Friday, January 16, 2009

Kamar Mandi

“Nangis lagi?”

“Iyalah. Ngapain lagi coba, udah sejam di dalem. Nguras bak?”

“Hah, sejam?”

“Yo'i.”

Pintu berderit, menampilkan seraut wajah sembab. Tria keluar sambil menjejalkan segumpal tisu ke hidungnya dan langsung masuk ke dalam kamar. Menutupnya keras.

Lila dan Rida saling berpandangan.

“Duh, dia denger gak ya kita omongin?”

“Pastilah denger, bacot lo gede gitu. Kayak pake toa.”

“Sial.”

“Eh, bakpianya tinggal satu nih. Lo mau gak? Kalo nggak, gue embat.”

Mereka sudah terlalu terbiasa. Dengan Tria yang mengurung diri di kamar mandi minimal seminggu tiga kali, dan keluar dengan mata bengkak mirip kodok. Menghabiskan entah berapa bungkus tisu, dan memenuhi tempat sampah dengan gumpalan-gumpalan putih.

Mereka sudah terlalu terbiasa mendengar isakan lirih di balik pintu kayu yang tidak kedap suara itu. Dan hari ini hanya salah satu dari sekian banyak hari yang dihabiskan Tria di kamar mandi. Entah sudah berapa kali ruangan sempit itu menjadi saksi bisu kisah hidupnya yang mirip sinetron. Ditontoni gayung dan ember.

Lila, Rida, Santi, Menik dan anak-anak kos lain sudah hafal kebiasaan Tria yang bisa menghabiskan lebih dari sejam sekali bertandang ke kamar mandi, yang tujuannya jelas bukan untuk membersihkan badan. Mereka sudah terbiasa menggunakan satu kamar mandi bergantian. Toh, percuma, berapa kali pun diketuk, Tria tidak akan keluar kalau belum puas menangis. Dan kupingnya seakan sudah kebal terhadap protes semua orang tentang pentingnya bertoleransi dan memikirkan kebutuhan orang lain.

“Gimana coba, kalau pas lo di dalam, Menik di kamar mandi satunya, terus gue kebelet boker?” keluh Santi. Keluhannya memang bukan karangan. Dia betul-betul pernah nyaris kencing di celana, dan Tria yang asyik dengan tisu dan ingusnya hanya bergeming meski sudah digedor-gedor.

“Atau ada tamu yang perlu ke kamar mandi,” imbuh Menik, yang pacarnya pernah terpaksa meminjam toilet kos-kosan tetangga.

“Atau kalau kita semua lagi buru-buru, yang nggak mungkin banget ngandalin satu kamar mandi doang,” cetus Rida sedikit emosi, mengingat kebiasaan Tria yang memang tidak pernah kenal situasi. Mereka pernah panik lantaran Tria tidak kunjung keluar dari kamar mandi meski sudah pukul setengah tujuh pagi.

“Liat-liat sikon dong, Tri. Kita ngerti lo butuh waktu dan tempat buat menyendiri, tapi nggak gitu caranya dong. Yang punya kebutuhan itu bukan lo doang,” protes ini datang dari Lila, yang paling nyablak di antara mereka semua, sekaligus yang paling eneg dengan kelakuan Tria yang dianggapnya super-lebay.

Semua orang punya masalah, Cin. Nggak perlu jadi cengeng, kan?

Tapi, Tria tetap Tria. Yang hobi menghabiskan puluhan menit di kamar mandi. Yang tidak pernah bosan menjejalkan tisu ke hidung dan matanya yang bengkak seperti kodok. Yang selalu keluar dengan wajah sembab, untuk selanjutnya mengurung diri di kamar hingga esok menjelang.

Tidak terhitung berapa kali ia bolos sekolah, dan tidak terhitung berapa kali mereka mencoba menasehatinya –dengan berbagai cara, dari halus sampai kasar— demi kebaikannya sendiri (dan berfungsinya kedua kamar mandi secara normal), tapi Tria tetap tidak berubah. Seakan-akan kedua telinga itu hanya berada di sana sebagai pelengkap wajah. Aksesori belaka. Tidak berfungsi, alias cacat. Tuli permanen.

