Monday, March 30, 2009

Hadiah Paling Sempurna

Senja di taman. Dinaungi pohon rindang, aku bersimpuh. Tidak pada siapa-siapa. Aku sedang memanjatkan doa.

Hatiku rindu dia. Lama aku tak menjumpainya. Tak berbicara kepadanya lewat sembahyang, kendati kutahu ia selalu ada, dan tak perlu ritual untuk menemuinya.

Rindu kini membuncah, membuncit, sampai aku mau meledak. Tak bisa tidak, aku harus bercakap dengannya, meski hanya sepatah. Maka, di sinilah aku. Bersimpuh tidak pada siapa-siapa.

Mataku masih setengah terpejam saat kurasakan ada sosok lain mendekatiku. Aku terperanjat. Taman ini biasanya kosong. Aku tak ingin diganggu.

“Ini aku,” demikian sapa itu.

Aku menghentikan rapalanku, membuka mata, dan di situlah ia berdiri. Cahaya putih dari jubahnya, kulit yang bak pualam, dan wajah bersinarnya, memberi keyakinan tak terbantahkan.

“Aku sudah datang. Apa yang ingin kau tanyakan?”

Matanya begitu lembut, dan aku terpesona.

Sesaat kemudian, kami sudah berbincang akrab, layaknya sahabat lama. Aku punya begitu banyak pertanyaan, dan ia mendengarkan dengan sabar. Dibiarkannya kepalaku bersandar di pundaknya sementara ia meladeni setiap ocehanku. Dipeluknya aku erat, tubuhku aman dalam lengan-lengannya, dan seketika aku merasa nyaman, seperti gadis kecil di dekapan ayahnya.

Mendapati penerimaannya, sirna sudah segala bimbangku. Dan kuberanikan diri mengajukan sebuah pertanyaan yang sudah berabad-abad tabu.

“Haruskah aku mengabdi kepadamu?”

Kini kau tahu mengapa aku menyebutnya tabu. Manusia waras mana yang berani mempertanyakan keyakinan terhadap Sang Maha sebagai satu-satunya jalan sah menuju surga. Tempat peristirahatan abadi yang hanya bisa kau masuki dengan kunci bernama agama.

Di luar dugaanku, ia tertawa. Sembari ia pererat pelukannya di tubuhku, matanya berbinar menatapku.

“Tidak.”

Jawaban itu hanya satu kata. Aku terperangah, namun senyumnya tak terbantah.

“Lalu, apa yang harus kulakukan?” Terbata karena tak percaya, aku kembali bertanya.

“Tidak ada.”

Perbincangan itu tidak lama, karena sisa waktu yang ada kupakai untuk bersandar di dadanya. Pertanyaan telah lama lenyap dari benakku dan yang kuinginkan hanya berada bersamanya. Di sini. Sekarang. Yang lain tidak penting lagi.

Seandainya saja. Seandainya saja bisa kucegat Penjaga Waktu dan kurampas bandul raksasanya agar berhenti bergerak. Seandainya saja bisa kutekan tombol ‘pause’ layaknya pemutar cakram agar momen sempurna ini berhenti di sini, selamanya.

-----

Saat matahari tenggelam sempurna di ufuk barat, ia longgarkan pelukannya di tubuhku. Dengan mata bertanya kuikuti kemana ia bergerak.

Ia bangkit, meluruskan jubah putihnya, dan mengucapkan pamit.

“Jangan pergi,” protesku. “Aku masih ingin bersamamu.”

“Aku tak pernah pergi jauh,” jawabnya. “Aku selalu bersamamu.”

“Tapi sekarang kau akan pergi,” rengekku, seperti bocah kecil yang tidak rela ditinggal ibunya. “Kau akan meninggalkan aku,” tuduhku.

Suara tawanya menggelitikku. Ia membungkuk di depanku, menjajari wajah marahku.

“Jangan cari aku di luar,” diletakkannya tangannya di dadaku. “Temukan aku di dalam sini.”

Dan aku mengerti.

Aku memang mengerti. Aku hanya tidak ingin ia beranjak, karena semenit bersamanya jauh lebih berharga dari tahun-tahun terbaik hidupku.

Namun, kini tiba waktunya untuk melepas. Ia harus kembali. Entah pada siapa. Mungkin pada tugas-tugasnya sebagai penguasa jagat. Mungkin masih banyak orang yang harus dikunjunginya. Mungkin jatahku memang hanya sampai di sini.

Tubuh itu berbalik, pergi.

“Pertanyaan terakhir...” aku tidak kuasa menahan diri.

Ia menoleh. Mengurungkan langkah dan kembali mendekatiku.

“...apa yang kau inginkan dariku?”

Pertanyaan sempurna untuk mengakhiri hari yang sempurna. Dan apa pun yang ia katakan nanti, aku rela berkorban raga dan nyawa untuk memenuhinya.

Berlutut hingga wajahnya sejajar dengan dadaku, ia berbisik,

“Hadiah terbesar yang bisa kau berikan kepadaku adalah dengan menjadi dirimu sendiri.”

Aku memandangnya, tidak percaya.

Aku baru saja menawarkan seluruh hidupku kepadanya. Tidak mungkin hanya itu yang ia inginkan. Namun, matanya, dan senyumnya, berkata bahwa ia tidak menginginkan yang lain.

“Tapi, tidakkah kau ingin aku mengubah dunia bagimu?”

