Sunday, February 25, 2007

Tentang Nurani, Untuk Semua.


Nurani itu...
Sesuatu yang nggak bakal bisa kita tutup-tutupin
Walau kecil, dia akan tetap berbisik
Cuma kadang-kadang, kita-nya aja yang nggak denger
Atau pura-pura budek.

Nurani itu...
Nggak akan bisa ditipu
Nggak peduli kita pake cara apa, gimana, kapan, dan sama siapa.
Karena dia murni
Dan dia nggak palsu.

Nurani akan selalu berusaha ngomong sama kita
Negur kalo kita salah
Ngingetin kita
Ngasih peringatan ke kita
Dan bikin kita nyaman saat kita ngelakuin sesuatu yang bener.

Tapi inget,
Nurani nggak bisa dibo’ongin
Karena dia adalah bagian terdalam dan tersejati dari kita
Nurani kita, ya diri kita sendiri.

Nurani nggak akan bisa dikibulin
Dengan perbuatan baik dan kata-kata manis
Karena dia selalu menyuarakan isi hati kita yang terdalam.
Motivasi kita, keinginan kita, alasan-alasan kita.

Kalo kita bersikap manis dengan sikap hati yang salah,
Itu namanya ngejilat.
Kalo kita berbuat baik dengan motivasi yang nggak bener,
Itu namanya nyogok.
Kalo kita ngomong yang bagus-bagus dengan ‘agenda’ terselubung,
Itu namanya muna.
Kalo kita berubah jadi ‘lebih baik’ tanpa disertai keinginan tulus dari hati, itu namanya palsu...

Tanya deh sama nurani elo,
Hari ini, berapa kali elo nggak dengerin dia?
Berapa kali elo nyuekin dia?
Berapa kali elo bilang ke dia, “ah tapi kan yang gue lakuin ini baik!”,
justru di saat dia ngomong, “tapi kan, ... (sebut nama elo), walaupun baik, motivasinya salah...”

Berapa kali elo ngebungkam suara nurani elo
Untuk ngedapetin yang elo mau?
Berapa kali elo nyuruh dia diem
Supaya dia gak ganggu-ganggu elo lagi?
Berapa kali elo ngebantah bisikannya
Demi mencapai keinginan elo?

Kalo seandainya nurani bisa ngomong,
Mungkin dia bakal teriak:
“Plis dong dengerin gue.
Gue cuma pengen yang terbaik buat elo.
Nggak lebih...”

Nurani adalah suara kecil yang berbisik
mengingatkan saat kita lupa,
menegur saat kita salah,
menenteramkan saat kita taat,
menguatkan saat kita ikuti,
dan diam saat kita membungkamnya...

Saturday, February 24, 2007

Senyum Itu Nggak Mahal, Kok...


Tadi sore saya mampir ke mal Taman Anggrek. Niatnya sih CUMA pengen beli Starbucks lantaran ‘ngidam’ Vanilla Latte-nya, sekaligus cari novel di Gramedia. Yang ada, saya malah ‘nyasar’ di Metro, asyik melototin lilin-lilin lucu, dan end up beli tiga biji, hihihi…

Jadilah saya antri di kasir, di belakang dua ibu-ibu. Awalnya, saya nggak terlalu memperhatikan mereka. Saya sibuk dengan pikiran sendiri. Tapi lama-lama, jadi merasa terusik juga. Tunggu punya tunggu, kok antrian di depan gue ini gak gerak-gerak yaaa... Mandek. Usut punya usut, ternyata ada perdebatan seru di meja kasir.

Yang mengantri persis di depan saya kayaknya ibu rumah tangga biasa (dari cara berpakaian dan belanjaannya – 3 buah piring). Yang di depannya lagi, mungkin ibu rumah tangga juga, tapi yang ‘luar biasa’. Ibu terakhir ini (sebut aja ‘Ibu X’) sepertinya kurang percaya dengan harga belanjaannya, sedangkan para petugas kasir (sekitar 4 orang) yakin bahwa mereka enggak salah harga. Kebayang, dong?

Ibu X bicara dengan nada tinggi.
Mbak di balik meja kasir berusaha tetap ramah dan sabar.

Ibu X mencondongkan badan ke atas meja, melotot.
Seorang karyawan pria mengambil alih kasir, mencoba menjelaskan duduk persoalan se-clear mungkin.

Setelah bermenit-menit.....

Ibu X: “Hhhh... ya udah deh. Gak salah, kan?! Nih." (membuka dompet, mengeluarkan credit card dengan dagu sedikit terangkat)
Petugas kasir: “Terima kasih, Bu. Barangnya mau dibawa atau dititipkan dulu?” (karena yang dibeli si Ibu adalah beberapa buah kalung)
Ibu X: “Bungkus aja deh! Saya mau langsung ke mobil.”
Sebelum si petugas sempat merespon, Ibu X sudah keluar dari antrian. Dagunya terangkat, keningnya berkerut, wajahnya jutek.

