Friday, December 29, 2006

Akhirnya...


Hari ini saya dapat kejutan. Waktu sedang asyik menikmati brunch (yaelaa… gaya bener. Bilang aja sarapan sekaligus makan siang, gara-gara ketelatan bangun), saya terusik oleh deru mesin motor dan seruan “Bu… Ibu…” dari pintu depan. Awalnya saya cuek, karena mengira itu suara tamu tetangga. Ketika seruan itu tak kunjung berhenti, saya memutuskan untuk meninggalkan lontong sayur dan membuka pintu. Ternyata bukan tamu tetangga, melainkan Pak Pos – mengantar paket untuk saya.

Saya bisa menebak apa isinya. Dengan tidak sabar saya merobek amplop cokelat besar itu, lupa pada lontong sayur yang masih separuh. Paket itu berisi majalah yang memuat edisi pertama cerita bersambung karangan saya, Kerlip Bintang Shiloh.

Brunch terlupakan. Perhatian saya terfokus sepenuhnya pada judul yang tercetak besar-besar di halaman kuning cerah. Tulisan saya akhirnya dipublikasikan. Setelah menunggu sekian tahun, inilah kedua kalinya saya berbahagia mencium harum majalah baru, mengetahui bahwa dalam lembaran-lembaran halusnya terdapat buah karya saya (yang pertama kali dimuat dalam majalah Cerita Kita, Juni 2006).

Thank you, dear Savior. Thanks a lot. This is for You.
Terima kasih, GFresh.

Untuk pembaca blog tercinta, percayalah, kerja keras dan ketekunan selalu ada hasilnya.

Monday, December 25, 2006

Topeng-Topeng Ceria

Di situ mereka duduk. Sekumpulan topeng ceria.

Si Badut tersenyum jenaka, membiarkan orang menertawakan dirinya dan turut tergelak absurd, tak peduli apa objeknya, dan mengapa.

Si Mafioso tersenyum simpul, matanya tajam menganalisa setiap celah bagai ular mengintai mangsa, sementara bibirnya tak lepas menyungging menghanyutkan.

Si Penyihir menyeringai, mengulurkan apel ranum yang disambut sukacita walau mematikan.

Si Don Juan tersenyum menawan, menebar pesona pada siapa saja yang mau terpikat dan percaya, tanpa peduli berapa banyak tangis akan keluar dari mata-mata indah bercelak itu.

Si Robin Hood tersenyum jumawa, memamerkan emas dan menuai kagum dari mereka yang memujanya bak pahlawan. Namun tak ada yang tahu bahwa harta itu takkan sampai ke melarat malang yang membutuhkan, melainkan aman di kantung kulitnya dengan sebilah belati tersembunyi, siap dihunuskan kapan saja pada kecoak pengganggu.

Di situ mereka duduk. Topeng-topeng ceria, bersuka ria. Memotong kue tar, menikmati tanpa sempat meliriknya. Menelan sepotong keindahan untuk dikeluarkan sebagai sampah esok paginya. Membuang lilinnya karena waktu tak berarti apa-apa, dan penandanya pun jadi tak berguna.

Di sudut sepi, seorang pengelana duduk sendiri. Matanya sarat arti, namun tubuh rentanya membuatnya tak layak dipandang. Di depannya juga terletak sepotong tar indah. Lilinnya masih utuh. Glazurnya bahkan tak tersentuh.

“Mengapa tak dimakan?” Tanya pramusaji.
Ia menggeleng. “Terlalu indah, Nona. Sayang bila esok sudah jadi kotoran tubuhku yang lemah ini.”
Pramusaji menatapnya tak mengerti. “Tapi tar memang untuk dinikmati. Akan rusak bila tidak, dan mubazir.”
Pengelana tersenyum lembut. “Aku tahu, Nona. Karena itu tak kusentuh keindahan ini. Kusimpan bagi si melarat malang yang terlupakan. Perut seperti itu, Nona, lebih layak menerimanya.”

