Saturday, May 2, 2009

Menulis Jujur (Belum) Tentu Mujur

Akhir pekan lalu, saya memutuskan untuk hengkang sejenak dari kos-kosan dan pulang ke rumah. Di sana, saya menyempatkan diri membongkar koleksi novel yang sudah lama tidak tersentuh. Ini salah satu kegiatan favorit saya setiap pulang ke rumah: membaca tumpukan novel yang tersimpan di kamar, karena saya terlalu malas membawa buku-buku tersebut ke kos-kosan.

Saya memilih sebuah novel dan membaca sambil leyeh-leyeh di tempat tidur. Belum sampai setengahnya, saya berhenti. Saya merasa ada yang ‘aneh’ dengan novel tersebut, dan perasaan itu cukup mengganjal. Tapi saya tidak tahu apa.

Sejurus kemudian, baru saya sadar. Novel itu memuat begitu banyak pesan dan nilai moral. Saking ‘padat’nya, tidak jarang dalam sebuah adegan diselipkan beberapa paragraf berisi petuah bijak yang tidak ada hubungannya dengan cerita. Si penulis juga menyisipkan konsep idealnya di sana-sini, yang meski terbungkus rapi dalam kemasan fiksi, tetap saja (bagi saya) terkesan dipaksakan. Sejujurnya, saya merasa digurui. Dan itu cukup mengganggu, meski akhirnya saya tetap menamatkannya.

Itu kasus pertama.

Kasus kedua, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah diskusi kecil-kecilan di Facebook yang membahas seorang penulis yang karya-karyanya pernah dijuluki ‘sastra selangkangan’ lantaran banyak memuat isu seks dan perempuan. Di forum mini tersebut, beberapa orang mengkritiknya dengan tajam. Salah satu pemicunya (barangkali) karena selain blak-blakan mengedepankan isu seputar ranjang dalam novelnya, penulis ini juga kerap tampil dengan minuman keras dalam acara-acara publik yang menggunakan jasanya.

Membaca kritik-kritik pedas itu, saya termenung. Lambat laun, saya merasa menemukan benang merah antara kedua peristiwa di atas dengan novel-novel saya yang tak kunjung selesai. FYI, beberapa hari sebelum menulis artikel ini, saya membongkar harddisk dan menemukan sepuluh draft (!). Sebagian sudah nganggur bertahun-tahun lamanya, sebagian sudah memiliki outline yang jelas dan lengkap, sebagian lagi sudah jadi, hanya membutuhkan revisi, dan tetap tidak selesai.

Berhari-hari saya merenung dan bertanya-tanya, sampai eneg sendiri. Akhirnya saya mendapati bahwa salah satu faktor yang menyebabkan saya tidak kunjung menyelesaikan novel saya adalah, karena setiap kali saya menulis, di kepala saya selalu muncul berbagai rambu yang mengingatkan saya akan banyaknya batasan yang harus ‘dipatuhi’ dan ‘tidak boleh dilanggar’ demi menciptakan suatu karya yang tidak hanya bermutu, namun juga mengandung pesan moral yang baik dan membangun bangsa. *Halah*

Setelah sekian tahun berkutat dengan draft yang tidak selesai, saya baru menyadari ada begitu banyak batasan yang menghalangi saya untuk menulis apa adanya, seutuh-utuhnya. Dan keterbatasan itu mendorong saya ke titik jenuh, bahkan sampai pada satu titik dimana saya berpikir untuk mengaborsi semua naskah fiksi saya dan memusatkan diri pada tulisan non-fiksi. Saya ‘mendengar’ begitu banyak suara di pikiran yang mengingatkan saya akan kewajiban dan tanggung jawab saya kepada pembaca. Ada semacam ‘kesadaran palsu’ yang akhirnya membuat saya lebih mendengarkan apa kata orang dan merasa khawatir berlebihan untuk ‘melanggar’ rambu-rambu tertentu yang berlaku di masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya membombardir otak saya seperti senapan mesin: kenapa juga saya harus merasa bertanggung jawab kepada pembaca? Apakah saya sanggup mengubah pemikiran orang dengan tulisan-tulisan saya? Kalaupun ya, berapa persen tingkat keberhasilannya? Kalaupun ya, apakah benar orang tersebut berubah karena tulisan saya thok, dan bukan karena faktor-faktor lain seperti –katakanlah— memang dia sedang ingin berubah, habis dinasehati oleh orangtua, dikompori teman, dan sebagainya. Kalaupun tidak, apakah saya harus merasa bersalah jika tulisan saya tidak memberi dampak positif bagi orang lain? Apakah saya harus merasa berdosa jika tulisan saya dianggap tidak bermanfaat? Apa itu baik? Apa itu buruk? Apa itu benar? Apa itu salah? Mengapa sastra selangkangan dianggap nista sedangkan tulisan berpetuah bijak dipuji-puji? (RETORIS, by the way. ^_^)

Dan mengapa saya begitu sulit merampungkan naskah fiksi, sementara saya telah menyelesaikan ratusan artikel di blog ini? Apakah perbedaannya hanya terletak di ‘ngeblog nggak perlu pakai plot’ atau ‘ngeblog nggak butuh banyak imajinasi’? Mungkin iya. Tapi, setelah saya meluangkan waktu untuk ‘mengamati ke dalam’, saya mendapati, yang membuat saya bertahan dengan rumah maya ini dan bisa terus menulis adalah, karena di blog saya mampu jujur kepada diri sendiri.

