Friday, August 31, 2007

Kala Membaca ;-D

Bandung, Mei 2007.

+ “Lu baca deh…”
- “Apaan?”
+ ”Novel gua.”
- “Mana, mana?” (semangat)
+ ”Nih. Kasih komen ya.”
- “SIP!”

*membaca*

+ ”Kenapa lu?!”
- “He? Apa?” (males nengok - masih konsen)
+ ”Senyum-senyum gitu…”
- “Oh… yang ini nih…” (ga jelas)
+ ”Emang lucu ya?”
- “He eh.”

*meneruskan baca*

+ “Bo, elu ‘napa sih??!”
- “Apanya?” (merasa keganggu)
+ “ITU! Cengar-cengir sendiri!”
- “Inih LUCU!”
+ “Yang mana siiih?”
- “Ini. Sama ini juga.” (nunjuk asal)
+ “Ah, lucu di mananya?!”
- “Ya pokoknya lucu!”

*.......*

+ “ELU SEREM IH!”
- “Ih emang ga boleh ketawa?!”
+ “Lha tapi elu ketawanya ga jelas gituh dari tadi!”
- “Ih biarin. Orang lucu.”
+ “.....”
- “HUAHAHAHAHAHAHH!!!”
+ “GILA.”

*membaca sampai SELESAI*

+ ”Dah kelar?”
- “Udah.”
+ ”Makan yuk. Gua LAPER.”
- “Ayuk.”
+ ”Makan di mana?”
- “Mana aja jadi lah. Eh, ‘ni laptop mo dibawa?”
+ ”Ga, males. Tinggal aja.”

Begitulah, Saudara-saudara…

Hasil percakapan gak penting gak jelas ini sekarang bisa dilihat di sini.

:-))

Apa…?

Pembahasan komen??

Gak ada. Yang ada cuma dua perempuan sarap yang buru-buru keluar rumah untuk merampok warteg terdekat, berhubung malam semakin pekat.

Gyahahahahahahahahah! ;-D

CONGRATS, Jeng!

Thursday, August 30, 2007

Riding Roller Coaster

Bulan Agustus betul-betul membuat hidup saya 'meriah'. Banyak kejadian tidak terduga yang sukses membuat saya termehe-mehe, kaget, senang, sebal. Semuanya dalam waktu yang berdekatan.

Saya dipercaya untuk menangani sebuah project yang cukup besar dalam tenggat waktu yang sangat sempit, sendirian. Sebuah kehormatan yang bikin hidung kembang-kempis, sekaligus deg-degan setengah mampus sampai kebawa mimpi.

Seorang teman yang tinggal di Bangka mengabari bahwa ia hamil, beberapa minggu menjelang ulang tahun pernikahannya yang pertama.

Seorang teman lain -sahabat semasa SMU- juga memberi tahu bahwa ia hamil. ‘Pengumuman’nya cukup ajaib – dengan mengirim SMS panjang berisi puisi supermellow (sumpah!), sementara saya selalu mengenalnya sebagai sosok yang tomboi, gokil dan cuek abis. Being a Mom does change someone, right?

Novel solo sahabat saya rilis dan sudah beredar di toko buku. ('Indonesian Idle' - Gagas Media. Get it now!)

Membaca entri yang bikin mehe-mehe ini dan berkhayal seandainya saya ada di tempat yang sama. :)

Ngomel-ngomel nggak penting karena kasus penculikan yang menurut saya biadab dan konyol. (Bo, plis deh, anggota komunitas keagamaan nyulik anak umur 5 tahun?!)

Seorang sahabat lain merasa tersinggung dengan sikap saya (yang saya anggap wajar, sementara menurut dia tidak). Alhasil, sudah beberapa minggu saya merasa ‘baru kenal’ dengan orang yang ‘mendadak asing’ ini.

Adik saya putus dari pacarnya (well, bukan kejadian luar biasa sebetulnya, kalau saya tidak pernah mendengar kata ‘nikah’ tercetus dari si Bontot ini).

Sepupu saya divonis menderita kanker kelenjar getah bening stadium tiga, dan tante seorang teman yang lain divonis mengidap tumor otak.

Ayah kawan baik saya meninggal dunia. Saya mengetahui ini dari commenting system di blog-nya dan hanya bisa mengirim ucapan turut berdukacita melalui SMS.

Bulan ini juga, saya mulai menabung gila-gilaan untuk sebuah rencana besar yang akan saya lakukan pertengahan tahun depan. Banyak hal yang dulu ‘sah-sah aja’ saya lakukan, sekarang terpaksa dipapas di sana-sini demi memperkecil pengeluaran. I believe it’s worth the cost, though. :)

Dan masih banyak peristiwa lain yang tidak bisa ditulis di sini.

Bulan ini bagaikan roller coaster buat saya. Banyak kejadian yang membuat saya termehe-mehe, kaget, senang dan sebal dalam waktu berdekatan. Lucu rasanya, duduk di depan komputer dan mengingat-ingat semuanya.