Sampai akhirnya, teman-temannya menyerah. Mereka memilih untuk tidak bicara lagi. Karena Tria memang tidak pernah mau mendengar. Dan mereka sudah terlalu terbiasa.


*****


Hari itu, Tria mengurung diri jauh lebih lama. Sudah berjam-jam ia di dalam, dan pintu itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka.

Menik, yang baru pulang sambil menenteng sebungkus Nasi Padang, terheran-heran mendapati kamar mandi masih tertutup.

“Belom keluar dari tadi?” bisiknya pelan, seraya meletakkan bungkusan plastik di atas meja.

Rida menggeleng cuek. “Biasaaa.”

“Tapi gue kan perginya udah tiga jam yang lalu!”

So? Penting gitu?” Lila menaikkan kaki ke atas kursi, membuka bungkusan nasi dan langsung terpekik senang. “Wah, asik! Padang! Bagi ya, Nik.”

“Makan aja, asal jangan diabisin.” Menik memandangi pintu yang masih terkunci rapat. Keningnya berkerut.

Tiga jam? Tuh anak gila kali, ya?

Guys, kayaknya ada yang nggak beres, deh…”

“Tria, maksud lo?” Lila mengerling santai, menjilati jarinya yang berlumuran bumbu rendang. “Biasa aja, kali. Dia gitu loooh.”

“Iya sih, tapi tiga jam?”

“Alah, ngapain dipikirin, nanti juga dia keluar. Makan nih, kalau nggak ntar keburu abis sama gue!”

Pintu geser yang memisahkan ruang makan dan dapur terbuka. Santi keluar dengan rambut basah dan daster belel. Di punggungnya masih tersampir handuk. Matanya sibuk mencari-cari.

“Lo mandi di dapur?” cetus Lila.

Santi hanya menoleh sekilas. “Ada yang liat pisau gue, gak? Yang tadi pagi gue pakai motong sayur.”

“Nggak. Emang lo taruh di mana?”

“Seinget gue sih di sini,” Santi menunjuk bak cuci piring. “Tadinya mau gue cuci, tapi terus kelupaan. Sekarang ngilang.”

“Yakin lo taruh di situ? Ada yang pinjem, kali?”

“Nggak. Anak-anak lain udah gue tanyain semua, nggak ada yang tau. Duh, gue mau bikin jus melon niiih. Gimana motongnya kalau gak ada pisau?”

“Makan langsung aja, San. Lebih sehat, apalagi kalau sekulit-kulitnya,” celetuk Rida garing.

Hanya Menik yang tidak ikut nimbrung dalam percakapan. Mendadak, rasa dingin yang janggal merambat naik, meliputinya dengan perasaan aneh. Entah apa.

Tanpa sadar, ia merapatkan kedua tangan menutupi dada. Seperti orang kedinginan.

Tria.

Kamar mandi.

Tiga jam.

Pisau.

Mendadak, semua menjadi jelas. Terlalu jelas.

Menik berlari ke kamar mandi. Menendang pintunya sekuat tenaga, tanpa repot-repot menggedor lebih dulu.

Teman-temannya membeku di kursi masing-masing, terlalu shock untuk mencerna apa yang terjadi. Lila nyaris memuntahkan daging rendangnya, saking kagetnya. Rida melotot. Santi bengong dengan mulut ternganga, tidak mempedulikan handuk yang jatuh ke lantai.

Pintu tersentak, membuka lebar. Menampilkan sosok beku yang terbaring di lantai, bergelimang cairan merah lengket.

Kental.

Pekat.

Amis.

“TRIAAAAA…!!!”


*****


Tria membuka mata. Tersenyum mendapati tubuhnya bergerak begitu ringan, seperti melayang di udara. Gravitasi Bumi seakan tidak punya pengaruh lagi terhadap dirinya.

Atau… memang begitu?

Ah, ya... ia ingat.

