Showing posts with label Semacam Curcol. Show all posts
Showing posts with label Semacam Curcol. Show all posts

Thursday, December 3, 2009

Dear Nuel,

Apa kabar?

Belakangan ini gue sibuk dengan calon buku kedua gue. Buku itu akan terbit tahun depan. Di dalamnya ada artikel tentang elo. Judulnya ‘Farewell’, karena artikel itu gue tulis setelah kita berpisah. Sejujurnya, dari sekian banyak tulisan yang jadi pengisi buku itu, gue lupa bahwa ‘Farewell’ ada di sana. Sampai malam ini, ketika gue mengedit artikel itu.

Nel, gue nggak nangis waktu kita pisah. Gue bahkan nggak nangis waktu ninggalin elo. Gue pikir lo udah bahagia. And I did believe so. Lo tampak tenang sekali di sana, di peti itu. Lo kurus, tapi lo seperti tersenyum. Seakan pingin bilang ke semua orang, “Gue udah nggak apa-apa. Kalian bisa berhenti khawatir.” Tapi sekarang gue nangis. And I cry hard.

Nel, gue kangen elo. Kangen banyolan-banyolan lo. Kangen senyuman lo. Kangen minta tolong lo bawain barang lagi (karena lo yang paling berotot di antara kita semua dan gue yang paling cungkring). Kangen lihat lo ngangkat-ngangkat boom segede dosa itu. Kangen ngelihat lo dan Lala pacaran lagi kayak dulu. Kangen makan bareng lagi. Kangen ketawa-ketawa lagi.

Nel, kenapa gue nangis ya? Kenapa malam ini air mata gue nggak bisa berhenti inget elo? Berapa bulan sejak lo pergi? Sembilan? Sepuluh?

Bahkan sebelum lo pergi kita udah jarang ketemu. Lala bilang, lo sempet nanyain gue. Dan sekarang rasanya gue rela ngasih apa aja supaya bisa ketemu lo sekali lagi… ketika lo masih bisa senyum. Ketika gue masih bisa bercandain elo. Dan kita bisa sama-sama ketawa.

Di atas sana kayak apa, Nel? Indah? Lo ketemu nyokap gue? Sampaikan salam gue buat dia, ya. I miss her so damn much. Tell her I’m happy. Gue tahu dia tahu. Gue cuma pingin bilang aja. :-)

Nel, gue nggak pernah dapet kesempatan untuk ngomong ini ke elo. Tapi sekarang gue mau bilang.

Terima kasih karena udah ada di hidup gue. Terima kasih udah jadi temen gue. Terima kasih untuk tahun-tahun indah yang kita lewati bareng-bareng. Terima kasih untuk setiap senyum dan tawa yang pernah kita bagi, yang masih bisa gue kenang sampai sekarang ketika lo udah nggak ada. Lo nggak akan pernah tahu betapa berartinya itu semua. Ketika segalanya lenyap, yang tersisa cuma kenangan. Dan kenangan itu kita jaga, karena kita belum mau lupa.

…..



Hhhh.

Udah, ah. Gue udah selesai mewek. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya. Kalau kata Mitch Albom, gue yang curhat, lo yang dengerin. Ketika waktunya tiba nanti, kita bakal bisa lagi, kok, ngobrol dua arah.

:-)


Nel…

Gue kangen. Banget.

-----

Sunday, October 11, 2009

Penting Nggak Penting

“Penting buat celebrity hunter, kali,” begitu komentar seorang kawan ketika saya mengomentari sebuah situs yang menampilkan update status terkini para selebriti sebagai ‘nggak penting seenggak penting-nggak pentingnya’.

Saya hampir menimpali dengan, “Kenapa juga ada yang nganggep berburu seleb itu penting?” ketika mendadak saya ingat, setahun lalu kalau nggak salah, ketika SMS Artis sedang booming-booming-nya, saya termasuk salah satu yang ikutan latah mendaftarkan nomor ponsel untuk menerima update dari selebriti favorit saya. Biaya registrasi 2000 rupiah, dan setiap SMS yang dikirimkan si artis langsung dari HP-nya dikenakan biaya 1000 rupiah. Namanya juga nge-fans, nggak apalah, pikir saya.

2 hari kemudian, saya memutuskan untuk berhenti berlangganan. Kenapa? Karena SMS yang dikirimkan si artis langsung dari HP-nya itu amat sangat tak penting. Entah bagi orang lain, namun bagi saya, menerima pesan macam, “Hai, apa kabar? Hari ini aku latihan di …” sungguh membosankan. Bahkan sepupu saya yang masih berumur 10 tahun bisa mengirim SMS yang jauh lebih menarik.

Selang beberapa waktu kemudian, saya jatuh ke lubang yang sama mengulangi hal yang serupa, bedanya, kali ini bukan artis, melainkan seorang pakar hipnotis tampan yang selalu berbaju ketat. Tidak sampai seminggu, saya berhenti berlangganan karena jenuh. Sejak itu, saya beranggapan mengikuti update selebriti adalah salah satu hal paling nggak penting di dunia. Bukannya nggak boleh (karena saya pun masih mengikuti beberapa figur publik di Twitter), tapi jelas bukan prioritas. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan; menulis balasan untuk komentator nyinyir yang nyampah seenak jidat di blog saya, misalnya. Atau bermalas-malasan di ranjang dari siang sampai sore. Sebuah kegiatan yang menurut sebagian orang sangat tidak produktif dan tidak penting.

Pesan moral sejauh ini? ‘Penting nggak penting’ bagi setiap orang memang berbeda-beda. Dan ‘penting nggak penting’ menurut persepsi seseorang pun sangat mungkin berubah dari waktu ke waktu.

Contoh kasus: ketika saya membuat blog ini pada tahun 2006, dengan niatnya saya mendaftarkan diri ke banyak milis demi memperkenalkan tulisan saya ke publik. Caranya: saya mempublikasikan beberapa paragraf, memotongnya tepat di bagian ‘yang lagi seru-serunya’, kemudian mencantumkan alamat blog ini persis di bawah paragraf yang bersangkutan. Dengan begitu, anggota milis yang tertarik membaca kelanjutannya akan berkunjung ke blog ini, dan nantinya mereka bisa membaca tulisan-tulisan saya yang lain.

Sepenting itulah makna ‘dibaca orang’ bagi saya, dulu. Sekarang? Masih penting memang, bedanya, kini saya harus menahan diri untuk tidak memaki balik orang yang nyampah seenak jidat, mencela balik mereka yang beranggapan ‘segala-sesuatu-yang-diposting-di-internet-adalah-milik-publik-jadi-mari-kita-ngoceh-sesukanya’, atau merespon ketus “Apa-apaan sih lo?” kepada mereka yang dengan setia menerapkan prinsip SKSDSTSA (Sok Kenal Sok Deket Sok Tau Sok Asik) dalam pergaulan di dunia maya.

Nyampah seenak jidat, berkomentar seenak udel, dan bersikap SKSDSTSA bisa jadi sesuatu yang penting bagi orang yang bersangkutan. Saya tidak tahu alasannya. Saya tidak perlu tahu. Yang saya tahu hanya, adalah sesuatu yang JUGA penting bagi saya untuk tidak disampahi, di-judge seenak udel, atau diperlakukan seolah-olah kawan akrab yang bisa dicandai apa saja oleh orang yang tidak saya kenal. Menemukan apa yang diharapkan dan menumpahkan unek-unek mungkin penting bagi mereka yang membaca tulisan saya, namun JUGA penting bagi saya untuk menulis apa pun yang saya inginkan dan saya anggap penting.

Beberapa minggu lalu, saya terbengong-bengong membaca pesan offline di Yahoo Messenger yang berisi omelan; mengatakan saya judes, angkuh, dan sebagainya. Saya memutar otak, mencoba mencari rekaman peristiwa yang berhubungan dengan kejadian itu, dan tidak menemukannya. Satu-satunya yang saya ingat hanya, beberapa hari sebelumnya, si pengirim pesan menanyakan sesuatu tentang buku dan saya menjawabnya. Cuma itu. Apa yang salah?

Ternyata, ia kecewa ketika saya sign-out setelah menjawab pertanyaannya. Dengan segera ia menduga saya sombong dan judes karena tidak bersedia bercakap-cakap lebih lama. Mendengar alasan itu, saya hanya tertawa. Saya bukan penggemar chatting, bahkan dengan kawan-kawan dekat pun saya termasuk jarang ngobrol berlama-lama di dunia maya. Menjalin pertemanan melalui chatting barangkali penting untuk si pengirim pesan, namun JUGA penting bagi saya untuk melakukan apa yang saya mampu sebisanya tanpa melanggar batasan pribadi saya. Dan SANGAT penting bagi saya untuk tidak diomeli dan dijuluki macam-macam sebutan hanya karena saya keluar dari ranah maya SETELAH menjawab pertanyaannya.

Contoh kasus lain: seorang teman sering bertanya, “Lo butuh waktu berapa lama?” sebelum sesi curhat dimulai dan selalu minta di-SMS terlebih dahulu sebelum ditelepon. Awalnya, saya merasa aneh, risih, dan berpikir, “Malesin bener sih nih orang, sok penting banget. Nggak usah aja sekalian.” Lantas, saya tersadar. Sama seperti saya yang punya batasan pribadi dalam banyak aspek hidup (termasuk berelasi dengan orang lain), ia pun memiliki batasan-batasannya sendiri. Apa yang tidak penting menurut saya, bisa jadi penting baginya. Apa yang terdengar malesin bagi saya, bisa jadi merupakan sesuatu yang prinsipil bagi orang yang bersangkutan. Dan ternyata memang demikian adanya.

Bertelanjang bulat ke Circle K bisa jadi sesuatu yang hina, nista dan super-tak-penting bagi sebagian orang, tapi juga bisa dianggap sebagai tindakan heroik, keren, dan berani bagi sebagian yang lain. Dan ya, saya menganggap online berjam-jam untuk memantau perkembangan aksi nekat Bapak ini sebagai sesuatu yang PENTING. Penting buat saya, dan tak harus penting bagi orang lain.

;-)

‘Penting nggak penting’ memang sangat relatif, karena tidak ada dua orang yang sama persis di dunia ini. Saya bukan pakar dalam hal ini, tapi saya percaya salah satu kunci untuk berelasi dengan waras di dunia yang sakit jiwa ini adalah dengan menyadari APA yang penting bagi kita, dan menyadari bahwa apa yang tidak penting bagi kita BISA JADI penting bagi orang lain. Saya tidak bicara tentang tenggang rasa. Saya tidak bicara tentang saling menghormati. Kedua konsep itu sudah terlalu sering kita ucapkan dan telan bulat-bulat tanpa sungguh-sungguh memahami maknanya.

Untuk saat ini, sadar dulu aja, Cong. Saya juga masih belajar, kok.

-----

Thursday, September 24, 2009

13

Tigabelas bulan sudah
Dan saya masih bermimpi tentang kamu

Saya masih mendengarkan apa yang kamu katakan
Saya masih melakukan apa yang kamu pinta
Saya masih mengiyakan setiap ucapmu
Dan hati ini masih punyamu

Kamu tahu,
Berapa lama saya bertanya kapan mimpi ini berakhir
Dan tidur saya akan benar-benar nyenyak?

Kamu tahu,
Betapa ingin saya menjalani operasi bedah otak
Hanya untuk menghapus segala kenangan tentangmu?

