Tuesday, March 10, 2009

Kabut Langit Ubud

Sejak dulu, saya selalu bangga memproklamirkan diri sebagai pemimpi. Saya punya banyak impian, harapan dan cita-cita yang digantung setinggi langit. Semuanya berjajar dengan setumpuk angan dan khayalan tentang apa yang akan saya nikmati seandainya mimpi-mimpi itu jadi nyata.

Saya bekerja keras demi membuat mimpi tidak cuma eksis di kepala. Mimpi-mimpi itu adalah saya. Masa depan saya. Tempat saya menumpukan pegangan. Dan mimpi-mimpi itu pula yang membuat saya bertahan. Betah bersahabat dengan penat dan lelah. Mampu menghabiskan ribuan jam berkulik dan berkutat tanpa sayang tenaga. Mencoba menipu waktu demi mencuri seremah kesempatan yang (siapa tahu) bisa menghantarkan saya menjadi sosok sehebat Ibu Rowling atau Pak Hirata.

Ya, siapa tahu? Kita tak pernah tahu. Barangkali kelak Dewi Fortuna akan menaruh belas kasihan pada saya. Atau bosan mendengar gedoran saya di pintunya. Barangkali ia akan bersedia menyisihkan sekeping keberuntungan untuk saya. Kita tak akan tahu.

Demi mimpi pula, saya rajin mengoleksi kata-kata mutiara dari para pesohor dunia, berharap kebijaksanaan yang sama akan menghantarkan saya ke gerbang kesuksesan. Kalau mereka bisa, mengapa saya tidak?

Kesempatan tidak datang dua kali. Saya tahu. Semua orang tahu. Barangkali itu sebabnya kita rela bekerja bagai kuda. Barangkali itu sebabnya kita rela terdera. Barangkali itu sebabnya kita tak henti-hentinya berpacu. Barangkali itu sebabnya kita bermusuhan dengan waktu dan mencibir kepada mereka yang (dianggap) malas. Semua demi kesempatan yang takkan datang dua kali. Agar kita tak perlu menunda kesuksesan, dan kebahagiaan yang didambakan bisa segera diraih.

"Each second of life is a miracle." Demikian kalimat yang singgah di benak saya beberapa malam lalu, saat memandangi langit Ubud. Udara dingin karena hujan baru saja berhenti. Saya duduk sendirian, menatapi pucuk-pucuk pohon dari balik pintu kaca. Malam itu adalah malam pertama saya di Ubud.

Saya selalu suka duduk seorang diri, memandangi alam dan langit. Sayangnya, kemewahan ini tidak sering saya dapatkan, karena di Jakarta alam harus rela mengalah dengan gedung dan atap rumah. Belum lagi suara bising yang kerap menggusur ketenangan. Di Ubud, berkali-kali saya merasakan ‘orgasme’. Langit Ubud adalah salah satu langit terindah yang pernah saya lihat. Suatu pagi, saya melongok keluar jendela dan tercengang-cengang melihat warna biru yang amat jernih, sampai dada saya sesak oleh haru. Namun, malam itu yang ada hanya gelap. Hujan masih menyisakan selaput di langit. Tak hanya mendung, pepohonan pun ditutupi kabut tipis.

Saya terdiam, merenungi kalimat yang barusan singgah di kepala. Setiap detik dalam hidup adalah sebuah keajaiban. Entah sudah berapa puluh kali saya mengulang kalimat yang sama sejak pertama kali membacanya. Berkali-kali pula saya menangkap keindahan dalam pernyataan sederhana itu. Namun, malam ini ia seolah punya ‘nyawa’.

Kabut yang menutupi pepohonan mulai menebal. Sukar untuk melihat dengan jelas. Udara bertambah dingin. Lampu penerang di taman mungil itu adalah satu-satunya sumber cahaya, karena saya tidak menyalakan lampu kamar.