Di blog, saya bisa menuangkan apa saja yang saya mau. Saya bisa nyolot sepuas hati dan tinggal melirik kepada orang yang mencela sambil bilang, “Blog, blog gue.” Saya menulis untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Karenanya, saya tidak terlalu peduli pada mereka yang tidak menyukai tulisan saya, pun tidak terlalu ambil pusing ketika ada yang mengecam tulisan saya ‘sesat’ lantaran saya menceritakan berbagai pengalaman spiritual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut agama tertentu. Karena, sekali lagi, blog, blog gue. ;-)

Beberapa bulan lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat via telepon. Ia sempat melontarkan pertanyaan yang membuat saya merenung.

“Apa lo mau seterusnya nulis tentang meditasi kayak gini?”

Waktu itu, bulan Maret tepatnya, saya mendedikasikan lima entri untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya selama mengikuti retreat di Bali. Selama sebulan penuh, isi blog saya berkisar di topik meditasi, pengalaman spiritual, dan insight yang saya dapatkan dalam retreat.

Saya tertawa, “Nggak, lah. Ini lagi special edition aja. Blog gue bukan tentang meditasi..."

Saya terdiam sejenak. Apa yang sebenarnya ingin saya tulis di blog? Tidak sedikit yang berkomentar bahwa tulisan-tulisan saya menginspirasi. Tapi, apa memang itu tujuan utama saya? Untuk menginspirasi? Untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan? Untuk menanamkan nilai-nilai moral?

Jawaban saya berikutnya adalah, “Gue cuma nulis apa yang ingin gue tulis. Apa pun yang lagi nyangkut di pikiran dan hati. Nggak masalah apakah itu tentang pengalaman spiritual, meditasi, pemikiran, curhat, hal-hal remeh, bahkan kalau perlu, omelan-omelan gue.”

Dan saya ingat betul, kalimat terakhir yang saya ucapkan adalah, “Gue nulis bukan buat siapa-siapa, dan bukan untuk menginspirasi atau menanamkan nilai ke siapa pun. Gue nulis buat gue. Kalau ada yang merasa tulisan gue bermanfaat, syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa.”

Lantas, apa yang membedakan ngeblog jujur dengan menulis (fiksi) jujur? Kenapa saya bisa membongkar-bongkar isi perut di blog, sedangkan di buku tidak? Kenapa saya mampu curhat di blog, namun sukar menulis apa adanya di buku? Kenapa saya sanggup ngebacot sesukanya di blog, namun kesulitan untuk menuangkan kejujuran dalam manuskrip fiksi saya, padahal kedua-duanya punya akses tak terbatas untuk dibaca orang? Saya tidak bisa mengontrol siapa yang mengunjungi blog saya, sama seperti saya tidak bisa mengontrol siapa yang membaca buku saya. Tidak banyak bedanya, sungguh. Tapi… kenapa?

Pertanyaan ini kembali membuat saya pusing. Dan lagi-lagi butuh waktu yang tidak sedikit untuk ‘menyelam’ dan menemukan jawabannya.

Jawabannya ternyata sederhana saja: untuk mengakses blog saya, para pengunjung tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Untuk membeli buku saya, diperlukan puluhan ribu rupiah. Dan itu pula yang membuat saya begitu concern dengan draft-draft saya. Saya merasa bertanggungjawab kepada orang-orang yang (nantinya akan) mengeluarkan uang untuk membeli buku saya. Saya merasa berkewajiban untuk menulis sesuatu yang bermanfaat, agar setidaknya, ada nilai positif yang bisa dinikmati oleh pembaca. Syukur-syukur bisa membuat mereka punya kehidupan yang lebih baik. Blog? Hanya dibutuhkan lima ribu perak untuk mendapatkan akses internet berkecepatan tinggi di warnet. Itu pun sudah bonus Aqua gratis, dan bisa sambil buka Facebook, Friendster, Yahoo!, dan Google.

;-)

Perlahan-lahan, sebuah kesadaran baru muncul di benak saya. Selama ini, selama bertahun-tahun, saya telah bersikap tidak adil. Kepada diri saya sendiri. Kepada Jenny yang menanti-nanti untuk bisa bersuara dengan bebas. Kepada berbagai ide kreatif yang terus-menerus diaborsi dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjenguk dunia. Kepada dorongan hati yang begitu sering saya tekan setiap kali muncul ke permukaan.

Seseorang pernah berkata, “Sebuah pilihan akan menjadi benar apabila pilihan itu sesuai dengan isi hati dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”

Sebuah pernyataan yang barangkali sangat layak diaminkan dan dijadikan quote of the day. Tidak bagi saya. Saya memilih untuk berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena, pada kenyataannya, apa yang saya lakukan, apa yang saya pilih, apa yang saya putuskan, tidak pernah betul-betul bisa mengubah apa pun dalam hidup seseorang – entah itu mendatangkan manfaat, atau menghilangkan manfaat.

Jika ada enam juta orang di muka Bumi, maka ada enam juta ukuran kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya, juga ada enam juta ukuran keburukan dan kesengsaraan, yang menjadikan semuanya amat relatif, tergantung dari kondisi hati dan persepsi tiap-tiap orang.

