Sunday, November 29, 2009

The Power of Mind

Saya dan seorang teman berencana pergi bersama. Belum lagi niat itu terlaksana, saya merasa terganggu dengan aroma bawang yang menguar dari tubuhnya. Bukan ‘bawang’ yang merupakan kiasan bau badan, tapi bawang yang sebenarnya. Celakanya, saya tidak tahan dengan aroma bawang.

“Kamu baru masak pakai bawang, ya?” saya bertanya setengah menuduh. Aroma itu semakin tajam, benar-benar mengganggu. Saya menatapnya dengan bimbang. Lebih baik tidak jadi pergi daripada tersiksa sepanjang jalan.

“Iya. Kamu nggak suka, ya?” ia mendekatkan tangan ke hidung dan mengendusnya. Ketika saya mengiyakan, ia berkata enteng, “Kalau aku sih udah biasa masak pakai bawang.”

Detik berikutnya, saya membuka mata. Saya sedang berada di tempat tidur, bergelung seperti bayi dengan selimut tebal. Di luar hujan. Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Berarti baru 4 jam saya tidur, setelah semalaman begadang membaca novel.

Bukan mimpi itu yang membangunkan saya, melainkan kenyataan bahwa hidung saya benar-benar mencium aroma bawang yang tajam menyengat. Selama beberapa detik saya melongo—antara percaya dan tidak.

Saya keluar dari kamar. Seseorang baru selesai memasak dan aromanya memenuhi kamar saya yang tepat berseberangan dengan dapur. Saya menghela nafas. Bukan saja saya tidak bisa kembali tidur; saya harus ‘membersihkan’ sarang saya dari aroma itu sebelum masuk lagi ke sana.

Sambil menunggu aroma bawang lenyap, saya melamun sendiri memikirkan mimpi aneh tadi.

Indra penciuman saya telah menangkap aroma bawang yang saya benci ketika saraf-saraf saya yang lain—yang masih terlelap—belum menyadarinya. Dengan mekanisme yang tidak saya pahami, otak saya menyeleksi aroma asing itu dan mengelompokkannya ke dalam kategori ‘bau-bauan tidak enak’, lantas menciptakan ilusi berupa mimpi untuk ‘mengalihkan’ perhatian saya. Sebuah mimpi yang memang berhasil menahan tidur saya selama beberapa menit sebelum akhirnya saya sungguhan terjaga.

Sepanjang pagi, tidak habis-habisnya saya merenungi kejadian itu dan merasa kagum sendiri atas kemampuan pikiran (alam bawah sadar—atau apa pun namanya) yang supercepat, supertanggap dan superkreatif dalam ‘menanggulangi’ sebuah masalah—bahkan sebelum kesadaran saya mampu mencerna masalah tersebut. Agar saya tidak perlu terbangun, diciptakanlah mimpi yang mengonfirmasi ketidaksukaan saya, dan lucunya, orang yang berinteraksi dengan saya di mimpi itu adalah orang yang sedang bertengkar dengan sahabat saya di kehidupan nyata. Beberapa hari terakhir, sahabat saya rutin mengadukan kekesalannya atas ulah seorang kawan, dan meski saya berusaha netral, sedikit banyak saya ikut terpengaruh oleh peristiwa tersebut. A ditambah B, dan voila, pikiran saya dengan kreatif memasok ilusi masakan bawang yang dibuat oleh orang yang tidak saya sukai demi menutupi fakta sederhana bahwa tepat di depan kamar saya seseorang (hanya) sedang memasak.

Saya termangu mendapati betapa sederhananya kenyataan itu, dan betapa kompleksnya cara kerja pikiran dalam (berusaha) menanggulangi sebuah masalah—di mana yang disebut ‘masalah’ sesungguhnya tidak lebih dari sesuatu yang tidak saya sukai.