Monday, December 18, 2006

Salah Satu Hari Terbaik

Hari ini adalah salah satu hari terbaik saya. WHY? Karena pagi tadi, saya (akhirnya) ketemu lagi dengan seorang sahabat. Ia sedang menetap di Belanda, dan komunikasi kami selama ini amat dibatasi jarak (dan tarif telepon yang mahalnya selangit).

Ia pulang ke Indonesia untuk memperpanjang visa. Bawaannya? Dua buah koper. Tapi bukan berisi pakaian, bukan juga buah tangan, melainkan setumpuk arsip. "Balik Indo bukan buat liburan," katanya sambil tertawa lepas ketika saya menyinggung tentang holiday season. Jam kerja sahabat saya ini memang super duper padat. Hampir bisa dibilang 24/7, dan tak kenal istilah 8 to 5. Selain menyita energi dan waktu, pekerjaannya menuntut stamina dan kesiapan tinggi, karena salah satu 'tugas'nya adalah melanglang buana ke berbagai negara dan benua, untuk istilah-istilah 'berat' macamnya simposium & conference.

Namanya Audrey. Ia adalah Presiden Mahasiswa Farmasi Sedunia yang pertama dari Asia. Prestasi yang luar biasa, mengingat selama puluhan tahun Indonesia gagal mengukir prestasi di mata dunia dalam bidang farmasi, dan baru kali inilah Asia 'menelurkan' presiden wanita pertama bagi organisasi internasional raksasa ini. Terlebih luar biasa lagi kalau mengingat usianya baru 21 tahun, dan sahabat saya ini besar di sebuah kota kecil bertajuk Sukabumi.

Ketika melihat wajahnya pagi ini, saya bertanya dalam hati, berubahkah ia?
Berubahkah Au-au yang saya kenal sebelum berangkat ke Den Haag?
Saya tak ingin ia berubah. Tapi, bagaimanapun, ia lebih 'canggih' dari selebriti Indonesia sekarang.

Audrey datang.
Dalam balutan sederhana kemeja cokelat-putih dan celana panjang hitam, tanpa pulasan make-up, dengan rambut tergerai polos.
Seseorang menyapanya 'Ibu Presiden'. Seorang teman bahkan memperkenalkan anak balitanya dengan kalimat, "Kenalin, ini Tante Presiden."

Audrey tergelak lepas. Sama sekali tak memancarkan binar jumawa, apalagi keangkuhan.

Sorot matanya tetap sama.
Senyumnya tetap sama.
Tawanya tetap sama.
Candanya tetap sama.
Kalimat-kalimatnya tetap sama.
Sederhana, membumi apa adanya.

Ia tak pernah berubah.

Hari ini adalah salah satu hari terbaik saya.
Di tengah gemerlap keberhasilan dan popularitas yang menyilaukan, sahabat saya tetap tak artifisial.

Sunday, December 17, 2006

Sejenak Memandang...


Gramedia, 15 November 2006

Saya sedang asyik melihat pigura cantik berbentuk kubus di toko buku itu, ketika tawa nyaring menerobos telinga saya. Impuls, saya mengalihkan perhatian, penasaran akan sumber suara yang tak jauh dari punggung saya.

Di situ mereka berdiri. Seorang ayah dengan anak balitanya, di tengah lorong rak alat tulis. Sang ayah mengayun putranya sambil bercanda lepas, menikmati momen itu sepenuhnya. Tawanya merekah dengan cinta yang hanya seorang ayah yang punya.

Wajah si bocah tak terlihat karena kami saling membelakangi. Namun, gelak sang ayah yang murni bahagia dan binar matanya –yang tak peduli tatapan orang-orang yang melintas di lorong yang sama- seketika menghangatkan hati saya.
Si bocah aman dalam lengan-lengan kuat, menikmati setiap ayunan dan keceriaan tulus yang terpancar dari wajah ayahnya.