Seumur hidup aku telah diajar bahwa dunia adalah tempat yang rusak. Kejam dan tak berperikemanusiaan orang-orang di dalamnya. Seseorang yang kusebut guru pernah mengajar, karena dunia telah rusak, adalah kewajiban kami untuk memperbaikinya. Menjadikannya tempat yang lebih layak untuk ditinggali bagi semua, dengan menaikkan kebenaran yang kami percayai ke puncak tertinggi.

Berperang dan menjadi martir bagi keyakinan suci. Hanya itu satu-satunya cara, demikian diajarnya kami. Dan aku sungguh percaya.

Namun, kini ia berdiri di depanku. Ia, yang diperkenalkan guruku sebagai Sang Agung yang kekuasaannya tak terbatas, yang untuknya kami harus martir tanpa menyayangi nyawa, baru saja berkata sebaliknya.

Tatapannya lembut. Dan senyumnya bukan senyum seorang panglima. Senyumnya adalah yang tampak di wajah seorang sahabat, dan aku mengenalinya.

“Mengubah dunia? Aku memiliki dunia.”

Seakan menjawab keterkejutanku, ia menambahkan, dan mengulangi,

“Aku memiliki dunia, namun dirimu –engkau— adalah milikmu. Hadiah terbaik yang bisa kauberikan bagiku adalah dengan menjadi dirimu sendiri.”

Dengan kalimat itu, dan dengan senyum yang sama, ia berlalu.

Aku terpekur. Lidahku kelu.

Mendadak, taman itu tak lagi sesepi biasanya. Atau barangkali, jiwaku yang tak lagi sunyi.



Cintanya selalu tanpa syarat, hatiku menyimpulkan. Manusialah yang membuatnya bersyarat. Dan kini, aku telah menemukan jawabannya.


Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Monday, March 23, 2009

The Best Gift

Satu kalimat yang diucapkan Reza sebelum memulai meditasi pada hari pertama retreat, 26 Februari 2009, adalah, “Lihat ke sekeliling kalian, setiap orang di ruangan ini adalah hadiah bagi satu sama lain.”

Mustahil. Itu yang dibisikkan benak saya saat saya menebarkan pandangan, bertukar tatapan dan senyum kepada peserta-peserta lain yang duduk membentuk lingkaran. Bagaimana mungkin empatbelas orang yang datang dari berbagai latar belakang berbeda, yang masing-masing membawa setumpuk persoalan –batin maupun fisik—dan tidak saling akrab bisa menjadi hadiah bagi satu sama lain?

Esoknya, dan berhari-hari sesudahnya, keraguan saya berangsur pupus. Empat hari bersama empatbelas orang yang kini menjadi sahabat-sahabat saya ternyata memberi begitu banyak pengalaman dan pembelajaran berharga, jauh melebihi yang saya bayangkan ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Ubud.

Meditasi intensif yang saya ikuti di Mendut menggunakan teknik tunggal yang diterapkan oleh para peserta selama tiga hari penuh. Dalam retreat yang dipimpin Reza, teknik yang digunakan dalam tiap sesi hampir selalu berbeda. Sebagian besar teknik tersebut cukup sering kami gunakan dalam Meditasi Mingguan. Kadang, saya menyambutnya dengan antusias, namun tak jarang pemikiran yang mampir hanya sebatas, “Oh, teknik ini lagi.”

Beberapa kali saya mengeluh dalam hati ketika teknik yang sama diulang lebih dari sekali. Lambat laun, segala ekspektasi yang saya simpan pun bertransformasi menjadi bosan, lelah, jenuh, penat, bahkan muak. Kondisi ini lazim disebut sebagai fase krisis yang nyaris selalu dijumpai dalam meditasi intensif. Umumnya, fase krisis hadir selama retreat berlangsung, setelah retreat usai, bahkan tak jarang hingga berbulan-bulan sesudahnya (saya sendiri sampai hari ini masih mengalami berbagai fase krisis yang cukup fluktuatif).

Perjalanan mengenal diri bisa jadi sesuatu yang amat melelahkan, bahkan membuat frustrasi. Dan perjalanan ini pulalah yang sesungguhnya ditempuh oleh setiap orang di muka Bumi. Hidup tak lain dari proses panjang untuk menemukan siapa diri kita yang sejati, dan sayangnya, pengetahuan itu takkan datang dari referensi orang, buku self-help, lingkungan sekitar, bahkan didikan orang tua, kendati seringkali kita mengira sebaliknya.

Diri Sejati hanya dapat dijumpai melalui pengalaman pribadi yang bersifat otentik, dan proses pencarian itu bisa makan waktu jauh lebih lama dari yang dapat dibayangkan. Diri Sejati tidak pernah beranjak dari kita. Ia selalu ada, namun berbagai lapisan yang tertumpuk di permukaan kesadaran -yang disebabkan oleh begitu banyak hal dalam hidup- membuat kita perlu berupaya ekstra keras untuk ‘merogoh’ lebih dalam dan ‘menyelam’ ekstra jauh demi bersua dengan Diri.

Segala upaya yang kita lakukan pun pada akhirnya harus dipasrahkan, karena gerbang menuju pengenalan Diri Sejati tidak ubahnya sebuah istana tanpa pintu. Kita dapat mengerahkan segala daya untuk mencapainya, namun ketika tiba di ambangnya, kita hanya bisa menyerahkan hasilnya kepada Sang Pemilik Hidup. Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Barangkali terdengar klise, namun sungguh itulah yang saya rasakan dan alami selama pencarian panjang ini.