Lucu, bagaimana perangkat yang didesain untuk menolong manusia berevolusi dan menapaki perjalanan hidup sebagai makhluk berakal budi sanggup menciptakan berbagai ilusi yang mengaburkan pandangan dari kenyataan sederhana yang sebenarnya terjadi. Jangan-jangan, sebenarnya tidak pernah ada yang salah dengan hidup ini. Jangan-jangan, segala sesuatu yang terjadi hanyalah ‘ada apa adanya’. Jangan-jangan, kita sebenarnya bertanggungjawab atas ilusi yang diciptakan pikiran ini, sementara pada saat yang sama kita menudingkan jari pada begitu banyak hal di luar sana yang kita anggap sebagai sumber masalah—sedangkan apa yang disebut ‘masalah’ sebenarnya tidak lebih dari sesuatu yang tidak kita sukai.

Jangan-jangan. Saya sendiri tidak tahu. Namun kemungkinan itu ada.

Anda yang membaca judul di atas barangkali berasumsi bahwa saya menulis artikel self-help mengenai kekuatan pikiran dan bagaimana memaksimalkan potensi tersebut untuk menolong seseorang mencapai keberhasilan. Sebut saya naif, namun saya berpendapat, mustahil untuk hidup dalam kekuatan pikiran yang sejati jika seseorang tidak betul-betul memahami cara pikirannya bekerja. Jangan-jangan, segala konsep motivasional yang kita kenal selama ini tidak lebih dari ilusi yang diaminkan dengan mata setengah terpejam, karena apabila segala faktor yang melatari konsep tersebut dirunut ke belakang, kita hanya membentur sebuah alasan yang sama: kita ingin bahagia.

Jika demikian adanya, lantas apa hubungan antara kebahagiaan dengan kesuksesan? Kebahagiaan dengan mencapai hal-hal tertentu yang kita inginkan? Mengapa kita memerlukan kondisi tertentu agar bisa bahagia? Mengapa kita harus meraih ini dan itu dulu; atau memiliki anu dan inu? Mengapa kita tidak bisa bahagia sekarang? Mengapa kita sulit untuk bahagia—begitu saja?

Dan pertanyaan yang sama pun kembali berulang di benak saya: are you happy, Jen?

* * *

Pagi itu, saya duduk di dekat jendela dengan novel di pangkuan dan semangkuk mi instan mengepul. Di luar hujan terus mendera bumi. Saya kedinginan, tapi teh manis panas perlahan-lahan menghangatkan tubuh. Untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, mendadak saya merasa bahagia. Sangat bahagia.

Saya tidak tahu kenapa saya bahagia. Mungkin karena novel baru yang belum selesai dibaca. Mungkin karena semangkuk mi instan dan secangkir teh panas. Mungkin karena rintik hujan yang membuat suasana jadi romantis. Mungkin karena mimpi barusan secara tidak langsung telah mengingatkan bahwa saya tidak perlu terjerat ilusi dalam menjalani permainan hidup; bahwa saya bisa bernafas lebih lega dan melangkah lebih ringan. Atau mungkin karena kebahagiaan sesederhana cuaca; datang dan pergi pada waktunya. Saya tidak perlu tahu kenapa dan kapan.

Mungkin. Entahlah. Saya tidak berminat mencari tahu. Yang saya tahu hanya, pagi itu saya tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

:-)

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com.

-----

Sunday, November 22, 2009

Siapa Bilang Jadi Vegetarian itu Susah?

Menjadi vegetarian adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas di benak saya sama sekali. Saya cukup sering membaca berbagai tulisan dan artikel tentang vegetarian, dan pernah pula tergoda menjajal berpuasa daging ketika mendengar Oprah Winfrey menjadi vegetarian, namun semuanya hanya sebatas mampir di otak. Berkelebat sekilas dan lenyap tanpa bekas.

Sebagai pelahap sejati ayam bakar, empal goreng, bistik, gulai otak, hamburger, dan segala jenis makanan berdaging lain, saya menjadikan daging menu utama dalam hidangan sehari-hari. Saya bahkan sanggup menyantap menu yang sama selama berhari-hari, selama racikan bumbunya pas dan sesuai dengan lidah saya, dan yang terpenting, berdaging.

