Di situ mereka duduk. Sekumpulan topeng ceria.
Si Badut tersenyum jenaka, membiarkan orang menertawakan dirinya dan turut tergelak absurd, tak peduli apa objeknya, dan mengapa.
Si Mafioso tersenyum simpul, matanya tajam menganalisa setiap celah bagai ular mengintai mangsa, sementara bibirnya tak lepas menyungging menghanyutkan.
Si Penyihir menyeringai, mengulurkan apel ranum yang disambut sukacita walau mematikan.
Si Don Juan tersenyum menawan, menebar pesona pada siapa saja yang mau terpikat dan percaya, tanpa peduli berapa banyak tangis akan keluar dari mata-mata indah bercelak itu.
Si Robin Hood tersenyum jumawa, memamerkan emas dan menuai kagum dari mereka yang memujanya bak pahlawan. Namun tak ada yang tahu bahwa harta itu takkan sampai ke melarat malang yang membutuhkan, melainkan aman di kantung kulitnya dengan sebilah belati tersembunyi, siap dihunuskan kapan saja pada kecoak pengganggu.
Di situ mereka duduk. Topeng-topeng ceria, bersuka ria. Memotong kue tar, menikmati tanpa sempat meliriknya. Menelan sepotong keindahan untuk dikeluarkan sebagai sampah esok paginya. Membuang lilinnya karena waktu tak berarti apa-apa, dan penandanya pun jadi tak berguna.
Di sudut sepi, seorang pengelana duduk sendiri. Matanya sarat arti, namun tubuh rentanya membuatnya tak layak dipandang. Di depannya juga terletak sepotong tar indah. Lilinnya masih utuh. Glazurnya bahkan tak tersentuh.
“Mengapa tak dimakan?” Tanya pramusaji.
Ia menggeleng. “Terlalu indah, Nona. Sayang bila esok sudah jadi kotoran tubuhku yang lemah ini.”
Pramusaji menatapnya tak mengerti. “Tapi tar memang untuk dinikmati. Akan rusak bila tidak, dan mubazir.”
Pengelana tersenyum lembut. “Aku tahu, Nona. Karena itu tak kusentuh keindahan ini. Kusimpan bagi si melarat malang yang terlupakan. Perut seperti itu, Nona, lebih layak menerimanya.”
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
5 weeks ago
No comments:
Post a Comment