Tigabelas bulan sudah
Dan saya masih bermimpi tentang kamu

Mungkin kamu memang bukan untuk dilupakan
Mungkin kamu memang bukan untuk dihapuskan
Mungkin kamu memang bukan untuk ditiadakan
Mungkin memang jatahmu untuk terus ada di sini

Kamu tahu,
Saya telah belajar berdamai
Dan kamu boleh selamanya ada di hati

Kamu tahu,
Saya telah berhenti bergumul
Dan kamu boleh terus menyelinap ke mimpi-mimpi saya

:

Tigabelas duapuluhtiga tigapuluhtiga
Tinggallah selama kamu mau.

-----

Tuesday, July 7, 2009

Ayah Terkeren Sejagat

Ayah saya, sebagaimana begitu banyak warga keturunan lain di negara ini, punya stereotipe tersendiri terhadap mereka yang ‘berbeda’ dengan kami. Beliau tentu memiliki alasan khusus, dan saya tidak menyalahkannya –atau siapapun— atas hal tersebut.

Sebagai anak tertua di keluarga, dan sebagai anggota dari keluarga besar, kami tumbuh besar dengan meyakini bahwa pasangan hidup kami nantinya haruslah orang-orang yang memiliki garis keturunan sama dengan kami. Bermata sipit dan berkulit kuning langsat. Lebih bagus lagi kalau punya nama Cina dan bisa berbahasa Mandarin. Meski ketentuan ini tidak tercantum di buku panduan mencari jodoh, pasangan sejenis (sukunya ya, bukan jenis kelaminnya) adalah sesuatu yang sudah terpatri di benak kami begitu kami menginjak usia yang cukup untuk paham arti kata ‘pacaran’.

Ada peraturan tak tertulis di keluarga kami bahwa setiap anggota keluarga yang sudah memiliki pasangan (baik berstatus pacar maupun calon suami/istri) harus membawa orang tersebut ke acara yang dihadiri seluruh keluarga besar (misalnya ketika Imlek, malam Tahun Baru, atau sesuatu sesederhana perayaan ulang tahun) untuk dikenalkan kepada semua anggota keluarga. Kesamaan suku tentu saja menjadi prioritas nomor satu, dan seingat saya, belum pernah ada satu pun sepupu saya yang cukup nekat membawa seseorang yang tidak sipit dan tidak berkulit kuning langsat.

Saya tidak tahu kenapa bisa begitu, tapi seingat saya, jangankan membawa ke acara keluarga, belum pernah ada anggota keluarga besar saya yang cukup nekat menjalin hubungan dengan orang yang berbeda suku. Pola screening itu sepertinya sudah mendarah daging dan dilakukan secara otomatis kepada siapa pun yang mendekati salah satu dari antara kami. Bahkan agama menempati urutan kesekian. Yang penting satu suku.

Ayah saya, sebagaimana begitu banyak warga keturunan lain di negeri ini, punya catatan yang kelam dengan mereka yang disebut pribumi, tanpa bermaksud menyudutkan pihak manapun. Meski ia jarang membicarakannya, saya tahu luka itu ada. Meski ia tidak pernah melarang saya berhubungan dengan teman-teman non-cina saya, saya tahu ia berdoa agar kelak saya mendapatkan pasangan yang sama dengan kami. Bukan sekali-dua ia menyiratkannya. Ia hanya terlalu lembut hati untuk menyampaikannya kepada saya dengan tegas dan blak-blakan. Maka, percakapan tentang pasangan hidup pun menjadi topik yang hampir tak pernah disinggung. Kami amat jarang membicarakannya.

Saya ingat, kali terakhir kami membahas topik yang satu itu adalah sekitar dua tahun lalu, di Minggu pagi saat ia mengantarkan saya ke gereja. Saya lupa bagaimana topik itu bisa tersangkut dalam percakapan ringan kami, yang saya ingat adalah ekspresi dan nada suara Ayah yang datar saat ia berucap pelan, “Kalau bisa, dapatnya yang Cina, lah…”.

Saya tahu, beliau ingin menyampaikan lebih dari sekadar ‘kalau bisa’. Saya sudah terlalu mengenalnya. Lelaki yang saya cintai itu tak pernah terang-terangan mengungkapkan keinginannya kepada anak-anaknya. ‘Kalau bisa’ sudah berbicara lebih banyak kepada saya dari yang mampu diutarakannya.

Setengah tahun belakangan, topik yang dulu jarang saya indahkan itu mulai sering singgah di pikiran. Tidak jarang saya bertanya-tanya sendiri, benarkah ini yang saya inginkan? Untuk kelak berpasangan dengan seseorang yang bermata sipit dan berkulit kuning langsat? Untuk menjalani hidup seperti yang telah digariskan untuk saya – bukan oleh takdir, namun oleh tradisi yang sudah mengakar turun-temurun? Apakah saya akan benar-benar bahagia hidup dalam kotak tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran tak henti-hentinya. Seorang sahabat berkomentar bahwa tak selamanya saya perlu hidup untuk memenuhi keinginan orang lain. Saya hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Kamu enak bisa bilang begitu, batin saya, kamu bukan orang Cina, dan keluargamu tidak akan menjadikanmu bulan-bulanan hanya karena menggandeng seseorang yang garis matanya berbeda denganmu ke acara keluarga.

Saya hanya ingin hidup damai. Tapi toh saya tidak tahu, sampai kapan saya mampu bertahan menjaga kedamaian itu.

Dua tahun berlalu tanpa percakapan itu pernah disinggung lagi.

Beberapa hari lalu, seorang kawan menanyakan apakah saya bersedia diwawancarai untuk melengkapi materi risetnya. Ia seorang penulis skenario, dan tokoh utama dalam calon film terbarunya adalah peranakan Cina. Saya menyanggupi. Wawancara itu berlangsung ringan dan santai, namun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan membuat saya menilik kembali dan mengkaji ulang, apa saja nilai yang saya terima sebagai seorang warga keturunan yang dibesarkan di Bumi Pertiwi. Termasuk dalam hal berelasi dan menentukan pasangan hidup.

Semakin saya menjawab pertanyaan yang diajukan, semakin sering pula saya bertanya kepada diri sendiri, inikah yang kamu inginkan, Jen?

Saya bahkan tidak berani menjawabnya.

Setelah percakapan itu berakhir, saya termenung sendiri. Mendadak, pikiran saya dipenuhi begitu banyak hal yang simpang siur.

Merasa bukan waktunya menjejali otak dengan hal-hal rumit, saya memutuskan untuk mandi. Tepat sebelum saya meraih kotak berisi peralatan mandi, ponsel saya berdering untuk kedua kali.

Lelaki yang harumnya selalu saya rindukan itu menelepon.

“Sedang kangen Mama kamu,” katanya. Saya tersenyum dan memutuskan, mandi bisa menunggu.

Sejurus kemudian, meski telinga saya mendengarkan dan mulut saya mengobrol, saya sadar, otak saya tidak berhenti memproses percakapan terdahulu saya.

“Papa keberatan nggak, kalau saya nikah dengan yang bukan Chinese?”

Sama seperti begitu banyak pertanyaan-nggak-pakai-mikir lainnya, kalimat tersebut terlontar begitu saja.

“Ya nggak apa-apa, memang kenapa?” Beliau menjawab enteng.

Heh?

“Serius?” Saya bertanya dengan takjub campur kaget.

“Iya. Kamu mau nikah sama siapa aja, nggak apa-apa. Hidup, hidup kamu. Kamu bebas…” jawabnya, masih dengan nada ringan yang sama, seolah percakapan dua tahun silam tidak pernah ada.

Saya mencoba mencari ketidakrelaan di balik kalimat-kalimatnya, namun tidak berhasil menemukannya. Saya mencari lagi. Mungkin ada sebaris kecewa yang berusaha ia tutupi. Nihil.

Chinese atau bukan, nggak masalah. Yang penting, kamu harus ingat, laki-laki itu harus sayang sama kamu, perhatian, dan bukan anak Mami,” lanjutnya.

Saya mendengarkan dengan mulut terbuka, sementara benak saya tak henti-hentinya mencoba merangkum apa saja yang telah terjadi selama dua tahun ini. Apa yang membuatnya berubah pikiran? Apa yang membuatnya begitu mudah membebaskan saya untuk menempuh jalan hidup yang saya pilih sendiri?

“Itu hak kamu, siapa pun yang kamu pilih. Kamu bebas…” tuturnya lagi, menyiramkan air sejuk pada hati saya.

Setelah percakapan berakhir, saya menutup telepon dan membatalkan niat saya melangkah ke kamar mandi. Saya duduk di tempat tidur sambil menimang ponsel, dan perlahan, mata saya membasah.

Saya pikir, sebaris “I love you” dan “Take care” yang kami pertukarkan hampir setiap hari adalah hadiah paling berharga yang bisa kami berikan kepada satu sama lain. Saya salah. Ternyata beliau masih punya hadiah berharga lain.

Saya tak tahu apakah Ayah menyadarinya, namun malam itu, tidak hanya dilepaskannya seonggok beban dari pundak saya, ia juga memberi saya sepasang sayap.

Terima kasih Tuhan, untuk Ayah terkeren di dunia. I am so lucky.

-----

Sunday, June 28, 2009

Dicari: Pendengar yang Baik

Tinggal beramai-ramai di kos-kosan selalu memberi kejutan dan tantangan tersendiri untuk saya, sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di rumah yang berisi delapan kamar ini – setahun yang lalu. Saya belajar, meski menyenangkan dan seperti memiliki keluarga baru, tinggal bersama di bawah satu atap bukanlah hal yang mudah. Seringkali dibutuhkan usus yang panjang, berton-ton toleransi, bergalon-galon kesabaran, dan banyak lagi.

Saya yang menyukai keheningan, misalnya, harus rela jika suatu pagi terbangun dengan kaget karena suara keras tetangga sebelah, atau bunyi air dari keran yang diputar sampai pol. Saya yang membutuhkan suasana tenang untuk bekerja kadang harus merelakan pekerjaan saya tertunda akibat suara-suara berisik yang tidak bisa ditolerir telinga dan otak. Saya yang terbiasa mandi tanpa menggunakan alas kaki terpaksa ikut bersandal-jepit ria ketika mengetahui teman-teman saya menggunakan sandal di kamar mandi (nggak apa-apa juga kalau saya ingin tetap bertelanjang kaki, tapi kan jijik membayangkan lantainya?). Saya juga belajar membiasakan diri ketika tubuh yang sedang sakit tidak bisa mendapatkan istirahat secara optimal karena teman-teman serumah sibuk dengan aktivitas dan obrolan masing-masing.

Itu hal-hal sederhana yang membutuhkan adaptasi secara personal. Ada pula hal-hal lain yang meminta perhatian lebih, di luar yang biasa terjadi setiap hari. Salah satunya jika ada kawan yang sedang bermasalah dan butuh teman curhat. Tidak jarang, kegiatan sesederhana berjalan kaki ke warung menjadi ajang bagi-rasa yang memerlukan kesiapan telinga dan hati. Waktu istirahat di malam hari pun bisa menjelma menjadi ajang curhat massal. Memang tidak selalu hal seperti ini terjadi, banyak juga malam-malam ceria nan hedon dimana kami berfoya-foya menghamburkan tawa, lelucon dan cerita-cerita konyol, terpingkal-pingkal sampai sakit perut, atau sekadar menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama. Namun, ketika sesuatu yang serius terjadi pada salah satu di antara kami, diperlukan perhatian dan ‘penanganan’ yang lebih dari sekadar bercanda, tertawa, dan berkumpul. Di sinilah saya banyak belajar.