Perkenalan saya yang pertama dengan makanan tanpa daging terjadi kira-kira sepuluh bulan yang lalu, ketika saya menjalin pertemanan dengan dua herbivora vegetarian. Yang satu sudah menjadi vegetarian selama tiga tahun, sedangkan satunya lagi sudah delapanbelas tahun.

Kunjungan yang cukup sering membuat saya tergoda mencicipi hidangan yang tersaji di meja makan mereka. Saya masih tidak bisa membayangkan rasanya makan tanpa daging, namun setelah dicoba, rasanya tidak seburuk yang saya duga. Ketika bepergian bersama, saya memilih menu tanpa daging untuk menghormati mereka. Ternyata, saya menikmatinya. Lewat beberapa bulan, tubuh saya pun mulai merasakan manfaatnya. Entah sugesti atau bukan, saya merasa lebih sehat dan penyakit jarang mampir.

Saya pun memutuskan untuk tidak lagi berfoya-foya menyantap daging. Dalam seminggu, saya membiasakan diri untuk berpuasa daging selama dua hari. Setelah beberapa bulan, saya mampu berpuasa daging selama empat hari. Selama itu pula tubuh saya menjadi jauh lebih segar dan tidak rentan penyakit. Perlu diketahui bahwa sejak kecil saya mudah jatuh sakit dan saya terbiasa mengonsumsi antibiotik sejak berusia dua tahun. Kebiasaan itu terbawa hingga dewasa dan menyebabkan saya bergantung dengan obat-obatan. Sejak menekuni meditasi dan mengurangi konsumsi daging, kondisi tubuh saya berangsur-angsur mengalami perubahan.

Saya yang dulu sering terkena flu, kini jarang sekali sakit. Kalaupun sakit, tidak lebih dari dua atau tiga hari. Lebih dari sekali saya mengalami gejala flu dan masuk angin yang hanya bertahan kurang dari duapuluhempat jam tanpa pengobatan apa pun. Saya yang dulu membawa dompet berisi berbagai macam obat –mulai dari jamu sampai kapsul— di dalam tas, kini mulai berani bepergian tanpa segala peralatan perang itu. Saya yang dulu ‘fakir obat’ sekarang tidak pernah lagi minum obat. Seakan-akan tubuh saya kembali menemukan kemampuan alamiahnya untuk menyembuhkan diri sendiri. Tidak hanya tubuh, hati saya pun terasa lebih lapang, karena menyantap daging hewan –pada esensinya yang sejati— sama dengan memindahkan energi yang dimiliki oleh hewan tersebut ke tubuh dan batin kita. Hewan yang diternakkan secara tidak alamiah, misalnya, biasanya mengalami stres yang ikut berpindah ke diri kita ketika kita menyantapnya.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mengeliminasi daging dari menu sehari-hari. Bukan hanya beberapa kali seminggu, melainkan setiap hari. Saya memberi penjelasan kepada anggota keluarga yang mempertanyakan keputusan tersebut. Meski awalnya terkejut, lambat laun mereka mulai terbiasa dengan gaya hidup saya yang baru.

Kekhawatiran yang tadinya saya miliki tentang apa-kata-orang ternyata tidak terbukti. Sebaliknya, menjadi vegetarian memberi saya kesempatan untuk belajar berkomunikasi. Saya belajar menyampaikan dengan jujur dan apa adanya alasan saya untuk tidak mengonsumsi daging. Saya menjelaskan pilihan yang saya ambil kepada teman-teman saya. Ternyata mereka dapat menerimanya dengan baik. Setelah beberapa bulan, dua sahabat saya yang awalnya sangsi menjadi tertarik dan ikut mengurangi menyantap daging.

Kebahagiaan saya bertambah dengan menjamurnya restoran vegetarian di berbagai tempat, yang berarti, pilihan untuk menikmati makanan enak dan sehat juga semakin bertambah. Restoran-restoran lain yang mulai menyediakan menu vegetarian di samping menu biasa juga semakin membuat saya berseri-seri. Sungguh, menjadi vegetarian ternyata tidak sesulit yang saya duga.