Dari bermacam teknik meditasi yang pernah saya lakukan, Dyad selalu mendapat tempat khusus di hati saya, karena selain dilakukan berpasangan, sejauh pengalaman saya inilah salah satu teknik meditasi yang memiliki daya gali paling dalam. Pengelupasan lapisan batin secara menyeluruh dimungkinkan oleh teknik meditasi yang satu ini, meskipun teknik-teknik lainnya juga memiliki daya kuras yang cukup dalam. Segala hal bisa terjadi dalam Dyad. Dan dalam retreat kali ini, dimana kami melakukan enam sesi Dyad (masing-masing terdiri dari enam ronde dimana kami bergantian menjadi komunikator dan pendengar), saya mendapati begitu banyak permata berharga ketika kami bersama-sama berproses dan mengeruk lapisan batin masing-masing.

Bagi saya, Dyad merupakan sarana sekaligus wadah yang membebaskan setiap orang untuk mengekspresikan apa pun yang muncul di permukaan kesadarannya dengan utuh. Orang yang berperan sebagai komunikator bertugas menyampaikan dengan jujur, tuntas, dan lengkap apa pun yang timbul sebagai hasil dari pengamatan dan kontemplasinya atas sebuah instruksi: “Beritahu saya siapa diri Anda”. Sederhana, mudah diingat, dan selalu sama. Saya telah mengikuti sekitar duabelas ronde Dyad selama tujuh bulan terakhir, dan instruksi itu tidak pernah berubah.

Kadang, apa yang disampaikan oleh komunikator berupa curhat nonstop selama bermenit-menit. Atau luapan emosi berupa tangis, tawa, bahkan amarah. Tak jarang pula muncul berbagai fenomena dan ‘tingkah ajaib’ selama proses. Nyaris tidak ada kejadian sama persis yang terulang dalam tiap sesi Dyad, kecuali bila komunikasi yang disampaikan dalam ronde sebelumnya belum cukup tuntas sehingga kembali muncul di permukaan kesadaran dalam putaran berikutnya. Karena itu pula, Dyad menjadi ajang terwujudnya segala ‘kegilaan’, ‘kesintingan’, dan ‘ketakwarasan’ (wait... gila, sinting dan nggak waras itu sama aja, ya? ;-D) yang barangkali tidak akan dijumpai di ‘dunia normal’. Bukan hal aneh apabila di tengah putaran Dyad terdengar jeritan, rengekan, racauan, bebunyian aneh, dialek bahasa asing, dan sebagainya dari seluruh penjuru ruangan.

Selama sang komunikator menyampaikan apa yang muncul dalam medan kesadarannya, pasangan Dyad-nya –sang pendengar—bertugas menyediakan telinga, hati dan keberadaannya secara penuh. Ia bertugas mengamati total, tanpa menilai, tanpa menghakimi. Ia bahkan tidak diijinkan memberi pendapat, saran, pertanyaan, atau instruksi selain lima kata tersebut. Ia hanya hadir sepenuhnya, dan meski terdengar sederhana, ini sama sekali bukan hal mudah. Menahan diri dari bereaksi ketika pasangan Dyad meluapkan perasaan (plus melakukan berbagai hal yang tidak lazim) bisa jadi sesuatu yang amat sulit dilakukan.

Uniknya, teknik meditasi yang kerap diwarnai ledakan emosi ini senantiasa memberikan dampak yang luar biasa bagi para peserta yang terlibat. Tak terkecuali saya. Dalam salah satu sesi, saya terpingkal-pingkal selama tigapuluh menit saat mendengarkan penuturan partner saya (dalam Dyad, hal ini diperbolehkan, selama sang pendengar mampu menjaga fokusnya dan tidak memberikan reaksi yang melampaui intensitas komunikasi pasangannya). Saya terbahak-bahak sampai perut kram. Lucunya, setelah kenyang tertawa, yang muncul berikutnya bukan rasa senang, melainkan hampa. Seakan-akan seluruh energi saya terkuras sampai tidak ada tenaga yang tersisa untuk berpikir dan bergerak. Ketika saya terbingung-bingung dan mulai merasa frustrasi akibat perubahan ganjil tersebut, mendadak kesadaran murni mengambil alih perhatian saya dan menghadirkan pencerahan yang selanjutnya saya tulis dalam entri ini.

Sekalipun saya dapat menjelaskan teknik dan ‘aturan bermain’nya, pengalaman Dyad termasuk yang paling sulit digambarkan dengan kata-kata. Satu-satunya cara untuk memahami Dyad secara utuh adalah dengan mengalami langsung. Barangkali salah satu faktor yang membuat Dyad memiliki daya kuras yang amat besar adalah karena di dalamnya tercampur empat aspek terpenting yang sangat esensial dalam proses pencarian Diri, yakni meditasi, kontemplasi, komunikasi jujur, dan mendengarkan sepenuh hati.

Meditasi dan kontemplasi adalah sesuatu yang bisa dipraktekkan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, karena untuk melakukannya tidak dibutuhkan kehadiran seorang rekan. Namun berkomunikasi secara jujur dan mendengarkan sepenuh hati mustahil dilakukan tanpa kehadiran seseorang. Dan, sungguh, kedua hal ini sama sekali tidak sepele artinya, kendati kehidupan (di kota besar khususnya) kerap membuat kita mempercayai sebaliknya.

