Monday, November 24, 2008

Ta' Sobek-Sobek!

--pluk--

Saya meraba telinga kanan, lalu memungut kabel hitam tipis yang tergeletak di pangkuan. Kembali memasang earphone yang sudah berkali-kali jatuh sambil menghela napas panjang. Sejak tadi, hanya itu yang saya lakukan. Berulang-ulang menarik napas. Bukan karena earphone yang sudah uzur dan minta di-lem biru (lempar, beli baru), namun karena topik program radio yang sedang saya dengarkan sangat menguji kesabaran mental.

Penyesalan mulai merambat naik. SMS yang dikirimkan sahabat saya –narasumber tetap siaran radio gila (atau narasumber gila siaran radio tetap? Au ah. *wink-wink*)— tepat sebelum siaran dimulai sudah cukup memicu kecurigaan bahwa topik pagi ini akan mengusik kesejahteraan jiwa. Still, saya memasang earphone dan mencari-cari gelombang yang tak pernah berhasil saya hafal frekuensinya.

Topik yang menjadi objek pembahasan kali ini adalah tema yang sudah berkali-kali kami (saya dan sahabat) obrolkan dan selalu berhasil membuat saya cengar-cengir sebal, yakni mengenai penilaian yang tidak seimbang tentang uang, mentalitas ‘punya tapi miskin’, perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari (gila diskon, refleks menawar sampai ke satuan terkecil, penerapan ‘hemat pangkal kaya’ nan hiperbolis, perhitungan yang akurasinya sangat terjamin –kalau soal uang, ya. Soal lain mah belum cenchu- irit-pahit-medit, de-el-el. Yang belum tinggal bikin berhala dari duit aja)... sampai dampaknya terhadap ketenteraman batin.

Setiap kali pembahasan itu muncul, saya hanya mesam-mesem konyol dan membela diri sebisanya, atau balas nyeplos sekenanya. Tak pernah menganggapnya serius. Sampai sahabat saya nyeletuk bahwa ia berniat mengadakan seminar dimana pesertanya diharuskan membakar uang dan menggunting kartu diskon demi mengikis mentalitas ‘berduit tapi miskin’ yang meracuni pikiran seperti asap hitam knalpot bis kota –mengaburkan kejernihan pandang dan membuat sesak napas— saya masih mengira bahwa ia cuma bercanda. Main-main. Tidak sungguhan. Orang gila mana yang nekat membakar uang yang diperoleh dengan kerja keras? Emangnya duit turun dari langit?

Untung tak dapat diraih, malang tak da *...ah, sudahlah*. Ternyata, sahabat saya tidak bergurau. Bedanya, ia tidak benar-benar membuat seminar, melainkan mengangkat topik tersebut dalam pembahasan radio hari ini. Lengkap dengan latihan bakar-membakar, yang demi keamanan lingkungan, diganti dengan sobek-menyobek. Iya, uang. Bukan kertas bekas, bukan bungkus pisang goreng. Dan saya merasa ‘terjebak’.

Separuh otak saya langsung ribut menyuruh mematikan radio, namun untuk alasan yang tak pasti, saya malah terus mendengarkan. Setiap jeda iklan dan lagu, saya berulang kali tergoda menekan ‘switch off’ dan melanjutkan tidur, tapi sinkronisasi tidak berlaku pagi ini.

Dan terjadilah momen sialan bersejarah itu. Sahabat saya mengeluarkan selembar limapuluh ribuan (iya, uang. Bukan daun singkong) dan mendekatkannya pada microphone (eh, dideketin nggak sih? Pokoknya gitu lah). Bunyi sobekan yang terdengar –lambat dan jelas— nyaris mengubah saya menjadi psikopat.

Limapuluh ribu. D i s o b e k.

Dan masih banyak orang di luar sana yang nggak bisa makan.

Yang nggak mampu beli baju.

Yang nggak sanggup bayar uang sekolah.

Yang banting tulang jadi kuli demi mengais rupiah dan bisa mati setiap saat ketimpa beton.

Yang jualan koran di lampu merah saat panas terik cuma supaya bisa dapet sepuluh-duapuluh ribu.

Yang ngesot-ngesot mengemis di pinggir jalan.

Yang naik-turun ngamen di angkutan umum dengan resiko kelindes kontainer.

Limapuluh ribu. D i s o b e k.

Dan ia masih berani mengajukan ‘saran’ kepada pendengar untuk melakukan hal serupa. Tidak harus sama jumlahnya, boleh mencoba dengan nilai satu persen dari total gaji.

Tidak banyak, memang. Katakanlah gaji yang didapat satu juta, maka yang disobek ‘hanya’ sepuluh ribu rupiah.

Tapi kan, bok... TETEP AJA DUIT!!!

Siaran selesai tak lama kemudian, dan saya sungguh penasaran ingin melihat tampang para host yang agaknya tidak kalah shocked dengan latihan berbasis terapi itu. Saya meraih dompet dan melangkahkan kaki ke warung nasi untuk membeli sarapan. Tapi, sepanjang jalan, benak saya tak henti-hentinya bergemuruh. Entah kenapa. Saya kehilangan konsentrasi dan hanya berjalan menyeret kaki seperti orang bodoh. Untung nggak ketabrak truk.

Sekembalinya ke kosan, saya duduk di ruang tamu dan menyantap sarapan sambil terbengong-bengong. Seperti orang ‘hilang’. Pikiran saya menolak diajak berfokus, namun saya juga tak mampu mencermati kemana ia mengembara.

Mendadak, entah darimana datangnya, saya merasakan sesuatu ‘bergolak’ di dalam diri. Saya bahkan tidak sempat menelusuri sumbernya, karena ia muncul begitu saja tanpa terbendung. Campuran antara sengit, kesal, dan tidak rela. Ingatan tentang suara uang yang disobek semakin memicu refleks untuk mengambil pisau dapur dan memutilasi orang. Semakin mengingatnya, semakin saya membenci ‘adegan’ itu. Semakin saya bersumpah TIDAK AKAN PERNAH melakukan ketololan kegilaan serupa. No freaking way, orang Sunda bilang.