Each second of life is a miracle. Saya terpekur sendiri. Mukjizat macam apa yang bisa terjadi sekarang? Satu-satunya yang membedakan malam ini dari malam-malam lain adalah, kini saya berada di Pulau Dewata, di kamar luas yang menghadap taman lengkap dengan kolam renang. Kamar yang selama empat hari ke depan akan menjadi milik saya seorang. Saya sangat beruntung. Bisa berada di tempat ini adalah berkah yang tidak pernah saya duga, dan semua sudah lebih dari cukup. Kendati begitu, malam ini sama biasanya dengan malam-malam lain. Mukjizat apa yang bisa terjadi?

Tapi, mukjizat memang tidak kenal tempat dan situasi. Belum selesai otak saya mencerna makna kalimat di atas, mendadak saya memasuki keheningan yang intens. Apa yang pernah saya alami dalam retreat meditasi di Mendut kembali terjadi. Keheningan yang pekat menyelubungi saya seperti selimut hangat tebal. Kursi berlengan yang saya duduki terasa ‘bernyawa’ ketika sekat ruang dan waktu kembali lenyap. Haru yang dalam membuncah ketika saya kembali menembusi tabir antara yang fana dan abadi. Detik itu, saya kembali menghentikan waktu.

Mata saya membasah. Mendadak, setiap detik yang bergulir menjadi sama berharganya. Mendadak, mukjizat ini menjadi sama berartinya dengan cerita-cerita ajaib yang saya baca di kitab suci. Mendadak, berjalan di atas air menjadi sama sakralnya dengan memandangi pepohonan di teras kamar.

Kabut di luar mulai bergeser. Memperlihatkan rimbunan daun dan pucuk ranting yang mencakari langit. Terus bergerak, sampai akhirnya lenyap sama sekali. Namun, saya tak lagi peduli. Dengan atau tanpa kabut, detik ini adalah mukjizat. Saya menggenggamnya erat-erat selagi bisa.

Dan saya tahu. Keheningan inilah yang membawa saya ke tanah Ubud. Kesunyian inilah yang membuat saya menerima undangan sahabat saya, menghantarkan saya memesan tiket pesawat dan mengemasi pakaian, hingga akhirnya menginjakkan kaki di tempat ini. Detik itu, saya kembali bersentuhan dengan mukjizat paling luar biasa sekaligus paling sederhana di muka bumi: keabadian dalam kekinian. The eternal now.

Barangkali ini terdengar absurd bagi para penjunjung mimpi, namun dalam kekinian, impian dan cita-cita tak lagi kuat mencengkeram saya. Bukan karena ia kehilangan makna, namun karena saya tidak lagi punya ambisi untuk menggaransi masa depan. Bukan karena ia tak berharga, namun karena yang terpenting bagi saya hanya hidup di saat ini. Seutuh-utuhnya.

'Keajaiban' itu tidak berlangsung lama. Air mata saya pun kering dengan cepat. Tak lama kemudian, penerangan di taman meredup. Sebagian lampu mendadak padam, yang tersisa hanya segaris sinar berwarna kuning. Spontan, saya mendongak ke langit yang tersaput mendung. Kabut baru saja berlalu, mungkinkah mendung ini juga?

Setitik cahaya muncul di antara dedaunan. Disusul titik-titik berikutnya. Saya bangkit dari kursi dan membuka pintu yang menghubungkan kamar dan taman. Udara dingin menggigit, namun saya tak peduli. Masuk angin harga yang kecil bila dibandingkan dengan indahnya langit berbintang. Namun, tak urung saya ragu. Jangan-jangan dugaan saya salah.

Saya melangkah keluar. Merapatkan tangan di dada sambil mendongak ke langit. Saya harus menggigit bibir agar tidak memekik kegirangan. Harapan saya terkabul. Langit Ubud memang bertabur bintang.

Malam itu, saya tertidur dengan sebuah doa. Terima kasih telah mengijinkan saya hadir lagi di sini. Dan sekiranya Engkau tidak keberatan, tolong ijinkan saya kembali sesekali. Ingatkan saya untuk pulang. Ke sini. Ke kini.

*****

Berhari-hari setelah kembali ke Jakarta, saya masih merenungi pengalaman itu. Betapa berharganya setiap detik dalam hidup; bukan karena ia mengandung kesempatan untuk mengamankan masa depan, bukan pula karena ia tak bisa diulang kembali, melainkan karena ia adalah mukjizat. Ia satu-satunya saat dimana waktu terhenti. Tempat keabadian tercipta, dimana surga bukan cuma slogan.