Kita bisa bilang, “Saya bahagia karena dia melakukan ini untuk saya,” namun sesungguhnya kita tidak berbahagia karena perlakuan dari orang yang bersangkutan. Kita bisa mengatakan “Saya berubah karena dia,” namun sesungguhnya kita tidak pernah berubah karena orang lain. Dan kita bisa menempelkan label ‘baik-buruk-benar-salah’ pada ribuan hal di dunia, dan pada saat yang sama, tidak pernah ada yang betul-betul ‘baik’ atau ‘buruk’, ‘benar’ atau salah’. Semua hanya dibatasi oleh lapisan persepsi dan konsep ideal yang kita bawa.

Itu sebabnya, saya berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena saya tidak percaya bahwa pilihan yang benar HARUS mengandung azas-sosial-manfaat-bagi-banyak-orang. Mungkin kedengarannya egois, namun bagi saya, pilihan yang saya ambil menjadi benar karena itulah yang cocok untuk saya saat ini. Yang terbaik. Yang paling pas. Sejauh mana kecocokan tersebut, hanya saya yang tahu, sama halnya dengan enam juta orang lain di dunia – hanya diri mereka yang paling tahu. Bukan saya.

Kenapa saya harus berpikir bahwa apa yang saya tulis bermanfaat bagi pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang terbaik bagi mereka? Kenapa saya harus berpikir bahwa tulisan saya punya pengaruh signifikan atas hidup pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang bisa membuat mereka bahagia? Kenapa saya harus bertanggungjawab atas buah pikiran saya, sedangkan saya tidak pernah tahu isi pikiran pembaca?

Kejujuran kadang memiliki harga, dan harga itu tidak murah. But for once in my life, I want to be honest. To myself. Saya ingin bebas dari ‘kewajiban’ bertanggungjawab terhadap hasil persepsi orang lain, dan saya tidak ingin merasa bersalah hanya karena ‘gagal’ melunasi ‘tanggung jawab moral’ saya. Saya ingin merasa puas karena saya menulis apa yang saya inginkan. Menulis demi Jenny, bukan demi Anu, Inu, atau Uni.

Dan itulah yang terpenting buat saya, setidaknya untuk saat ini. Menulis bukan untuk siapa-siapa. Menulis untuk saya sendiri. Cuma itu.

Saya ingin memberi kesempatan pada Jenny Jusuf. Saya ingin membiarkannya bersuara. Saya ingin mengijinkannya menyampaikan apa pun yang ia mau katakan. Dalam wadah apa pun. Fiksi atau non-fiksi. Buku atau blog. Apa saja.

Saya, hanya ingin jujur.

------

Gambar dari sxc.hu.

43 comments:

Anonymous said...

jadi kesimpulannya, draft yang sekarang JUJUR apa ENGGA?

okke said...

owalah, ini toh yang elu SMS-in ke gw :D Syelamad, anda sudah melewati fase 'menulis jujur itu tai kucing'.

Selamat datang di fase 'Gue nulis segimana gue, ga suka ya derita lo.'

hahahah...

radmen. Dan itu kata verifikasi buat komen yang ini.

okke said...

tambahan, tapi kalo buat tulisan yang lo publikasi secara mainstream, tetep aja, susah buat jujur-sejujur2nya; banyak yang musti diperhatiin, banyak rambu dan batasan, ada trend. ada ini itu. Gitu deh. Inget draft La Viva? :D

Kecuali kalo lo penulis kondyang byanget, yang ga perlu susah payah mensubmit naskah, tapi justru dicari-cari orang buat nulis. Kayak... ah sudahlah... hahahah.

interter. Itu dia. kata verifikasinya. *kok gw jadi seneng ya nulis kata verifikasi. Kayak elo gini.*

Poppus said...

Hahahaah! oooh ternyata sms yang kemaren itu berkaitan dengan posting ini toh. I agree with tante okke. Banyak yang harus diperhatiin ketika kita ingin karya kita dibaca/dibeli publik, bahkan bisa aja kita yang mecunin isi kepala, soal idealisme mah taro aja dulu di gudang. Bisa sih sejujur-jujurnya, tapi siap gak dengan konsekuensinya. Kalo siap sih ya go on

Jenny Jusuf said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Jenny Jusuf said...

Haqi: Try my best. Yang penting udah lega, udah ngomel2 di blog, ahahah.

Okke: Inget banget. Dan untuk entah-keberapa-kalinya gue mau bilang lagi: La Viva keren. Gue nunggu banget tu draft terbit.

Popi: Mungkin kuncinya adalah 'buang' dulu tu keinginan jauh2 kali ya, biar bebannya berkurang. Yang mana, gampang diomongin susah (banget) dilakuin. ;-D

ezra said...

saya jadi inget film2 yg disutradarai clint eastwood. di film2 itu dia cuma ingin bercerita. dia spertinya tidak trlalu pusing dgn apa yg akan ditemukan oleh para penonton. pada waktu awal bikin film motivasinya spertinya bkn utk menjadi seseorang yg mengajarkan hikmah2. dia mengajak para penonton utk berpikiran terbuka trhadap realitas dan kebenaran.

tapi bener juga sih kata okke, kalo buku sudah jadi produk maka dia harus memenuhi syarat tertentu biar laku di pasaran.
yg paling aman ya nerbitin buku sendiri. hehe..

btw, word verification hari ini: hanul (anaknya hanung bramantyo dan inul daratista)

cheztnutz said...