Sungguh, tidak mudah menjadi pendengar yang baik. Di awal perintisan karir untuk menjadi pendengar profesional *halah*, saya menemukan begitu banyak kendala. Mulai dari menahan lidah untuk tidak berkomentar, menunda opini, menjaga perhatian tetap tertuju pada lawan bicara (apalagi jika kisah yang sama sudah diulang puluhan kali), menyediakan diri untuk ‘hadir’ sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan (karena keberadaan tak selalu sama dengan kehadiran – kita bisa bersama seseorang tanpa sepenuhnya hadir, dan sebaliknya, kita bisa hadir baginya tanpa perlu bersamanya), sampai mendengarkan tanpa merumuskan penilaian apa pun.

Awalnya, saya pikir saya bisa menjalaninya dengan mudah. Mendengarkan orang lain adalah salah satu keahlian saya sejak jaman baheula; saya sudah terbiasa menghadapi orang yang ujug-ujug datang untuk curhat. Mulai dari sahabat, saudara, kerabat, orang tua, orang asing, kawan baru, sampai asisten rumah tangga teman saya.

Mendengarkan memang bukan sesuatu yang sulit. Namun mendengarkan tanpa menilai –sekadar hadir sepenuhnya bagi orang yang bersangkutan— yang menjadi salah satu kriteria dari Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.

Setelah beberapa kali mencoba mengaplikasikan Nonviolent Communication dalam kehidupan sehari-hari, saya menyadari sesuatu: kemampuan saya mendengarkan selama ini nyaris tidak ada gunanya. Cara saya menyampaikan perasaan dan kebutuhan pun masih terseret-seret, padahal saya menyangka telah cukup gape dalam bercuap-cuap karena terbiasa menangani klien. Saya mengira dapat menjadi pendengar dan komunikator yang baik dengan ‘jam terbang’ yang tinggi, namun nyatanya, cara saya berkomunikasi tetap butut. Berkomunikasi tanpa kekerasan itu nggak gampang, Jendral.

Sudah beberapa bulan saya mencoba mempraktekkan jenis komunikasi ini (mendengarkan dan menyampaikan isi hati tanpa kekerasan), dan kemampuan saya masih setara dengan anak balita yang sedang belajar jalan. Tertatih-tatih dan berulang kali terjerembab. Di awal masa belajar, saya bahkan sempat menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil dan ngomel-ngomel berat kepada seorang sahabat yang pertama kali memperkenalkan pola komunikasi ini. Satu-satunya hal yang membuat saya bertahan adalah karena saya tersentuh oleh tindakan sahabat saya yang kerap bertanya, “Ingin didengarkan saja, atau ingin diberi saran?” ketika saya menghubunginya untuk curhat.

Buat saya, itu keren. Sumpah.

Dialah orang pertama yang menanyakan hal seperti itu sepanjang sejarah percurhatan saya. Dia menyediakan telinganya untuk saya sampahi, dan pada saat yang sama memberikan saya ruang untuk memilih; apakah saya ingin mendengar opininya atau tidak. Saya selalu takjub dengan kemampuannya untuk tetap menjadi netral setelah sesi curhat panjang nan membosankan dengan masalah yang berkali-kali saya ulang seperti kaset rusak. Dia tidak ikut-ikutan marah dan menyumpahi orang yang saya kutuki, tidak terburu-buru mengungkapkan pendapat, dan tidak pernah menjatuhkan penilaian –apalagi penghakiman— atas kelebihan stok airmata yang dengan semena-mena saya tumpahkan kepadanya.

Hal-hal tersebut membuat saya bertahan. Bukan karena saya ingin mengikuti jejaknya, melainkan karena saya telah merasakan manfaat dari Komunikasi Tanpa Kekerasan. Saya tahu rasanya tidak didengarkan, karena itu, kini saya ingin mendengarkan. Saya ingin mendengarkan, karena saya telah didengarkan. Sesederhana itu.

Bukan sekali-dua saya mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam sesi curhat-ke-teman-dekat. Setelah berkali-kali menceritakan isi hati kepada beberapa orang yang cukup karib, saya mendapati, sebagai komunikator, ada kalanya saya hanya ingin didengar. Mungkin ini terdengar tidak adil bagi orang yang saya curhati karena terkesan ‘egois’, ‘ingin nyampah doang’, ‘nggak mau diberi input balik’, dan sebagainya. Seandainya saja saya bisa bilang kepada semua orang yang pernah menjadi tong sampah saya: saya senang dengan saran, masukan dan komentar kalian. Seandainya saya bisa berkata seperti itu. Kenyataannya, tidak. Bahkan, berkali-kali setelah mendengarkan masukan dan saran dari orang yang saya curhati, saya merasa menyesal sudah bercerita. Bukan karena saya tidak suka dengan isi sarannya, namun karena bukan itu yang saya butuhkan.

Saya menghargai setiap masukan, saran, komentar, koreksi, dan apa pun yang diberikan orang kepada saya, dan saya berterimakasih atas perhatian dan waktu yang mereka luangkan, namun ada kalanya saya hanya butuh didengarkan. Ada kalanya saya tidak butuh opini atau solusi. Saya hanya memerlukan telinga yang bisa menampung unek-unek saya, dan barangkali, bahu untuk ditangisi.

Itu sebabnya, kini saya sangat membatasi diri untuk mencurahkan isi hati kepada orang lain. Sangat sedikit orang yang saya percayai untuk menampung sampah-sampah batin saya. Bukan karena saya tidak menghargai predikat ‘saudara’, ‘sahabat’, atau ‘kawan baik’ di belakang nama begitu banyak orang yang cukup akrab dengan saya, melainkan karena saya membutuhkan orang yang bisa mendengarkan.

Jika saya memerlukan saran, saya akan mendatangi orang yang bisa dimintai saran. Jika saya memerlukan pendapat, saya akan menemui orang yang kompeten untuk memberi pendapat. Tapi hanya orang-orang tertentu yang saya percayai untuk mendengarkan. Seringkali, mereka tidak memiliki petuah berharga atau wejangan bijak untuk disampaikan, namun telinga dan hati mereka telah menolong saya menemukan jawaban dan solusi jauh melampaui yang dapat diutarakan bahasa. Kepada merekalah saya berhutang begitu banyak terima kasih.

:-)

Saya percaya, kita terlahir di dunia sebagai bayi yang tidak mengenal baik-buruk benar-salah. Pengkondisianlah yang memperkenalkan kepada kita apa itu hitam, apa itu putih. Apa itu baik, apa itu buruk. Dalam proses pendewasaan, kita diajar bahwa mengekspresikan perasaan dan kebutuhan seutuhnya bukanlah sesuatu yang baik. Beberapa dari kita bahkan telah begitu terbiasa menekan perasaan dan mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Tanpa disadari, perasaan dan kebutuhan yang tidak pernah diijinkan berekspresi itu menjelma menjadi penilaian dan penghakiman yang kita jatuhkan pada orang lain – entah melalui tutur kata, tindakan, maupun pemikiran.

Penilaian dan penghakiman tersebut akan memancing reaksi serupa dari orang-orang yang menerimanya dan memulai siklus yang terus berulang dalam hidup kita. Lingkaran setan yang tidak pernah ada ujungnya. Kita terus berputar di dalamnya, menjalani siklus yang sama sepanjang hayat, dan menyangka telah turut berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Kita mengira, dengan menempatkan perasaan dan kebutuhan di urutan kesekian, kita telah memberikan sumbangsih untuk terciptanya kerukunan dan persatuan.

Bagi saya, perdamaian dunia tidak ditandai dengan berakhirnya peperangan. Perdamaian dunia tidak diawali dengan gencatan senjata dari kubu-kubu yang bertikai. Perdamaian dunia dapat dimulai dari diri kita sendiri, dengan menghentikan siklus kekerasan yang selama ini memerangkap kita dan begitu banyak orang yang terhubung dengan kita. Cara menghentikan siklus itu adalah dengan jujur kepada perasaan dan kebutuhan yang kita miliki. Cara memutuskan lingkaran setan itu adalah dengan berhenti menjatuhkan penilaian dan mulai berdiam diri. Sekadar bernafas dan memperhatikan bisa jadi hadiah paling berharga yang bisa kita berikan bagi seseorang. Sekadar hadir dan mendengarkan bisa menjadi sumbangan terbesar kita untuk terciptanya kerukunan dan persatuan yang bukan cuma slogan. Pertanyaannya, bersediakah kita?

Mungkin kedengarannya berlebihan, namun saat ini, rasanya saya akan lebih memilih duduk bersama orang-orang sederhana yang bersedia menyediakan hati dan telinga untuk semata hadir dan mendengarkan, daripada mereka yang kemampuan berpikirnya menyaingi kecepatan cahaya, sanggup merangkai sejuta makna dan merangkumnya dalam kalimat-kalimat bijak, serta sigap memberi berbagai petuah dan masukan tanpa diminta.

Kita sudah kelebihan stok orang pintar dan orang bijaksana. Kita butuh lebih banyak pendengar yang baik.


*Informasi selengkapnya mengenai Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan) dapat disimak di sini.

**Gambar dipinjam dari gettyimages.com, dengan pemotongan seperlunya.
:-)

Tuesday, June 2, 2009

..--_--..

Lelah..

Kata itu terpampang di status Facebook seorang kenalan, beberapa detik setelah halaman ‘Beranda’ saya terbuka.

Hanya satu kata.

Saya termangu. Lama.



Saya juga.



Lelah menyimpan tanpa bisa mengutarakan.

Lelah menahan tanpa bisa mengungkapkan.

Lelah memendam tanpa bisa menyampaikan.



s a y a

i n g i n

s e k a l i

s a j a



mendapat kesempatan
untuk bilang



saya sayang kamu



Dan mereka bilang, mencintai itu enak.

Kentut.


-----

Friday, May 8, 2009

Persatuan dan Kesatuan di Negara Republik Indonesia

Rabu malam, pukul setengah sebelas.

Saya merapatkan tangan di depan dada, melindungi diri dari hawa dingin yang menusuk. Hujan baru saja reda, dan celana jeans saya yang terciprat air belum kering. Saya duduk dengan hati-hati di atas motor yang terus melaju, berjaga-jaga agar tidak ada genangan air yang luput dari pandangan. Jeans saya baru dicuci. Saya tidak rela bercak-bercak kotor itu bertambah lebar.

Motor menikung dengan cepat. Sebentar lagi saya akan sampai di kos-kosan. Saya menyusun rencana di kepala, apa saja yang harus dilakukan setibanya di sarang yang nyaman. Mandi, berberes, menyalakan komputer, mengecek e-mail

Kerumunan orang di depan membuat saya menyipitkan mata, mencoba melihat dengan jelas di sela-sela hembusan angin. Di kiri-kanan jalan, orang-orang berdiri dalam kelompok-kelompok kecil. Tidak jauh dari situ, sepeda motor terparkir asal-asalan, dan aparat-aparat keamanan berseragam cokelat mengelilingi mereka.

Saya menghela nafas, sadar apa yang akan saya alami dalam hitungan detik. Saya mengumpat dalam hati karena tidak mengenakan helm. Razia versus Tidak Pakai Helm. Satu ditambah satu sama dengan dua.