Apapun itu, peristiwa di sepanjang Agustus ini sekali lagi menyadarkan saya tentang pentingnya mensyukuri hidup dan segala warnanya –baik itu cerah, terang, kelabu maupun gelap- dan tidak memandang sesuatu dari ‘permukaan’ nya saja.

Mensyukuri setiap tarikan nafas yang memberi saya kesempatan untuk mencecap hidup lebih lama.
Mensyukuri udara segar yang mengingatkan saya bahwa hari ini tercipta untuk dijalani sebaik-baiknya.
Bersyukur atas matahari, saat ia bersinar lembut maupun terik membakar.
Bersyukur bahwa semua panca indera saya masih berfungsi dengan baik.
Bersyukur bahwa saya masih bisa menuliskan ini, karena tandanya saya masih mampu berterima kasih.

Dan apapun yang terjadi, entah senang atau sedih, manis atau pahit, terang atau mendung; saya yakin pada akhirnya semua pasti akan baik-baik saja. :)

*Lah, tadi perasaan nyalain komputer untuk mberesin kerjaan, kenapa jadi posting?*

Monday, August 27, 2007

Proses Itu Tak Pernah Berhenti

Beberapa hari lalu, saya iseng melihat-lihat entri yang saya posting di blog saya yang lain. (Iya, saya punya dua blog, tapi yang satu lagi khusus untuk mencurahkan unek-unek, buka isi perut). Saya tertawa-tawa melihat entri yang berjumlah 40-an, yang hampir semuanya berisi hal-hal nggak penting. Salah duanya adalah foto koleksi Seri Kumbang-nya Enid Blyton dan foto cover CD bajakan yang menampilkan tulisan ‘Copying This CD Without Permission Is A Crime’ (dan ditayangkan di Museum ini, haha!). Sisanya kebanyakan berisi celoteh nggak penting yang jauh dari bermakna.

Saya mesam-mesem sambil membaca ulang entri-entri itu satu persatu dan berpikir, kok tulisan saya yang di sini, beda ya dengan entri di blogspot? Entri-entri saya di blogspot sangat serius, mellow dan kadang ‘sok bijak’. Mungkinkah saya punya alter ego seperti Beyonce Knowles atau seorang blogger old-skool *hai, Teh! :)* yang memposting hal serupa di sini? Maka mulailah saya berkhayal gila, seandainya punya alter ego, saya akan menamakannya Janice. (Ha!) ;-D

Kemarin saya membaca entri seorang sahabat yang berjudul Sekolah Kehidupan. Isinya sangat menggugah. Sekolah yang terbaik di dunia adalah Universitas Kehidupan - lengkap dengan mata kuliah yang beragam, yang semuanya memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan; bagaimana menilik hidup dari sudut yang berbeda, memandang dengan bijaksana dan menjadi orang yang lebih baik.

Saya pernah menjalani sebuah fase dalam hidup, di mana saya ‘terobsesi’ dengan makhluk bernama Kesempurnaan. Segala sesuatu pada diri saya harus sempurna. Bukaaaan, bukan dari segi penampilan atau penampakan lahiriah. Saya tidak terlalu peduli dengan keindahan tampak-luar, yang menjadi ‘obsesi’ saya adalah kesempurnaan perilaku.

Kedengaran aneh?

Itulah yang saya kejar, dulu. Saya berusaha terlalu keras menjadi figur yang sempurna di depan keluarga dan teman-teman. Saya menjaga sikap, pembawaan dan tutur kata sedemikian rupa agar selalu tampil tanpa cacat-cela. Alasannya sederhana, saya ingin menjadi seorang teladan terpuji. Seseorang yang bisa memberi contoh perilaku mulia.

Masalahnya adalah, tanpa sadar motivasi itu bergeser dan saya mulai menganggap diri saya lebih baik dari orang-orang lain. Saya menganggap diri saya yang paling benar, paling sempurna, tanpa cacat.

Usaha terlalu keras itu berhasil, awalnya. Orang-orang yang saya temui memberi komentar baik tentang saya. Beberapa bahkan diungkapkan secara berlebihan, dan saya enjoy saja dengan semua itu. Ini berlangsung bertahun-tahun, dan saya tenggelam dalam sindroma ‘look-at-me-I-am-damn-good’… sampai saya sadar, ‘kesempurnaan’ itu telah menjauhkan saya dari keluarga saya sendiri.

Adik, sepupu-sepupu, bahkan pacar sepupu saya (!) jadi segan berdekatan dengan saya. Somehow, perilaku dan sikap sempurna yang saya tunjukkan mulai mengintimidasi mereka sampai taraf tertentu. Ya iyalah, gimana nggak, saya memang kelewatan, bow. Saya sangat menjaga omongan. Saya menjaga cara saya tertawa, bercanda dan berkomunikasi, bahkan saat berkumpul dengan orang-orang terdekat.