Hi Jenny..
Thanks for dropping by :D I love your writings ^^

Jenny Jusuf said...

Ezra: ember, makanya gue bikin judulnya realistis toh: jujur belum tentu mujur. Semua emang ada konsekuensinya ;-D

BTW, verifikasinya Squil. Ahahaha. Apa gue bikin lomba lucu-lucuan kata verifikasi aja ya?

Reza Gunawan said...

Jen,

Menurutku, mujur tidak pernah tergantung dari jujur atau tidak jujur. Komersial atau tidak komersial. Bagus atau tidak bagus.

Mujur tergantung dari mujur.

Itu saja kayanya.

Reza

Jenny Jusuf said...

‘Mujur’ di sini hanya semacam kiasan, bukan mujur secara harafiah/literal.

Maksud saya, menulis jujur belum tentu memudahkan jalan seseorang untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Terkadang ada penulis yang ‘hanyut’ dengan idealismenya dan begitu percaya kalau jalan ‘A’ yang ditempuh, maka hasilnya pasti ‘B’. Tidak selalu begitu.

Judul itu saya buat untuk mengingatkan diri sendiri supaya lebih realistis dalam berproses (bisa menyeimbangkan hati di antara ekspektasi, upaya dan realita). Kenapa saya pilih kata ‘mujur’? Biar berima dooong. ;-D

Kata verifikasi kali ini ...ah sudahlah. Hyahahah.

JengMayNot said...

Kan udah gw bilang, Jen, nulis itu kayak kent** :) Loe nulis demi kelegaan diri loe sendiri, persetan sama yang lain

*eh, itu gw ya? HAHAHAHA.... Gak pedulian kok ngajak2 ;)*

Jenny Jusuf said...

Kayak kentut, maksudnya? Kenapa dibintang-bintangin? ;-D

Vita said...

Hai Mbak Jenn..

terlalu jujur mmg jg gak bagus.. gak misterius lagi gitu.. hehehe

tapi sy setuju pendapat "Blog, blog gw.."

anyway, sy senang mmbca blognya mbak Jenny..

Ini jujur loh..

:-D

sonn said...

word verification: boodeth. boodeth deh. hauhwuahwhwaw...

kalo gw mah ngerasa setelah diterbitkannya satu buku, pengarang yang menulis dianggap udah mati. udah berbeda entitas. yang ada di buku itu adalah ide si pengarang yang ditulis pada waktu itu, pada situasi itu.

bukan pengarang yang ada pada waktu setelah menerbitkan buku itu, pada situasi setelah menerbitkan buku itu :)

begitu je.

like i said. boodeth.

Dee Lestari said...

Sepanjang pengalaman saya bertemu penulis lain (bukan penerbit, tolong dicamkan), entah itu di ajang festival, event sastra, diskusi, dll, dan mereka ini adalah yang dicap masyarakat dan media sebagai "pionir", "pelopor", "penulis best-seller", "living legend", "penulis berkualitas", dll... dan sepanjang pengalaman saya jadi juri berbagai lomba, melihat bagaimana para penulis muda/baru struggling dengan karya-karyanya, melakukan berbagai usaha agar terkesan ini dan itu... although many people may not agree, but this is what I find: penulis memang TIDAK PERNAH bertanggung jawab pada siapa-siapa. Mereka yang merasa bertanggung jawab pada sesuatu hanya akan jadi penulis medioker. Penulis yang sekadar berkarya sekali dua kali tapi tidak pernah ke mana-mana. Atau bukunya banyak tapi "encer" dan cuma menuh2in katalog. Sementara penulis yang tidak merasa bertanggung jawab pada siapa-siapa selain dirinya sendiri, atau berhasil bangun dari ilusi bahwa dia bertanggung jawab pada sesuatu, adalah mereka yang pada akhirnya menjadi orang-orang yang saya sebutkan di kategori pertama. Those amazing people that I met in literary events -- national or international -- never give a heck on those bullshit cliches about social responsibility. So let me say this in a more blunt way: good writers are selfish bastards. And that's what makes them so good.

Jika bertemu dengan orang yang berkata bahwa penulis harus punya tanggung jawab moral bagi pembaca dan harus punya pesan positif dan harus punya manfaat bagi orang banyak... lemparlah dia dengan batu bata. Itu akan sangat membantu orang tsb bangun dari ilusi yang paling menjerat dari kegiatan tulis-menulis. Dan akan sangat membantu penulis lain agar terbebas dari doktrin menyesatkan tsb.

Dan satu hal lagi: jangan pernah percaya sama saran penerbit tentang tren dan taik2 lainnya. Just write your guts. Pada akhirnya kalau memang bagus dan surprisingly laku despite the current trend, dengan cepat lidah penerbit akan berbalik dan berkata lain tentang rambu-rambu dan aturan-aturan perbukuan yang baik dan benar (baca: laku). Penerbit don't exactly have vision, it's not their job. Writers HAVE vision. And in the end, just like what Reza said, cross your finger and hope that luck is on your side. All penerbit are doing exactly the same. Nggak pernah ada rumus baku sebuah buku laku atau enggak.

Regards,
~ D ~

okke! said...

Pertama, maaf,saya agak alergi dengan kata sastra dan sastrawan, karena istilah tersebut memiliki kekuatan ‘jahat’ untuk mengeksklusifkan satu kelompok penulis dan merendahkan penulis lain. Saya lebih suka dengan karya tulis dan penulis. Lha wong sama-sama nulis.