Namun, sebagaimana sinkronisasi tidak berlaku pagi ini, tangan saya justru memunculkan respon berkebalikan.

Cepat, tanpa berpikir, saya mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dari dalam dompet. Kemudian merobeknya sekuat tenaga persis seperti perempuan yang baru patah hati menyerpih koleksi surat cintanya sampai potongan terkecil. Setelah sobekan-sobekan itu teronggok di atas meja –sekumpulan kertas yang kini tak lagi punya makna—barulah saya merasakan sensasi lain: dada saya sesak oleh luapan emosi. Bahkan tanpa saya tahu kenapa.

Amarah itu menggelegak. Seperti air mendidih yang siap meluber. Saya merasa perlu masuk ke dalam gua demi menetralisir emosi, atau saya akan mencekik makhluk hidup pertama yang saya temui. Saya merasakan kemarahan yang amat-sangat, entah pada siapa. Tanpa alasan spesifik.

Ketika wajah sahabat saya hadir dalam benak, percikan api itu seperti bertemu bensin. Stimulus yang cukup fatal. Saya betul-betul marah. I seriously wanted to murder him. Dan berhubung sahabat saya akan menjalani trip ke luar negeri dalam waktu dekat, saya sempat berpikir, “Bagus deh, sebaiknya emang gak ketemu-ketemu dulu… demi mencegah pertumpahan darah.”

Saya memandangi sobekan uang yang tertumpuk di meja, dan lagi-lagi menghela napas. Panjang dan lama itulah Coki-Coki .

Bo, d-u-a-p-u-l-u-h r-i-b-u. Kebuang begitu aja. Disobek-sobek pula. Ampunilah saya, Gusti nu Agung. Semoga nggak sampai kualat.

Singkat cerita, tak lama setelah saya kekenyangan memamah ransum, handphone berdering. Sumpah mati saya malas mengangkatnya begitu melihat nama si penelepon.

Entah berapa puluh menit saya habiskan untuk mencaci-maki marah-marah, nggerundel nggak jelas, bahkan berkata keras-keras: “KETERLALUAN, IH!”

Saya tahu, tidak adil berkata seperti itu kepada sahabat saya, karena toh tindakan menyobek-nyobek uang adalah keputusan saya sendiri. Tanggung jawab saya sepenuhnya. Lha, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa, kok. Tapiii… tetap saja, saya perlu menyalahkan orang lain supaya bisa merasa lebih baik.

*Sounds familiar? ;-D*

Ia tidak marah, malah tertawa-tawa. Dan membuat saya semakin jengkel. Menit-menit berikutnya saya habiskan dengan berulangkali menarik napas dan mengomel. Sampai akhirnya saya capek sendiri. Sempat muncul perasaan ngilu yang awalnya saya kira akan tumpah keluar. Saya pikir saya akan menangis. Dan ia bilang, tidak apa-apa. Saya boleh menangis. Tapi, ternyata nyeri itu hanya sesaat. Luapan energi yang terasa mencengkeram tiba-tiba melonggar, dan saya kembali termangu-mangu. Masih sambil mengoceh, tapi tidak seintens tadi. Pegel, bok.

Why should I listen to you?”

Meski terdengar kasar, dalam kondisi seperti ini saya benar-benar tidak ingin menahan apa pun. Saya membiarkan diri saya berceloteh sepuasnya, mengeluarkan apa saja yang bergolak di dalam tanpa merasa perlu menyensornya.

You don’t have to. Just experience it,” ia menjawab kalem.

Perlahan, emosi saya menyurut. Yang tertinggal kini hanya lelah. Seperti orang habis berolahraga... atau dehidrasi? Orang yang baru selesai berolahraga seharusnya merasa segar. Saya hanya merasa letih. Seperti ada tenaga yang hilang dari diri saya. Namun gejolak itu, angkara murka *halah* yang meletup-letup sejak mendengarkan siaran, mulai kehilangan daya genggamnya. Mengendur. Hanya menyisakan penat, yang entah kenapa, terasa... benar. Nyebelin, nyakitin, tapi benar. Seakan-akan memang itulah ‘jatah’ saya. Pengalaman yang harus saya lalui dan reguk esensinya, meski rasanya jauh dari enak.

Dan kemarahan itu... yang bahkan tak saya mengerti karena timbul begitu saja tanpa analisa logis... yang menyembul dan ‘membakar’ saya... rasanya kini mulai saya pahami.

Perasaan itu muncul karena saya merasa keyakinan saya terenggut. Diambil secara paksa oleh tangan yang tak terlihat. Apa yang saya anggap benar dari hasil observasi, studi kasus dan pengalaman hidup bertahun-tahun –okay, okaaay, sebagai hasil pembenaran diri— seperti terampas begitu saja dan saya tak kuasa mencegahnya. Kebenaran semu yang saya rengkuh erat-erat itu direnggut oleh siaran sembilanpuluh menit dan dua lembar sepuluh ribuan yang kini teronggok dalam serpihan-serpihan kecil. Tak peduli berapa nominalnya, yang saya tahu hanya, rasa ‘sakit’ itu benar-benar nyata. Dan saya terkesima sendiri. Tidak menyangka emosi saya bisa bergolak sedahsyat itu hanya karena uang duapuluh ribu.