Semua berlangsung hanya dalam hitungan detik.
Mungkin kedengarannya berlebihan, namun bagi saya, waktu seolah berhenti sejenak untuk tersenyum kepada mereka. Mereka yang dengan gembira berdiri di tengah lorong, tak kuatir akan pandangan aneh orang-orang yang lalu lalang. Mereka bahagia. Mereka memiliki waktu. Dan dunia.

Panggilan Ayah membuat saya beranjak dengan enggan. Sambil melangkah, saya menoleh, ingin mengabadikan momen tersebut dalam memori saya, sekaligus melihat wajah bocah yang kini telah menyandarkan kepala dengan nyaman di pundak sang ayah.

Pandangan kami bertemu.

Bocah itu menderita Down Syndrome.


Untuk 'daddy' Steven, makasih ya buat fotonya yang sangat touching. Alex, semoga cepat besar dan bisa bilang 'Auntie' :)

Thursday, December 14, 2006

Obrolan Tentang Rumah


Matius 7:25.

Tidak perlu buka Alkitab dulu, karena saya enggak akan membahas ayat di sini. Saya hanya tertarik pada 3 kata di dalamnya: hujan, banjir, dan angin. Gembala Sidang saya merumuskan definisi ketiga kata ini dengan fantastis: Hujan = serangan yang ditujukan kepada atap; Banjir = serangan yang ditujukan kepada fondasi; Angin = serangan yang ditujukan kepada dinding. Karenanya, kita perlu memiliki atap, fondasi, dan dinding rohani yang kokoh. Hebat euy, pikir saya. Sederhana, tapi bikin ‘melek’.

Saya tinggal di kompleks perumahan kecil di pinggiran Jakarta Barat, nyaris terkucil dari peradaban -- mengingat tidak satu pun supir Bluebird (yang pool-nya di luar Jakarta Barat) mengetahui eksistensi pemukiman sederhana ini. Kenapa saya bilang sederhana? Wong airnya masih air tanah. Keruh kecokelatan dan membuat acara mandi jadi menyebalkan. Tidak ada fasilitas apapun, kecuali lapangan basket dan taman yang ditata seadanya. Rumah saya tidak besar, tidak mewah. Terletak di ujung gang, yang bikin maling ogah masuk saking terpencilnya. Tapi saya bersyukur, karena kami sekeluarga aman di dalamnya. Terlindung dari panas terik. Mau hujan enggak masalah, mau banjir silakan, mau badai hayuk.

Kalau ditanya, maukah punya rumah yang lebih gede? Tentu saya akan menjawab IYA (memangnya siapa yang enggak mau?) Tapi sebelum Yang Di Atas menganugerahi hunian yang lebih ‘wah’, terlebih dulu saya harus puas dengan apa yang ada sekarang. Dan daripada berangan-angan tentang enaknya tinggal di pemukiman elit Pondok Indah, lebih baik saya berfokus pada remeh-temeh seperti: memperkuat fondasi rumah, menambal retakan dinding, memulas warna tembok yang sudah pudar, dan memperbaiki atap yang bocor. KENAPA? Karena seperti yang Mas Matius (dan Gembala saya) bilang; atap, fondasi, dan dinding adalah 3 hal utama yang menentukan kokoh-tidaknya sebuah bangunan.

Hujan, banjir, dan angin adalah fenomena alam yang familiar dengan kehidupan manusia (kita belum ngomong badai, tsunami, angin puyuh, bahorok, puting beliung, dan gunung meletus, lho). Dengan kata lain, setiap orang pasti mengalami 3 hal tersebut. Minimal, Anda dan saya pernah ngerasain yang namanya kehujanan dan masuk angin. Kita enggak akan bisa mencegah hujan datang, karena emang udah kodratnya hujan pasti turun. Selama hukum alam masih berlaku, kita boleh yakin hujan akan senantiasa turun, angin bertiup, banjir melanda. Yang jadi pertanyaan bukanlah bagaimana cara meredakan fenomena alam tersebut, melainkan cara ‘mempertahankan rumah’ dan ‘melindungi diri’ agar tidak kebasahan dan kedinginan.

