Wednesday, April 28, 2010

Pemandangan Sudut Jembatan

Hari ini, seperti hari-hari lain yang belakangan sering saya habiskan di pusat Jakarta, saya menaiki jembatan penyeberangan untuk mencapai kantor baru saya di bilangan Thamrin.

Hari ini, yang duduk di sudut jembatan itu adalah seorang ibu muda bersama bayi yang tertidur lelap tepat di sampingnya. Bayi yang usianya takkan lebih dari beberapa bulan. Tangan mungilnya masih tersembunyi dalam sarung putih. Pantatnya masih terbungkus popok. Bayi yang terlalu kecil untuk menghirup udara kehitaman Jakarta dan tersengat terik matahari.

Dalam ketergesaan, saya hanya melirik singkat kepada mereka dan terus berlalu. Namun pikiran saya memutar ulang pemandangan di sudut jembatan yang sama, yang saya temui sebelumnya.

Beberapa hari lalu, sudut itu diisi seorang ibu gemuk dengan rambut dicepol. Bocah di sampingnya barangkali berusia satu tahun. Ketika saya melintasi jembatan di siang hari, sang bocah sedang lelap tertidur. Ketika saya kembali sore harinya, bocah tersebut sedang bermain sambil tertawa-tawa. Sang ibu menggoda anaknya sambil tersenyum lebar. Tak urung saya ikut tersenyum menyaksikan pemandangan yang cuma sekilas itu. Mendadak, perjalanan pulang selama dua jam terasa lebih ringan.

Sudut jembatan itu juga pernah ditempati seorang kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral. Sorot matanya kosong, dan seperti kebanyakan orang yang melintasi jembatan itu dengan langkah-langkah cepat, saya pun berlalu begitu saja.

Hari ini, ketika pikiran saya sedang berpacu dengan jemari untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, sebuah kalimat muncul di layar komputer. Saya tidak kenal penulisnya. Kalimat tersebut diteruskan oleh seorang kawan dalam jaringan pertemanan yang saya ikuti.

They say go for your dreams, don't compromise for anything else. How do you know which one is the "dream" & which one is "anything else"?

Saya terdiam. Lama.



Mimpi-mimpi.

Saya selalu tahu apa yang saya inginkan. Ajukan pertanyaan itu kepada saya dan saya akan menjawabnya dengan sebuah daftar lengkap.

Semua orang bisa bermimpi. Mimpi itu tidak bayar, maka gantungkan cita-citamu setinggi langit. Bahkan anak Sekolah Dasar yang paling bodoh tahu itu. Namun apa yang saya lihat di sudut jembatan beberapa hari terakhir telah memberitahu saya, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejar mimpi.

Kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral mungkin cuma bermimpi bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang malam ini.

Wanita gemuk dengan bocah berwajah sumringah itu barangkali bermimpi bisa menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai lulus SMU.

Beberapa jam sebelum menuliskan entri ini, saya melintasi jembatan yang sama untuk menaiki bus merah-kuning yang akan mengantarkan saya pulang ke rumah—tempat yang nyaman di mana saya bisa beristirahat di kamar yang sejuk usai membersihkan tubuh dengan air hangat.

Ibu muda dan bayinya masih ada di sana. Mereka tertidur pulas di atas selembar kardus. Saya menatap mereka dan bertanya dalam hati, adakah perempuan ini punya mimpi. Barangkali mimpinya sederhana saja: bisa terlelap di ranjang yang hangat dan punya tempat tinggal yang layak agar esok si mungil tak perlu menghirup udara kotor dan tersengat matahari.

Semua orang bisa bermimpi. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejarnya.



Hari ini, saya ingin berterimakasih pada seseorang yang tak saya kenal namanya. Atas sebuah pertanyaan yang mengusik hati dan mengingatkan saya akan sesuatu yang sudah lama saya lupakan.

Mimpi-mimpi saya. Saya sudah hidup di dalamnya.

Dan untuk itu, sepatutnya hari ini ditutup dengan ucapan syukur.

-----