Salah satu kendala terbesar untuk mengkomunikasikan isi hati secara jujur, utuh dan tuntas adalah kekhawatiran atas reaksi yang akan dimunculkan oleh lawan bicara kita. Dan salah satu hambatan untuk mendengarkan sepenuh hati adalah godaan untuk mengajukan pendapat dan memberikan penilaian, meski hanya sebatas dalam batin. Rasanya tidak berlebihan bila saya berpendapat bahwa komunikasi yang jujur dan mendengarkan sepenuh hati bagaikan barang langka dalam kehidupan sehari-hari, dimana setiap hari kita bergulat di bawah tekanan dan berhadapan dengan berbagai jenis manusia yang kadang-kadang kelakuannya lebih setan daripada setan. Dalam Dyad, kedua hal itu dimungkinkan, dijalani, dan dialami sepenuhnya. Hasilnya, mereka yang pernah melakukan meditasi berpasangan dengan teknik Dyad berpotensi menjadi pendengar yang lebih baik, sekaligus komunikator yang lebih jujur dari sebelumnya.

Selain Dyad dan teknik meditasi lainnya, sesi diskusi dan berbagi pengalaman juga memberi manfaat yang tidak kecil bagi seluruh peserta retreat. Di sini, setiap peserta bebas menceritakan apa saja yang ia rasakan dan alami ketika berproses. Karena fase krisis adalah hal yang sangat lumrah terjadi dalam meditasi intensif, tak jarang sesi diskusi berubah menjadi ajang curhat.

Uniknya, sekalipun curhat identik dengan sampah batin, kami justru merasa sedang bercermin dalam pengalaman satu sama lain. Entah bagaimana, kami mampu saling memahami dengan begitu mendalam. Pelan namun pasti, puzzle yang kosong di sana-sini mulai mengutuh, memperlihatkan kepada setiap orang –dengan cara yang berbeda-beda— lukisan apa yang dijatahkan hidup bagi mereka. Murni, apa adanya. Utuh, tanpa selubung.

Pada hari keempat, menjelang berakhirnya kebersamaan kami, Reza kembali mengingatkan bahwa kami semua adalah hadiah bagi satu sama lain. Apa pun yang kami alami, pencerahan apa pun yang muncul, semuanya terjadi karena kehadiran cermin-cermin jiwa yang membantu setiap orang untuk melongok lebih jauh ke dalam diri. Dalam keheningan, kami telah menjadi rekan dan penolong terbaik untuk satu sama lain.

Kali ini, saya tak menyanggah pernyataan itu. Empat hari di Ubud, bergeming bersama empatbelas rekan yang menjelajah ke dalam diri di keheningan yang bening, telah menyadarkan saya, betapa sesungguhnya saya tak pernah sendirian, kendati perjalanan ini amatlah sunyi.

Ada begitu banyak mutiara yang saya dapatkan selama retreat, kendati sebagian dari mereka saya temukan dalam fase krisis dimana jenuh dan muak mendominasi. Meski saya berusaha berbagi dan bercerita sebaik mungkin, nyaris semua pengalaman meditasi mustahil diungkapkan dengan kata-kata, dan pada akhirnya, sama seperti hal-hal lain dalam hidup, pengalaman ini pun akan berlalu.

Pengalaman ini boleh datang dan pergi kapan pun, dan di saat yang sama, ia tetap ada. Ia dapat tertimbun oleh debu batin, meredup dan mengusam oleh waktu, namun ia tak lekang oleh jaman. Tidak akan ada perbendaharaan kata yang cukup untuk menampung semua rasa dan pengalaman yang didapat dalam keheningan. Pada akhirnya, yang tersisa dari semua upaya dan usaha hanya kebenaran paling sejati, yang otentik dan sah bagi sang pengamat.

Di pagi pertama bulan Maret, ketika denting bel menyudahi masa hening di tepi sungai, ketika kami saling menyelamati dan mengungkapkan cinta dan terima kasih kepada satu sama lain, hati saya diliputi haru. Ternyata Vajra tak hanya ada di dalam jiwa. Ia juga hadir dalam wujud sahabat, dimana kita bercermin dan menemukan pantulan Diri.

Setelah keheningan resmi berakhir, kami beramai-ramai menceburkan diri ke sungai. Puas bermain air, kami meniti tambang untuk pergi ke air terjun di balik bebatuan. Di bawah birunya langit Ubud, di antara gemuruh arus dan percikan air besar-besar, saya menyempatkan diri untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dalam empat hari, saya mendapatkan empatbelas saudara baru.

:-)

Untuk kalian semua, rekan-rekan seperjalanan yang dengan cara masing-masing telah merintis setapak ke dalam jiwa saya: terima kasih banyak. Kalian adalah permata hati. Each one of you. Terima kasih karena kehadiran kalian telah melengkapi ruang kosong dalam teka-teki gambar raksasa ini. Terima kasih karena melalui kalian saya menemukan pantulan Diri Sejati. Terima kasih telah berbagi pengalaman, pembelajaran, kejujuran, air mata, tawa, hening… dan di atas segalanya, terima kasih telah ada.

Untuk sahabat-sahabat saya, Reza Gunawan dan Dewi Lestari: terima kasih telah menjadi kawan sejiwa dalam menapaki lingkaran tak berujung ini, yang senantiasa saya syukuri sepenuh hati. Kita tak perlu lebih banyak kata. Sungguh. Kegemingan, dan kebeningan ini, sudah lebih dari cukup.

Have a safe journey.