Tukang ojek yang saya tumpangi (motornya ya, catet) mengurangi kecepatan sedikit. Sambil mengangguk sopan kepada polisi-polisi tersebut, ia menyerukan semacam salam bernada permisi. Santun dan cukup keras sehingga mereka semua bisa mendengar. Polisi-polisi itu memandang kami sekilas, kemudian membiarkan kami berlalu.

Beberapa meter di depan, kami kembali bertemu polisi. Si tukang ojek mengulangi hal yang sama. Tiga atau empat kali, sampai jalan yang kami lalui benar-benar bebas polisi.

Saya terbengong-bengong dengan jayanya mendapati kami meluncur mulus di jalanan becek itu, sementara di kiri-kanan banyak motor diparkir seenaknya karena para pemiliknya sedang berurusan dengan aparat.

“Kok kita nggak di-stop, Bang?” Seru saya.

“Apa, Neng?” Si tukang ojek berseru balik.

“Kok kita bisa lolos? Nggak ikut di-stop? Padahal saya nggak pakai helm?” Saya memberondong dengan penasaran.

“Kan saya pribumi,” si tukang ojek menjawab kalem.

Saya terdiam.

Rasanya seperti disengat. Pedih.

Kalau pengendara motor yang saya naiki bukan pribumi, apakah kami juga akan dihentikan, disuruh memarkir motor di pinggir jalan, diminta menunjukkan kartu identitas, lantas disuruh membayar sejumlah uang ditilang?

Kalau saya tidak menyembunyikan kepala di balik punggung si tukang ojek, apakah kami akan dihentikan karena wajah saya memperlihatkan sepasang mata yang sipit?

Kalau saja kami tidak berkendara pada pukul setengah sebelas malam, melainkan setengah sebelas siang, apakah kami akan dihentikan karena sinar matahari tidak bisa menyembunyikan warna kulit saya yang terang?

Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan yang bersifat homogen. Di rumah, di lingkungan sekitar, di sekolah, saya selalu bertemu orang-orang yang ‘sama’ seperti saya. Begitu pula ketika saya tumbuh dewasa, lulus dari bangku sekolah dan mulai bekerja. Atasan saya, rekan-rekan kerja saya, semua berasal dari suku yang sama dengan saya, dan saya hanya mengenal dua kata pengganti untuk memanggil mereka yang berusia lebih tua: Koko dan Cici.

Kerusuhan Mei 1998 adalah momen yang cukup besar dalam hidup saya, ketika untuk pertama kalinya saya dan keluarga mengalami dampak kebencian hebat yang sudah berakar di negeri tercinta yang semboyannya (konon) mengagung-agungkan persatuan dan kesatuan ini.

Usaha yang dikelola Oom dan Tante saya musnah dalam semalam karena toko mereka dibakar. Bengkel Oom saya yang lain nyaris diserbu massa; untungnya penduduk setempat berbaik hati melindungi mereka hingga kerusakan yang ditimbulkan tidak terlalu berat. Selama berbulan-bulan setelah peristiwa itu, saya tidak pernah keluar rumah tanpa mendapat sedikitnya satu ejekan bernada merendahkan. Pelecehan seksual yang diumbar secara verbal, panggilan-panggilan kasar, berbagai kalimat menyakitkan yang terus mengingatkan betapa bencinya mereka kepada kami –barangkali karena kami dianggap parasit dan tidak layak dibiarkan hidup tenteram— menjadi makanan sehari-hari yang harus ditelan mentah-mentah.

Selama berbulan-bulan, saya dan keluarga hidup dalam gelisah, cemas, dan takut. Saya, yang waktu itu duduk di bangku SMP, mendadak merasa dunia menjadi tempat yang tidak aman lagi. Dan saya tidak tahu harus berlindung kemana.

Rasa takut itu perlahan berubah menjadi kebencian. Rasa cemas itu menjelma menjadi kemarahan. Untungnya, tidak lama berselang saya menghadiri sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani berskala nasional yang mengusung tema persatuan. Di acara yang bertajuk ‘Jadikan Kami Satu’ itu hati saya kembali terbuka. Kebencian bukan jawaban bagi penderitaan umat manusia. Kemarahan tidak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi. Di sana, saya belajar memberi maaf.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai berjumpa dengan orang-orang yang ‘berbeda’ dengan saya, dan meskipun saya tidak terbiasa, saya belajar menerima dan menghargai mereka apa adanya. Lambat laun, saya bukan hanya mengenal orang-orang ini. Saya berteman dengan mereka. Saya bersahabat dengan mereka.

Orang tua saya mulai terbiasa bertemu dengan kawan-kawan saya yang berkulit lebih gelap. Keluarga saya mulai terbiasa melihat saya membawa (bahkan mengajak menginap) teman yang matanya tidak sesipit saya. Yang tidak mengenal berbagai istilah dalam bahasa Mandarin (saya sendiri tidak bisa berbahasa Mandarin, namun dalam percakapan sehari-hari ada beberapa istilah yang selalu kami gunakan). Yang tidak tahu kenapa orang yang sudah menikah memberikan angpau kepada kerabat yang masih lajang pada hari raya Imlek. Yang tidak paham tradisi, kebiasaan dan adat-istiadat yang dianut saya dan keluarga. Yang memanggil sepupu-sepupu saya yang lebih tua dengan kaku karena lidahnya tidak terbiasa menyebut ‘Koko’ dan ‘Cici’. Yang berbeda dengan kami.

Waktu terus bergulir, dan hidup membawa saya mengalir.

Saya mendapat pekerjaan baru. Kali ini, atasan saya tidak berasal dari suku yang sama dengan saya. Saya memperoleh teman-teman baru, dan mereka tidak sesipit saya. Saya berkenalan dengan orang-orang dari berbagai kalangan, dan mereka tidak bisa memakai istilah-istilah yang saya gunakan, sama seperti saya tidak memahami kata-kata yang mereka ucapkan dalam bahasa Sunda, Batak, Manado, dan sebagainya. Namun, semua itu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin hubungan baik. Saya tidak pernah menganggap perbedaan tersebut sebagai masalah besar. Saya bahkan bangga. Saya menganggap diri saya ‘kaya’.

Saya belajar memanggil atasan dan teman perempuan yang lebih tua dengan sebutan ‘Mbak’. Saya belajar memanggil kawan pria yang lebih tua dengan sebutan ‘Mas’. Kepada mereka yang bukan orang Jawa, saya memanggil dengan sebutan ‘Teteh’, ‘Kakak’, atau ‘Abang’. Saya bahkan pernah terpeleset menyebut teman saya ‘Mbak’ ketika saya seharusnya memanggilnya ‘Cici’. Saya sudah demikian terbiasa, hingga perbedaan itu rasanya nyaris tak pernah ada.

Sahabat-sahabat terbaik saya adalah pribumi. Ambon. Batak. Jawa. Sunda. Padang. Saya bangga berteman dengan mereka, meski warna kulit mereka tidak seterang kulit saya. Dan mereka mencintai saya apa adanya, meski mata saya tidak selebar mata mereka.

Di kos-kosan tempat saya tinggal, saya adalah satu-satunya penghuni yang bukan pribumi, dan hubungan saya dengan teman-teman sudah demikian akrab – tak ubahnya saudara ketemu gede. Jika beberapa hari saja saya tidak pulang, mereka akan mengirim SMS, menanyakan dimana saya berada dan kapan kembali. Merekalah yang berpesan “Hati-hati di jalan” setiap saya pamit untuk pergi. Merekalah yang membelikan makanan saat saya terkapar sakit. Mereka juga yang mendengarkan keluh-kesah saya dan selalu ada untuk saya, sebagaimana saya ada untuk mereka. Warna kulit kami berbeda, bahasa yang kami pakai berlainan, namun cinta itu sama. Karena cinta memang tidak pernah butuh alasan.

Saya pikir, saya telah melampaui semua batasan itu. Saya telah membangun jembatan di atas jurang perbedaan, dan saya telah menyeberanginya. Saya sampai dengan aman. Saya berhasil. Saya menang. Perbedaan tidak bisa mengalahkan saya. Dan di atas segalanya, persatuan ternyata memang ada. Butir ketiga Pancasila tidak berbohong.

Dugaan itu ternyata tidak sepenuhnya benar.

Kejadian sederhana di Rabu malam itu memberitahu saya dua hal: pertama, saya harus segera membeli helm. Secepatnya. Kedua, di suatu tempat di negeri ini, saya tetap diperlakukan tidak adil karena warna kulit saya berbeda. Dan di belahan lain negeri ini pula, ada orang-orang yang tidak diterima apa adanya karena mereka yang ‘sejenis’ dengan saya menolak mengakui persamaan derajat di antara kami.

Malam itu, saya sadar.

Kita memang belum merdeka. Kita bahkan belum bersatu. Kita hanya diikat menjadi satu dengan selembar kain separuh merah separuh putih dan status legal yang terdiri dari tiga kata: Warga Negara Indonesia.

Warna kulit –dan persepsi kerdil yang terpenjara dalam batok kepala ini— barangkali akan selamanya menjadi pembeda yang memisahkan kita.

-----

Gambar tentunya masih meminjam dari sxc.hu.

Saturday, May 2, 2009

Menulis Jujur (Belum) Tentu Mujur

Akhir pekan lalu, saya memutuskan untuk hengkang sejenak dari kos-kosan dan pulang ke rumah. Di sana, saya menyempatkan diri membongkar koleksi novel yang sudah lama tidak tersentuh. Ini salah satu kegiatan favorit saya setiap pulang ke rumah: membaca tumpukan novel yang tersimpan di kamar, karena saya terlalu malas membawa buku-buku tersebut ke kos-kosan.

Saya memilih sebuah novel dan membaca sambil leyeh-leyeh di tempat tidur. Belum sampai setengahnya, saya berhenti. Saya merasa ada yang ‘aneh’ dengan novel tersebut, dan perasaan itu cukup mengganjal. Tapi saya tidak tahu apa.

Sejurus kemudian, baru saya sadar. Novel itu memuat begitu banyak pesan dan nilai moral. Saking ‘padat’nya, tidak jarang dalam sebuah adegan diselipkan beberapa paragraf berisi petuah bijak yang tidak ada hubungannya dengan cerita. Si penulis juga menyisipkan konsep idealnya di sana-sini, yang meski terbungkus rapi dalam kemasan fiksi, tetap saja (bagi saya) terkesan dipaksakan. Sejujurnya, saya merasa digurui. Dan itu cukup mengganggu, meski akhirnya saya tetap menamatkannya.

Itu kasus pertama.

Kasus kedua, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah diskusi kecil-kecilan di Facebook yang membahas seorang penulis yang karya-karyanya pernah dijuluki ‘sastra selangkangan’ lantaran banyak memuat isu seks dan perempuan. Di forum mini tersebut, beberapa orang mengkritiknya dengan tajam. Salah satu pemicunya (barangkali) karena selain blak-blakan mengedepankan isu seputar ranjang dalam novelnya, penulis ini juga kerap tampil dengan minuman keras dalam acara-acara publik yang menggunakan jasanya.

Membaca kritik-kritik pedas itu, saya termenung. Lambat laun, saya merasa menemukan benang merah antara kedua peristiwa di atas dengan novel-novel saya yang tak kunjung selesai. FYI, beberapa hari sebelum menulis artikel ini, saya membongkar harddisk dan menemukan sepuluh draft (!). Sebagian sudah nganggur bertahun-tahun lamanya, sebagian sudah memiliki outline yang jelas dan lengkap, sebagian lagi sudah jadi, hanya membutuhkan revisi, dan tetap tidak selesai.