Saya memasang ‘garis pembatas’ yang sangat sempit, padahal sumpah mati, diva Indonesia aja nggak segitunya, 'kali. Saya memasang batasan yang ketat dalam berteman. Saya memilih teman-teman saya. Hal yang sama saya terapkan dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, bahkan standarnya lebih tinggi lagi (jangan tanya berapa kali saya pacaran selama masa kesintingan itu). Mungkin yang paling ekstrim adalah ketika saya memutuskan untuk tidak nonton bioskop sama sekali, namun dengan gilanya tetap berburu DVD bajakan di kaki lima. Saya menjadi figur yang terpuji di mata banyak orang, namun hati kecil ini mengakui bahwa saya tak lebih dari orang saklek. Songong karena merasa diri ini lebih baik dari orang lain.

Saya mendapat pujian dari banyak orang, namun mulai kehilangan keakraban dengan orang-orang terdekat. Adik saya menjaga jarak dengan saya. Sepupu saya menjaga sikap setiap bertemu dengan saya. Dan dengan sintingnya saya mengira sudah berhasil memberi teladan bagi mereka. Untungnya, kegilaan ini berakhir tidak lama kemudian, ketika saya mulai serius menekuni pelajaran di Universitas Kehidupan.

Saya mengambil mata kuliah ‘Membuka Diri’, ‘Memahami Perbedaan’ dan ‘Tenggang Rasa’. Saya belajar untuk tidak menganggap diri sendiri yang paling benar. Saya belajar membuka mata dan hati seluas-luasnya. Saya belajar melihat keindahan dalam setiap ketidaksempurnaan.

Dan ternyata memang benar, ketidaksempurnaan itu indah adanya.

Saya tidak lagi menghakimi ketika seorang teman memasang anting di hidung dan bibir. Saya tidak lagi mengernyit kepada mereka yang merajah tubuh dengan tattoo. Saya yang dulu selalu mencibir, kini membukakan mobil untuk teman yang kebelet merokok saat bertamu ke rumah seorang kenalan baru (secara tuan rumahnya wanita paruh baya yang superramah lagi baik budi, rasanya agak kurang pas ajaaa menjadikan terasnya tempat buangan asap rokok pada pertemuan pertama gitu, ganti). Saya tidak lagi anti dengan gedung bioskop. Dan saya tetap berburu DVD bajakan di kaki lima. *wink*

Saya belajar bahwa hidup adalah pilihan, dan setiap orang memiliki kehendak bebas untuk memilih secara sadar (serta bertanggung jawab atas pilihan itu, tentunya). Perlahan, saya mulai merasa damai karena hati ini tidak lagi gemar menghakimi.

Saya masih terus belajar. Saya percaya tidak ada satu orang pun yang akan lulus dari Universitas Kehidupan, karena proses belajar di tempat ini tidak pernah berhenti.

Harapan saya cuma satu: saya bisa menjalani setiap mata kuliah yang saya ambil dengan baik dan memperoleh nilai yang memuaskan. Tidak harus sempurna, tapi minimal baik. Dan siapa tahu, kita akan bertemu di salah satu kelas. :)

Selamat belajar! :)

Wednesday, August 22, 2007

Never Quit. Never Give Up.

Pria berusia awal empatpuluhan itu berdiri dengan wajah berseri-seri. Rambutnya yang tersisir rapi dan pembawaannya yang sangat khas anak muda sempat membuat saya terkecoh saat menafsirkan umurnya.

Ia sangat santai. Bibirnya hampir tidak pernah berhenti tersenyum, dan setiap kali ia tertawa matanya membentuk garis lengkung yang jenaka. Ia sangat ramah pada siapa saja, termasuk saya yang baru pertama kali dikenalnya. Humor-humornya selalu segar dan tidak pernah membosankan. Jujur, ketika pertama kali mengobrol dengannya, saya pikir ia bukanlah tipe pria yang bisa diajak berdiskusi serius dalam waktu lama.

“Saya mengenal satu keluarga,” Ia memulai ceritanya siang hari itu. Saya mengalihkan pandangan dari buku yang sedang saya pegang dan menatapnya, tapi sejujurnya saya tidak terlalu memperhatikan ucapannya.

“Keluarga ini memiliki seorang anak laki-laki.” Ia meneruskan. “Ketika bocah itu berumur 4 tahun, mereka menyadari bahwa ia cacat.”

Saya diam, mendengarkan. Sebagian perhatian saya masih terfokus pada buku yang sedang saya baca sebelum ia memulai konversasi itu.

“Anak laki-laki itu tidak bisa mendengar,“ lanjutnya, “Juga tidak bisa bicara. Yang bisa ia lakukan hanya lari kesana kemari sambil berteriak, seperti ini.” Ia mencontohkan dengan meniru jeritan yang menyakitkan telinga. Saya tertawa sambil mengernyitkan dahi. Sumpah, jeritan itu sangat tidak enak didengar.

“Ia juga menderita dyslexia,” sambungnya. Saya mengangguk. Saya pernah mendengar tentang penyakit itu (eh, penyakit atau bukan, ya? Pokoknya semacam kelainan yang menyebabkan si penderita kesulitan merangkai huruf; tidak bisa membaca, apalagi menulis). “Tidak ada sekolah yang mau menerimanya. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan pada seorang anak yang bisu-tuli, tidak bisa membaca, dan selalu lari sambil berteriak.”