Oke, ke inti masalah, ketika seseorang yang menulis berada dalam posisi ‘bukan siapa-siapa’, bahkan namanya pun tak pernah didengar dalam dunia kepenulisan (atau dunia lain ;-D), tidak memiliki jaringan di dunia kepenulisan, maka ketika penulis tersebut mencoba menawarkan tulisannya untuk dipublikasikan, saya rasa ia tidak memiliki daya tawar yang tinggi di mata penerbit (sialnya lagi, orang tersebut juga tidak punya kekuatan finansial untuk menerbitkan sendiri karyanya).

Pernah kok ada penerbit yang mengatakan,”Belum bisa kami terbitkan, trendnya belum tentang traveling’ – pada seorang penulis yang menawarkan naskahnya.

Sampai sekarang saya yakin, bahwa tidak selalu karya tulisan yang tak berhasil dipublikasikan itu bukan karena buruk atau ecek-ecek, ada banyak alasan. Bisa jadi salah satunya ya sesederhana, belum sesuai trend.

Dan tidak menyalahkan penerbit juga, namanya juga penerbit. Nggak usah dibahas ya kenapa saya sebut ‘namanya juga penerbit’. ;-)

Dan bisa apa dia, si penulis yang bukan siapa-siapa dan tidak punya daya untuk menerbitkan sendiri karyanya, sedangkan mimpinya adalah menerbitkan karya tulisnya (saya rasa itu mimpi setiap penulis)?
Antara menunggu sampai trend itu datang, atau menulis yang sesuai dengan trend (dan nggak boleh lupa didukung oleh promosi gila-gilaan) , dengan pikiran, setidaknya, nama saya pernah didengar. Dengan harapan, ketika sampai di titik namanya seru terdengar di mana-mana, dia bisa menulis idealis.

Dan, saya juga nggak menutup mata, bahwa memang ada media massa yang mem’buang’ naskah dari penulis yang namanya mengundang kernyit di kening dan memilih karya tulis dari orang yang namanya terdengar di mana-mana.

Atau mungkin itu karena saya kebanyakan bergaul dengan penulis (yang dianggap) medioker itu, barangkali ya? ;-)

regards,
O!

Dee Lestari said...

Sepertinya memang ada dua aspek yang diperbincangkan di sini: pertama, soal menulis jujur. Kedua, perlakuan penerbit/media terhadap banyak penulis. Keduanya belum tentu berkorelasi. Tapi bisa jadi berhubungan, atau dianggap berhubungan. Membuat saya menengok ulang lagi posting ini: sebetulnya yang dimaksud dengan "menulis idealis" itu apa, ya? Dan apa itu "menulis tidak idealis"?

Karena kalau ternyata semua penulis tujuannya hanya karyanya diterbitkan, mengapa juga harus jadi punya masalah dengan idealis atau tidak idealis? Kalau memang dengan tidak idealis naskahnya malah diterbitkan, sebetulnya masalahnya selesai. Toh, tujuannya cuma itu. Tapi kalau tujuannya lebih besar, yakni: diterbitkan, laku, terkenal, DAN tetap idealis... hmm, sepertinya postingan ini harus beranak pinak untuk bisa mencakup semuanya.

Saya jadi bertanya: apakah konsep "jujur" di sini = "idealis"? Kalau iya, seperti apakah menulis jujur-idealis yang dimaksud Jenny atau teman2 yang lain? Menulis dengan tema sebebas-bebasnya tanpa batasan dari siapa pun? Menulis dengan format sebebas-bebasnya, seperti blog yang isinya bisa beraneka ragam--dari mulai puisi sampai dagelan? Menulis bebas beban dan tanggung jawab pada pihak luar? Karena, jangan-jangan, segala batasan dan gerutu klasik kita mengenai tulisan idealis dan tak idealis, adalah batasan2 yang kita ciptakan sendiri dan akhirnya kita kutuk2 sendiri juga. Bukan faktor eksternal sama sekali.

And I think that is the hardest hurdle of all. Not the trend. Not the financial limitation. Not the media. Not the publisher. But to dis-limit ourselves from our own mind prison--yang manifestasinya bisa macam2, dari mulai soal ngebet pingin jujur/idealis, terpaksa nulis mecun, sampai rasa frustrasi karena ditolak melulu. And that is also a hurdle that I still have to overcome sometimes.

Bagi saya pribadi, bentuk menulis termurni adalah ketika kita bahkan bukan menulis untuk diri kita. Melainkan menulis untuk menulis itu sendiri. On this level, all debate cease. We just write.

Cheers,
~ D ~

Reza Gunawan said...

Ikutan aaah..

Kita perlu jeli untuk tidak menukar konsep "korelasi" dengan "kausal".

Di satu sisi, memang kendala tentang (1) tiadanya familiaritas dan popularitas, (2) tiadanya tren permintaan pasar, (3) tiadanya modal cetak mandiri SERING MUNCUL BERSAMAAN dengan tidak terbit dan lakunya sebuah naskah, terlepas dari kualitasnya. Tetapi SERING MUNCUL BERSAMAAN tidaklah identik dengan hubungan sebab akibat.