Sebelum mengecam saya sebagai makhluk pelit nan medit, mari saya jelaskan sesuatu. Saya bukan orang yang anti mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak memberi timbal balik kepada saya. Dalam kondisi-kondisi tertentu, saya sama sekali tidak keberatan mengeluarkan uang yang nominalnya bahkan jauh lebih besar dari yang baru saya sobek, untuk sesuatu yang tidak mendatangkan keuntungan apa pun. Sebagai umat Kristiani yang baik, saya tidak pernah lupa menyisihkan sepersepuluh (sepuluh persen lho, bukan satu persen) dari penghasilan saya untuk diberikan kepada Gereja. Bukan sekali-dua juga saya mentraktir office boy (ketika masih jadi pekerja kantoran dulu), memberi sembako, membelikan makanan untuk anak-anak jalanan, menyumbang untuk berbagai kegiatan sosial, dan sebagainya.

*Stop sebentar. Sebelum saya melanjutkan, tolong pahami bahwa saya menulis hal-hal di atas bukan untuk pamer budi. Saya hanya menjelaskan apa yang saya rasa perlu. Don’t get me wrong, K?*

Saya tidak punya masalah dengan itu semua. Bahkan, ketika saya terpaksa ‘kehilangan’ sejumlah uang karena kebodohan dan kecerobohan saya sendiri –seperti dikibulin supir taksi, termakan rayuan investasi berbasis agama yang ternyata penipuan, ikut-ikutan main saham dan rugi banyak, atau kalap belanja sampai uang ludes untuk hal-hal nggak penting— saya tidak pernah berlarut dalam penyesalan. Bagi saya, selalu ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari setiap peristiwa. Kebodohan dan kecerobohan akan menjadikan saya lebih mawas diri dan berhati-hati dalam mengelola uang. Mempersembahkan sejumlah uang ke tempat ibadah adalah sesuatu yang sudah seyogianya dilakukan, karena itu tertulis dalam buku panduan sejuta umat kitab suci. Berderma kepada mereka yang membutuhkan senantiasa membuat hidup terasa lebih berguna mendatangkan kepuasan batin yang tak terukur nilainya. Setidaknya, saya tahu apa yang saya keluarkan bermanfaat bagi orang lain.

Tapi... menyobek-nyobek uang... meski nilainya ‘hanya’ duapuluh ribu...

...seperti mengobok-ngobok kakus dengan tangan telanjang.

Pergumulan batin saya *tsah!* tidak berhenti sampai di situ. Prinsip ideal tentang uang yang sudah terkonstruksi di benak ini -dan entah sudah berapa lapis karatnya akibat dibiarkan berkerak bertahun-tahun- telah menjelma menjadi sesuatu yang saya rangkul sebagai kebenaran. Setidaknya, untuk diri saya sendiri. Saya demikian percaya diri dan selalu memandang prinsip itu sebagai pilar kokoh penopang kelangsungan hidup, yang tanpanya, separuh diri saya tiada. Dan kini, pilar itu luluh sudah. Bangunan kecil saya terguncang, siap runtuh.

Lama setelah percakapan kami berakhir, saya masih termenung. Saya meraih serpihan-serpihan uang itu. Sahabat saya berpesan agar sobekan itu tidak dibuang, supaya saya bisa melihatnya sesekali dan mengingat pelajaran berharga di balik ‘latihan’ itu. Bahwa apa yang saya anggap sebagai barang berharga sesungguhnya tak lebih dari selembar kertas. Benda itu tidak memenjarakan saya. Penilaian atasnyalah yang menjadikan saya terpenjara. Harapan dan ketakutan yang tersimpan di balik pemahaman yang keliru telah menciptakan begitu banyak konflik dan stres di dalam batin.

Saya meletakkan sobekan-sobekan itu di atas tempat tidur dan terpekur menatapinya. Lama. Kemudian, saya mengeluarkan handphone dan memotretnya.

Lalu, bagaikan disiram air dingin di siang bolong (atau kesamber petir di tengah lapangan – kira-kira efeknya sama, lah), saya terperangah. Kesadaran itu menyerbu benak saya bagai sekumpulan prajurit yang mengendap-endap; menyelinap dan menunggu aba-aba untuk menyerang. Untuk memancingnya keluar hanya dibutuhkan sepenggal isyarat... atau seberkas sinar dari handphone berkamera yang saya genggam.

Kesadaran itu muncul berupa pencerahan. Melalui duapuluh ribu yang hancur tersobek-sobek, saya berjumpa dengan sisi lain dalam diri saya. Bagian dari Jenny yang nyata, ada, meski tak pernah saya sadari keberadaannya. Saya menemukan berlapis-lapis lensa yang membatasi jarak pandang dan cara saya melihat hidup. Saya menemukan keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan harapan yang terwujud dalam kerja keras, dengan label mengejar impian. Berbarengan dengan padamnya lampu kamera; bersamaan dengan munculnya gambar pada layar handphone, saya sadar... saya adalah sebatang bonsai yang mengira dirinya pohon raksasa. Saya adalah burung kecil yang terlalu takut terbang ke angkasa dan mematuk orang yang membukakan pintu kandangnya.

Masih ‘shocked’ dengan perubahan emosi dan reaksi hati yang bagaikan rollercoaster, saya memilih untuk duduk diam. Mengamati apa yang timbul ke permukaan. Hanya merasakan, sepenuhnya. Tanpa menilai.

Lalu, datanglah rasa terakhir, yang tak saya sangka akan muncul. Tipis, namun perlahan menguat seiring ‘pulih’nya kesadaran saya. Memenuhi ruang pikiran yang masih terlampau peka untuk mencerna apa yang terjadi.

Rasa itu bernama Bangga dan Lega.

Bukan karena merasa hebat. Bukan karena merasa lebih. Namun karena saya merasa ‘menang’. Bukan atas siapa-siapa, melainkan atas berbagai konflik yang telah lama membelenggu batin tanpa saya sadari.