Kejadian itu. Ia bahkan masih bisa mendengar jeritan Menik dan teman-temannya sebelum terkulai sama sekali. Sebelum ia terbenam dalam kegelapan total. Sebelum tubuhnya seringan sekarang.

Tria tersenyum semakin lebar. Ia merentangkan tangan, lalu menari berputar-putar.

Enak sekali! Inikah rasanya?!

Tahu begitu… dari dulu saja!

Tapi, ia memang terlalu takut untuk mengalaminya langsung, meski selalu penasaran dan sudah berkali-kali tergoda mencoba. Ingin tahu bagaimana rasanya terbebas dari raga yang terasa begitu mengungkung. Sampai akhirnya, keberanian itu benar-benar muncul.

Akhirnya, monster yang telah sekian lama dikurungnya dalam penjara berteralis jauh di sudut jiwanya berhasil lepas dan memporak-porandakan seluruh kesadarannya. Monster bermata hijau dan bertanduk merah yang mengambil alih dirinya, memaksa tangannya meraih pisau yang ditinggalkan Santi di bak cuci piring, mengunci pintu kamar mandi –kali ini tanpa berbekal segenggam tisu— dan mengiris pergelangannya dalam-dalam.

Ternyata, rasanya sama sekali tidak sakit. Ia malah menikmati sensasi melayang yang timbul ketika cairan lengket yang bau amis itu semakin banyak mengalir, menggenangi lantai kamar mandi.

Ternyata… begini rasanya.

Tria tertawa-tawa. Meloncat-loncat seperti anak kecil. Berjoget tidak karuan. Berputar-putar seperti gasing. Belum pernah ia sebahagia ini.

Sayang, tidak demikian dengan teman-temannya. Mereka berkumpul mengelilingi tubuhnya, berjongkok sambil menangis dan menjerit-jerit -- sementara ia bergembira ria.

Seandainya mereka bisa melihatnya. Seandainya mereka tahu, ia justru sangat senang.

Tapi, biarlah. Ia terlalu bahagia untuk mengkhawatirkan mereka. Tidak saat ini. Tidak saat ia sedang amat bersukacita.

Mereka akan baik-baik saja, Tria yakin itu. Sementara itu, ia bisa bersenang-senang, merayakan setiap detik kehidupan barunya. Merengkuhnya sepenuh hati, karena untuk pertama kalinya, entah sejak kapan, ia benar-benar tahu arti bahagia.

Ya. Mereka pasti akan baik-baik saja. Dan esok pagi, akan ada satu lagi kamar mandi yang bisa berfungsi dengan normal.


-----

By the way, ABG sekarang masih pakai 'Yo'i' gak sih? Maklum, beda generasi. ;-)

23 comments:

Fenny said...

gelap...terlalu gelap...


btw, yo'i kayanya masih dipake sih...walaupun hanya sebatas pembicaraan ngga penting antara sesama teman yang senang mengenang masa sekolah... =P

Anonymous said...

akhir yang menyedihkan

Andri Journal said...

Kalo cowok sejam di kamar mandi,trus keluarnya lemes sambil ngangkang kira2 abis ngapain Jen? ;D

Anonymous said...

hwaaaa....ga jadi bikin jus melon deh

Galuh Riyadi said...

Jangankan sama ABG, gw aja masih suka pake tu yo'i... hehehe
Bunuh diri? Hummm.... Emang deh, ga bisa jauh dari tu kata2.... Untung kali ini ga dari gedung tinggi, semoga ga memberikan inspirasi buat mereka yaaaa.... hehehehe
Keren Ciiiin... ;p

Anonymous said...

fny_w: mengenang masa sekolah artinya udah lewat dong? Ini ceritanya masih pada SMU euy

annosmile: tergantung buat siapa, Trianya sih happy2 aja, ihihihiw

Andri: hmmm. Kayaknya bukan nangis sesenggukan ya?

desty: wah, kenapa ga jadiii? Kirim ajaaaa ke sini ;-)

Galuh: thank youuu Ciiin!

Anonymous said...

sori, pertanyaan memalukan
ehmmmm...itu beneran jen, ato cerita buat cerpen kmu doang??