Dalam contoh yang sama, kita mengenal beberapa sosok penulis yang sebelumnya tak dikenal tapi karyanya meledak. Kita juga kenal fenomena tiadanya permintaan pasar (at least itu kata penerbit), tapi penjualannya mengejutkan. Dan definitely kita juga tahu tentang orang yang punya modal untuk mencetak sendiri (plus membayar shadow writer) dan menerbitkan bukunya sendiri, tetapi penjualannya tak layak dibahas. Belum lagi tokoh tertentu yang secara bisnis atau politis punya daya tawar terhadap penerbit, namun karyanya belum bisa hadir sebagai buku yang memperoleh "pengakuan".

Jadi apakah faktor-faktor itu layak disebut sebagai PENYEBAB dari ketidakterbitan dan ketidaklakuan naskah? Saya rasa tidak sesederhana itu.

Pada saat yang sama, saya juga belum yakin bahwa sikap hati PENULIS yang TIDAK PEDULI akan orang lain, juga merupakan resep PENYEBAB PASTI yang mengakibatkan karya buku meledak di pasaran. Itupun pengamatan yang bersifat korelasi, bahwa banyak penulis hebat yang ditemui Dewi, KEBETULAN memiliki sifat seperti itu.

Namun saya setuju dengan filosofi menulis jujur dan murni, karena memang itulah yang menjadikan tulisan kita tertuang dengan otentik. Saya hanya merasa perlu menunda kesimpulan, apakah di zaman serba palsu ini, otentisitas selalu disambut ramah oleh pasar.

Saya sih berharap demikian, namun bila tidak, saya tetap lebih siap angkat topi pada para penulis murni. (yang bisa saja punya pekerjaan samping sebagai penulis 'ramah pasar').

Reza

Jenny Jusuf said...

Ini perasaan saya aja, atau memang topik bahasannya jadi melebar ya? :-)

Kalau mau jujur, bahkan penerimaan penerbit sudah masuk prioritas kesekian dalam list saya waktu itu. Prinsip saya, penerbit urusan belakangan, yang penting selesai dulu aja. Entah bagaimana, saya selalu yakin, dengan menjamurnya penerbitan dimana-mana (dari penerbit yang lebih layak disebut pabrik buku, penerbit ecek-ecek, penerbit baru yang memburu-buru naskah, sampai penerbit yang selektif najis), tidak akan sulit merilis sebuah buku. Masalahnya, selesai aja belum. ;-D

Penelusuran akan ‘kenapa-oh-kenapa-susah-banget-nyelesaiin-naskah’ ini pula yang akhirnya membawa saya pada suatu ‘penemuan’, bahwa kendala utama yang saya hadapi sesungguhnya bukan ketidakmampuan saya untuk konsisten pada sebuah ide, melainkan hal lain yang jauh lebih esensial dari itu. Pakem sosial, konsep ideal, asumsi dan persepsi saya tentang bagaimana-seharusnya-menulis lah yang telah memblokir pikiran saya selama ini. Syukurnya, saya cukup punya nyali untuk menantang diri sendiri dan terus mencari jawaban atas segala rasa frustrasi saya. ‘Penemuan’ inilah yang saya tulis di blog, dimana tentu saja, benar bagi saya belum tentu benar bagi semua orang.

Jadi, kalau saya ditanya, sebenarnya apa yang kamu maksud dengan ‘Menulis Jujur’? Istilah yang Reza gunakan dalam komentar terakhirnya cukup pas untuk mewakili apa yang ingin saya sampaikan: otentisitas. Sejujurnya, buat saya, idealisme bahkan sudah masuk tong sampah. Idealisme? Idealisme apaan? Beritahu saya makna idealisme *halah*. Sederhananya, saya cuma menulis seada-adanya. Perkara disebut idealis atau tidak, bukan urusan saya, karena bagi saya, dalam menulis seada-adanya, idealisme hanyalah label yang dilekatkan pada segala pemikiran, perspektif, pertanyaan, dan pernyataan yang tertuang di situ.

Lantas, masalah kedua yang timbul setelah urusan ‘menulis jujur’ ini selesai adalah, bagaimana agar ‘bayi’ yang sudah kita kandung dengan segala keringat, airmata dan cucuran darah ini bisa ‘dilahirkan’? Di sinilah topiknya mulai melebar dan terpecah. Lingkaran yang jika dirunut tidak akan pernah ada habisnya. Nggak perlu dijelaskan lagi, toh? Penerbit. Penerimaan. Trend. Komersil. Laku. Terkenal. Kita semua yang mengaku penulis (atau kebelet ingin jadi penulis) sudah terlalu akrab dengan lingkaran setan yang satu ini.

Seorang kawan pernah mengatakan sesuatu yang (menurut saya) menyebalkan, tapi sialnya masuk akal: “Tidak usah ingin menerbitkan buku.”

Saya sempat misuh-misuh sendiri, tapi lambat laun saya merasa ucapan itu ada benarnya, betapapun ironis kedengarannya. Tidak adanya keinginan untuk menerbitkan buku barangkali justru bisa menjadi kunci untuk membuka gembok-gembok yang selama ini membelenggu pikiran kita, sekaligus menciptakan ruang di hati agar kita bisa lebih rileks dalam berproses.