Beberapa bulan lalu, saya membereskan kamar. Di sudut meja, saya menemukan sebuah dompet berisi berbagai macam obat. Saya terheran-heran sendiri, sejak kapan benda itu tergeletak di sana. Benda yang dulu tidak pernah saya tinggalkan barang sehari, kini telah terlupakan. Barulah saya ingat, saya pernah mengeluarkannya dari tas karena malas membawa terlalu banyak barang. Saat itu, saya merasa cukup sehat dan yakin alergi saya tidak akan kambuh, tidak akan terserang masuk angin, mual mendadak, dan sebagainya. Saya mengeluarkannya dan menaruhnya di atas meja. Sejak itu, saya tidak pernah menyentuhnya lagi.

Saya tersenyum, lantas mengosongkan isi dompet tersebut. Saya merasa seperti narapidana yang baru keluar dari penjara. Saya bebas.

Setiap hari, saat melihat makanan di piring --apa pun isinya-- hati saya bernyanyi dan bersyukur. Rasa syukur itu tidak hanya datang dari tubuh yang sehat dan dompet obat yang kosong, melainkan dari pilihan yang saya ambil dan jalani setiap hari dengan penuh kesadaran. Sayur nangka, jamur goreng, kentang masak kecap, telur balado, pepes oncom, tempe mendoan, semur tahu, perkedel kentang, dan semangkuk sayur berkuah adalah surga kecil saya sekarang.

Dulu, saya sempat khawatir untuk menyebut diri vegetarian, namun kini saya mengucapkannya dengan percaya diri. Dulu, saya memiliki berbagai kekhawatiran untuk menjalani gaya hidup tanpa daging. Kini, saya sering tersenyum dan membatin, “Tau gitu, dari dulu aja.”

Ya. Siapa bilang jadi vegetarian itu susah?

:-)

*Artikel ini dimuat di majalah Info Vegetarian edisi IV/2009.

**Gambar dipinjam dari gettyimages.com.

----

Thursday, November 12, 2009

The Interview with God

Sudah ada sebuah artikel yang siap saya publikasikan di sini, namun saya memutuskan untuk menundanya demi sesuatu yang lebih berharga.

Go figure. Open your heart. Be blessed. :-)

http://www.theinterviewwithgod.com/popup-frame.html


-----

Wednesday, November 4, 2009

'This Is It' Spells L-O-V-E

Discover the man you thought you knew.

Saya tersenyum membaca tagline itu beberapa saat sebelum memasuki bioskop. Jenius, batin saya. Siapa yang tidak akan terpikat dengan kalimat seperti itu. Saya sendiri, sejujurnya, tidak punya ekspektasi apa-apa. Saya bukan penggemar Michael Jackson. Namanya sudah akrab di telinga saya sejak kanak-kanak, tapi saya tidak pernah mengikuti karya-karyanya, apalagi mengidolakannya.

The man? Saya tidak punya bayangan apa-apa tentangnya. Dokumenter ini bisa jadi sangat mengesankan atau sangat membosankan.

Lima menit pertama berlalu. Raja Pop itu muncul dengan kostum perak-biru dan celana oranye ketat. Satu-satunya yang membuatnya termaafkan adalah karena ia Michael Jackson. :-)

Menit demi menit berlalu, dan saya terkesima. Inilah kali pertama saya melihat sebuah karya dipersiapkan seserius, serapi dan sedetil ini. Nyaris tanpa cacat sampai rasanya ‘menakutkan’. Sepanjang film, berkali-kali saya merasa tertampar. Saya bukan penyanyi atau pencipta lagu, namun saya tahu rasanya berproses untuk mengawinkan ide dan kreativitas sampai melahirkan sebuah karya. Mungkin itulah sebabnya – karena saya merasa sebagian diri saya terwakili olehnya.

This is for love,” sabda sang Raja. Siapa yang tidak setuju setelah melihatnya. Tidak ada yang lebih tepat untuk menguraikan pesan yang terdapat dalam konser ini selain cinta. Cintanya kepada manusia. Kepada dunia. Kepada Bumi. Kepada karya-karyanya. Jackson mencintai dan mengenal setiap karyanya sampai ke detil yang paling sederhana, dan barangkali itulah attitude yang perlu dimiliki setiap orang yang mengaku pekerja seni: karya adalah anak jiwa.