Berhari-hari saya merenung dan bertanya-tanya, sampai eneg sendiri. Akhirnya saya mendapati bahwa salah satu faktor yang menyebabkan saya tidak kunjung menyelesaikan novel saya adalah, karena setiap kali saya menulis, di kepala saya selalu muncul berbagai rambu yang mengingatkan saya akan banyaknya batasan yang harus ‘dipatuhi’ dan ‘tidak boleh dilanggar’ demi menciptakan suatu karya yang tidak hanya bermutu, namun juga mengandung pesan moral yang baik dan membangun bangsa. *Halah*

Setelah sekian tahun berkutat dengan draft yang tidak selesai, saya baru menyadari ada begitu banyak batasan yang menghalangi saya untuk menulis apa adanya, seutuh-utuhnya. Dan keterbatasan itu mendorong saya ke titik jenuh, bahkan sampai pada satu titik dimana saya berpikir untuk mengaborsi semua naskah fiksi saya dan memusatkan diri pada tulisan non-fiksi. Saya ‘mendengar’ begitu banyak suara di pikiran yang mengingatkan saya akan kewajiban dan tanggung jawab saya kepada pembaca. Ada semacam ‘kesadaran palsu’ yang akhirnya membuat saya lebih mendengarkan apa kata orang dan merasa khawatir berlebihan untuk ‘melanggar’ rambu-rambu tertentu yang berlaku di masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya membombardir otak saya seperti senapan mesin: kenapa juga saya harus merasa bertanggung jawab kepada pembaca? Apakah saya sanggup mengubah pemikiran orang dengan tulisan-tulisan saya? Kalaupun ya, berapa persen tingkat keberhasilannya? Kalaupun ya, apakah benar orang tersebut berubah karena tulisan saya thok, dan bukan karena faktor-faktor lain seperti –katakanlah— memang dia sedang ingin berubah, habis dinasehati oleh orangtua, dikompori teman, dan sebagainya. Kalaupun tidak, apakah saya harus merasa bersalah jika tulisan saya tidak memberi dampak positif bagi orang lain? Apakah saya harus merasa berdosa jika tulisan saya dianggap tidak bermanfaat? Apa itu baik? Apa itu buruk? Apa itu benar? Apa itu salah? Mengapa sastra selangkangan dianggap nista sedangkan tulisan berpetuah bijak dipuji-puji? (RETORIS, by the way. ^_^)

Dan mengapa saya begitu sulit merampungkan naskah fiksi, sementara saya telah menyelesaikan ratusan artikel di blog ini? Apakah perbedaannya hanya terletak di ‘ngeblog nggak perlu pakai plot’ atau ‘ngeblog nggak butuh banyak imajinasi’? Mungkin iya. Tapi, setelah saya meluangkan waktu untuk ‘mengamati ke dalam’, saya mendapati, yang membuat saya bertahan dengan rumah maya ini dan bisa terus menulis adalah, karena di blog saya mampu jujur kepada diri sendiri.

Di blog, saya bisa menuangkan apa saja yang saya mau. Saya bisa nyolot sepuas hati dan tinggal melirik kepada orang yang mencela sambil bilang, “Blog, blog gue.” Saya menulis untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Karenanya, saya tidak terlalu peduli pada mereka yang tidak menyukai tulisan saya, pun tidak terlalu ambil pusing ketika ada yang mengecam tulisan saya ‘sesat’ lantaran saya menceritakan berbagai pengalaman spiritual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut agama tertentu. Karena, sekali lagi, blog, blog gue. ;-)

Beberapa bulan lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat via telepon. Ia sempat melontarkan pertanyaan yang membuat saya merenung.

“Apa lo mau seterusnya nulis tentang meditasi kayak gini?”

Waktu itu, bulan Maret tepatnya, saya mendedikasikan lima entri untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya selama mengikuti retreat di Bali. Selama sebulan penuh, isi blog saya berkisar di topik meditasi, pengalaman spiritual, dan insight yang saya dapatkan dalam retreat.

Saya tertawa, “Nggak, lah. Ini lagi special edition aja. Blog gue bukan tentang meditasi..."

Saya terdiam sejenak. Apa yang sebenarnya ingin saya tulis di blog? Tidak sedikit yang berkomentar bahwa tulisan-tulisan saya menginspirasi. Tapi, apa memang itu tujuan utama saya? Untuk menginspirasi? Untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan? Untuk menanamkan nilai-nilai moral?

Jawaban saya berikutnya adalah, “Gue cuma nulis apa yang ingin gue tulis. Apa pun yang lagi nyangkut di pikiran dan hati. Nggak masalah apakah itu tentang pengalaman spiritual, meditasi, pemikiran, curhat, hal-hal remeh, bahkan kalau perlu, omelan-omelan gue.”

Dan saya ingat betul, kalimat terakhir yang saya ucapkan adalah, “Gue nulis bukan buat siapa-siapa, dan bukan untuk menginspirasi atau menanamkan nilai ke siapa pun. Gue nulis buat gue. Kalau ada yang merasa tulisan gue bermanfaat, syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa.”

Lantas, apa yang membedakan ngeblog jujur dengan menulis (fiksi) jujur? Kenapa saya bisa membongkar-bongkar isi perut di blog, sedangkan di buku tidak? Kenapa saya mampu curhat di blog, namun sukar menulis apa adanya di buku? Kenapa saya sanggup ngebacot sesukanya di blog, namun kesulitan untuk menuangkan kejujuran dalam manuskrip fiksi saya, padahal kedua-duanya punya akses tak terbatas untuk dibaca orang? Saya tidak bisa mengontrol siapa yang mengunjungi blog saya, sama seperti saya tidak bisa mengontrol siapa yang membaca buku saya. Tidak banyak bedanya, sungguh. Tapi… kenapa?

Pertanyaan ini kembali membuat saya pusing. Dan lagi-lagi butuh waktu yang tidak sedikit untuk ‘menyelam’ dan menemukan jawabannya.

Jawabannya ternyata sederhana saja: untuk mengakses blog saya, para pengunjung tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Untuk membeli buku saya, diperlukan puluhan ribu rupiah. Dan itu pula yang membuat saya begitu concern dengan draft-draft saya. Saya merasa bertanggungjawab kepada orang-orang yang (nantinya akan) mengeluarkan uang untuk membeli buku saya. Saya merasa berkewajiban untuk menulis sesuatu yang bermanfaat, agar setidaknya, ada nilai positif yang bisa dinikmati oleh pembaca. Syukur-syukur bisa membuat mereka punya kehidupan yang lebih baik. Blog? Hanya dibutuhkan lima ribu perak untuk mendapatkan akses internet berkecepatan tinggi di warnet. Itu pun sudah bonus Aqua gratis, dan bisa sambil buka Facebook, Friendster, Yahoo!, dan Google.

;-)

Perlahan-lahan, sebuah kesadaran baru muncul di benak saya. Selama ini, selama bertahun-tahun, saya telah bersikap tidak adil. Kepada diri saya sendiri. Kepada Jenny yang menanti-nanti untuk bisa bersuara dengan bebas. Kepada berbagai ide kreatif yang terus-menerus diaborsi dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjenguk dunia. Kepada dorongan hati yang begitu sering saya tekan setiap kali muncul ke permukaan.

Seseorang pernah berkata, “Sebuah pilihan akan menjadi benar apabila pilihan itu sesuai dengan isi hati dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”

Sebuah pernyataan yang barangkali sangat layak diaminkan dan dijadikan quote of the day. Tidak bagi saya. Saya memilih untuk berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena, pada kenyataannya, apa yang saya lakukan, apa yang saya pilih, apa yang saya putuskan, tidak pernah betul-betul bisa mengubah apa pun dalam hidup seseorang – entah itu mendatangkan manfaat, atau menghilangkan manfaat.

Jika ada enam juta orang di muka Bumi, maka ada enam juta ukuran kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya, juga ada enam juta ukuran keburukan dan kesengsaraan, yang menjadikan semuanya amat relatif, tergantung dari kondisi hati dan persepsi tiap-tiap orang.

Kita bisa bilang, “Saya bahagia karena dia melakukan ini untuk saya,” namun sesungguhnya kita tidak berbahagia karena perlakuan dari orang yang bersangkutan. Kita bisa mengatakan “Saya berubah karena dia,” namun sesungguhnya kita tidak pernah berubah karena orang lain. Dan kita bisa menempelkan label ‘baik-buruk-benar-salah’ pada ribuan hal di dunia, dan pada saat yang sama, tidak pernah ada yang betul-betul ‘baik’ atau ‘buruk’, ‘benar’ atau salah’. Semua hanya dibatasi oleh lapisan persepsi dan konsep ideal yang kita bawa.

Itu sebabnya, saya berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena saya tidak percaya bahwa pilihan yang benar HARUS mengandung azas-sosial-manfaat-bagi-banyak-orang. Mungkin kedengarannya egois, namun bagi saya, pilihan yang saya ambil menjadi benar karena itulah yang cocok untuk saya saat ini. Yang terbaik. Yang paling pas. Sejauh mana kecocokan tersebut, hanya saya yang tahu, sama halnya dengan enam juta orang lain di dunia – hanya diri mereka yang paling tahu. Bukan saya.

Kenapa saya harus berpikir bahwa apa yang saya tulis bermanfaat bagi pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang terbaik bagi mereka? Kenapa saya harus berpikir bahwa tulisan saya punya pengaruh signifikan atas hidup pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang bisa membuat mereka bahagia? Kenapa saya harus bertanggungjawab atas buah pikiran saya, sedangkan saya tidak pernah tahu isi pikiran pembaca?

Kejujuran kadang memiliki harga, dan harga itu tidak murah. But for once in my life, I want to be honest. To myself. Saya ingin bebas dari ‘kewajiban’ bertanggungjawab terhadap hasil persepsi orang lain, dan saya tidak ingin merasa bersalah hanya karena ‘gagal’ melunasi ‘tanggung jawab moral’ saya. Saya ingin merasa puas karena saya menulis apa yang saya inginkan. Menulis demi Jenny, bukan demi Anu, Inu, atau Uni.

Dan itulah yang terpenting buat saya, setidaknya untuk saat ini. Menulis bukan untuk siapa-siapa. Menulis untuk saya sendiri. Cuma itu.

Saya ingin memberi kesempatan pada Jenny Jusuf. Saya ingin membiarkannya bersuara. Saya ingin mengijinkannya menyampaikan apa pun yang ia mau katakan. Dalam wadah apa pun. Fiksi atau non-fiksi. Buku atau blog. Apa saja.

Saya, hanya ingin jujur.

------

Gambar dari sxc.hu.

Wednesday, February 4, 2009

Kids Forever

“MAU JADI KECIL!”

Itu jawaban yang diserukan putra kawan saya yang baru berumur empat tahun, ketika ditanya oleh ayah-ibunya, mau jadi apa kalau sudah besar nanti.

Lucu, iya. Polos, iya. Tapi, bagi saya, jawaban itu jauh lebih 'dalam' dari sekadar keluguan bocah balita.

Buktinya? Coba, ngacung, siapa yang umurnya sudah di atas seperempat abad, dan belum pernah sekaliii saja merasa ingin balik ke masa kanak-kanak lagi? Siapa yang pernah melihat anak kecil yang asyik bermain dan tertawa sepuasnya, dan tidak sedikit pun berkhayal enaknya jadi dia?