Yang ada di otak saya cuma satu, kasihan bener nasib karyawan nggak bersalah itu. Sudah capek melayani orang sepanjang hari (berdiri di meja kasir berjam-jam bukan pekerjaan enteng, apalagi pas weekend begini. FYI, di Metro lagi ada sale. Kebayang kan ramenya..), harus nerima omongan sinis dan wajah jutek mentah-mentah, dan setelahnya tetap harus melayani pembeli dengan ramah.

Saya cuma bisa maklum ketika Mbak kasir tidak bersikap seramah biasanya. Ketika menyerahkan kembalian saya, ia mengucapkan terima kasih dengan lirih dan senyum dipaksa.

Saya membawa belanjaan kecil saya menuruni eskalator. Di sana, sambil memandang orang yang sibuk lalu-lalang di antara tulisan sale dan karyawan-karyawan berseragam putih, muncul pemikiran kedua:
Apa salahnya, ya, kalau kita bersikap baik terhadap orang-orang yang sudah melayani kita dengan ramah? Nggak ada salahnya, kan? Being nice to customers memang sudah jadi kewajiban mereka, tapi kayaknya, seulas senyum yang kita berikan dengan tulus bisa membuat hari-hari mereka yang melelahkan terasa lebih berarti...


Ponakanku yang super ngguanteng --->
Nothing compares to your smile, Beyb! *halahhh*
Miss you so much :)

Thursday, February 22, 2007

Gerimis. Mendung. Kelam.


Satu hal yang bikin saya suka naik angkot: bisa ketemu banyak orang, mengamati mereka, dan (syukur-syukur) bisa mengambil 1 atau 2 pelajaran -- kalau pas ada peristiwa berkesan.

Rabu kemarin, cuacanya enak banget untuk tidur. Gerimis, agak dingin, dan saya duduk pas di seberang pintu angkot. Waktu sedang enak-enaknya ngehayal, wah enak nih kalo di rumah. Leyeh-leyeh di ranjang sambil nonton DVD, minum teh anget, sambil nyalain lilin arometerapi… mendadak HP penumpang di sebelah saya berbunyi.

Saya selalu takjub dengan para penumpang yang nggak segan-segan ngobrol pakai HP di angkot. Berhubung angkot yang saya tumpangi (dulu) pernah dinaiki 5 orang preman di tengah jalan -dan mereka mengambil dompet seorang penumpang yang hendak turun- saya selalu menganggap tindakan ber-HP ria dalam angkot adalah perbuatan yang super berani. Termasuk penumpang di sebelah saya itu.

“Elu kemaren dateng ke kawinannya si Putri? Nggak, gue gak dateng. Pas dia married kan banjir, gue gak bisa kemana-mana. Elu dateng?”

Saya memilih untuk pura-pura budek dan memejamkan mata. Anginnya enak banget.

“Tadi si Putri SMS gue. Dia bilang, ‘jahat lo, pas gue kawin gak dateng. Sekarang suami gue udah meninggal’. Iya Ji, dia beneran SMS gitu ke gue. Elo sebenernya tau gak sih dia udah married??"

..... --> ngedengerin dengan khusuk sambil pasang tampang innocent dan ngadep ke arah supir. Okay, okay, nguping obrolan orang emang perbuatan terlarang, tapi kalo elo jadi gue juga pasti tertarik kan? Lagian nih orang duduk persis di samping gue.

“Putri lagi di mertuanya sekarang. Ntar malem kita ngelayat ya? Ajak yang lain juga, bareng-bareng. Kasian tu anak, baruuu married kemaren. Gue kaget banget pas dapet SMS-nya... Kenapa? Suaminya? Kalo gak salah, sih, paru-paru basah…”

Mendadak gerimis di luar jadi terasa begitu suram buat saya.

Saturday, February 3, 2007

Hangatnya Cinta :)


Jam 7 pagi, seseorang menggedor pintu ruangan tempat saya menginap (di lantai 3 gereja). Si penggedor ternyata pembantu sahabat saya, yang terengah-engah lari untuk memberitahu, “Mbak Jenny dipanggil Ibu. Disuruh turun, katanya ada yang kebanjiran!”

Saya bengong sejenak, enggak mudeng. Banjir? Siapa? Kapan? KOK BISA??? Rumah sahabat saya terletak di bagian depan kompleks perumahan Gading Serpong, berpunggungan dengan ruko-ruko yang memiliki direct access dengan pintu keluar tol – atau dengan kata lain, nyaris mustahil disinggahi banjir.