You can’t fool Michael,” komentar seorang musisi yang terlibat dalam konser tersebut. Komentar itu tidak berlebihan. Jackson tidak memasrahkan lagu-lagunya untuk diaransemen ulang dan berpangku tangan terima-jadi seperti yang kerap dilakukan pencipta lagu dan penyanyi lain. Ia mengetahui setiap rekaman, tempo dan kunci dari lagu-lagu yang lahir dari rahim kreatifnya, dan ia menginginkan yang terbaik.

That’s why we have rehearsal,” ucap Jackson. Sederhana, tanpa sirat kesombongan. Saya tidak tahu apakah Kenny Ortega melakukan segala macam cara dalam menyunting film agar Jackson tampak seperti malaikat. Mungkin ia telah membuang bagian-bagian di mana sisi ‘iblis’ Jackson muncul. Mungkin Ortega memang ingin menampilkan Jackson sebagai manusia setengah dewa, karena sosok di layar itu hanya bisa digambarkan dengan ungkapan ‘too good to be true’. Dengan segala kejeniusan, kerendahan hati, ‘I love you’, ‘thank you’, dan ‘God bless you’ yang berkali-kali ia lontarkan, adakah seniman besar yang dijuluki raja ini manusia biasa?

Saya tidak tahu sejumlah lagu yang dibawakan Jackson sehingga saya tidak bisa ikut bernyanyi dalam bioskop. Saya tidak bisa menghayati lagu-lagu tersebut. Saya tidak mengenal Jackson sebaik jutaan penggemarnya yang lain, namun air mata saya mengalir. Jika ada sesuatu yang tidak gemerlap dari seorang Michael Jackson, maka itu adalah cintanya – sesuatu yang berkali-kali diulang dan ditekankannya. Cinta itu sederhana. Begitu sederhana hingga ia dengan mudah menyentuh setiap hati yang dijumpainya.

He is a king. He is a good guy. He is humble and he knows his music,” komentar musisi lainnya. Cukupkah itu untuk mendefinisikan seorang Jackson?

We thought we knew. The truth is, we never knew.

Konser itu tidak pernah terlaksana. Sang Maestro meninggal delapan hari sebelum karya terbesarnya lahir. Banyak orang menyayangkan pembuatan film 'This Is It'. Sebagian keluarga dan fans fanatiknya berkata Jackson tidak akan suka dokumenter tersebut dipublikasikan karena ia seorang pengagung kesempurnaan dan apa yang terekam dalam film itu jauh dari sempurna. Bagi saya, ketidaksempurnaan dalam karya itulah yang menjadikannya sempurna. Karya tersebut memperlihatkan kepada dunia sisi manusia dari seorang manusia setengah dewa yang disanjung setinggi langit. Karya tersebut, meski tidak sempurna, adalah persembahan terbaik Jackson bagi dunia.

Saya duduk hingga baris terakhir dalam credit title selesai ditayangkan. Saya satu-satunya penonton yang tersisa. Petugas kebersihan mulai menyebar di antara lorong kursi dan saya bergeming. Layar kembali menampilkan sosok Jackson di tengah panggung. Gambar berganti, memperlihatkan seorang gadis cilik memeluk bola dunia. Di sudut kiri bawah muncul sebuah guratan. Sebaris ‘I love you’, diikuti tanda tangan Jackson di sebelah kanan.

Layar besar itu gelap sudah. Saya merapatkan tas di bahu dan melangkah keluar dengan hati penuh.

Tagline
itu tidak sepenuhnya benar. Saya masih tidak tahu ‘siapa’ Michael Jackson. Namun satu hal saya ketahui pasti: persembahan terakhirnya bagi dunia telah mengajar saya untuk berkarya dengan cinta.


*Gambar diculik dari: http://memories.michaeljackson.com/ex-images/michael-jackson-this-is-it-movie-poster.jpg

-----