-----

Tuesday, March 17, 2009

Menyimak Tepian Sungai

Dalam retreat meditasi yang saya ikuti di Ubud belum lama ini, setiap peserta memperoleh waktu istirahat yang cukup panjang seusai makan siang, yang bisa digunakan untuk tidur atau melakukan kegiatan bebas. Pada hari kedua, saya memutuskan untuk sedikit bertualang. Setelah melanggar sebuah peraturan (tidak boleh berbicara dengan siapa pun selama masa hening) dengan meminta petunjuk jalan dari karyawan hotel, saya menuruni tangga batu yang berkelok-kelok hingga tiba di pinggir sungai. Udara panas membuat saya langsung mencelupkan kaki tanpa berpikir dua kali.

Saya duduk bergeming. Matahari bersinar terik. Nyaman sekali membiarkan kulit terpanggang sementara kaki terendam air dingin. Sesekali, saya kucurkan air mineral dari botol untuk membasahi betis.

Ketika memandang aliran sungai, saya tertegun. Di permukaan air berkilau ribuan permata mungil. Pendarnya lebih indah dari berlian mana pun yang pernah saya lihat (*ahem* kayak sering ngeliat berlian ajaaa ;-D). Saya tak sanggup mengalihkan mata dari pemandangan itu. Air kecoklatan yang sesekali menghantarkan daun layu kehitaman dan serpihan kulit kayu ternyata bisa memantulkan cahaya matahari dengan indahnya. Terik matahari yang menyiksa kulit ternyata sanggup menyulap sungai menjadi tambang permata. Lama, saya terpekur.

Sejurus kemudian, panas di tubuh saya lenyap. Sinar matahari meredup, tertutup awan. Spontan, saya mendongak. Langit mengelam. Permata di permukaan air ikut hilang. Sungai tak lagi berpendar. Namun, lagi-lagi, semua hanya sesaat. Tak lama kemudian, matahari kembali muncul dan membuat semua bercahaya. Demikian seterusnya. Entah berapa lama saya duduk di pinggir sungai, mengamati pantulan sinar matahari yang terus datang dan pergi. Permata-permata mungil yang silih berganti ada dan lenyap.

Bangkai laba-laba yang mengambang mengalihkan perhatian saya. Serangga itu terbawa riak air yang menerpa pergelangan kaki saya. Sejenak, saya terpesona menontoni derasnya arus yang dihantarkan air terjun dari belakang bukit batu. Saya sendirian, namun gemuruh itu sama sekali tidak terdengar menakutkan. Ini pertama kalinya saya bersentuhan dengan sungai, dan panggung kayu yang saya duduki terus bergoyang didera air. Di sekeliling saya banyak bebatuan yang cukup besar, namun entah kenapa tak terbersit sedikit pun rasa khawatir. Tiba-tiba, semua terasa …apa adanya.

Arus sungai ini, gemuruh ini, pancangan kokoh batu kali, derai air terjun di balik bukit, mendung di langit, sinar yang memanggang kulit, pantulan berlian di bawah kaki, bangkai serangga, kulit kayu, daun layu, ranting pohon… semua terasa apa adanya.

Mendadak, mendungnya langit menjadi sama berharganya dengan pancaran sinar mentari. Mendadak, kilau permata di permukaan air menjadi sama berharganya dengan riak kecoklatan yang menghantarkan bangkai serangga dan sampah sungai. Mendadak, batu-batu tajam di sekitar sungai menjadi sama berharganya dengan bebatuan warna-warni yang menghiasi anak tangga tempat saya turun. Mendadak, arus deras yang bergemuruh menjadi sama berharganya dengan aliran air yang datar dan tenang.

Mendadak, benak saya kehilangan kemampuan untuk melabeli apa pun yang saya jumpai di pinggir sungai. Mendadak, saya tak lagi punya keinginan untuk memilah apa pun yang saya lihat ke dalam kategori; bersih-kotor, indah-buruk, aman-bahaya, menakutkan-menyenangkan. Mendadak, segalanya terasa begitu netral.

Tidak ada yang buruk atau baik dari sungai. Ia hanya memantulkan dan menghantarkan apa pun yang diserahkan alam kepadanya. Sinar matahari, sampah, serangga, pasir. Bersih atau kotor, indah atau buruk, aman atau berbahaya, menyenangkan atau menyeramkan, menyegarkan atau melelahkan, semua adalah hasil bentukan persepsi yang secara otomatis saya berikan kepada segala hal yang saya temui. Ketika batin saya berhenti memberi label, semua menjadi sama berharganya. Ketika pikiran saya berhenti menilai, semua menjadi sama bermaknanya.

Lagi-lagi, saya tercenung.

Barangkali, itu juga yang terjadi pada kehidupan dan segala sesuatu di dalamnya. Tidak ada yang baik, buruk, benar, atau salah, kendati kita tak henti-hentinya berusaha melekatkan label pada semua yang kita lihat, alami, dan rasakan. Kita menarik garis berdasarkan citra tentang baik-buruk-benar-salah, dan berupaya meniti garis tersebut dengan harapan hidup akan memberikan yang terbaik bagi kita. Kendati demikian, hidup adalah sungai. Ia hanya mengalirkan apa yang ‘dititipkan’ kepadanya, seada-adanya. Dan seringkali, ‘yang terbaik’ yang dijatahkan hidup tidak sesuai dengan ‘yang terbaik’ versi kita sendiri. Barangkali itu sebabnya kita menderita.