Bohong besar memang, jika ada penulis yang tidak ingin karyanya diterbitkan, dan sedihnya, ini juga yang menyebabkan begitu banyak penulis (termasuk saya) terus berputar dalam lingkaran setan yang sama. Di satu sisi, somehow saya merasa, seandainya kita mampu melonggarkan segala ekspektasi, ‘merelakan’ usaha yang telah ditempuh, dan berserah pada karya itu sendiri, ada harapan untuk menerobos lingkaran setan tersebut. Menerobos lingkaran setan tidak menjamin kita menjadi penulis hebat, punya nama besar, atau bahkan diterbitkan (!), tapi setidaknya kita bisa berproses dengan lebih rileks. Bernafas dengan lebih bebas. Dan buat saya, itu lebih penting. Jauh lebih berharga daripada menghabiskan energi untuk ‘memaksakan diri’ memperoleh apa yang saya kehendaki dengan cara yang saya inginkan (njelimet nggak sih, kalimatnya? Pokoknya begitulah, hehe).

Saat ini, saya belum sampai di tahap ‘menulis untuk menulis itu sendiri’. Saya bahkan belum paham apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut. Satu hal yang saya tahu, perjalanan ini masih panjang, dan untuk saat ini, ‘menulis untuk diri sendiri’ adalah setapak yang sedang saya tempuh. Mungkin suatu saat kelak ia akan membawa saya tiba pada pemahaman yang sama. Mungkin juga tidak. Sekarang, saya hanya ingin menjalaninya apa adanya.

That’s just my two cents. :-)

okke! said...

Yaiks, emang melebar. :D
Tapi, wajar,lah, namanya juga 'diskusi' informal tanpa moderator. :P

Tapi sederhananya gini deh poin saya sebenarnya. Pertama, menjawab pertanyaan soal menulis idealis, bahwa penulis itu seniman. Dan menulis adalah cara sang seniman untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, untuk menyamakan persepsi perihal penggunaan diksi ‘idealis’ dalam ‘menulis idealis/tidak’, menulis idealis, itu ya, sebagaimana ‘ideal’nya menulis; mengekspresikan diri. Bisa jadi berkaitan dengan tema, bisa jadi ide, biasa jadi format, bisa jadi media, bisa jadi apa saja. MUNGKIN persepsi ‘idealis’ ini sama dengan istilah ‘menulis untuk menulis itu sendiri’ atau 'menulis seada-adanya' --- kalau berbeda, ya maaf ;-)

Nah, berbicara -terutama- dari sudut pandang penulis baru, yang menjadi masalah adalah memenuhi hasrat untuk mem'publik'an karya tulisnya.

Buat apa dipublikkan? Ntah, macam-macam alasannya; mengukuhkan eksistensi diri, aktualisasi diri, atau yang lainnya --- nggak ada yang bisa membaca pikiran para penulis.

Nah, ketika seorang penulis (baru) sudah sampai tahapan ini; ada beberapa benturan yang terjadi karena tulisan tersebut sudah bukan sekedar hasil ekspresi sang penulis lagi, melainkan berupa (calon) produk konsumsi, yang jelas harus memiliki beberapa persyaratan agar 'layak konsumsi'.

Terkadang ada ketidakselarasan antara tulisan hasil ekspresi diri dengan persyaratan 'layak konsumsi' tersebut. Terkadang penulis (baru) harus banyak kompromi untuk itu, sampai-sampai, bisa jadi yang namanya menulis untuk ekspresi diri, menulis seada-adanya, menulis untuk menulis, ke laut aje. Seriously.

Kadang terdengar beberapa saran 'Daripada kompromi, mending terbitkan mandiri.'

Bagus jika ada penulis yang memang financially mampu, atau ada donatur baik hati. Kalau tidak? Bagaimana? Ada saran, bagaimana?

BTW, jangan bilang, kenapa nggak publikasikan saja di blog, eksis iya, jujur iya. Ya beda lah bok. 'Tingkat' pengakuan masyarakat terhadap tulisan/dirinya tentunya lebih tinggi. Lagipula, susah untuk eksis/mendapat pengakuan di dunia blogging yang penuhnya minta ampun ini. :P

Sampai pada akhirnya, mungkin ini terdengar menyedihkan, muncul pemikiran : okay, sudahlah, kompromi sekarang, pokoknya ---mengadopsi istilah gaul sekarang --- eksis dulu,lah. Nantinya (hopefully) akan lebih enak.Perkara adanya tantangan lain, setelah eksis, macamnya konsistensi berkarya, mempertahankan eksistensi, taburan kritik dan pujian dst, itu urusan lain ya, kalau dibahas ntar bleberan lagi topiknya.

Penutup --- konklusi sementara(?), (tanpa menutup mata dengan adanya fenomena karya tulis dari penulis yang nggak dikenal, tapi meledak, atau karya tulis yang melawan trend tapi penjualan mengejutkan yang kemudian disusul oleh pengakuan masyarakat terhadap eksistensi dirinya), bagi penulis baru (yang kebelet eksis dan mendapat pengakuan lebih tinggi daripada sekedar penulis blog, hehehe...), seringnya harus mengalami tabrakan antara menulis seada-adanya, menulis untuk menulis, menulis mengekpresikan diri, dengan menulis untuk (berjuang) eksis (dulu).

Setuju, atau tidak? ;-)

tabik,
O!

VirtualSoul said...