HOW?? Lagi-lagi sederhana. Kalau kita tidak bisa mencegah hujan datang, lebih baik pasang genteng yang kokoh. Kalau kita tidak bisa menghentikan angin bertiup, jangan punya dinding gedhek (itu lho, anyaman bambu). Kalau kita tidak tinggal di kawasan bebas banjir, sediakan budget untuk meninggikan fondasi rumah. Lebih baik mengeluarkan 5 juta untuk membangun fondasi, daripada 5 milyar untuk membangun rumah di atas fondasi seharga 500 ribu. Nilai sebuah rumah tidaklah lebih dari harga beton dan semen yang dipakai untuk membuat fondasinya. Dan sebagus-bagusnya rumah, siapa yang mau beli kalau atapnya dari rumbia??

Sebelum Tuhan mempercayakan rumah mewah di kawasan Menteng, mari bersyukur dengan sepetak hunian yang menjadi berkat kita saat ini. Pastikan fondasi, atap, serta dindingnya terbangun dengan kokoh. Minimal, cukup untuk melindungi kita dari terpaan hujan, banjir, dan angin. Kalau atap dan fondasi yang sekarang aja belum kuat, ngapain punya rumah 5 milyar?

p.s: ‘rumah’ di sini hanya metafora. Bentuk implisitnya? Monggo direnungkan :)

Reformat


Sebagai orang yang gaptek, saya tidak terlalu paham seluk-beluk komputer. Tapi ketika komputer saya mulai bandel, ‘susah diatur’, dan lelet setengah mati, saya tidak memerlukan otak seorang ahli komputer untuk menyadari: ada yang enggak beres nih!

Lambatnya komputer menyebabkan gangguan dalam banyak hal, karena saya termasuk orang yang ‘tidak bisa hidup tanpa komputer’. Plus, kegiatan socializing via internet jadi tidak nyaman lagi. Bayangkan, sejak menekan tombol power, butuh waktu 10 menit sampai komputer betul-betul siap dipakai. Untuk meng-connect ke internet dan membuka Yahoo! (first page-nya, lho, belum mail-nya), perlu 10 menit lagi.

Kalau tidak ingat bahwa komputer ini belum lama dibeli, saya nyaris mengikuti saran usil seorang teman, “pake lem biru aja! Lempar, beli baru.” Masalahnya, komputer saya bukan peranti jangkrik yang harus dimusnahkan karena ‘sudah enggak zamannya’. Segaptek-gapteknya, saya cukup engeh untuk tidak membuang komputer Pentium 4 hanya karena lambat, bandel, dan 101 alasan lain yang mengesahkan penggunaan lem biru.
Alasan logis saya yang pertama adalah, belinya pakai uang, dan cukup mahal. Alasan kedua, saya belum menguasai ilmu sulap mengubah daun pisang menjadi lembaran seratus ribu. Jadi, saya memutuskan untuk survive dengan komputer tercinta ini. Sampai akhirnya saya tak tahan lagi, dan menelepon seorang sepupu yang tidak segaptek saya.
Jawabannya ternyata simpel: komputer saya perlu diformat ulang. Dibersihkan dari file dan program yang bikin ‘berat’, supaya baik jalannya (mengingatkan saya pada lagu ‘Naik Delman’ zaman SD).

“Semua data yang ada di sini nanti bakal hilang,” jelasnya. Saya kontan melotot. Semua foto dan tulisan saya ada di komputer! Kiamat betul kalau sampai lenyap. “…tapi jangan khawatir, file-file yang masih terpakai bisa dicopy dulu ke disc. Setelah diformat, bisa dikembalikan lagi ke komputer,” sambungnya, membuat saya kembali bermafas lega.