Barangkali, itu sebabnya kita tetap tak kuasa mencegah kematian sekalipun kita berjuang sekuat tenaga menepis maut. Barangkali, itu sebabnya kita tetap tak mampu menghindari perpisahan sekalipun kita mati-matian mempertahankan kesatuan. Barangkali, itu sebabnya duka tetap hadir meski kita berusaha meraih bahagia. Dan barangkali, tidak ada yang salah atau buruk dari perpisahan, kematian, atau kesedihan. Karena ia hanya sesuatu yang dihantarkan arus sungai kepada kita. Ia hadir secara alami. Ia tiba, karena memang sudah waktunya. Label yang kita lekatkan kepadanyalah yang membuatnya memiliki ‘arti lebih’, seperti cap yang juga kita tempelkan pada pertemuan, kelahiran, dan kebahagiaan.

Sepanjang hidup, tak henti-hentinya kita menempelkan label. Tak henti-hentinya kita bergulat. Tak henti-hentinya kita bergelut. Kita bergumul menghindari luka dan kesedihan, dan berusaha keras mempertahankan kebahagiaan dan kesenangan. Toh, akhirnya, semua akan berlalu pada waktunya.

Kapan terakhir kali kita datang ke sungai dengan tangan kosong? Kapan terakhir kali kita membersihkan saku dari berbagai label, cap dan stempel? Kapan terakhir kali kita menjalankan peran sebagai penonton yang hanya duduk di tepian; sekadar mengamati dan membiarkan semua berlangsung sebagaimana adanya?

Jika hidup adalah permainan, barangkali ada baiknya sesekali kita melipir ke pinggir lapangan. Menyingkir sejenak dari arena untuk sekadar menonton. Bukan untuk mempelajari strategi baru, bukan untuk menyoraki mereka yang sedang bermain, bukan untuk mencatat dan menghitung skor. Hanya duduk menonton.

Esok harinya, saya kembali ke sungai bersama beberapa teman. Duduk di panggung kayu yang sama -kali ini dalam posisi menyamping- saya kembali termenung.

Seumur hidup, saya dibesarkan di Jakarta, dimana sungai dan alam bukan alternatif lahan bermain nomor satu. Seumur hidup, baru kali ini saya merendam kaki di sungai yang mengalir deras. Di kota besar, sungai identik dengan sampah, banjir, penyakit, dan aroma tak sedap. Di tempat ini, sungai adalah tempat saya merenung. Berdoa. Bersyukur.

Selama empat hari berada di Ubud, tiga kali saya menyambangi sungai, setiap kali dengan kawan yang berbeda. Di hari pertama, saya sendirian. Di hari kedua, saya pergi dengan beberapa teman. Di hari terakhir, saya turun ke sungai dengan seluruh peserta retreat untuk bersama-sama mengakhiri keheningan panjang yang telah kami jalani.

Sebelum masa hening resmi berakhir, kami duduk bermeditasi di pinggir sungai. Di tengah gemuruh dan gemercik air yang melanda telinga, sepenuh hati saya berdoa.

Entah sendirian, entah berdampingan, tolong ingatkan saya untuk senantiasa ‘datang ke sungai’ sepulangnya saya kelak. Jika tak mungkin untuk tinggal selamanya, setidaknya izinkan saya sesekali kembali. Duduk di tepian untuk menontoni arus dan membiarkannya mengalir, apa adanya. Ia tak perlu jernih. Ia tak perlu bening. Ia tak perlu tenang. Ia tak perlu berkilau bak permata. Ia ada, dan itu sudah cukup.

-----

Tuesday, March 10, 2009

Kabut Langit Ubud

Sejak dulu, saya selalu bangga memproklamirkan diri sebagai pemimpi. Saya punya banyak impian, harapan dan cita-cita yang digantung setinggi langit. Semuanya berjajar dengan setumpuk angan dan khayalan tentang apa yang akan saya nikmati seandainya mimpi-mimpi itu jadi nyata.

Saya bekerja keras demi membuat mimpi tidak cuma eksis di kepala. Mimpi-mimpi itu adalah saya. Masa depan saya. Tempat saya menumpukan pegangan. Dan mimpi-mimpi itu pula yang membuat saya bertahan. Betah bersahabat dengan penat dan lelah. Mampu menghabiskan ribuan jam berkulik dan berkutat tanpa sayang tenaga. Mencoba menipu waktu demi mencuri seremah kesempatan yang (siapa tahu) bisa menghantarkan saya menjadi sosok sehebat Ibu Rowling atau Pak Hirata.

Ya, siapa tahu? Kita tak pernah tahu. Barangkali kelak Dewi Fortuna akan menaruh belas kasihan pada saya. Atau bosan mendengar gedoran saya di pintunya. Barangkali ia akan bersedia menyisihkan sekeping keberuntungan untuk saya. Kita tak akan tahu.

Demi mimpi pula, saya rajin mengoleksi kata-kata mutiara dari para pesohor dunia, berharap kebijaksanaan yang sama akan menghantarkan saya ke gerbang kesuksesan. Kalau mereka bisa, mengapa saya tidak?

Kesempatan tidak datang dua kali. Saya tahu. Semua orang tahu. Barangkali itu sebabnya kita rela bekerja bagai kuda. Barangkali itu sebabnya kita rela terdera. Barangkali itu sebabnya kita tak henti-hentinya berpacu. Barangkali itu sebabnya kita bermusuhan dengan waktu dan mencibir kepada mereka yang (dianggap) malas. Semua demi kesempatan yang takkan datang dua kali. Agar kita tak perlu menunda kesuksesan, dan kebahagiaan yang didambakan bisa segera diraih.