Kali ini saya membisu. Novel di tangan saya terlupakan.

“Suami-istri itu membawa anak mereka ke berbagai dokter. Tapi dokter angkat tangan dan menyuruh mereka membawanya pulang. Semua dokter mengatakan, tidak ada yang bisa dilakukan terhadap anak itu. Ia tidak akan sembuh.”

Sampai di sini saya berpikir, betapa teganya orang-orang yang mengucapkan kalimat seperti itu terhadap orangtua yang sedih dan putus asa. Dasar nggak punya perasaan. Tapi, ternyata saya salah.

“Sesampainya di rumah, sang istri berkata pada suaminya, ‘Dokter bisa menyerah, tapi kita tidak akan menyerah.’”

“Bayangkan, punya anak seperti itu…” ia meneruskan. Lagi-lagi saya hanya diam. “Bayangkan perasaan mereka - punya anak yang tidak bisa bicara, tidak bisa mendengar, tidak bisa membaca, dan selalu berlarian sambil menjerit-jerit. Tapi mereka menolak untuk menyerah.” Mata laki-laki itu kembali berbinar.

“Mereka berdoa setiap hari. Mereka membacakan ayat-ayat Firman untuk putra mereka; tidak peduli ia mendengarnya atau tidak. ‘Kamu adalah seorang juara’, mereka berkata, ‘Kamu akan disembuhkan.’ Mereka terus melakukan itu, setiap hari. Lagi dan lagi. Terus seperti itu.”

“Setelah beberapa waktu, tidak ada perubahan apapun. Tapi mereka tetap menolak untuk menyerah. Kepada setiap orang yang menanyakan keadaan si bocah, mereka selalu menjawab, ‘Ia sudah membaik. Memang belum terlalu kelihatan, tapi sudah lebih baik.’ Selalu seperti itu, hari demi hari, 4 tahun lamanya.”

“Ketika anak laki-laki itu berumur 8 tahun, orangtuanya kembali memasukkannya ke sekolah…” sampai sini, ia memotong kalimatnya. Matanya bersinar jenaka. Saya tidak. Saya menunggu kalimat berikutnya dengan tidak sabar sambil ngomel-ngomel dalam hati atas kelakuannya yang sengaja membuat saya penasaran.

“Sejak saat itu, setiap tahun ia memenangkan penghargaan. Ia mendapat nilai tertinggi dalam setiap ujian di sekolah. Ia bahkan mengajar di kelas-kelas motivasional, memberi dukungan pada orang-orang yang mengalami kegagalan. Kalimat andalannya adalah: ‘Jangan pernah menyerah.’ Dan itu yang selalu ia ucapkan -- sampai hari ini, ketika ia berusia 15 tahun: Jangan pernah berhenti. Jangan menyerah.’

Senyumnya merekah lebar. Sejak awal saya sudah menebak, pasti cerita ini berakhir bahagia. Tapi, melihat ekspresinya yang begitu hidup, tiba-tiba saya merasa hangat.

“Orangtua anak itu membawanya kembali pada ahli terapi yang pernah menolaknya. Ahli terapi itu keluar dengan bingung dan mencetus, ‘Ini bukan anakmu!’
Si ayah balik bertanya, ‘Memangnya kenapa?’
Ahli terapi itu menjawab, ‘Anakmu, yang kamu bawa dulu itu, tidak bisa bicara. Anak ini tidak mau berhenti bicara!’”

Kami terbahak-bahak. Wajah teman baru saya berbinar-binar dan sedikit memerah. Keningnya berkilap oleh keringat. Setelah puas tertawa, ia berhenti. Tatapannya berubah intens, sementara saya menunggu dengan penasaran, apalagi yang akan dia ceritakan?

Rautnya berubah teduh. Wajahnya masih berbinar, namun kehangatan kini mendominasi ekspresi riangnya.

Saya menunggu.

Senyumnya kembali merekah.

Saya tidak akan melupakan sinar di matanya, saat dengan lembut ia berkata, “Anak laki-laki itu adalah putra saya.”
To Brother Francis -a devoted father and beloved friend- thank you so much for sharing this wonderful story. May God richly bless you and your family!

Thursday, August 16, 2007

Absolut, Kalau...

“Nin, lo udah beli Conan yang bulan ini, kan?”
Sapaan itu terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu penghubung antara ruang makan dan teras belakang. Kolam renang tampak gemerlap tertimpa sinar bulan. Nina duduk di pinggirannya dengan kaki terendam. Ia menoleh sekilas. Steve muncul dari balik pintu geser, berkeringat dan masih memakai baju basket.
“Pinjem dong, Conannya!”