Kalau ada yang belum pernah merasa begitu, selamat, Anda orang paling berbahagia di dunia. Saya sendiri sudah berkali-kali menelan ludah, iri pada putra kawan saya yang baru empat tahun itu. Sering berkhayal, seandainya saya bisa mencicipi kehidupan seperti dia, sehari saja. Bisa bergoyang dangdut sambil gendangan tanpa takut dicela orang, bisa menari-nari gila sambil berloncatan sepuasnya (sekarang juga masih bisa, tapi harus di ruangan tertutup yang jauh dari keramaian ;-D), bisa menikmati hidup seutuh-utuhnya, lepas tanpa beban, tanpa keharusan memikirkan hari esok, bebas dari berbagai pengkondisian yang diciptakan lingkungan sekitar, dan sebagainya.

*By the way, tentang terbebas dari pengkondisian, memang harus diakui tidak semua anak bisa mendapatkan ‘kemewahan’ ini, karena beberapa anak kecil yang saya kenal malah sudah hidup dalam berbagai disiplin sejak usia satu tahun. Untungnya, kawan saya tipikal orang tua yang cukup tolerir; bisa mendidik anak, tapi tidak terlalu ribet menerapkan segala jenis aturan.*

Kebebasan adalah salah satu syarat kebahagiaan, itu kalimat yang saya dengar beberapa bulan lalu. Saya lupa persisnya, tapi intinya kira-kira begitu. Barangkali itu juga yang membuat saya sangat suka memandangi mata seorang bocah. Mata yang bahagia. Mata yang penuh kebebasan, meski lambat laun pengkondisian yang diberikan lingkungan sekitar dapat meredupkan binarnya. Begitu sukanya saya pada mata kanak-kanak, setiap kali melihat anak kecil yang matanya berbinar-binar, saya sering berbisik dalam hati, “Nggak usah cepat-cepat gede ya, Nak...”

:-)

Saya sering berkhayal, alangkah menyenangkan jika waktu bisa diputar kembali, sebentaaar saja, supaya saya bisa kembali menjadi kanak-kanak. Atau, alangkah enaknya jika seseorang bisa menjadi anak-anak selamanya. Seperti Peter Pan. Saya tidak butuh debu peri, dan saya tidak perlu kemampuan terbang atau bertarung dengan bajak laut. Jadi anak-anak selamanya saja sudah cukup.

Khayalan itu lantas membuat saya merunut ke belakang: kapan ya terakhir kali saya bertingkah seperti anak-anak? ‘Bertingkah’ di sini maksudnya bukan merengek-rengek manja, ngambekan, atau mewek jerit-jerit teu puguh lho, ya, melainkan bebas menjadi diri sendiri, apa adanya, murni, tanpa prasangka, serta menikmati kehidupan di saat ini sepenuhnya – tanpa separuh benak menggantung di masa lalu, sebagian di masa kini, dan sisanya di masa depan.

Kapan terakhir kali saya bersenang-senang dan bergembira layaknya seorang anak kecil? Mungkin belasan tahun yang lalu, atau duapuluh tahun yang lalu.

Seingat saya, sejak duduk di bangku SD, saya selalu bercita-cita ingin cepat besar. Memasuki usia belasan, saya ingin cepat-cepat merasakan berumur tujuhbelas dan punya KTP sendiri, serta menyandang predikat ‘dewasa’ (padahal faktanya, setelah betul-betul berumur tujuhbelas, kelakuan ya tetap sama aja). Lewat usia tujuhbelas, saya ingin cepat-cepat berulangtahun keduapuluh. Ingin tahu bagaimana rasanya ‘berkepala dua’, dan titel ‘puluh’ di belakang angka somehow memiliki arti yang sangat besar buat saya waktu itu. Semacam gerbang menuju kedewasaan, dimana saya akan resmi menjadi perempuan matang (telooor, kali) dan bukan lagi remaja tanggung nan culun. Lalu, saya ingin cepat-cepat bekerja, ingin tahu bagaimana rasanya mencari uang dan membiayai hidup sendiri.

Time flies. Sekarang, semua sudah tercapai. Saya sudah berusia seperempat abad, sudah bekerja, dan sudah bisa hidup mandiri (meskipun tentyunya tidak pernah menolak rezeki dari orang tua, kalau ada. Hehehe!). Segala yang pernah saya lamunkan sudah terpenuhi. Saya tidak pernah lagi berkhayal, “Ingin cepat-cepat jadi…”. Kepikiran aja nggak pernah. Saya menjalani hari demi hari apa adanya. Ikut bergulir bersama perputaran roda hidup, mengalir bersama waktu. Sampai saya tiba di detik ini.

Mendadak, saya sadar, saya sangat rindu menjadi kanak-kanak lagi. Kangen masa-masa ‘golden age’ itu. Reality bites. Sekian puluh tahun dijalani hanya untuk bermimpi kembali ke masa kecil; mengulang saat-saat bahagia dimana hidup penuh dengan tawa riang tanpa perlu banyak berpikir.

Saya ingat pernah melontarkan komentar nyelekit pada seorang kawan yang sangat suka bercanda, iseng, dan hobi joget-joget gila: “Grow up!”, karena sebal dengan kelakuannya yang menurut saya (waktu itu) nggak banget, padahal usianya sudah di atas tigapuluh. Sekarang, saya sendiri ingin kembali ke masa kecil. Ah, well... satu lagi pelajaran untuk tidak terlalu cepat menjatuhkan penilaian. ;-)

Saya rindu masa kanak-kanak saya. Saya bisa memahami perasaan Peter Pan – the boy who refuses to grow up. Bukan karena hidup terlalu berat untuk dijalani, karena saya pun mensyukuri kehidupan saya sekarang, apa adanya. Bukan karena malas menjalani tanggung jawab sebagai orang dewasa, karena saya pun mensyukuri usia yang semakin bertambah dan kepercayaan yang muncul daripadanya kecuali kalau sedang didonder supaya cepat dapat jodoh. Melainkan karena saya rindu masa-masa dimana dunia terlihat begitu cerah ceria dan menakjubkan, dan saya tidak perlu memikirkan apa pun tentang kemarin dan hari esok, karena ‘tugas’ saya hanya ‘hidup’.

:-)

Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan.

Kalimat ini pernah sangat populer beberapa tahun lalu, dan saya termasuk salah satu yang mengamininya. Tapi, sekarang saya berubah pikiran.

Meski terdengar konyol bagi beberapa orang, saya ingin menua tanpa perlu jadi dewasa. Saya tidak ingin memilih untuk jadi dewasa.

Saya ingin memiliki kesederhanaan anak kecil yang melihat dunia sebagai wahana bermain raksasa dan menikmati setiap detik di dalamnya sepenuh hati. Tanpa prasangka. Tanpa pretensi. Tanpa banyak berpikir. Tanpa penuh pertimbangan. Hanya mengetahui saat ini, hidup di masa kini, dan menyambut apa pun yang terjadi sebagaimana adanya; tanpa menyesali masa lalu atau mencemaskan masa depan...

...seperti putra kawan saya, yang wajahnya selalu bercahaya. Yang matanya selalu berbinar. Yang tawanya selalu lepas. Yang selalu ‘hidup’.

Ah, mendadak saya kangen dia.

Jangan cepat-cepat jadi dewasa ya, Nak...

-----

Saturday, January 31, 2009

Lepas

Ratusan malam kulewatkan sudah. Menyirami asa, mempertahankan harap. Demi kesempatan untuk kembali. Demi segala yang pernah kita bangun, karena seperti yang kutahu, kita sama-sama tahu, hati selalu merindu untuk bisa bersama lagi.

Cinta. Cuma itu alasan yang membuat asa dan harap betah bertahan, kendati jiwa sudah mau mati. Dalam sekarat pula aku bertanya, layakkah kita terdera? Layakkah aku merana sampai sesak? Dan tanpa mampu kuhindari, pertanyaan final itu tiba. Bagaimana jika.

Ratusan malam kulewatkan dalam sendiri. Mencoba menggali jawaban dan mengerti dengan sia-sia. Kini, aku tahu sudah. Perjalanan ini memang harus berakhir di sini.

Maaf atas semua yang tak pernah kuungkapkan, yang selalu ingin kuucapkan, yang tak tertampung ruang dan waktu. Maaf karena bukan saja tak bisa lagi bersamamu, aku juga akhirnya melepasmu.

Mereka bilang, hanya masalah waktu sampai kita kembali dipertemukan. Namun kita tak akan pernah tahu. Aku berhenti berharap, bukan karena tak lagi menginginkanmu. Kulepas dirimu, karena inilah waktunya. Kulepas dirimu, agar aku bisa tetap hidup. Agar mereka yang kusayang tak perlu ikut terdera.

Hari ini, kularung segala asa untuk bersamamu. Harapan yang tersimpan untuk memilikimu. Cinta yang memang tak pernah sama lagi. Kuhanyutkan mereka, kendati hati tak ingin kenangan akanmu terhapus.

Kenangan memang bukan jatahnya hati. Ia tersimpan dalam benak, dan akan selalu ada di sana. Begitu pula dirimu. Kau permata yang akan selalu tersimpan. Cahaya yang takkan pernah redup tuk kusyukuri. Namun hatiku telah kubiarkan bebas, dan aku tak ingin menjeratnya kembali.

Kendati sesak jiwa mencoba mempertahankanmu, kini aku mampu melepasmu. Menerima semua tanpa perlu mengerti.

Terima kasih untuk semua yang pernah ada. Terima kasih telah menjadi sahabat, guru, dan pembimbing terbaik yang pernah hadir. Terima kasih untuk cinta yang telah menghangatkan dan membuatku bergelora.

Kini, ijinkanku pergi tanpa harapan untuk kembali.

-----

Saturday, December 20, 2008

Jatah

Seorang sahabat belum lama ini menumpahkan kekecewaan mengenai boss-nya di kantor (dimana ia sudah bekerja selama empat tahun) yang menolak meminjaminya uang ketika ibunya sakit dan sangat membutuhkan dana pengobatan. Padahal, menurutnya, selama ini ia belum pernah sekali pun meminjam uang dari perusahaan. Sementara itu, atasan yang sama dengan murah hati memberikan pinjaman kepada rekan kerja sahabat saya untuk membeli mobil baru -yang jumlahnya sama sekali tidak sedikit- dan membebaskannya untuk mengembalikan kapan saja.

Sepanjang hari, sahabat saya cuma bisa menangis di cubicle-nya. Kecewa, jengkel, sedih, marah. Ketika ia bercerita, saya mendengarkan dalam diam. Bukan karena tidak mau berkomentar, tapi saya memilih berhati-hati dalam berucap supaya tidak menambah kekeruhan pikirannya.

Selama berhari-hari, saya berusaha menjadi pendengar yang baik, dan ternyata itu sama sekali tidak mudah. Berkali-kali saya ikut jengkel, sedih, bahkan sebal terhadap seorang atasan yang sama sekali tidak saya kenal, semata-mata karena saya bersimpati terhadap apa yang dialami sahabat saya. Sungguh tidak mudah duduk diam, memasang telinga, dan mendengarkan, tanpa membiarkan hati ini turut memberi penilaian, yang ujung-ujungnya ‘mengharuskan’ saya untuk berpihak. ‘Memilih’ salah satu: sahabat saya, atau sang atasan, yang sekali lagi, tidak saya kenal.