Dalam serpihan-serpihan kertas itu, saya bersua dengan separuh diri saya yang lain. Jenny yang berani. Bukan berani merobek uang, namun berani menghadapi monster yang bersemayam di dalam diri, menerimanya apa adanya, dan –akhirnya- berdamai dengannya. Menyongsong langit biru yang selama ini hanya mampu saya pandangi dari balik sangkar meski pintunya telah lama terbuka. Menjelang kebebasan yang terhampar di depan mata sepenuh hati; tanpa mempertanyakannya, tanpa bergumul. Memandang hidup bukan lagi sebagai arena gulat dimana saya bertempur dengan harapan, keinginan dan ketakutan, melainkan taman bermain dengan aneka wahana yang terkadang menguji nyali, membuat tertawa gembira, merengut sebal, berdebar-debar, dan banyak lagi. Di tengah rasa yang silih berganti hadir –entah itu mencekam, menghanyutkan, menyenangkan, membuat ketagihan— saya sadar bahwa saya hanya sedang bermain.

Dan akhirnya, saya tersadar. Keberanian sejati mungkin bukanlah keberanian untuk membela apa yang kita pandang benar, menjunjungnya tinggi-tinggi dan melindas apa pun yang menghalangi jalan kita. Bukan juga keberanian untuk berhadapan dengan rasa takut tanpa tergoda mundur. Bukan pula keberanian untuk berdiri gagah menentang kelaliman dan menyongsong maut di medan perang.

Keberanian sejati, mungkin, adalah keberanian untuk menyadari penjara yang mengungkung kita selama ini; melihat jeruji-jerujinya sebagaimana adanya -bukan kamar emas beranjang empuk tempat sepiring makanan disuguhkan setiap hari, melainkan pasung yang membelenggu kemerdekaan batin-... lalu mengambil keputusan dan bertindak membebaskan diri – apa pun wujud kebebasan itu. Meski dunia mencela kita sebagai idiot separuh gila.

:-)


*Entri ini saya dedikasikan untuk Pawang Sobek tercanggih sepanjang masa. Selamat, Anda berhasil! Tapi, ingatlaaah... selama Partai Kaypang belum resmi dibubarkan, mawas diri biar nggak ketularan hendaknya perlu. ;-D

24 comments:

Poppus said...

Aku sama temenku sering bicara soal persepsi, salahsatunya mengenai nilai uang, dan kamu menuliskannya dengan begitu pas. Aku setuju dengan pawang penyobek uang itu. Uang jadi berharga karena kita yang membuat itu jadi berharga. Ini semua cuma soal persepsi dan sayangnya, dengan persepsilah dunia dikendalikan.

Excellent writing j :)

Enno said...

aaah jadi nyadar klo selama ini aku dikendalikan persepsi gak jelas mengejar duit. bener kata ceu popi...

tapi aku gak mau ikutan nyobek duit ah... sayang jen, 20 rebu buat dua kali makan. Anak kost nii.. hihi ^^

Anonymous said...

Popi: iya Pop, gue juga baru nyadar. Dari yang tadinya ngamuk-ngamuk, setelah melakukan itu jadi ngeh sendiri. Persepsi oh persepsi..

Enno: anak kost? Sama dooong. Kalo saya segitu malah bisa buat 3X makan, hihihi ;-D

Fenny said...

Bener banget....Padahal uang itu sebenarnya cuma selembar kertas aja, jadi inget pelajaran soal nilai nominal uang waktu SD. Coba waktu SD juga diajarin soal persepsi..hehehe...

^^

Anonymous said...

huhuhu
bayangin kl tkw sobek duit X)

money = evangelis (sounds familiar? :p)

Anonymous said...

uang sejumlah sekian yang disobek, bisa berharga buat orang lain. seriously.

I get the point, but IMHO, kasus nyobek duit ini keknya simbolis aje, buat nunjukin bhw pelaku itu ga ngejadiin duit sebagai mamon. Atau sesuatu yang berharga.Atau apalah.

Gimana kalo aktivitasnya diganti, ketika pelaku dapet gaji, kasih duit seluruhnya plek-plek ke mana yg butuhin. Keknya efeknya sama deh, bisa ngerasa menang ngalahin mamon, penjara membelenggu apalah.

Oh ya, Jen, lain kali klo mo nyobek uang seratus ribu, lima sampe sepuluh lembar, kasih ke gue aja lah. hahahah....

Alia said...

Seminggu sekali, aku bekerja sebagai perobek uang.

Kadang yang robek 50 ribuan, tapi paling jarang lembar seribuan dan yang paling sering robek adalah lembar 20ribuan. Lembaran uang itu datang dari dasar sebuah kotak, dibungkam dalam amplop, rapi dan jauh dari mata manusia maupun tangan tuyul.

Setiap kali Tuanku mengosongkan kotak itu, aku tahu akan ada 2 jam dalam hariku yang akan dilewati dalam cengkrama lembaran uang itu, memisahkan mereka dari dalam amplop dan memilah mereka dalam kantung-kantung yang lebih kecil: seribuan, limaribuan, dst.

Setelah satu jam lewat dalam posisi yang tidak terlalu nyaman dan monoton, perasaan menjadi bahasa komunikasiku dengan amplop-amplop tersebut. Amplop yang tertutup paling rapat kusisihkan karena paling menuntut kesabaran: Di mana batas pemaknaan itu saat semua yang tampak hanya kertas, kertas dan lagi kertas?

Setiap kali ada lembaran yang robek, aku memohon maaf pada yang memberi dan pada yang nantinya akan menerima. "Maaf uang ini cacat karena ketidaksabaranku melepaskannya dari dalam amplop. Maaf karena kini seleksi sosial terhadap lembaran uang ini akan semakin ketat, bukan karena kamu – yang memberinya tidak tulus – tapi karena aku sudah mulai capek milah-milah antara bongkahan duit bau ini."