“Selamat malam juga.” Balas Nina sarkastis.
“Yeee, nyindir.”
“Siapa suruh dateng-dateng nyebelin! Jorok lagi!”
“Ini mah bukan jorok!” Protes Steve nggak rela. “Keringetan doang, dan tidak mengurangi kegantengan!”
“Njis. GR banget sih!” Maki Nina. “Jauh-jauh sono, jangan ganggu gueeee!”

Bukannya beranjak, Steve malah duduk di samping adiknya. Melonjorkan kaki dengan malas, membiarkan jari-jarinya menyentuh air kolam. Air itu berkecipak sedikit.

“Awas kalo sengaja nyiprat-nyiprat!” Ancam Nina judes.
“Lo salah makan ya?”
“Bukan urusan lo.”
Steve tertawa mendengar respon yang diucapkan sambil cemberut itu. Ia mengacak rambut Nina. “Napa sih, sensi amat?”
“…”
“Gak cakep lagi tuh, kalo manyun gitu.”
“Emang.”
“He?”
“Mo manyun kek, senyum kek, gak ngaruh. Gue kan jelek.”
“Kok?”
“TADI LO YANG BILANG GITU!”

Steve mengusap wajahnya dengan mimik kocak. “Yang sabar… yang sabar…”
“Kalo gak sabar pergi sana!”
“Gue kan gak bilang lo jelek. Siapapun kalo ngambek plus marah-marah gak jelas, bentakin orang sambil teriak-teriak, pasti gak cakep lagi mukanya.”
“Agnes Monica apa kabarnya?”
“Ya itu mah lain, hehehe…”
“HUH!”

Seriously…” Steve mengubah posisi duduknya sedikit, menghadap Nina yang wajahnya makin tertekuk, “Lo kenapa, Dek?”

Nina membuang muka. Cahaya bulan yang menimpa air kolam menciptakan refleksi indah di wajahnya.
Jeda itu mengambang di antara mereka, dan Steve tidak berusaha mengisinya. Biarkan saja.

“Windy bilang…”
“Windy yang cheerleader?”
“Emang ada berapa Windy di sekolah? Orang lagi ngomong denger dulu kek!”
“…”
“Dia sekarang jalan sama Donnie.”
“Mantan lo itu?”
Nina mengangguk.
“Lo masih sayang dia?”
I’m totally over him,” geleng Nina. “The thing is…” ia menggigit bibir bawah sebelum meneruskan, seolah takut dengan apa yang akan diucapkannya. “Windy nyebarin ke semua anggota cheerleaders… kalo Donnie mutusin gue karena, well… karena gue jelek.”

Steve mengerutkan kening. Cewek tuh, kalo udah sirik, serem ya kelakuannya?
“Lo sakit hati karena itu?”
Nina menggeleng. “Gue udah tau -dari sejak pacaran- secara fisik gue gak memenuhi standarnya Donnie. Dia suka cewek yang putih, rambutnya lurus, hidungnya mancung… semua itu gak ada di gue. Donie sering bandingin gue dengan anak-anak cheers lain, suruh gue rebonding, pake lotion pemutih kulit…”

Tanpa sadar tangan Steve mengepal. Darahnya menderas. That son of bi**h. Kalo gue tau… Kenapa baru cerita sekarang, Nin?!
Tapi ia menahan lidah demi melihat gumpalan bening di sudut mata Nina.
“Gue gak terlalu peduli…” Nina mengusap mata, ”gue bangga dengan diri gue sendiri. Gue nyaman jadi diri sendiri, apa adanya. Dan gue gak mau berubah. Itu yang bikin Donnie mutusin gue. At that time gue masih mikir, kalau cuma itu alasannya, well… berarti dia emang shallow and I deserve better. Gue gak nyesel dia pergi, karena hidup gue jadi lebih baik tanpa dia. Gue malah ngerasa bebas…”

“Gue gak ngerti, Dek,” Steve merendahkan intonasi, berusaha keras terdengar (agak) lembut, “kalo gitu, apa yang bikin elo mewek kayak gini?”
“…”
It’s OK if you don’t want to answer, though.”
“Setelah berita itu nyebar ke anak-anak cheers dan seluruh angkatan –lo tau kan anak-anak cheers sekolah kita kayak gimana mulutnya-…”
Steve mengangguk sambil mendengarkan. Nggak heran. Waktu putus sama Manda aja, gosip yang beredar adalah Manda hamil di luar nikah dan dikeluarkan dari sekolah! Padahal mereka putus karena Manda harus cabut ke luar negeri, ikut Papanya yang pindah tugas ke San Fransisco.
“Cara mereka liat gue, bisik-bisik di belakang gue… somehow itu kayak negesin, bahwa gue emang gak pantes jalan sama Donnie. Gak heran Donnie mutusin gue. Karena gue jelek. Gue gak menarik.”

... ...