Saya ingin berhenti bergumul. Saya ingin berhenti berpacu. Saya ingin berhenti terseret ke masa lalu dan terlempar ke masa depan. Saya hanya ingin berhenti.

Siang tadi, ketika waktu makan tiba, saya meluangkan waktu untuk sejenak memandangi makanan di atas piring. Gundukan nasi putih mengepul, tumpukan sayur buncis, sepotong tahu, dan tempe goreng. Segelas air hangat.

Ketika saya mengatupkan tangan untuk berdoa, yang muncul adalah rasa terima kasih yang mendalam. Sepenuh hati saya bersyukur atas makanan yang sebentar lagi berpindah ke perut. Bersyukur atas segelas air yang siap menuntaskan haus. Bersyukur karena saya masih bisa menyuapkan nasi ke mulut, sendok demi sendok. Bersyukur atas satu lagi kesempatan untuk pulang ke saat ini. Ke heningnya detik ini. Ke beningnya hati. Bersama nasi putih, sayur buncis, tahu goreng, dan air hangat.

Barangkali, kebahagiaan sejati memang dimulai ketika kita bisa menerima dan mensyukuri hidup, apa adanya. Barangkali ia terletak pada ikhlasnya hati yang rela berserah dan berpasrah. Barangkali, kebahagiaan memang tidak pernah pergi kemana-mana, dan tak perlu dicari-cari. Barangkali, kita hanya perlu menjemputnya di rumah.

-----

12 comments:

Anonymous said...

"Barangkali, kebahagiaan memang tidak pernah pergi kemana-mana, dan tak perlu dicari-cari. Barangkali, kita hanya perlu menjemputnya di rumah."

saya juga mengalami hal ini. Setelah mencari kesana kemari yang namanya kebahagiaan itu. Ternyata justru menemukannya di rumah.

Anonymous said...

Meretas jalan merengkuh ada, sekejap tiada hadir
Merindu jawab tanya akan diri'apa yang dicari' tanpa pernah tau apa yang hilang
Sahabat,
mungkin kini saatnya memasang mata pada detil degup umur yang dibonceng dalam tiap setarikan dan sehembusan napas..
udara yang ditarik tidak pernah memuat udara yang sama saat dihembuskan...kesempatan membaca hidup...dengan pasti terus bergulir berderap berlalu bersama satu napas demi satu napas lainnya.
'urip meng mampir ngombe' jarene wong jowo
apa yang datang, apa yang sampai di genggaman, mereka yang berjodoh entah cocok tak cocok, meng numpang lewat. Tidak satu pun yang katut ketika jasad ini selesai masa bertamunya.
Namun,
konon ada yang masih terus bergetar bersama keabadian
segala yang telah diijinkan tumbuh dan dipelihara dalam bilik batin....

salam
chindy tan

Anonymous said...

"Saya ingin berhenti bergumul. Saya ingin berhenti berpacu. Saya ingin berhenti terseret ke masa lalu dan terlempar ke masa depan. Saya hanya ingin berhenti.

Baru minggu kemarin nulis di diary
"I wanna stop but I must force myself to walk..."
yes i feel it too
keinginan untuk berhenti sejenak...tanpa beban, diam dalam keheningan dan berharap bisa bersua dengan Dia yang Tak Bernama ( minjem istilahnya ya kak, soalnya akhir2 ini mengalami kalau Ia memang Tak Bernama dan Tak Berwujud ^^ )
n I'm so grateful, He is always with me...

Anonymous said...

try to count the blessing? we cant. cos life is a whole lot of blessing.