Lembaran rupiah yang paling menyedihkan adalah yang paling panjang perjalanannya, paling sangit baunya. Bau sawah, bau keringat, bau kaleng tempatnya bermukim selama berbulan-bulan. Bau orang-orang yang datang ke rumah tuanku karena betul-betul tak punya pilihan lain untuk melepaskan diri dari kebingungan sehari-hari. Anak hilang. Hutang tak terlunaskan. Kekasih meninggal. Miskin tak berujung.

Seminggu sekali aku adalah penyambung harapan. Lembaran uang yang tak sengaja kurobek maupun yang selamat adalah harapan tulus mereka yang datang ke rumah tuanku. Ini harga ketulusan mereka, ini harga doa mereka. Dan aku hanya ditugaskan membebaskan lembaran-lembaran ini ke dalam kantung-kantung yang lebih besar lagi: Kantung Tuhan.

Sepatutnya mereka sampai di Sana dalam kondisi sebaik-baiknya.

SIN said...

Daripada dirobek mending diberikan kepada yg ga mampu (buat pengemis 20ribu itu berharga). persepsi atw bkn selama kita masi idup di dunia kita masih membutuhkn uang, pada saat kita ada masalah, atau ada sesuatu hal seperi membeli obat pada saat sakit atw berobat, makanan, biaya2 lain2, bagi kita uang itu berharga (dr alam bawah sadar kita menyadariny demikian), klo uang da byk (da kyk pejabat DPR yg serakah n ga pernah puas) silahkn da robek2 (tapi menurut saya hal itu bodoh n songong, sayang bgt dirobek, byk org lain yg membutuhkan, masa merobek u/ sebuah pengalaman (_ _") pengalaman apa? artinya anda bingung sebenarnya)

Sebenerny kita menyumbang u/ kebaikan k Gereja,Rumah Sakit, dll tidak perlu diberitahu,biarlah Tuhan yang tahu^^

kiki.cresenda said...

Jenny.. penyadaran yang luar biasa :)

Di tanggal yang sama, aku menulis posting yang mirip.. mirip krn itu hasil dapet ilmu kehidupan yang diselipkan dalam lembaran uang..
(see my blog: berdagang dengan hidup, kalo iseng mau baca)..

Bener2 pengalaman yang eye opening (dan menghadiahkan damai luar biasa setelahnya) .. bahwa masih banyak sekali keterikatan dan belenggu dalam diri.. terlepas dari bagaimananya uang itu bisa berharga bagi orang lain.. butuh proses untuk mampu melihat uang itu juga hanya sekedar ilusi yang dicipta dunia atas selembar (atau 2 lembar in your case) kertas yang dicetak angka di atasnya dan disepakati bersama bahwa ia bernilai adanya...

Terus Jen.. terus.. terus.. makin seru nih :D

Thank you for writing this :)

JengMayNot said...

Menurut gw sih uang itu berharga bukan karena kita mempersepsikannya berharga. Melainkan karena uang punya nilai INTRINSIK :)

So, gw sih sepakat dengan Okke. Kalau ini hanya sebuah simbolis untuk "menemukan kebenaran sejati", keluar dari "jeruji", or whatever... kenapa tidak dilakukan dengan cara lain? Kenapa gak loe kasih aja duit itu ke yang membutuhkan, TANPA ALASAN (misalnya: tanpa harus beli sesuatu)? Kenapa harus melakukannya dengan MERUSAK sesuatu yang bisa berguna buat orang lain?

Sorry, Jen, sebagai muslim, gw mengamini bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya. Menyobek uang mungkin "bermanfaat" bagi loe menemukan kebenaran sejati or whatever itu. Tapi... apakah manfaat itu sebanding dengan mudharatnya?

Dengan menyobek sekian ratus ribu, loe memang bisa menjadikan diri lepas dari "menuhankan" uang. Tapi... uang itu juga jadi mubazir, tidak dapat digunakan.

Misalnya: Tukang soto yang harusnya bisa dapat 7000 dari loe, gak akan mendapatkannya. Dari jumlah itu, mungkin 2000 rupiah adalah perlu untuk membayar uang sekolah anaknya.

Sorry to say, Jen, gw tidak setuju (bahkan agak menistakan) tindakan si Pawang Sobek itu :)

And personally, I'm SHOCKED that this is one of his method to "teach" people. It's very inappropriate. Sorry :)

Anonymous said...

To: All

Saya pernah merasakan punya uang lebih dari cukup untuk membeli (hampir) semua yang saya inginkan. Saya juga pernah merasakan ‘titik terendah’ dimana saldo di rekening saya membentur angka seratus ribu dan yang tersisa di dompet saya hanya seribu rupiah.

Saya pernah merasakan mengelilingi Jakarta dengan Alphard (yang ukurannya segede bagong itu) dan bersandar di jok empuk Mercedes Benz. Saya juga pernah merasakan duduk dalam kendaraan umum yang banyak copet di siang hari bolong, dan menaiki angkot yang atapnya bocor tepat saat hujan deras, sehingga baju dan celana saya basah.

Saya pernah merasakan tidur di ranjang king size berbalutkan bed cover tebal dan pendingin ruangan yang menyala 24 jam. Saya juga pernah merasakan tidur di kasur sempit yang berderit-derit, di kamar mungil beratapkan asbes sehingga keringat mengucur sepanjang malam.

Saya pernah merasakan makan di hotel bintang lima. Saya juga pernah merasakan makan di warung tenda pinggir jalan ditemani lalat dan kucing yang hilir-mudik, sementara aroma got menguar tak henti-hentinya.

