lantaran pegangannya tak cukup kuat untuk menyelamatkan mereka berdua.

Saya mendengarkan sambil membisu. Mendadak saya tak tahu harus mensyukuri atau menyesali keputusan saya turun ke lokasi paling parah ini, ditambah lagi, kami hanya berdua. Relawan-relawan lain memilih untuk tetap tinggal di posko sambil menunggu beberapa rekan menyelesaikan tugasnya. Saya, yang sejak awal sudah penasaran ingin menyambangi lokasi, tidak menyia-nyiakan ajakan seorang relawan yang sudah khatam setiap inci daerah pusat bencana tersebut.

Media cetak dan elektronik telah membuat musibah Situ Gintung tampak lebih bombastis –kalau tidak bisa dibilang gigantis— dari kondisi sebenarnya, dan tidak sedikit pihak yang memanfaatkan peristiwa yang berdekatan dengan Pemilu ini untuk menangguk keuntungan pribadi; namun lepas dari apa pun yang saya amati, lepas dari derasnya informasi yang membombardir otak seperti senapan mesin, saya menyadari satu hal: luka itu nyata.

Beberapa saat sebelum terapi relaksasi ‘Tentram Ikhlas’ untuk para korban bencana dimulai, koordinator regu kami memberikan pengenalan singkat kepada puluhan warga yang berkumpul untuk menerima santunan di sebuah posko. Lima menit waktu yang diberikan. Baru semenit ia berbicara –bahkan belum sempat menuntaskan kalimatnya— seorang wanita paruh baya yang duduk di pojokan sudah berkali-kali menyusut mata dengan kain jarit yang dipakainya. Beberapa warga memandanginya dengan nanar. Ada pula yang membisu dengan sorot mata hampa. Luka itu ada, dan terlalu nyata untuk diabaikan.

Berjam-jam kemudian, saat terapi berbasis metode Tapas Acupressure Technique (TAT) diberikan kepada sekitar delapanpuluh warga, saya terpukau sendiri melihat perubahan rona wajah orang-orang yang silih berganti mendatangi posko tempat kami berpraktek. Kebanyakan dari mereka masuk dengan ekspresi sarat beban, mata sayu, langkah setengah diseret, dan sebagainya. Setelah terapi diberikan, mereka keluar dengan air muka yang sama sekali berbeda. Penderitaan itu belum hilang sepenuhnya, namun mata mereka tidak lagi hampa. Mereka mampu berjalan lebih tegak, dan harapan baru yang bersinar di sana menghangatkan hati saya.

Selama proses, berkali-kali saya merasakan haru yang besar. Terbersit pula keinginan untuk mendalami metode terapi sederhana ini. Siapa tahu kelak saya bisa menggunakannya untuk menolong orang lain, atau setidaknya, menolong diri saya sendiri, karena TAT tidak hanya diperuntukkan bagi korban bencana. Teknik yang masuk ke Indonesia pada tahun 2006 ini dapat digunakan untuk mengatasi berbagai jenis trauma, alergi, masalah batin, dan banyak lagi.

Selama proses itu pula, berkali-kali saya membayangkan, apa saja yang telah dialami orang-orang tersebut. Apakah mereka kehilangan anggota keluarga? Apakah mereka kehilangan rumah? Apakah mereka kehilangan seluruh harta benda? Apakah mereka menyaksikan kejadian mengerikan itu dengan mata kepala sendiri? Separah apa trauma yang mereka alami?

Salah satu relawan bercerita, seorang bocah mendadak lari terbirit-birit ketika melihat air mineral, dan seorang ibu berteriak-teriak ketakutan melihat air mengucur dari keran. Musibah itu telah memicu rasa takut yang demikian hebat pada air, dan trauma yang ditimbulkannya dapat menyebabkan ‘kerusakan’ yang lebih parah dari sekadar kerugian fisik dan materi.

Melihat dan mendengar itu semua membuat saya berkali-kali membisikkan terima kasih; bukan saja karena saya tidak mengalami bencana dan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik, melainkan karena saya bisa menjadi bagian dari rombongan kecil ini. Sekumpulan orang yang tidak berasal dari organisasi mana pun, tidak dikomando siapa pun, dan tidak mewakili kepentingan pihak mana pun. Yang kami punya hanya niat dan tenaga, dan sepenuh hati saya bersyukur diberi kesempatan untuk berada di sana.

-----

Relawan yang memandu saya memperlihatkan lebih banyak lagi reruntuhan dan puing, lantas mengajak saya menyeberangi lahan luas. Di ujung lahan ini terdapat jalan setapak yang akan kami tempuh untuk kembali ke posko. Nyaris tidak ada bangunan utuh di atasnya. Lahan yang dulunya pemukiman padat penduduk telah menjadi tanah rata.

Ralat. Lumpur kering rata. Lahan itu tertutup lumpur kering yang meretak akibat panas matahari.

“Sekarang mah mendingan Mbak, udah bisa buat jalan. Dulu lumpurnya basah, kalo nggak pake sepatu bot, nggak boleh masuk ke sini,” ujar pemandu saya. Saya terdiam. Teringat pada ceritanya sebelum kami berdua sampai ke situ. Hingga hari ini, masih ada beberapa warga yang hilang dan diperkirakan tewas tertimbun lumpur.