“Hari gini fisik bukan patokan lagi, Nin.” Steve berkata lembut.
“Tapi itu yang pertama diliat kan, Mas?” Nina berbisik, perih.
Steve menatap adiknya lekat-lekat. Gumpalan bening di mata Nina membuatnya ingin sekali menonjok cowok leboi yang sudah merendahkan harga sebuah hubungan demi penampilan fisik. Tapi itu tidak ada gunanya. Sekarang Nina yang paling penting.
Attitude always comes first, Nin.”
“Fisik kan penting juga! Itu yang pertama keliatan mata!”
“Tapi bukan segalanya.” Steve berkata tenang. “Gue pribadi, kalo menilai cewek bakal lihat dari kelakuannya dulu. Cantik tapi manjanya setengah mati, ya malesin. Atraktif tapi kelakuan minus, ya lewat.”

Nina mengerutkan kening, sama sekali tidak menduga jawaban yang menurutnya ‘dalem’ itu. “Emang apa yang lo lihat dari seorang cewek, selain kelakuan?”
Steve mengulurkan tangan, menyentuh ringan kening adiknya dengan jari telunjuk.
“Otak. Dan hati.”
“…”
“Itu yang menentukan apakah seorang cewek keliatan cantik di mata gue atau nggak.”

“Tapi kan itu kata lo.” Protes Nina.
“He?”
“Iya. Itu kan menurut lo. Di mana-mana juga, cantik itu relatif, jelek itu mutlak.”
“Siapa bilang?” Tangkis Steve, dalam hati bersyukur karena Nina kini tampak lebih tertarik pada objek diskusi mereka yang baru ketimbang mewek. Walau itu adiknya sendiri, Steve paling kagok menghadapi perempuan yang menangis.
“Ada tuh di majalah.”
“Majalah didengerin. Prioritas mereka kan cari duit.” Cibir Steve, yang membuahkan tonjokan ringan di pundaknya. “Makanya pilih bacaan yang bener dong… kayak GameMania, Conan…”
“Heuuuuu, gak lucu!!”

“Eh, tapi seriously, Nin…” Steve menatap adiknya lekat-lekat. “Percaya gue. Kecantikan gak diukur dari fisik doang. Tuhan itu nyiptain setiap manusia spesial. Setiap orang menarik dengan cara sendiri-sendiri. Dan elo…” Ia mengacak lembut rambut wavy Nina, “Lo cantik. Beneran.”

“Trus tentang teori itu, gimana? Cantik relatif, jelek mutlak?”
“Itu salah,” jawab Steve santai, membuahkan kerut kesekian di wajah adiknya. “Yang bener, cantik itu yang mutlak.”
“Kok?!”
“Ya iya. Cantik itu absolut, kalo lo pikir lo cantik. Dan nggak ada yang bisa merubah itu. Nggak orang lain, nggak gosip, nggak apa kata majalah.”
Nina terdiam, mendadak takjub dengan perubahan abangnya malam ini. Kesambet jin bijak kali, ya?

“Udah ah, gue mau mandi!” Steve melompat berdiri, membuat Nina terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu. “Mana Conannya?! Pinjem dong!”
“Huh!” Cibir Nina. “Ntar aja abis lo mandi. Nanti komik gue bau kena keringet!”
“Alaaah pelit! Dipegang doang mana bau sih…” Steve mengusap keningnya yang penuh titik-titik air… ...dan mencipratkannya ke arah Nina dengan gerakan kilat, “Kalo begini tuh baru!!!”

“STEEEEEEVE… AWASSS LO YAAAAA!!!!!!!!”

---------

*Terinspirasi sebuah percakapan di kanal maya. Hey GABAN, kalo lo baca ini; elo bener banget. :)

Sunday, August 12, 2007

The Power of Love

Setelah terkagum-kagum dengan tindakan heroik Lily Evans Potter untuk melindungi putranya (dan berharap saya bisa punya keberanian yang sama, seandainya dihadapkan pada situasi serupa), semalam saya kembali terbengong-bengong dalam usaha menamatkan Harry Potter 7.


*Mrs. Rowling, if you ever read this, 4 thumbs up for you (kayak mungkin dibaca ajaaa, hihihi).

J.K. Rowling itu jenius.

Dengan senang hati saya mengatakan itu pada orang-orang yang mencela Ibu beranak tiga ini atas kisah Harry Potter yang dianggap menyesatkan dan mengajarkan ilmu hitam (plis dyeeeh). Bukan sok membela seakan kenal, tapi sebagai penggemar Harry Potter yang sudah khatam buku-buku setebel dosa itu, saya tahu apa saja yang tersaji dalam cerita tersebut secara keseluruhan -- tidak seperti mereka-mereka (maab) yang sekedar ‘merasa tahu’ dan menjadikan pengetahuan seujung kuku itu alasan untuk mencela seenak perut. (Yang kalau ditanya, “Nyela gitu, emangnya pernah baca?” Maka jawabannya kira-kira: “Nggak sih… tapi ya tau laaah, Harry Potter itu kan penyihir, trus dia pakai mantra-mantra gituuu sama belajar ilmu sihir yadda yadda blablabla...” Idih.)