Saya pernah merasakan betapa uang memegang peranan yang sangat penting dalam hidup saya, sehingga saya rela bekerja keras, mati-matian membanting tulang dan berhemat demi menambah jumlah saldo di rekening saya, tak peduli semua itu harus saya bayar dengan stres yang tidak kecil kadarnya. Kini, saya bersyukur bahwa saya diberi kesempatan untuk merasakan ‘kehilangan’ makna uang, meski hanya sesaat. Uang akan selalu punya arti dalam hidup saya. Namun, mudah-mudahan pengalaman yang saya dapatkan dari menyobek dua lembar sepuluh ribuan bisa menjadi pengingat yang cukup ampuh –sekarang dan kelak— bahwa betapa pun uang berharga, ia tak lebih dari lembaran kertas yang punya nilai. Selain nominal yang tertera di sana, makna yang saya letakkan di atasnyalah yang akan menentukan, sejauh mana ia memberi pengaruh dalam hidup saya.

Saya ingin tetap menjadi manusia, dengan atau tanpa uang. :-)

Bubble-pinkz said...

hebat... bisa nyobek2 duit.. hehehehehe....

Anonymous said...

"Keberanian sejati, mungkin, adalah keberanian untuk menyadari penjara yang mengungkung kita selama ini; melihat jeruji-jerujinya sebagaimana adanya -bukan kamar emas beranjang empuk tempat sepiring makanan disuguhkan setiap hari, melainkan pasung yang membelenggu kemerdekaan batin-... lalu mengambil keputusan dan bertindak membebaskan diri – apa pun wujud kebebasan itu. Meski dunia mencela kita sebagai idiot separuh gila."

hmm, semacem satu cara untk menghancurkan mental block kali yah, hehe..

Reza Gunawan said...

Dear Maynot,

"Kita semua benar dalam sudut pandang atau persepsi kita masing-masing".

Dan ketika tindakan yang sama, ditukar sudut pandangnya, skor akhir antara BENAR atau SALAH bisa berubah-ubah tak terhingga.

Yang menjadi masalah, ketika terjadi perbedaan pendapat (yang tentunya berakar pada perbedaan sudut pandang), kita seringkali merasa ada pihak yang benar, dan otomatis pihak lain menjadi salah.

Dalam sudut pandang saya, kita setiap hari merusak uang dan mengorbankan orang lain.

Ketika uang dipakai untuk membeli barang yang sebenarnya tidak kita perlukan, atau produk yang tidak menunjang kesehatan dan kehidupan, ketika membeli buku atau musik yang tidak terlalu sesuai selera. Ini juga 'biaya' yang tak disadari harus kita bayar untuk kesia-siaan, tanpa harus melatih 'menyobek' uang.

Dan dalam sudut pandang saya juga, kita semua, termasuk seorang tukang bakso ataupun pemulung, sudah punya pundi-pundi rezeki sendiri dari Sang Ilahi, sehingga memikirkan uang Rp. 2.000 yang KITA miliki, dan bagaimana seandainya itu uang menjadi tambahan penghasilan kaum yang kurang mampu, mengajarkan kita untuk tidak menggunakan uang secara sia-sia.

Di lain sisi, barangkali ada juga yang perlu kita lihat. Banyak orang kurang mampu secara ekonomi, mampu hidup dengan tentram dan bahagia, sementara banyak orang yang mampu secara ekonomi (meski itu tidak harus berarti jadi konglomerat), hidup penuh kuatir, takut dan stres tentang uang.

Mengapa? Bukan karena mereka kurang menghargai uang, tetapi karena justru mereka terlalu menghargai uang. Lebih dari porsi penghargaan yang wajar, praktis dan sehat. Ini melahirkan berbagai gangguan mental yang menggerogoti kesehatan mereka, kebahagiaan hidup, bahkan mengorbankan relasi dengan orang-orang terkasihnya. Dan sejujurnya, saya banyak sekali menemui kasus seperti ini di kehidupan kota besar.

Untuk ketidakbahagiaan yang berakar pada terlalu menghargai uang ini, kita perlu menetralisir apresiasi berlebihan atas uang. Menyobek uang sebesar 1% income bulanan hanyalah salah satu latihan yang bisa dicoba, dan terus terang sangat efektif bagi yang siap mengalaminya.

Mendermakan uang juga latihan yang baik, untuk belajar melepas dan berbagi, namun mendermakan uang tidak menetralisir apresiasi yang berlebih.

Demikian sudut pandang saya. Sia-sia atau tidak, sangat tergantung niat dan pengalaman yang kita dapatkan dari suatu kegiatan, bukan teori atau asumsi yang kita perkirakan tentang kegiatan tersebut.

Salam,
Reza

JengMayNot said...

Dear Reza,

Saya tidak sedang bicara tentang persepsi Anda vs persepsi saya tentang uang :) Saya tidak sedang bicara tentang persepsi individual, melainkan membicarakan uang sebagai entitas yang berdiri sendiri :)

Saya amat, sangat mengerti bahwa sudut pandang Anda. Tapi saya mempertanyakan: benarkah uang bukan entitas yang berdiri sendiri?

Semua yang Anda bicarakan di atas dasarnya adalah "hubungan pribadi dengan uang". Anda tidak menggunakan uang sebagai entitas yang punya banyak sisi :)

Kutip "Mendermakan uang juga latihan yang baik, untuk belajar melepas dan berbagi, namun mendermakan uang tidak menetralisir apresiasi yang berlebih"

Menurut saya, Reza, yang menetralisir apresiasi kita yang berlebihan itu adalah "kehilangan uang"nya. Bukan tindakan menyobeknya :) Menyobek hanya cara agar kita dapat merasakan pengalaman "kehilangan uang" yang sangat dicintai itu ;)

OK lah, kalau dianggap bahwa "mendermakan" itu tidak bisa menghilangkan apresiasi kita terhadap uang. Tapi... apakah Anda yakin bahwa bagi si pelaku sendiri pengalaman "meletakkan begitu saja setumpuk uang tiap 200m" tidak akan efektif menghilangkan apresiasinya terhadap uang?