Poppus said...

cieee cieeee, miss melo mulai menulis drama thriller hehehe. Ternyata lu punya potensi masokis juga j

Anonymous said...

happy ending.
Buat tria dan para pengguna kamar mandi hihihi

Anonymous said...

tapi bo berdasarkan hasil penelitian, bundir begini malah sakit bo. Yang ga sakit kalo nembak rongga mulut ke arah otak.

Serius.

Galuh Riyadi said...

Mbak okke, emang kata syapa sakit?
Adakah yang berhasil mewawancarai para pelaku bundir dengan cara ini? ;p
Yang ga sakit tuh kalo loncat dari gedung pencakar langit, sebelum tewas sempet ngerasain jadi superman dulu pula!! hehehehe

Anonymous said...

ada bo...
gue baca di salah satu situs, cara bundir paling sakit dan paling tidak sakit, mungkin narsumnya mereka yang udah nyoba bundir tapi ga mati.... hahaha, blom nyobain sih... dan males juga kale :D

Anonymous said...

kesimpulan:
bundir paling nggak sakit, kalau langsung mati hihihih...

salam kenal jen.

Gw liat tulisan lo di komen blognya Marcel :D

Anonymous said...

Anonymous: fiksi dong. Kalau beneran mah nongolnya di Pos Kota ;-)

Popi: makanya jangan tertipu penampilan, beda ama daleman soalnya ahahahah

Okke: tuh kan. Gue bingung deh kenapa pada bilang sedih, padahal kan happy ending yaaa ;-D

Galuh & Okke: gini aja, giman man kalo kita voting, pilih satu orang buat jadi sukarelawan. Nanti dia boleh milih, mo eksperimen nyilet tangan, nembak rongga mulut, atau loncat gedung. Abis itu baru deh kita wawancara.

Biyan: nah, supaya bisa langsung mati itu caranya gimana?

Anonymous said...

Okke:

"berdasarkan hasil penelitian, bundir begini malah sakit bo. Yang ga sakit kalo nembak rongga mulut ke arah otak."

Hummm.. iya sih, tapi ini ceritanya bundir di kos-kosan bow. Apa ga terlalu dramatis ya kalo ada bunyi tembakan gitu? Mwhahahahah.. *dibahas*

Anonymous said...

hmmm
banyak yg bilang kalau motong nadi langsung itu, masih kerasa sakitnya

kecuali kalo motongnya di dalem air panas :)

btw, yoi :D

himynameismerry said...

ka jenny aku masih pake yoi kok. hehe.

malah ditambahin jadi yoi pa cooy (haha mirip mirip sama Gong Xi Pa Choi -aku gak tau nulisnya gmn, hehe-)

btw ka, aku masukin ke blog list aku yah? aku belum bca buku kaka, tapi aku jadi tertarik! hihi

oya mampir juga ya ka ke blog aku.. makasih. :)

Anonymous said...

Vendy: iya, ga sakit soalnya udah kelojotan duluan sama air panasnya ;-D

Augustine: monggo, monggo. Thanks yaaa

Enggar Eka Praptiwi said...

pada ribut amat yak ngebahas bunuh diri,tar kl udh waktunya jg mati sendiri..yoi ga???huhahah...

Anonymous said...

Tuh kan Jen, bener, tulisan kamu tambah oke kok. Biarpun memang, agak gelap juga. Though happy ending buat Tria ya...

Anonymous said...

weettttssss....

ceritanya kos-kosan banget. Kayaknya kalo urusan ngantri kamar mandi itu fakta ya, Mbak Jen???

hehehe...

Salut. aku ngikutin terus lho tulisannya. Keren2!

Anonymous said...

Enggar: justru sebelum mati dibahas dulu, ntar kalo udah mati kan gak bisa lagi, hahahah

Rina: thank you :-)

Prita: hehe, kalau di kosanku, kebetulan kamar mandinya lumayan banyak (4 kamar mandi untuk 8 orang), jadi ga pernah ngantri. ;-D

nita said...

love the ending, Jen.

nice story :)