“SIAPA yang kebanjiran?”
(ngos-ngosan) “Nggak tau, Mbak.”
“Banjirnya di rumah?” (belakangan baru nyadar, betapa begonya pertanyaan saya ini!)
“Rumah nggak banjir Mbak, hhh… hhh…”
“Jadi di tempat siapa banjirnya? Staff kantor?”
“Bukan Mbak. Nggak tau, Ibu cuma bilang ada yang kebanjiran.”

Yang kebanjiran adalah jemaat gereja kami, sebuah keluarga kecil dengan dua putri yang masih balita. Seberapa parah banjirnya? Sebatas dada orang dewasa. Ketika mendapat kabar tersebut, Gembala saya (dengan 2 orang teman) langsung menuju lokasi untuk mengevakuasi si jemaat. Rumah jemaat itu terletak di pemukiman sederhana yang memiliki 2 akses masuk. Salah satunya melalui ‘jalan belakang’ (dengan tepian rawa-rawa), satunya lagi akses langsung dari depan perumahan yang arus(banjir)nya deras. Aparat keamanan tidak berani memasuki kompleks tersebut, dan hanya ‘berjaga’ di depan pemukiman. Gembala dan 2 orang teman saya, dengan berani menerobos arus menggunakan ban karet bekas. Bekalnya? Keberanian, dan keyakinan bahwa Tuhan takkan pernah lepas tangan.

Ketika keluarga itu sampai di kantor gereja, yang pertama terlintas di benak saya cuma 2 kata: “YA TUHAN.”
Mereka basah kuyup, gemetar kedinginan dan kelaparan, tanpa membawa apapun kecuali selembar jaket dan handphone. Mata sang Ibu memerah karena menahan dingin dan tidak tidur semalaman. Saat kami menyodorkan teh hangat, matanya berkaca-kaca. Setelah dimandikan, kedua balita kami dudukkan di sofa. Pemandangan yang mengharukan bagi siapapun, melihat kedua bocah itu duduk berdempetan terbungkus selimut dan menatap polos pada orang-orang yang datang. Sayangnya, saya tidak sempat mengabadikan momen berharga itu.

Bantuan demi bantuan tiba, dan terus mengalir. Seorang jemaat datang membawakan pakaian anaknya untuk dipakai bocah-bocah tersebut. Beberapa orang lain, memberi diri jadi sukarelawan dadakan untuk membeli makanan dan membagikan pada korban banjir lain yang masih terjebak di lokasi. Pakaian, makanan, peralatan, sandal, bahkan –maaf- pakaian dalam terus berdatangan. Tuhan mengetahui apa yang dibutuhkan keluarga kecil ini, dan Ia menitipkannya pada orang-orang murah hati yang dengan sukarela memberi yang terbaik dari yang mereka miliki.

Malam itu, mereka sekeluarga tidur nyenyak di lantai 3. Paginya, seorang jemaat dari Bintaro mengetuk pintu gereja, membawa tas besar berisi pakaian anak-anak, selimut bayi, dan sekantung kue kering. Ketika saya naik untuk mengantar benda-benda tersebut, saya tertegun.

Di ruangan itu, di antara tumpukan kasur dan spring bed tua, terletak berkantung-kantung pakaian, buku cerita anak-anak, Alkitab, botol-botol minuman, berdus-dus susu bayi, kue kering, dan banyak lagi. Ruangan luas yang tadinya ‘dingin’, kini terasa hangat oleh aroma minyak kayu putih… dan bergalon-galon cinta.

Cinta orangtua yang tidak tidur semalaman demi menjaga buah hati dan menyediakan secercah rasa aman, walau mereka sendiri ketakutan.
Cinta seorang gembala yang rela menempuh arus deras sebatas dada demi menyelamatkan sebilangan kecil jemaatnya.
Cinta para sahabat yang memberi dukungan dan bantuan untuk meringankan kesusahan mereka yang sudah dianggap keluarga sendiri.
Cinta sesama jemaat yang mengulurkan pertolongan tanpa berpikir dua kali demi membagi sekelumit kasih.
… cinta Tuhan yang tak pernah tidur, dan tanganNya yang tak pernah alpa melukis pelangi -- di tengah badai terburuk sekalipun.

Ruangan yang tadinya hampa, kini ceria dengan berbagai benda dalam bermacam jenis dan ukuran.
Dari hamparan luas kasur sampai dot bayi yang mungil, saya melihat kehangatan cinta sebuah Keluarga.





Kiara & Egi, semoga bahagia dan sehat selalu, ya...