"Each second of life is a miracle." Demikian kalimat yang singgah di benak saya beberapa malam lalu, saat memandangi langit Ubud. Udara dingin karena hujan baru saja berhenti. Saya duduk sendirian, menatapi pucuk-pucuk pohon dari balik pintu kaca. Malam itu adalah malam pertama saya di Ubud.

Saya selalu suka duduk seorang diri, memandangi alam dan langit. Sayangnya, kemewahan ini tidak sering saya dapatkan, karena di Jakarta alam harus rela mengalah dengan gedung dan atap rumah. Belum lagi suara bising yang kerap menggusur ketenangan. Di Ubud, berkali-kali saya merasakan ‘orgasme’. Langit Ubud adalah salah satu langit terindah yang pernah saya lihat. Suatu pagi, saya melongok keluar jendela dan tercengang-cengang melihat warna biru yang amat jernih, sampai dada saya sesak oleh haru. Namun, malam itu yang ada hanya gelap. Hujan masih menyisakan selaput di langit. Tak hanya mendung, pepohonan pun ditutupi kabut tipis.

Saya terdiam, merenungi kalimat yang barusan singgah di kepala. Setiap detik dalam hidup adalah sebuah keajaiban. Entah sudah berapa puluh kali saya mengulang kalimat yang sama sejak pertama kali membacanya. Berkali-kali pula saya menangkap keindahan dalam pernyataan sederhana itu. Namun, malam ini ia seolah punya ‘nyawa’.

Kabut yang menutupi pepohonan mulai menebal. Sukar untuk melihat dengan jelas. Udara bertambah dingin. Lampu penerang di taman mungil itu adalah satu-satunya sumber cahaya, karena saya tidak menyalakan lampu kamar.

Each second of life is a miracle. Saya terpekur sendiri. Mukjizat macam apa yang bisa terjadi sekarang? Satu-satunya yang membedakan malam ini dari malam-malam lain adalah, kini saya berada di Pulau Dewata, di kamar luas yang menghadap taman lengkap dengan kolam renang. Kamar yang selama empat hari ke depan akan menjadi milik saya seorang. Saya sangat beruntung. Bisa berada di tempat ini adalah berkah yang tidak pernah saya duga, dan semua sudah lebih dari cukup. Kendati begitu, malam ini sama biasanya dengan malam-malam lain. Mukjizat apa yang bisa terjadi?

Tapi, mukjizat memang tidak kenal tempat dan situasi. Belum selesai otak saya mencerna makna kalimat di atas, mendadak saya memasuki keheningan yang intens. Apa yang pernah saya alami dalam retreat meditasi di Mendut kembali terjadi. Keheningan yang pekat menyelubungi saya seperti selimut hangat tebal. Kursi berlengan yang saya duduki terasa ‘bernyawa’ ketika sekat ruang dan waktu kembali lenyap. Haru yang dalam membuncah ketika saya kembali menembusi tabir antara yang fana dan abadi. Detik itu, saya kembali menghentikan waktu.

Mata saya membasah. Mendadak, setiap detik yang bergulir menjadi sama berharganya. Mendadak, mukjizat ini menjadi sama berartinya dengan cerita-cerita ajaib yang saya baca di kitab suci. Mendadak, berjalan di atas air menjadi sama sakralnya dengan memandangi pepohonan di teras kamar.

Kabut di luar mulai bergeser. Memperlihatkan rimbunan daun dan pucuk ranting yang mencakari langit. Terus bergerak, sampai akhirnya lenyap sama sekali. Namun, saya tak lagi peduli. Dengan atau tanpa kabut, detik ini adalah mukjizat. Saya menggenggamnya erat-erat selagi bisa.

Dan saya tahu. Keheningan inilah yang membawa saya ke tanah Ubud. Kesunyian inilah yang membuat saya menerima undangan sahabat saya, menghantarkan saya memesan tiket pesawat dan mengemasi pakaian, hingga akhirnya menginjakkan kaki di tempat ini. Detik itu, saya kembali bersentuhan dengan mukjizat paling luar biasa sekaligus paling sederhana di muka bumi: keabadian dalam kekinian. The eternal now.

Barangkali ini terdengar absurd bagi para penjunjung mimpi, namun dalam kekinian, impian dan cita-cita tak lagi kuat mencengkeram saya. Bukan karena ia kehilangan makna, namun karena saya tidak lagi punya ambisi untuk menggaransi masa depan. Bukan karena ia tak berharga, namun karena yang terpenting bagi saya hanya hidup di saat ini. Seutuh-utuhnya.

'Keajaiban' itu tidak berlangsung lama. Air mata saya pun kering dengan cepat. Tak lama kemudian, penerangan di taman meredup. Sebagian lampu mendadak padam, yang tersisa hanya segaris sinar berwarna kuning. Spontan, saya mendongak ke langit yang tersaput mendung. Kabut baru saja berlalu, mungkinkah mendung ini juga?

Setitik cahaya muncul di antara dedaunan. Disusul titik-titik berikutnya. Saya bangkit dari kursi dan membuka pintu yang menghubungkan kamar dan taman. Udara dingin menggigit, namun saya tak peduli. Masuk angin harga yang kecil bila dibandingkan dengan indahnya langit berbintang. Namun, tak urung saya ragu. Jangan-jangan dugaan saya salah.