Sampai hari ini, saya masih tetap gaptek. Tapi paling tidak, saya sudah tahu kalau komputer yang lelet dan bandel seyogianya tidak di-lem biru, melainkan diformat ulang. Dibersihkan dari program-program usang yang mengganggu, agar lancar jalannya dan bisa digunakan secara maksimal.

Mungkin hidup kita juga seperti itu. Kalau ada masih ada bagian yang ‘berantakan’, ‘susah diatur’, dan tidak berfungsi secara penuh, siapa tahu di dalamnya ada beberapa aspek yang perlu ‘dibersihkan’. Atau ‘direformat’ sekalian, kalau sudah ‘terlanjur parah’ kayak komputer saya. Dan setelah itu pun, harus sering-sering meluangkan waktu khusus untuk ‘mendefragnya’ (ini istilah komputer untuk merapikan atau menata ulang) supaya kondisinya tetap terjaga dan bisa dipakai dengan maksimal. Apalagi kalau kita bicara tentang destiny, visi, de-es-be-nya. Walaaah… yang pasti enggak cukup cuma jadi ‘warga negara yang baik dan taat hukum’. Kita sangat perlu kehidupan yang selaras kebenaran, fondasi yang kokoh, 'stamina' rohani yang kuat, serta arahan yang jelas. Dan untuk menginstall itu semua dalam hidup kita, enggak bisa pakai software antik zaman baheula!

Sering-seringlah memformat dan mendefrag komputer rohani ini. Percayalah, Anda sendiri yang akan menikmati hasilnya. Dan saya rasa, Sang Mastermind Agung juga menciptakan kita untuk jadi gadget berteknologi tinggi nan mutakhir, bukan peranti jangkrik keluaran abad 19 yang sudah bodol dan siap di-lem biru…

p.s: buat yang masih belum yakin dengan tulisan di atas, izinkanlah saya mengajukan pertanyaan ini: seandainya Anda jadi Bill Gates, Anda akan memilih menggunakan yang mana, laptop canggih dengan Intel Centrino Duo Mobile Technology, atau mesin ketik zaman Asrul Sani?
Silakan dijawab, lho…

'Wacky Wednesday' used-to-be. Not Anymore.

RABU.

As known as hari yang paling bikin capek dalam seminggu (buat saya lho)
Why? Karena setiap Rabu, saya ninggalin rumah jam 06:30 pagi, dan baru bisa pulang (paling cepat) jam 10 malam. Perjalanan pulang-pergi ditempuh dengan naik-turun angkot dan ojek, masing-masing 1,5 jam (dan bagi elo semua penghuni Jakarta yang menjalani rutinitas serupa, pasti setuju banget bahwasanya kalo sampe elo menemukan satuuu aja penumpang angkot dengan aroma Kenzo eau de toilette, itu anugerah tak terhingga. Dan kalau elo menemukan tukang ojek yang menebarkan harum Bvlgari, itu mukjizat luar biasa. Kenapa gue bilang mukjizat? Karena kalo sampe ada tukang ojek yang bisa beli Bvlgari, ngapain juga dia jadi tukang ojek??)

Anyways, cukup ‘elo-gue’-nya. Balik ke topik awal, hari Rabu adalah hari yang super panjang buat gue… eh, saya. Dan tanggal 8 kemarin, enggak beda dari Rabu-Rabu lainnya. Saya menabahkan hati duduk manis di dalam angkot, sambil berdoa supaya terjadi keajaiban. Siapa tahu hari itu saya akan mendapat angkot yang supirnya tidak suka ngetem, bersedia jalan walau penumpangnya cuma satu, tidak perlu berhimpit-himpit ria, bisa duduk di sebelah penumpang dengan aroma Gatsby (saya cukup tahu diri untuk tidak mengharapkan Kenzo lagi), dan 1001 harapan muluk lainnya. Saya sedang merapatkan badan ke pintu angkot sambil menghela nafas dalam-dalam, ketika seorang wanita tua masuk dan duduk di depan saya. Usianya sekitar enampuluhan. Ia tidak membawa apa-apa - tangan rentanya hanya menggenggam dompet mungil berwarna merah. Saya memperhatikannya selama beberapa detik. Ketika melihat ke bawah, saya tertegun.