Saya yakin rasanya sama saja dengan "menyobek uang" jika setumpuk uang itu kita taruh begitu saja, lantas belum 5 langkah kita berjalan seekor anjing mengencinginya, atau seorang preman mabuk mengambilnya untuk beli narkoba. Bahkan jika uang itu kita tinggalkan dan kita tidak tahu nasib selanjutnya. "Rasa kehilangan" dan "harus belajar melepaskannya" sama saja dengan "menyobeknya".

Tapi... dari sisi uang sebagai entitas, itu ADA BEDANYA. Uang yang dikencingi anjing itu mungkin saja kemudian ditemukan anak pemulung yang kelaparan, dicuci, dikeringkan dengan hati2, untuk kemudian membeli makanan. Uang yang diambil preman mabuk itu belum jadi dibelikan narkoba. Bisa saja, saking mabuknya, uang itu terjatuh dari kantong si preman, ditemukan oleh seorang tukang bakso.

Intinya, ketika Anda menyobek uang, Anda "mematikan" amalan uang itu. Manfaat uang itu berhenti di situ :) Tapi... kalau Anda tidak menyobeknya, maka uang itu mungkin masih bisa bermanfaat.

Kalau Anda percaya bahwa semua rejeki itu sudah diatur oleh Sang Ilahi, agak aneh ketika Anda kemudian "mematikan" apa yang bisa menjadi rejeki orang, apa yang mungkin dititipkan Tuhan lewat tangan Anda untuk menjadi rejeki orang, hanya demi menghilangkan apresiasi berlebih terhadap uang :)

JengMayNot said...

Masih buat Reza:

Kutip "Sia-sia atau tidak, sangat tergantung niat dan pengalaman yang kita dapatkan dari suatu kegiatan, bukan teori atau asumsi yang kita perkirakan tentang kegiatan tersebut"

Karena saya muslim, saya percaya bahwa niat yang baik saja belum cukup. Niat itu harus dinyatakan dengan baik, dan dilakukan dengan baik juga :)

Dan kalau kita lepas dari konteks "hubungan antara saya pribadi dgn uang", dan melihat uang sebagai entitas yang punya banyak sisi, maka kita bisa melihat bahwa ada batas yang jelas antara sia2 dan tidaknya tindakan kita terhadap uang :)

Monggo, coba pahami konteks saya terlebih dahulu :)

Salam,
-maynot-

blueismycolour said...
This comment has been removed by the author.
blueismycolour said...

mongoo...mau ikutan berkata-kata.
wahhh...
ada debat seruu ya!
Saya setuju dgn Reza jg setuju dgn maynot! ^^
Mungkin sebenarnya mksd,tujuan ataupun persepsinya sudah sama. (mohon dibenarkn kl sy salah mengerti! >,< )
Tau betul apa yg dimaksud dgn terkungkung oleh penilaian sendiri.
kl minjam kata2 leluhur... "hanya pikiranmu yg menghalangimu melihat bahwa kmu adalah bebas n sudah selalu bebas..."
Letak perbedaannya adalah di cara untuk menyadarkannya!
Kl Reza, pintunya didobrak sampe hancur! Kl maynot,pintunya diketok-ketok or diutak atik sampai bisa kebuka.
Intinya sama2 pengen ngebuka mata hati!tp yg satu extrim n pasti lebih berbekas ( pintu na rusakkk gt lho! xb )
kl yg maynot lebih sabar n perlahan-lahan. ( so pintu mash utuh! hehehe.. )
Mgk yg dimkd Reza dgn cara extrim itu pasti berbeda adlh...
cara extrim itu cukup dilakukan sekali,dijamin buat syok! ( sy yg baca aje syok..nyobek uang!! >,< )
Kl pake cara maynot..mgk ditakutkan ada godaan ditengah jalan.. wkwkwk...Jd takutnya hasil yg bakal di capai ga full.
begitu mgk!

Saya koq seperti translater yaa..
wkwkwk... sudah cocok jd penegah blm ne? xb

back to topic..
2 cara yg diutarakan di atas memang tidak dapat menggantikan satu dengan yang lainnya,serta py kelebihan n kekurangannya tersendiri.
mnrt saya.. cara manapun yg dipilih sebenarnya tergantung masg2 orang toh!Lagian menurut saya Mbak Jenny hanya berbagi pengalaman dgn mencoba cara "pawang sobek"! >,< Toh..ga perlu dihakimi..tapi maaf Bung Reza..Saya masih blm tega buat ngerobek uang...walau dr segi pemikiran sy setuju! ^^ Saya sendiri mash bingung..
Ga tega karena py pendapat sejenis seperti maynot,or emg blm berani melepaskn persepsi sy yg terll tinggi ttg uang.wkkwkw..
-maklum anak kostan-
mungkin saya akan coba mencari cara SAYA!Doakan saja,saya nemu.. ^^ ( sok yakin tea ne.. >,< )

buat jenny! Tulisannya kerennnn....
salam kenal ya buat semua...
( ga sopan gini... uda komentar panjang lebar baru nyapa tuan rumah.piss.. ^^ )

Reza Gunawan said...

Bagus juga diskusinya ya. Memang melihat dari banyak sisi membuat kita lebih bijak.

Berguna, sia-sia, ataupun datar saja merupakan respon nilai yang kita berikan dari persepsi pribadi kita.

Saya belum menemukan uang sebagai entitas tersendiri, barangkali karena saya belum paham juga apa maksud Maynot. Karena tanpa ada subjek yang meletakkan sudut pandang, maka uang berdiri sebagai energi yang netral, yang bisa digunakan dengan sehat ketika takaran apresiasi kita juga tidak kurang, dan tidak berlebih.

Saya juga tidak bilang bahwa niat saja cukup. Niat disertai dengan tindakan yang membawa kepada pengalaman dan pembelajaranlah yang justru menentukan manfaat dan kesia-siaan.