Setelah beberapa minggu, persoalan itu mereda, dan sahabat saya melunak. Tidak terlalu sering lagi meluapkan kekesalan, meski sekali-dua ia masih mengeluh, kerap merasa diperlakukan tidak adil. Saya pun menyadari satu hal: ketika ia mulai berhenti bercerita, hati saya ikut melunak. Iba yang saya rasakan ketika bertemu dengannya mulai memudar. Bukan karena saya tidak bersimpati lagi padanya, namun karena penilaian saya turut melambat seiring berkurangnya frekuensi curhat. Rasa kesal yang sering muncul setiap mendengar cerita-ceritanya juga luntur karena topik itu mulai jarang disebut-sebut lagi.

Dan saya berpikir, betapa tidak mudah menjadi pendengar yang baik –hanya mendengar, tanpa menilai— dan tidak terkontaminasi oleh berbagai persepsi dan pemikiran yang ribut simpang-siur di dalam benak. Betapa tidak mudah menempatkan hati pada posisi netral ketika kita berhadapan dengan situasi yang melibatkan orang-orang terdekat yang disayangi tanpa terpancing untuk ikut menilai dan menjatuhkan penghakiman.

Betapa tidak mudah menerima sebuah kasus sebagai kasus, sebuah situasi sebagai situasi, dan sebuah kondisi sebagai kondisi, apa adanya, tanpa terjebak untuk menjadikannya masalah dengan berbagai penilaian dan observasi yang secara otomatis dirancang oleh segumpal benda bernama otak ini.

Sungguh, sama sekali tidak mudah. Padahal, itu hanya sebatas perkara ‘meladeni-teman-curhat’, dimana kasus yang dicurhatkan sendiri sering kali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita sebagai teman atau pendengar. Boro-boro melibatkan kita, lha wong kenal dengan objek curhatnya aja nggak.

Itu baru satu.

Masih ada yang jauh lebih sulit, seperti menerima berbagai hal tidak enak yang terjadi dalam hidup apa adanya, sebagai ‘jatah’ yang memang harus kita jalani, tanpa berusaha keras mengubahnya. Melapangkan hati untuk menyambutnya dengan ikhlas, tatkala ia bertentangan dengan ekspektasi dan konsep ideal yang selama ini kita genggam erat.

Saya, termasuk yang masih sering (sekali) bergumul dengan hal satu ini. Saya sulit menerima keadaan yang berseberangan dengan ekspektasi, keinginan dan persepsi ideal saya. Saya tidak mudah menerima berbagai kejadian tidak enak (yang sebetulnya hanya sebuah kondisi, yang bertransformasi menjadi masalah karena saya tidak menyukainya) sebagai sesuatu yang ‘memang sudah jatah saya’, atau bahasa religiusnya: takdir.

Saya tidak mudah merangkul berbagai perasaan tidak nyaman yang berkecamuk tatkala situasi berubah pelik, dan acap kali saya berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut, atau menempuh jalan pintas dengan mengambil sikap cuek, semata-mata karena saya tidak ingin terganggu dengan kerikil-kerikil itu.

Persoalan selesai? Boro-boro.

Yang ada, batu-batu yang awalnya saya anggap kerikil kecil, berubah menjadi timbunan yang terus menggunduk dan membesar. Menjadi bukit, bahkan gunung masalah. Dan akhirnya, setelah babak belur berusaha menghancurkan gunung, saya menyerah, lalu mendesah, “Mungkin memang sudah jatah saya” – yang sering kali sudah terlambat. Bukan karena masalahnya tidak bisa lagi dibereskan, namun karena sudah terlalu banyak luka di tubuh saya sehingga perlu waktu dan energi yang tidak sedikit untuk memulihkannya.

Ikhlas. Betapa sering saya mendengarnya. Betapa sering saya mengira telah memahaminya. Betapa sering saya harus kembali ke titik nol dan mengangkat tangan. Melakukan gencatan senjata dan mengaku kalah. Pasrah. Bahwa saya memang tidak paham apa-apa. Bahwa semua pengetahuan yang tersembunyi di balik tempurung kepala ini tidak cukup untuk membuat saya menjadi manusia yang ikhlas.

Jatah. Betapa sering saya mendengarnya, membacanya, bahkan menuliskannya. Kenyataannya, ketika ia hadir tanpa bisa dielakkan, saya tetap kelimpungan dan bergulat untuk sekadar ‘lari’ darinya. Berusaha mati-matian mengubahnya, tanpa mau tahu bahwa seperti cuaca, ada hal-hal dalam hidup yang tercipta hanya untuk diterima dan dipetik pelajarannya. Bukan digeluti, bukan digumuli.

Lalu, untuk apa saya menuliskan ini? Buat apa saya ‘membuka isi perut’ di wadah yang bisa dibaca semua orang seperti ini?

Alasan pertama, karena menulis, bagi saya, adalah terapi. Dan mengungkapkan isi hati melalui tulisan adalah upaya saya untuk jujur terhadap diri sendiri – untuk mengenal diri dengan lebih mendalam.

Meski terkadang kejujuran bisa menyakitkan, saya percaya tidak ada yang lebih penting dari kejujuran. Seorang sahabat pernah berkata, ada hal-hal yang tidak dapat diingkari dalam hidup, namun kita selalu bisa memilih untuk jujur. Dan rasa sakit yang timbul dari kejujuran tidak akan lebih fatal dari luka yang disebabkan ketidakjujuran.

Alasan kedua, karena melalui tulisan ini, saya ingin berkata kepada seseorang –seandainya ia mampir ke sini dan menemukan entri ini— bahwa kini saya mengerti apa yang ia maksud dengan ‘jatah’. Kini saya paham. Dan kendati saya tetap ingin memelihara kejujuran dengan berkata terus terang bahwa ini bukan hal mudah, saya ingin dia tahu, saya bisa menerima.

Jatah, sebagai jatah. Sebuah momen dalam hidup yang hadir untuk diambil maknanya; bukan untuk disesali, bukan untuk dihindari.

Dan untuk itu, dari hati yang terdalam, saya berterimakasih.

:-)

Friday, November 28, 2008

kepada yang merasa media gosip se-tanah air

Ketika kau gebrak itu pintu mobil
Sambil berteriak-teriak tak karuan seperti menyerbu maling
Dengan kalimat yang membuat pekak telinga dan nyali ciut
Sadarkah kau berapa yang terduduk lemas di balik kaca itu?

Ketika kau ketok itu palu untuk menjatuhkan vonis atas hidup orang
Adakah benakmu berbisik, salahkah ini
Atau memang otakmu tak lagi punya ruang untuk hati?

Ketika kau curi itu orang punya suara
Lalu kau palsukan, dibalur narasi dan aksara
Seperti pil pahit bersalut gula untuk membohongi lidah
Pernahkah kau bertanya apa karmamu kelak?

Ketika kau pakai itu orang punya nama
Dan kau jejalkan di bawahnya kebohongan demi kebohongan
Sempatkah kau berpikir, bagaimana kalau namamu yang ada di sana?

Ketika kau hujani itu orang punya hidup
Dengan lampu sorot besar-besar untuk kau kulik
Dan kau jadikan komoditi tanpa peduli bahwa orang juga berhak punya privasi
Tahukah kau resah dan gelisah yang hadir merampok batin?

Ketika kau angkat itu lensa hitam tinggi-tinggi
Dan kau dekatkan tigapuluh senti dari wajah seperti polisi memburu tersangka
Adakah kau mengerti semburat teror yang berlintasan di sana?

Jadi, kawan-kawan tersayang, teruslah mendulang apa yang kalian sebut rezeki dengan mendagangkan sejumput hidup orang. Tak usah khawatir akan karma, fakta dan etika, karena di sini kita cuma berdagang, dan dunia yang kita tinggali memang tak menyisakan tempat untuk nurani. Teruslah bekerja, dan sebut itu karya. Sebut yang kau kabar-kabari itu informasi faktual, akurat, terpercaya, setajam silet. Teruslah merampok hak dan kebebasan orang lain untuk punya ranah privat, toh kita cuma sama-sama cari makan. Toh, mereka yang terus kalian kutak-katik itu hanya segelintir orang yang sial karena ketempelan cap publik figur.

Saya di sini, menonton. Anda dan lakon-lakon yang silih berganti menjelmakan dagelan di panggung berjudul industri hiburan ini. Karena cuma itu yang saya bisa.

Kendati ini bakal sia-sia, saya tetap belum bosan berharap dan menunggu
Saat ketika manusia bisa jadi manusia.

:-)

Monday, November 10, 2008

Sadisme

Entri ini buat kamu.

Ya, kamu, yang belum sudi saya sebut namanya sampai sekarang.

Harap camkan ini baik-baik, karena dari semua tulisan yang saya buat, ini akan jadi salah satu yang paling sadis, meski kamu takkan tahu kamulah orangnya.

Saya benci kamu. Sangat. Dan sialnya, bukan karena sesuatu yang pernah kamu lakukan terang-terangan pada saya. Kenapa sial? Karena kalau kamu berbuat jahat terhadap saya, akan jauh lebih mudah bagi saya untuk membencimu setengah mampus dan merancang hal-hal kejam untukmu. Mengirim fotomu ke dukun santet Mencekikmu sampai biru dan megap-megap kehabisan napas, misalnya. Atau menculikmu di tengah malam buta, mengikat kepalamu dengan karung dan membenamkanmu di rawa-rawa sampai namamu cuma tinggal sejarah. Dan orang tak perlu tahu kamu pernah ada.

Saya benci kamu. Sangat. Dan ironisnya, kita malah belum pernah bertatap muka.

Saya benci kamu. Sangat.

Kenapa? Karena kamu telah menghancurkan mimpi-mimpi saya. Dan kamu melakukan itu dengan mudahnya, bahkan tanpa perlu banyak usaha. Kamu tinggal merangkai aksara, dan ketika membacanya, saya remuk berkeping-keping.

Hiperbolis? Tidak. Kamu tahu, saya benar-benar nyaris mengubur semua mimpi saya. Dalam semalam. Dan itu semua gara-gara kamu. Kamu dan rangkaian aksaramu, yang ingin saya abaikan, saya anggap sampah, namun tidak pernah bisa.

Saya benci kamu. Sangat.

Tapi malam ini, saya sadar.

Saya salah.

Bukan karena membencimu (memangnya membenci itu salah? Nggak juga. Yah, setidaknya 'kan saya mengaku :-P), tapi karena pernah berniat menenggelamkan mimpi-mimpi saya.

Bodoh sekali, kalau dipikir-pikir. Memangnya, kamu siapa? Begitu pentingkah kamu, sampai gara-gara kamu, saya harus kehilangan impian yang sudah saya sirami dan pupuki bertahun-tahun?

Saya masih membenci kamu. Sangat. Tapi, malam ini saya tahu, mimpi-mimpi itu tak perlu terkubur. Impian dan harapan hanya bisa mati dalam hati dan pikiran saya. Selama saya bisa menjaganya, mereka akan terus hidup.

Jadi, dengarkan ini baik-baik. Suatu hari nanti, sayap-sayap ini akan mengepak. Saya akan membubung tinggi. Amati dan tunggu sampai saat itu tiba. Dan saya mengatakan ini bukan untuk membuktikan diri kepadamu (memangnya, kamu siapa, sampai saya perlu membuktikan diri segala?). Saya akan terbang tinggi, karena di situlah tempat saya.

Langit biru tanpa batas itu adalah rumah saya. Dan akan saya kepakkan terus sayap-sayap ini sampai mereka cukup kuat untuk membawa saya terbang tinggi.