Saya melangkah keluar. Merapatkan tangan di dada sambil mendongak ke langit. Saya harus menggigit bibir agar tidak memekik kegirangan. Harapan saya terkabul. Langit Ubud memang bertabur bintang.

Malam itu, saya tertidur dengan sebuah doa. Terima kasih telah mengijinkan saya hadir lagi di sini. Dan sekiranya Engkau tidak keberatan, tolong ijinkan saya kembali sesekali. Ingatkan saya untuk pulang. Ke sini. Ke kini.

*****

Berhari-hari setelah kembali ke Jakarta, saya masih merenungi pengalaman itu. Betapa berharganya setiap detik dalam hidup; bukan karena ia mengandung kesempatan untuk mengamankan masa depan, bukan pula karena ia tak bisa diulang kembali, melainkan karena ia adalah mukjizat. Ia satu-satunya saat dimana waktu terhenti. Tempat keabadian tercipta, dimana surga bukan cuma slogan.

Saya ingin berhenti bergumul. Saya ingin berhenti berpacu. Saya ingin berhenti terseret ke masa lalu dan terlempar ke masa depan. Saya hanya ingin berhenti.

Siang tadi, ketika waktu makan tiba, saya meluangkan waktu untuk sejenak memandangi makanan di atas piring. Gundukan nasi putih mengepul, tumpukan sayur buncis, sepotong tahu, dan tempe goreng. Segelas air hangat.

Ketika saya mengatupkan tangan untuk berdoa, yang muncul adalah rasa terima kasih yang mendalam. Sepenuh hati saya bersyukur atas makanan yang sebentar lagi berpindah ke perut. Bersyukur atas segelas air yang siap menuntaskan haus. Bersyukur karena saya masih bisa menyuapkan nasi ke mulut, sendok demi sendok. Bersyukur atas satu lagi kesempatan untuk pulang ke saat ini. Ke heningnya detik ini. Ke beningnya hati. Bersama nasi putih, sayur buncis, tahu goreng, dan air hangat.

Barangkali, kebahagiaan sejati memang dimulai ketika kita bisa menerima dan mensyukuri hidup, apa adanya. Barangkali ia terletak pada ikhlasnya hati yang rela berserah dan berpasrah. Barangkali, kebahagiaan memang tidak pernah pergi kemana-mana, dan tak perlu dicari-cari. Barangkali, kita hanya perlu menjemputnya di rumah.

-----

Wednesday, March 4, 2009

Diri

Aku kehidupan yang punya nama, nyawa dan cangkang, dan di kesemuanya engkau tinggal.
Aku kebenaran yang tak perlu dibela; tudungmu siang-malam dari segala tuduhan dan cerca.

Aku ibu yang merawatmu, dan bocah dalam jiwamu tahu, aku ada. Rasakan dekapanku. Rasakan hangatku. Rasakan degup jantung yang berpadu kala aku menimangmu.
Aku ayah yang melimpahimu dengan sayang, dadaku tempatmu bernaung, dan kau tak perlu khawatir akan apa pun.

Aku senangmu kala kau susah, bahagiamu saat kau merana, haru yang melarutkan sengsaramu, tawa yang tersimpan di balik tangismu, riang yang melanda hampamu, dan gembira yang kau bawa saat sulit mendera. Kita berdampingan, karena kita dua yang satu adanya.
Aku geming yang meredakan riuh di benakmu, heningmu saat kau merapuh, dan beningmu saat kau mengeruh, luruh dan tandus.

Aku mata yang mengamatimu sejak kau terjaga hingga terlelap. Kerap kau tak tahu aku ada, namun aku tak pernah beranjak. Aku penontonmu yang paling setia.
Aku telinga yang mendengarkan gemuruh, desau dan bisikan setipis udara pagi yang acap luput kau sadari.
Aku tangan yang menggenggammu aman saat kau tersandung, terjungkal, terperosok.
Aku kaki yang menahanmu kala kau tergelincir dan menyokongmu untuk kembali menapak.

Aku tali tempatmu berpegangan meniti jalan di lingkaran, agar kau tak perlu terbanting hancur.
Aku nyanyian yang membelai telingamu dan mengisi rongga dadamu dengan senandung.
Aku mentari yang mencerahkan matamu dan membimbingmu ke jalan cahaya, aku juga sinar yang menuntunmu ke api yang mereka sebut neraka.
Aku sungai yang mengalir di bawah kakimu, dan di sana engkau bercermin.

Aku air yang membebaskan kerongkonganmu dari dahaga dan membuatmu sejuk.
Aku obat kala kau terkapar sakit, dan penyembuh segala lukamu.
Aku jembatan tempatmu menemukan jalan pulang dan dipan tempatmu beristirahat melepas lelah.
Aku daya yang mengusungmu kala kau terkulai, dan tandu bagi jiwamu.

Aku surga tempat Tuhan bersemayam; kau tak perlu pergi jauh untuk menemuiNya.
Aku kekasih yang bercinta denganmu, dan kita terbakar bersama dalam bara.
Aku cinta yang memberimu nafas untuk tetap hidup, dan engkau akan terus ada.

Aku di sini. Tanpa terbelit ruang dan waktu.

Aku, ya, aku
Selamanya bagimu.


~ Ubud, 26 Februari-1 Maret 2009. Bahkan kata-kata tak sanggup mencengkeramnya. ~