Ia memakai sandal jepit Swallow wana hijau pudar. Saya memakai Pianella.

Ia menggenggam dompet usang berlogo toko emas. Saya menyimpan uang dalam Hush Puppies.

Ia memakai blus yang amat sederhana, dan kerudung seadanya (bukan jilbab, hanya sebuah scarf tua yang diikat di bawah dagu). Saya mengenakan kemeja berlapis cardigan, dan menenteng handbag dengan Nokia seri 7 di dalamnya.

Wajahnya dipenuhi bintil, kerut, dan noda. Saya menghabiskan puluhan ribu demi sebotol facial wash.

Ia menarik dua lembar seribuan dari dalam dompet, meluruskan, serta melipatnya dengan hati-hati. Saya bahkan tidak tahu berapa persisnya jumlah seribuan dalam dompet saya.

Sorot matanya menyiratkan ketegaran, kekuatan, serta keihklasan menjalani hidup yang jelas-jelas tidak mudah. Saya mengeluh dan berberat hati menempuh perjalanan selama 1,5 jam dengan angkot.

Saya tergugu dalam hening.

Mendadak saya malu karena sudah begitu cengeng.
Mendadak saya risih dengan keluhan-keluhan saya sepanjang pagi.
Mendadak, 1,5 jam tidak lagi terasa hambar, dan naik angkot tidak lagi terasa berat.
Mendadak saya tahu makna rasa syukur yang sesungguhnya.

Rabu itu sama seperti Rabu-Rabu sebelumnya. Saya meninggalkan rumah jam 06: 30 pagi, dan baru kembali jam 22:30. Menempuh perjalanan dengan angkot dan ojek - tanpa harum Gatsby, apalagi Kenzo eau de toilette.

Tetapi ada satu yang berbeda.

Tubuh saya memang capek luar biasa, namun hati saya tidak lagi lelah.

Terima kasih, Nenek.

-Awal November 2006-

Hidup = Bulet?

Kata orang, hidup itu kayak bola. Terus bergulir. Ada juga yang bilang, hidup itu mirip roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang saya bingung ya, kenapa hidup selalu identik dengan BULET? Mau roda, mau bola, dua-duanya bulet. Menggelinding, tanpa akhir.
Kalo kata saya mah, hidup itu kayak tangga. Di ujung atas ada tujuan yang bisa diraih, dan untuk mencapainya cuma butuh keputusan dan tindakan. Seberapa cepet sampai di atas, tergantung pilihan kita. Dan saya juga percaya, Yang Di Atas pengen kita punya kehidupan seperti itu: naik, dan terus naik.
Maka, berusahalah. Jangan pernah menyerah. Jangan pernah berhenti bermimpi. Jangan pernah lelah untuk percaya. Biarpun keliatannya sukar dan lambat, kalau kita terus mendaki tanpa kenal lelah, kita PASTI bisa sampai di atas (lagian dimana-mana juga, yang namanya naik tangga itu pasti bikin capek – kecuali kamu naik elevator. Percayalah, saya juga ingin punya elevator. Tapi dalam hidup ini, bukan begitu aturan mainnya.

Selamat mendaki. Satu pesan saya, kalau udah sampai di atas, jangan lupa sama yang masih di bawah, ya :)

- 6 November 2006, kala merenung dalam sunyi -

Untuknya Yang Telah Pergi...

Ini bukan karangan indah. Hanya secuplik kisah nyata, disertai permohonan maaf untuk seseorang yang pernah begitu berjasa - yang tak pernah sempat saya ucapkan kepadanya.