Maafkan kalimat saya, tapi hal-hal seperti ini sungguh membuat naik darah. Sekali lagi, bukan karena sok membela Ibu Rowling, tapi karena sebagai orang yang sama-sama gemar menulis *ihiwww sedap*, saya menghargai tulisan beliau sebagai sebuah karya. Maka dari itu, please, wahai orang-orang yang demen-asal-nyela, kalau kalian tidak bisa menahan dorongan jiwa untuk mencela Maestro yang satu ini, at least tolong jangan mengucapkannya di depan saya, karena hal tersebut berpotensi memberi pengaruh buruk pada kesejahteraan jiwa. Hahaha. :DD


Anyway, sampai mana tadi…

Oh ya. Saya selalu mengagumi Lily Evans dan jiwa heroiknya. Tapi seiring berjalannya waktu *tsah*, saya mulai berpikir, mungkin faktor utamanya bukan jiwa heroik kali, ya... Sepertinya sih -dan kayaknya ini yang benar- faktor utama yang memicu kejadian dahsyat (yang membuat Harry menyandang predikat The Boy Who Lived sekaligus mengalahkan Voldemort dalam 'Harry Potter: The Chamber of Secrets') itu adalah, well... ...
simply the power of love.

:)

Bahkan J. K. Rowling dengan daya imajinasi dan writing skill yang edhian tenan itu kembali pada prinsip yang sederhana namun kuat ini: the power of love. Dan dalam kasus Mas Harry *gw kok asa ilfil ya nulis gini, hehehe… biarin deh*, kekuatan cinta itu datang dari seorang Ibu.

Seorang Ibu yang membawa anaknya di dalam rahim selama 9 bulan, melahirkannya ke dunia dengan perjuangan antara hidup dan mati (okay, now, don’t tell me they use magic for such thing as birth-processing), membesarkannya dengan segenap cinta... untuk kemudian mengorbankan nyawa demi melindungi si bocah.

Lily tidak pernah tahu apakah tindakannya betul-betul sanggup melindungi Harry. Ia tidak pernah tahu bahwa kekuatan cintanya memiliki kuasa untuk menyelamatkan Harry. Lily tidak pernah tahu. Yang ia tahu hanya berjuang sampai titik darah terakhir. Mengorbankan diri demi memperpanjang usia putranya, walau hanya untuk sekian detik. Memilih mati asalkan Harry tetap (memiliki kemungkinan untuk) hidup, walau konsekuensinya ia tidak akan pernah melihat putranya lagi. Tidak akan bisa bermain bersamanya lagi. Tidak akan bisa mengajarinya berjalan. Tidak akan bisa mengantarnya naik Hogwart's Express. Tidak akan bisa menyaksikan Harry tumbuh dewasa.

Itulah yang dipilih Lily Evans. Asalkan putranya tetap hidup.

Semalam saya kembali terharu-biru membaca dua kisah heroik yang lain. Lagi, kekuatan cinta seorang Ibu dengan suksesnya membuat saya bengong-bengong mellow.

Molly Weasley bertransformasi dari ibu rumah tangga biasa nan cerewet menjadi superheroine yang bertarung satu lawan satu dengan Bellatrix Lestrange (a.k.a powerful -not to mention skillful- witch who killed Sirius Black and managed to turn two Aurors into nothing more than living corpses) ketika melihat Ginny nyaris tewas oleh Unforgivable Curse yang dilancarkan Bellatrix…


‘OUT OF MY WAY!’ shouted Mrs. Weasley to the three girls, and with a swipe of her wand she began to duel.

...bahkan menolak pertolongan dengan gagah berani.


‘No!’ Mrs. Weasley cried, as a few students ran forwards, trying to come to her aid. ‘Get back! Get back! She is mine!’

Keberanian seperti itu hanya bisa dihasilkan dari kekuatan cinta. Dorongan untuk maju membela seseorang tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri hanya bisa dihasilkan dari kekuatan cinta. Dan kekuatan untuk menyelesaikan pertarungan –walau resikonya kehilangan nyawa- tidak bisa tidak, hanya muncul dari kekuatan cinta. :)

Narcissa Malfoy memilih untuk mempertaruhkan hidupnya dengan cara yang berbeda, untuk tujuan yang sama.


Is Draco alive? Is he in the castle?’
The whisper was barely audible; her lips were an inch from his ear, her head bent so low that her long hair shielded her face from the onlookers.
Yes,’ he breathed back.
He felt the hand on his chest contract, her nails pierced him. Then it was withdrawn. She sat up.
‘He is dead!’ Narcissa Malfoy called to the watchers.