“Ada kemungkinan warga yang belum ketemu itu ketimbun di bawah sini?” Mendadak tenggorokan saya seret.

Pemandu saya mengangguk. “Bisa jadi. Tapi udah susah dicari, sih…” ia berjalan mendahului saya. Perlahan, saya menjejakkan kaki di atas lumpur, berusaha mencerna kemungkinan bahwa tanah yang saya pijak masih menyimpan jasad-jasad yang belum sempat dievakuasi. Jasad yang dulunya punya nyawa. Hidup. Manusia. Seperti saya.

Di bawah sini mungkin ada orang.
Di sana pernah ada rumah.
Di situ dulunya kos-kosan tingkat dua...
...dan sebulan yang lalu, mereka semua masih ada.

Kaki saya terus melangkah, namun benak saya tidak henti-hentinya melisankan begitu banyak hal.

Sesampainya kami di posko, rekan-rekan relawan sudah menunggu untuk meninggalkan lokasi. Setelah berpamitan kepada warga setempat, kami berjalan beriringan ke tempat parkir.

“Seneng, udah berhasil lihat tempatnya?” Sahabat saya –penggagas kunjungan ini sekaligus koordinator regu kami— bertanya sambil nyengir.

“Puas, iya. Seneng, nggak,” sahut saya.

Keinginan saya memang kesampaian, namun rasa sakit itu terlalu pekat untuk ditanggung berlama-lama. Luka itu ada dimana-mana. Saya merasa ‘perih’ hanya dengan menjejakkan kaki di atas lumpur kering yang pernah mengubur begitu banyak orang. Saya bersyukur bisa menyaksikan semuanya dengan mata kepala sendiri, namun saya tidak yakin ingin kembali ke puing-puing itu.

"Thanks ya, udah bantuin,” celetuk sahabat saya. Entah sudah berapa kali ia mengucapkan itu seharian ini. Saya mengiyakan. Namun suara kecil di sudut hati saya berbisik, sayalah yang seharusnya berterimakasih.

Waduk yang jebol, bangunan yang luluh lantak, rumah-rumah yang tinggal puing dan rangka, lahan berlumpur yang menyimpan begitu banyak duka dan cerita perih di bawahnya, para korban yang menanggung derita, sorot wajah redup, sinar mata sayu, dan kaki-kaki yang berjalan setengah terseret; kepada kalianlah saya berhutang terima kasih. Bukan karena kalian menyadarkan betapa beruntungnya saya, melainkan karena kalian telah mendekatkan saya kepada hidup.

Tak lama berselang, saya dan sahabat berkendara pulang. Hari semakin sore. Mobil melaju perlahan, bersaing mencapai gerbang tol dengan ratusan kendaraan lain yang menyemuti jalan. Badan saya mulai berteriak-teriak minta istirahat karena malam sebelumnya saya hanya tidur selama tiga jam, namun pikiran saya tidak sudi tenang.

Saya duduk tegak, menatap sahabat saya yang sibuk memindahkan persneling.

"Can you imagine, losing everything in one night?”

Retoris. Saya tahu. Saya hanya harus mencetuskannya, agar benak saya kembali punya cukup ruang untuk memproses berbagai pemikiran yang menyerbu silih berganti. Pemikiran yang mengusik dan menantang saya untuk menilik kembali daftar prioritas yang selama ini tersusun rapi dalam sel-sel kelabu otak saya.

Situ Gintung telah meluluhlantakkan daerah sekitarnya dan menelan korban ratusan jiwa. Menyisakan timbunan lumpur setinggi dua meter, bocah-bocah yang menangis kehilangan orang tua, suami yang kehilangan istri, ibu yang kehilangan anak, dan entah berapa keluarga yang kehilangan tempat berteduh dan harta benda. Pada saat yang sama, ia mengajarkan saya untuk mengalir.

Bila umur memang tidak dapat ditebak, bila tidak ada yang bisa menggaransi berapa sisa waktu saya di dunia, bila saya tidak pernah tahu kapan perjalanan ini akan tiba di ujungnya, bila setiap detik yang berharga ini tidak akan bisa diulang kembali, dan bila perpisahan dengan hidup bisa menggedor pintu saya kapan saja, barangkali daftar prioritas saya memang layak ditata ulang. Dan kali ini, saya tidak menginginkannya tersusun rapi-matang-terencana.

I want a journey. A real one. A grand one. It doesn’t have to be beautiful, but I want it to be real.

Sore itu, saya menggeser beberapa hal yang selama ini bertengger di urutan pertama daftar prioritas saya. Bersamaan dengan itu, runtuh pula sebuah keyakinan yang selama ini saya genggam erat.

Yang terpenting bagi saya ternyata bukan mengisi hidup dengan hal berguna sebanyak-banyaknya. Bukan lagi berpacu dengan waktu untuk memenangkan apa yang disebut kesuksesan. Bukan pula menumpuk amal dan kebaikan. Bahkan, bukan mengisinya dengan jam-jam ibadah panjang demi selembar tiket emas ke Surga.