8 atau 9 tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMP, kami diajar oleh guru matematika bernama Pak Harefa. Usianya masih terbilang muda, 28 tahun. Pak Harefa amat sabar dalam mendidik murid-muridnya. Beliau senantiasa mengajar dengan detail, bersedia mengulang penjelasan tanpa mengkritik, selalu memberi tambahan waktu ketika ulangan, dan tidak pernah marah/menghukum. Namun di mata kami, semua itu bukanlah wujud kemuliaan hati, melainkan sikap lembek dan ‘tidak berdaya’ yang menyebabkan kami tidak segan-segan berlaku tidak hormat kepadanya. Kami mengobrol dan bercanda dengan bebas ketika beliau mengajar. Kami bersikap sesuka hati. Kami bahkan makan di dalam kelas. Salah satu perbuatan favorit kami (termasuk SAYA) adalah mengajukan pertanyaan kepada beliau dengan mulut mengunyah makanan secara terang-terangan. Dan Pak Harefa selalu bersedia menjelaskan!
Kalau dipikir sekarang, rasanya tindakan kami itu betul-betul sudah di luar batas. Tetapi ketika melakukannya 9 tahun yang lalu, yang ada hanyalah rasa bangga. Bangga karena berani ‘melawan’ seorang guru. Senang karena berhasil melampiaskan rasa sebal akibat ‘penindasan’ guru-guru killer yang lain. Dan saya pun, dengan tega melibas hati nurani demi melakukan hal yang sama.
Siang itu, Pak Harefa tidak hadir. Bukannya bertanya-tanya, kami sekelas malah bersuka ria menikmati jam kosong. Sampai Kepala Sekolah masuk, dan memberi pengumuman. Pak Harefa telah meninggal dunia.
Beliau mengalami serangan jantung dalam angkutan umum yang ditumpanginya pada perjalanan menuju sekolah, dan meninggal di tempat yang sama. Tanpa penolong, tanpa ada yang menemani. Bahkan dompetnya raib dicuri orang.
Saya terhenyak. Seluruh murid membisu. Hari itu, kami menangis dan tercenung.
Sampai hari ini, saya masih tercenung.
Seandainya dulu saya bicara dengan sopan kepada Pak Harefa.
Seandainya dulu saya tidak bersenda gurau dengan suara keras saat beliau mengajar.
Seandainya dulu saya tidak bertanya sambil mengunyah permen di depannya.
Seandainya dulu saya bersedia menilik nurani dengan kebijakan dan rasa hormat… tentunya saya tidak perlu melukai hati mulia seorang guru yang telah begitu telaten mendidik murid-muridnya.

Maafkan kami, Pak Harefa.

Tuesday, December 12, 2006

Simple Thanks

Setelah sekian lama, akhirnya saya punya blog juga. Online journal yang 'beneran'. Walau belum jadi siapa-siapa, dan mungkin tak ada yang kenal, izinkan saya menuturkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada orang-orang luar biasa yang telah memainkan peranan terpenting dalam hidup saya...

First off, Ayahanda tercinta, L. Jimmy Jusuf. You're the best, Dad. I'm at lost of words of thanking you. Terima kasih buat cinta tak bersyarat yang selalu ada.
'Orangtua rohani' sekaligus Gembala saya tercinta, Steven & Elly Agustinus. Terima kasih banyak. Kasih yang senantiasa kalian pancarkan adalah pelita yang selalu menuntun saya untuk pulang ke rumah. Terima kasih karena telah mengajarkan tentang pentingnya memaknai kehidupan, lewat bahasa yang tak selalu verbal.
Sahabat-sahabat tercinta, tempat saya bersandar dan memberikan sandaran: Vera, Karin, Au-au, Itin, Icqa, Lisa, Mira & Lala. Terima kasih untuk persahabatan terindah yang takkan mungkin saya temukan di tempat lain.
My inspiring authors, Sitta Karina & Prima Rusdi. Thank you so much for always being an inspiration... you guys are amazing!

... Terima kasih sebesar-besarnya untuk Juruselamat dan Sahabat tercinta, my Beloved Savior Jesus Christ. I once was lost, but now I'm found. Was blind, but now I see.