Sampai ketemu di atas sana. Dan tolong, belajarlah terbang lebih baik. Karena, siapa tahu, ketika kita bertemu nanti, saya masih ingin membunuh kamu.


*Tanpa bermaksud ikut-ikutan, bagi yang membaca ini dan merasa bisa menebak siapa orangnya (atau mencoba menyangkut-nyangkutkan dengan entri ini), tolong simpan energi Anda. Percayalah, Anda salah.

Friday, October 31, 2008

Malam ini, kembali mengenangnya.

Mama, apa kabar?
Baik-baikkah di sana?
Aku kangen sekali.
It’s been a long time.

Kadang
Ingin sekali menemuimu
Menaruh kepalaku di bahumu
Meski sekejap saja

Melihatmu tersenyum
Bukan hanya di mimpi
Mendengarmu tertawa
Yang bukan cuma di ingatan

Menjajari langkah-langkah gesitmu
Yang selalu terburu
Dan berseru,
Jangan cepat-cepat, kakiku tak cukup panjang.

Menjengukmu di dapur
Dengan daster dan rambut diikat
Mencoba membantu
Dan dimarahi karena membuat kotor

Mengadu di saat susah dan sebal
Selalu senang
Mendengar diriku dibela
Meski tak jarang aku yang salah

Mendengar namaku
Dalam doa yang kau bisikkan
Pagi, siang, petang
Tanpa jemu, tanpa lelah

Membaca ucapan ulang tahun
Berisi kata sayang dan wejangan
Agar selalu aku jadi anak yang baik
Dan semua hadiah lain tak lagi penting

Menemanimu di kamar, ruang tamu, meja makan
Bahkan ketika kau terlalu sakit
Untuk bisa menyambutku.
Sekadar bersamamu sudah cukup.

Menatapimu yang tertidur lelap
Bersyukur karena kau tak lagi didera
Memandangmu yang pulas dalam damai abadi
Berbahagia untukmu, meski aku ingin engkau selamanya ada.


Mama, apa kabar?
Indahkah di atas sana?
Aku kangen sekali.
:-)


Malam ini, empat tahun sudah saya mengenangnya. Dia tak akan terganti.
I love you, Mom.


*Ditulis sambil mendengarkan lagu ini.

Wednesday, August 27, 2008

Lelah

Hai, kamu yang di sana.

Iya, ini untuk kamu.

Maaf karena harus seperti ini. Saya sudah kehabisan energi dan upaya untuk mengomunikasikan ini denganmu. Jadi, jangan salahkan kalau saya menggunakan cara ini demi ‘berbicara’ kepadamu. Saya tak peduli, bahkan jika kamu tak pernah membaca tulisan ini – yang penting saya sudah menyampaikannya, meski ini jalan terakhir yang ingin saya tempuh.

Kenapa saya memilih cara ini? Karena saya masih ingin hidup waras. Saya belum ingin kehilangan akal sehat, alias jadi gila.

Maafkan saya.

Saya lelah. Hidup dalam pengharapanmu, hidup dalam mimpi-mimpimu. Setelah sekian lama, baru saya sadar, saya memiliki impian saya sendiri. Yang ingin saya kejar. Yang ingin saya raih. Saya sudah terlampau penat hidup dalam ekspektasi dan impian orang lain, meski orang itu kamu – yang sangat saya sayangi, dan pernah sangat saya puja.

Sama seperti kamu, saya juga memiliki impian yang ingin saya capai. Saya ingin menjalani kehidupan yang penuh gelora, dan saya rela terbakar di dalamnya. Saya tak lagi peduli apakah saya akan aman di luar sana, apakah saya akan bahagia, apakah saya akan berhasil, atau jatuh terpuruk – seperti argumenmu selama ini. Saya hanya ingin hidup, dan saya akan menjalani keputusan ini lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya.

Mimpi-mimpi ini harus tumbuh. Terlalu lama saya menyimpannya sendiri. Terlalu lama saya membiarkannya tertimbun, terabaikan. Mimpi-mimpi ini layak dibiarkan bertunas, secara alamiah, sebagaimana mestinya. Dan sebagaimana kehidupan terus bergulir, hati ini harus terus mengalir, karena ia cair. Ia tak dapat dibekap dalam sebuah wadah sempit. Kecuali kamu ingin saya mati perlahan-lahan di dalamnya. Dan percayalah, saya masih ingin hidup.

Saya tak meminta banyak. Tolong biarkan saya ‘hidup’. Hanya itu.

Hidup seutuhnya. Terbang bebas bagaikan burung, meski saya tak punya sayap. Saya percaya, saya mampu melayang tinggi tanpa sayap.

Tolong biarkan saya menjadi diri sendiri. Jika menerima saya apa adanya terlalu sukar bagimu, maka saya tak meminta untuk diterima. Lepaskan saya. Biarkan saya terbang. Karena saya bukan milikmu. Saya bukan milik siapapun.

Jangan cegah saya dengan cara apapun, dengan dalil apapun, dengan alasan apapun. Biarkan saya menemukan keutuhan diri saya yang sejati. Biarkan saya bersua dengan separuh jiwa saya yang telah lama terkungkung.

Tolong biarkan saya hidup.

Itu saja.


Salam penuh cinta,


- JJ -

Sunday, July 27, 2008

Mengenang dengan Senyuman

Rabu sore.

Jakarta Selatan entah-bagian-mana.

Lampu lalu-lintas berganti dengan lambat, menyebabkan kemacetan panjang yang melelahkan. Pengemudi taksi yang saya tumpangi (taksinya, bukan orangnya ;-D) menginjak pedal rem dengan hati-hati, sementara saya terbengong-bengong seperti orang dusun masuk kota melihat kepadatan yang berpotensi menimbulkan gangguan jiwa itu.

Menyadari perjalanan ini akan makan waktu lebih lama dari yang diperkirakan, saya mengeluarkan biskuit dan air mineral untuk mengganjal perut. Sambil mengunyah, saya berdoa supaya kemacetan ini tidak sampai membuat saya terlambat menghadiri sebuah pertemuan penting. Saya tidak ingin melampaui jam yang sudah ditentukan.

Ketika sedang konsentrasi membersihkan remah biskuit yang tercecer di jeans, saya terkejut karena si supir taksi mendadak tertawa heboh sambil bertepuk tangan.

Saya melongo.

Dugaan pertama, macet-edan-bego ini memang sungguhan berpotensi menimbulkan gangguan jiwa.

Sebelum sempat merumuskan asumsi kedua, saya mengetahui penyebab kegembiraan si supir.

Mengikuti arah pandangnya, saya menemukan seorang pengemudi bus patas AC yang sedang melambaikan tangan dengan bersemangat ke arah kami. Ia tersenyum lebar sambil menunjuk-nunjuk taksi yang saya naiki.

Si supir taksi mencondongkan tubuh, membuka jendela dan bertepuk tangan lagi, gantian menunjuk-nunjuk patas merah yang dikendarai si supir bus, kemudian mengacungkan jempol.

Saya memandangi mereka bergantian, geli karena keduanya bertingkah seperti anak kecil teman sepermainan yang sudah lama tidak bertemu.

Setelah jendela ditutup, saya bertanya spontan, “Memangnya kenal, Pak?”

*Dan langsung sadar: pertanyaan bodoh. Yyya iyyyalaaah, Jen. Hahaha!*

Si supir taksi mengiyakan. “Dulu dia yang bawa taksi ini, Mbak. Nggak lama habis saya diterima di sana, dia keluar, trus nggak pernah ketemu lagi. Eh, tau-tau sekarang udah nyupirin bis AC.”

“Oh...”

Lampu lalu-lintas berganti. Nggak ngefek sebetulnya, karena taksi saya hanya bisa maju beberapa milimeter *hiperbola* saking padat (dan leletnya) kendaraan-kendaraan di depan kami.

*By the way, saya mau titip pesan untuk para pengemudi kendaraan di Jakarta tercinta yang sering terjebak macet: kalau lampu sudah berganti hijau, mbok yaaao jangan santai jaya. Bolehlah ngapain aja selama lampu merah, tapi plis dong tetap alert terhadap pergantiannya. Dan coba ya, itu, jangan keasikan ngobrol dan baru maju setelah diklakson orang.*

Saya menoleh ke arah bus patas merah itu, ingin melihat pengemudinya lagi.

Dia masih ada di sana. Menumpangkan dagu di atas kedua tangannya yang terlipat di jendela. Tersenyum. Sepasang matanya tak lepas menatapi taksi saya. Senyum itu membuat wajahnya berbinar dengan ekspresi yang sulit diartikan, namun entah bagaimana, saya seperti melihat kedamaian di sana. Secercah hangat yang tiba-tiba membuat saya merasa nyaman.

Untuk sesaat, saya sangat ingin tahu apa yang ada dalam benaknya. Apa yang membuatnya tersenyum seperti itu. Apa yang menyebabkan wajahnya berbinar damai. Apa yang membuat lengkungan lembut itu betah tersungging di sana.

Kenangan akan masa lalu? Pengalaman manis? Kesedihan? Atau sesuatu yang lucu?

Saya memalingkan wajah, kembali menatap ke depan – ke deretan kendaraan yang menyemut seolah tak ada habisnya. Lalu mata saya tertumbuk pada sebuah billboard raksasa bernuansa merah-kuning yang berdiri angkuh di sisi jalan.

PERUBAHAN ITU PERLU.

Itulah satu-satunya kalimat yang tertera di sana.

Selama beberapa detik, saya hanya termangu menatapi tulisan itu. Lagi-lagi, dengan cara yang ajaib, Sang Pencipta menunjukkan kebesaran-Nya. Memberi satu lagi peneguhan dan kekuatan untuk hati kecil yang kerap meragu ini. Menciptakan sinkronisitas untuk meyakinkan saya bahwa jalan yang sedang saya tempuh adalah jalan yang benar – setidaknya untuk saat ini. Mengalihkan fokus saya dari berbagai hal yang menyita perhatian dan terkadang begitu menjemukan, untuk sekejap menyapa dan memberitahu bahwa saya tak pernah sendirian dalam menapaki perjalanan panjang ini.

Lampu lalu-lintas belum berganti. Mobil-mobil semakin menyemut, putus asa sekaligus pasrah terhadap kemacetan Rabu sore yang menguras kesabaran. Supir taksi saya tak kalah frustrasi. Ia menghela nafas panjang dan mengangkat kedua tangannya, melipatnya dan menyandarkan kepalanya di sana seolah ingin mengusir penat.

Saya merapatkan cardigan untuk mengusir hawa dingin. Sebelum ikut merebahkan kepala di sandaran jok taksi, sekali lagi saya menoleh, ingin mematri satu sinkronisitas lagi yang singgah di hadapan saya sore itu.

Pengemudi bus itu masih ada di sana, dalam posisi yang sama. Dan dia masih tersenyum.

Saya menatapnya, lama. Perlahan, saya membisikkan sebait doa dari hati yang terdalam.

Apapun yang terjadi di depan sana, apapun yang menunggu saya kelak, apapun yang akan saya alami dalam perjalanan dan evolusi kehidupan yang terus bergulir ini; sesal atau senang, gembira atau sedih, kebanggaan atau kekecewaan, hanya satu harapan saya: semoga saya bisa senantiasa mengenangnya dengan senyuman.

:-)


*Tulisan ini didedikasikan untuk dua orang kawan sekaligus guru yang telah memungkinkan perjalanan-Rabu-sore saya terwujud. Thanks for everything. Most importantly, thanks for being there. ;-)