Anonymous said...

wiesty: mungkin semua yang kita cari sebenarnya memang bisa ditemukan di 'rumah'. :-)

chindy: i am at lost... of words. it's always been an honor to read your comments and all, mbak. thank you so much!

noviana: ya, Dia memang nggak pernah kemana-mana. barangkali sesekali berhenti bisa jadi pilihan tepat untuk menyadari bahwa Dia selalu ada.

ezra: satujuh, bapak! ;-))

Anonymous said...

monggo di-link Jenk;)
really glad to know there's somenone do put curiosity a lot to herself...
that's the way of life to me...
only step on the path to go within..
sometimes life lead us leap at one to another surprise, people called it revelation...or a bit sound sophisticated---enlightenment---
wait,wait... tapi kita mah not in avatar's dose of enlightenment..isih uaaadooooh ketoe jenk;)
our dose still in level 'enlightenment kecil-kecilan' hehe...ado-ado bae;)

cheer up!
chindy tan

Arif Fitra Kurniawan said...

Pernah suatu ketika saya bilang ke ayah : ijinkan anakmu menjadi galah untuk memetik ranum.
Dan ayah lantas menjunjungku tinggi tinggi, memberi ekspektasi jika mimpi memang di ciptakan untuk orang orang yang bersemangat menemani perjalanan hidup dengan mencari.
Sekarang saya masih tetap meyakini , mimpi telah menjadi semacam suplemen yang akan saya konsumsi tiap hari.Tiap saya jengah,tiap saya berkeinginan menghakimi diri saya sendiri dengan aneka dakwaan tentang kegagalan.
Ayo ah , kalau kamu jatuh bergegaslah bangun lagi .Demikian selalu ingat ayah ,ya,mungkin bangu bukan untun spontan berlari,mungkin sekedar membuka mata dan menyadari.Mimpi adalah senjata rahasia menghadapi tiap bharatayuda.
Lam kenal mbak. . .

Anonymous said...

Barangkali, kebahagiaan sejati memang dimulai ketika kita bisa menerima dan mensyukuri hidup, apa adanya.

--> bukan "barangkali", tapi "pasti"

Anonymous said...

Kita tidak boleh lupa -- karena sifatnya yang tidak kekal -- rasa bahagiapun pada waktunya akan berakhir. Rasa itu tidak bisa diandalkan, tidak tetap. Rasa bahagia adalah derita yang halus. Bila kita tidak waspada perasaan bahagia itu bisa menyeret kita pada kekecewaan.

Mungkin kita harus bersikap seperti ini: Kalau rasa itu hadir, bagus, biarkan dia hadir dan biarkan dia tinggal selama yang ia mau. Tak usah kita menaruh kepercayaan kepadanya. Bila waktunya ia harus pergi biarkan dia pergi tanpa meninggalkan jejak. Tak usah kita merindu dan berharap ia kembali lagi.

Biarlah kita hidup bebas tanpa belenggu harapan. Hidup sederhana dalam kekinian ini. Melakukan apa yang memang harus dilakukan. Mengalir seperti air, bertiup seperti angin. Kesulitan, sakit, usia tua dan kematian datang. Let it be !

Saya selalu suka dengan cerita ini:

A monk asked Tung-shan: "When cold and heat come along, how can I avoid them?"
Tung-shan said: "Why not go where there is neither cold nor heat?"
"Where is there neither cold nor heat?"
Tung-shan said: "When it is cold, let the cold kill you. When it is hot, let the heat kill you."


_/|\_

Anonymous said...

kebahagiaan pada waktunya akan berakhir, begitu pula kesedihan dan sengsara, dan tidak ada sesuatu pun yang tetap. oleh karena itu, ketika kebahagiaan menyapa, saya mengijinkannya hadir dan menikmati setiap detiknya, sepenuh-penuhnya, sambil membuka hati lebar-lebar jika suatu saat ia permisi untuk pamit. bagi saya, kekecewaan, seperti kebahagiaan dan kesedihan, adalah sesuatu yang sama alamiahnya -- ia hadir pada waktunya dan pergi jika sudah waktunya. tidak ada yang perlu dihindari atau diantisipasi.

satu kalimat yang sedang saya suka akhir2 ini: "bring it on." :-)

Anonymous said...

Ternyata pencarian itu berhenti disini ya jeng

Andri Journal said...

Lama gak berkunjung..eh, berkunjung dadakan ternyata tema postingnya sama.

Sip. :)