Yang terpenting bagi saya kini adalah mengalir bersama hidup. Sebaik-baiknya. Seutuhnya. Menjalani setiap momen sebagai sesuatu yang baru tanpa terus terlempar ke masa lalu dan terseret ke masa depan. Menjelang setiap detik sebagai anugerah.

Hidup sepenuh-penuhnya. Itu saja.

Sahabat saya menggeleng, “No.”

Perlahan, saya merebahkan kepala ke sandaran kursi yang dingin terpapar AC. Membiarkan pertanyaan itu tergusur oleh kemacetan Minggu sore dan mobil-mobil yang merayap padat. Membiarkannya tergerus tuntas, karena yang saya perlukan memang hanya melontarkannya agar hati ini kembali lapang.

I can’t, either.

But one thing I know for sure;
Life is precious. Go with the flow.


*Gambar dipinjam dari http://www.kamera-digital.com/forum/viewtopic.php?TopicID=22257&page=0

10 comments:

ezra said...

iya, banyak orang hidup tp ga benar2 hidup.
now get some rest, j..

Chindy Tan said...

saya tidak tau sejak kapan saya berhenti berdoa mohon kemudahan Jen. saya lebih nyaman menaikkan permohonan untuk diberi ketajaman kebijaksanaan (jika ada sesuatu yang boleh diminta)
kita tidak pernah bisa memilih 'kemudahan' ataukah 'kesusahan' yang akan bertamu dalam tiap jengkal perjalanan hidup kita. satu hal yang pasti bisa kita pilih adalah jubah kesadaran apa yang akan kita kenakan untuk menjamu mereka, sebagai 'tamu' mudah-susah, untung-buntung, suka-duka, mereka masing-masing pasti membawa sepaket hadiah untuk kita cicip. dan saya yakin, meski itu rasanya lebih pahit dari pare, lebih perih dari luka yang disiram cuka atau lebih ganjel dari sumbatan kedondong di tenggorokan, proses mengalami, menjadi bagian dari alur hidup ini, jika kita memahami aturan main mengalir dalam hidup, ada seribu wajah diri yang lahir yang tidak pernah kita duga sebelumnya.


ps.gilee Jen, iki malah keterusan, nulis artikel saingan...kumat jej! hihi

Prita said...

speechless..

Jenny Jusuf said...

ezra: sekarang malah begadang, kepanasan. huehueheueheue

chindy: saya selalu suka baca tulisan2mu mbak, jadi monggo aja kalau mau bikin artikel terusan, hihi. BTW, saya ketawa2 baca ilustrasimu (kedondong nyangkut di tenggorokan) -- pengalaman pribadi? ;-D

prita: ..karena?

dnok said...

setuju jen.. life is precious, indeed.
cuma sayangnya, belum semua orang sadar akan harga hidupnya, malah disia-siain aja..(hehe..dulu gitu juga, tapi sekarang udah tobat kok...peace)

seneng de liat orang yang punya semangat hidup, jadi berasa ketularan bersemangat menjalani hidup, dan mensyukuri hidup yang masih kita punya sekarang.. :)

chindy tan said...

Lhaeelaah, ngga lah Jeung...kedondong adalah ilustrasi fave sejak smp. kalo ada yang batuk berdahak g sembuh-sembuh temen2 suka nyaranin, bersihin pake biji kedondong yang kribo bin ruwet serat'e dijamin ampuh
whuaakakak!

yorie said...

I always love to read..especially da gud one..
but this one..it's not just beautiful..it's beyond everything..n it's real..

thx for this writing,,it's really inspiring..

JengMayNot said...

Beautiful writing :)
Amazing, isn't it? Bahwa kita baru sadar betapa berharganya hidup, setelah bertatap muka dengan kesusahan.

Prita said...

"Di bawah sini mungkin ada orang.
Di sana pernah ada rumah.
Di situ dulunya kos-kosan tingkat dua...
...dan sebulan yang lalu, mereka semua masih ada"

...Karena,
senin hingga jumat, saya menghabiskan waktu lebih dari 8 jam sehari di lokasi ini. Korban yang masih terkubur lumpur itu, mungkin pernah saya nikmati senyumnya di suatu pagi. Mahasiswa-mahasiswa yang ngekos dan hilang itu, mungkin pernah kongkow-kongkow bareng di warung bakmi favorit daerah sini. Sekarang mereka sudah duluan. Saya tinggal belakangan. Ngantri giliran, entah nanti dengan cara apa.

Kematian berdampingan dengan kehidupan.
Kadang kita (baca : saya) lupa meletakkan keduanya secara seimbang. Masih lebih berat ke hidup, meskipun judulnya ”memaknai” hidup atau “bertahan’ hidup.
Kalo inget mati bisa saja dua detik lagi ***hmm, okelah, 5 menit  *** jadi nggak mimpi lagi pingin punya mobil Mercy . Hehee..

Anyway, Thanks for remind me, Mbak JJ :-)

ine said...

Coba ya difilmkan. Lumayankan hasilnya bisa buat bangun rumah buat mereka.