Mengabaikan tugas pertama (dan mungkin satu-satunya yang pernah diterima seumur hidup) demi menipu Voldemort di depan seluruh Death Eaters, itu juga hanya bisa dilakukan dengan kekuatan cinta. :)

Sumpah, saya membenci Lucius Malfoy dengan segala tingkahnya. Pun Draco Malfoy, dengan arogansinya yang selalu sukses bikin naik darah *deuuuwwwhh segitunya*. Tapi khusus untuk Narcissa Malfoy, saya membuat pengecualian, dengan beberapa alasan:

Pertama, karena sejak awal tokoh ini jarang sekali muncul dan hanya berfungsi sebagai pelengkap suasana, sehingga tidak memberi saya alasan untuk bersikap sentimen. *wink*
Kedua, karena saya tidak yakin Narcissa betul-betul jahat. Ia bahkan bukan Death Eater; hanya seorang istri yang ketiban pulung oleh kesintingan suaminya.
Ketiga, tindakan super heroik Narcissa –walau hanya ditulis beberapa paragraf- telah meluluhkan hati saya yang dasarnya sumellow ini. :)

Entah antagonis, protagonis atau sekedar ‘wrong person in wrong place’, Narcissa Malfoy sudah jadi salah satu tokoh favorit saya. Karena lepas dari karakter apapun yang dimainkan seseorang dalam hidup, saya percaya nature yang satu itu tidak akan pernah berubah -- abadi, tak lekang oleh usia dan semakin bersinar dari waktu ke waktu.

Keajaiban yang ditanamkan Sang Pencipta saat Ia mendesain makhluk bernama Perempuan itu adalah
Cinta Seorang Ibu.

*Entri ini dipersembahkan untuk seorang wanita yang melahirkan saya 23 tahun silam - yang selalu saya cintai, meski beliau tidak lagi berada di sisi saya. I love you, Mom. :)


Tangan halus dan suci
T'lah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan.




(Bunda - Melly Goeslaw)


pictures taken from www.fotosearch.com

Friday, August 3, 2007

Just In Case...

Bo, setaun itu lama ya.
Halah. Promise me you’ll always be fine. Gue bakal kangen ama loe. I mean it. :)
Thank you ya Bebe, you’re really my sister. :)
Happy rock ‘n roll. Take care!

...
Anyway, just in case... Nice knowing you. And I do care about you.

Jempol saya berhenti di tombol ‘options’.

JUST IN CASEEEEEE???

Maksudnyaaaa?!

Saya menekan ‘reply’ dan dengan cepat membalas SMS sahabat saya itu, dengan sejumlah kalimat protes yang intinya mengatakan ‘jangan-ngomong-yang-aneh-aneh!’.

Message Sent.

Delivered.

...

Just in case.

Tadinya saya pikir kalimat seperti itu hanya ada di film. Semacam dramatisasi untuk menggugah suasana emosi penonton yang biasanya dilanjutkan dengan acara peluk-cium-nangis-‘I’ll be waiting for you’ walaupun pada endingnya yaaa... teteub aja si tokoh utama kembali dengan selamat meski agak berdarah-darah. Membuat airmata yang tumpah di awal film tampak sia-sia. :P

*Eh, saya kok mulai kedengaran seperti Gerwani berkutang hitam ya? :D

Anyway, saya yang kerap kali mencela “Alaaah, sok dramatis, paling ntarannya juga selamat, gak kenapa-napa, secara dese tokoh utamanya gitu loooh...” mendadak berhadapan dengan situasi serupa... tapi bedanya, yang ini BENERAN!

Respon pertama?
Panik jaya.

Respon kedua?
Ya, itu... protes dan ‘memaksa’ sahabat saya berjanji untuk kembali dengan selamat.

Sumpah, saya betul-betul panik, apalagi ketika SMS terakhir yang saya kirim tidak berbalas. Pikiran yang aneh-aneh langsung memenuhi otak dan sukses membuat saya insomnia mendadak (okay, agak hiperbola, tapi wajar dong, namanya juga panik :p)...

... sampai besok paginya, ketika sebuah SMS mampir di inbox:

Bo, maab, semalem gue ketiduran. Hehe..

Halah.

Sekali lagi, halah.

:DD

Setelah puas ketawa, saya meletakkan HP dan tiba-tiba... ...kok jadi kepikiran yaaa tentang ‘just-in-case’ itu? Dan jadi teringat pada ini, ini dan ini. (Saturation of blogosphere eh, Jenk? :D)

Just in case.

Semalam, sahabat saya yang mengatakan itu. Tapi gimana, ya, kalau posisinya dibalik dan saya-lah yang harus mengatakan hal serupa kepada orang-orang yang saya tinggalkan?

Katakanlah saya berada di posisi sahabat saya itu. Atau lebih sederhana, seandainya Sang Mahakuasa memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerja saya di dunia ini, what would I say... just in case...?

...

Saya menekan tombol ‘reply’.

Jaga diri baik-baik. I’ll see you next year. Kita bakal bercanda gila lagi. Ngakak edan. Cela-celaan. Ngeceng makhluk ganteng. Ngomongin yang gak penting. All when we meet again, next year.

Message Sent.

Delivered.

Yup, my dear Sister, kita akan lakuin itu semua lagi. Kegilaan dan kecacatan yang sama. Tahun depan. Bareng-bareng.

But, anyway...

...just in case...

Thank you for everything. :)

Eh, ya, satu lagi... lain kali TOLONG YA, jangan ketiduran setelah bikin shock orang. :DD


*Gue nyerah deh Jeng May, emang mellow-gumellow udah ngalir di darah kayaknya. Hahaha!