Dalam hal latihan "sobek uang", yang memang hanya merupakan salah satu bentuk memperoleh "pengalaman langsung non teoritis", barangkali memang hanya mereka yang berani melompati analisa, rasa tidak tega, dan menembus ketakutannya sendirilah yang benar-benar bisa mengambil kesimpulan langsung. Ini tentu kembali ke diri masing-masing kan?

Mari kita berdiskusi lagi kalau sudah berangkat dari nuansa pengalaman. Selama memang belum siap mengalami, saya hargai perbedaan sudut pandang kita.

Salam,
Reza

JengMayNot said...

Dear Reza,

Kutip: "Mari kita berdiskusi lagi kalau sudah berangkat dari nuansa pengalaman. Selama memang belum siap mengalami, saya hargai perbedaan sudut pandang kita."

Saya justru menuliskan komentar ini karena saya sudah melampaui nuansa pengalaman pribadi :) Karena saya meletakkan pribadi sebagai hal yang berkaitan dengan titik2 lain di alam semesta ini :) Dengan demikian kebebasan kita berpengalaman langsung dibatasi oleh keseimbangan alam semesta itu sendiri :)

Apa bedanya uang dengan suami penganiaya? Jika Anda harus menerapi seorang istri yang punya "apresiasi berlebih" terhadap suaminya yang penganiaya, supaya si istri itu dapat melihat bahwa suaminya bukan apa2, apakah itu harus dilakukan dengan membuat si istri membunuh suaminya?

Itu yang saya maksud dengan uang sebagai entitas tersendiri :) Memang, uang itu adalah benda mati. Tapi uang yang Anda sobek itu tidak pernah merupakan uang Anda sendiri - jika Anda letakkan dalam konteks yang lebih besar. Uang adalah elemen dalam alam semesta yang pasti mengaitkan Anda dengan titik2 lain di dunia ini :)

Dengan demikian, dear Reza, menurut saya ini bukan masalah "kesiapan" melakukan "pengalaman langsung non teoritis". Ini tetap merupakan masalah apakah "menyobek uang" merupakan suatu bentuk "pengalaman langsung non teoritis yang baik atau bukan" :)

Tapi Anda benar... mari kita lanjutkan diskusi ini jika Anda sudah melampuai batas "pengalaman pribadi". Maaf, saya kurang tertarik bicara dengan latar "nuansa pengalaman pribadi", karena itu adalah kemunduran bagi saya... ;)

***

Satu lagi sebelum saya tutup diskusi ini:

Kutip "Niat disertai dengan tindakan yang membawa kepada pengalaman dan pembelajaranlah yang justru menentukan manfaat dan kesia-siaan.

Menurut saya, tindakan yang membawa kepada pengalaman dan pembelajaran saja tidak cukup untuk menentukan manfaat/kesia2an suatu tindakan ;)

Yang perlu agar suatu pengalaman dan pembelajaran itu menjadi bermanfaat adalah: tindakan yang dilakukan untuk mendapatkannya tidak merugikan orang lain :) Di luar itu, semua adalah kesia2an :)

Maaf, buat saya, pengalaman dan pembelajaran buat diri saya pribadi bukan segala2nya sih ;) I'm not a center of the universe :) I'm just a dust in the wind ;)

Salam,
-maynot-

Reza Gunawan said...

Sebenarnya ukuran paling nyata dari manfaat vs. kesia-siaan dalam latihan apapun, yang paling hakiki bukan pada teori dan pendapat kita. Namun berpulang kepada yang sudah mengalami latihan tersebut dan juga sekaligus pemilik blog ini.

Saya tidak berani menyimpulkan baginya, hanya sanggup bertanya "Jen, apakah Rp. 20.000 yang kamu korbankan untuk latihan yang kamu lakukan atas pilihan sendiri tersebut, terasa lebih banyak manfaatnya atau lebih banyak sia-sianya?"

Saya ingin tahu, sekaligus belajar dari pengalaman langsung Jenny. Kalau bagi saya, Rp. 20.000 yang menjadi tumbal pelajaran tersebut telah berbuah menjadi sebuah diskusi menarik yang mencerahkan kita semua para pembaca, meski tidak harus berujung pada kesepakatan pendapat.

Reza

Desiyanti said...

Lha, Jenny temennya Popi juga, tho? Whua, small world! ^_^

Sekedar ingin berbagi, Jen, aku pernah nulis soal milik, mungkin bisa dinikmati...
Ini link-nya:

http://d-yanti.blogspot.com/2008/06/milik.html

Nice writing, btw... ^_-

Anonymous said...

jen, pernah kehilangan atao kecurian dompet sehingga hilang seluruh jerih payah lo, tapi elo masih bisa bersyukur atas hari itu dan masih bisa mendoakan semoga dompet & seisinya bisa berguna bagi pencopetnya?

kalo elo udah pernah seperti itu, hebat, berarti sebenarnya lo udah bisa mengatasi keterikatan elo terhadap uang, tanpa perlu bergagah menyobek-nyobeknya. penerimaan akibat kehilangan uang karena terenggut oleh kuasa di luar kita, dan sengaja kehilangan oleh tindakan yang sengaja kita lakukan, menurut gue adalah dua hal yang berbeda.

kalo belom, yah, gue sih nggak berdoa semoga itu terjadi pada lo ya, tapi....

:)

Anonymous said...

Desiyanti: lha, kamu juga kenal Popi? Waaaah... *blogosphere selebar daun kelor*

Thanks for sharing ya, Des.. :-)

Bayik:
"penerimaan akibat kehilangan uang karena terenggut oleh kuasa di luar kita, dan sengaja kehilangan oleh tindakan yang sengaja kita lakukan, menurut gue adalah dua hal yang berbeda."

Memang berbeda. Jauh banget, malah. :-) Dan saya memang sengaja memilih untuk mengalami yang kedua. :-) Thanks for dropping by.