Saya sih lebih setuju jujur aja. Jujur dalam artian, sebagai penulis apa yang kita tulis pasti ada maksudnya. Entah itu dari tema atau dari genre, dan penulis memang harus jujur. Kalau tidak kan sebutannya jadi pengarang dong, karena tulisannya hanya karangan belaka. Ini yang saya cermati dari dulu sejak kita semua kecil di sekolah dasar, kita lebih sering diajarkan untuk 'mengarang', karena di dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang ada itu mengarang bukannya menulis. Jadinya ya seperti sekarang ini. Banyak penulis hanya bisa mengarang tanpa tahu apa maksud dari tulisannya. Alhasil jadi tidak ada kejujuran dalam pembahasan tema dan pengembangannya. So, go for honesty in writing. I'm totally for it.

Reza Gunawan said...

Seru dan bermakna diskusi kita,

Sekadar "tidak menutup mata terhadap fenomena meledaknya buku yang melawan trend dari penulis baru yang tidak dikenal" saja tidaklah cukup. Kita perlu membuka mata dan menelusuri lebih dalam lagi fenomena tersebut, karena disana juga kita menemukan esensi menulis yang semurni-murninya, yaitu:

JUST WRITE.

Okke bilang "dari sudut pandang penulis baru, yang menjadi masalah adalah memenuhi hasrat untuk mem'publik'an karya tulisnya."

Okke (entah secara sadar atau tidak) baru saja menggarisbawahi akar dari frustrasi penulis baru, yang sesungguhnya tidak muncul hanya karena rumusan baru industri yang wajib dipenuhi, namun karena faktor dalam diri penulis, yaitu "hasrat yang kuat untuk mempublikkan karyanya".

Sangatlah mungkin bahwa kita bisa mengalami langsung esensi menulis murni yang saya sebut diatas, ketika suatu hari kita bisa terbebas dari hasrat mempublikkan karya, atas alasan apapun.

Suatu hari.

Kalau belum bisa terbebas dari hasrat (wajar) tersebut, minimal mungkin kita bisa melonggarkannya.

Hanya bernapas lalu,
JUST WRITE.

Reza

biyan said...

wih, rame bowwww....nimbruuunggg....

sbg org yang pernah kerja di penerbitan, gw ngakuin emang beneran ada yang namanya pengkastaan penulis. Asal lo public figure/punya banyak massa, mau tulisan lo abal-abal jg, pasti follow up naskah lo lebih baik, lebih tanggap dan lbh smooth daripada naskahnya penulis-penulis baru, mau sebagus apapun tulisannya. Makanya, klo buat penulis baru, yang namanya menulis jujur itu nggak satu paket buat nulis untuk diterbitkan. Jadi kalo emang mu nulis senulis2nya, emang bener kata reza, jangan mikir buat diterbitin. Bgitu naskah lo selesai, masukin ke penerbit, nah disitu, lo kudu byk kompromi. Kalo buat org2 bnama, dengan mudahnya sepaket.

IMHO lho ya.:)

okke said...

Kalo merujuk dari komen biyan, iya sih, pada akhirnya, bagi semua penulis, baik penulis blog, penulis diary, penulis medioker, so-called penulis legendaris bahkan penulis yang overrated atau pesohor yang mendadak nulis sekalipun, soal menulis ya sama saja, tinggal menarik nafas dan JUST WRITE.

Yang membedakan adalah nasib karya tulis tarik-nafas-just-write itu setelahnya, ada yang musti dikompromikan supaya ramah-pasar, ada yang mending diaborsi atau disimpan baik-baik untuk ntar-ntar di dalam folder komputer lalu bikin baru ikut-trend-mecun, ada yang adem-adem saja dalam melewati proses untuk dipublikkan secara meluas. Tergantung dari... ah syudahlah.

hihihi.

Dodol Surodol said...

Pendapat gua sebagai orang awam medioker sih: jadiin aja itu tantangan. Kalo emang elu penulis jagoan, elu harusnya masih bisa nyampein apa yang elu mau sambil tetep nyenengin penerbit/pembaca/siapalah yang pengen elu senengin.

Kalo elu pengen nulis tentang mamam-mamam tapi si penerbit bilang yang lagi ngejual sekarang adalah yang tentang boker-boker, ya udah tulis aja tentang mamam-mamam sambil boker-boker. Depan bisa, belakang bisa. Semua pihak senang.

Gua mudik nih Juni, ada yang mau bertemu?

Jenny Jusuf said...

Biyan: yah, udah gak kerja di penerbitan ya? kalo masih kan kali2 aja bisa nitip masukin draft ... *teteub*

Dodol:
"Depan bisa, belakang bisa"

Sounds like judul2 pilem layar lebar ga jelas yang lagi hip di sini. ;-D
Ayuk bertemu. Starbucks?

okke said...

renatha: yuk! Bandung aja ketemuannya, atau Bali... :P

nita said...

bicara soal penulis medioker, menurut gue justru mereka mesti dapet terima kasih dari kami (pembaca buku medioker, gue misalnya) karena udah ngasih alternatif lain dan mengisi kekosongan bacaan. Kalo kita cuma mau nunggu penulis-penulis yang merasa non medioker yang jarang ngeluarin buku, ya capek juga kali gak?

Okke, mbok yaaaa gue diajaaak.

kata verifikasi: maridso

nita said...

nambahin ah, ngasi komen ke blog orang dan ngasih id/link diri yang jelas, termasuk menulis jujur kan ya? :D

JengMayNot said...

@Dodol:
Sebagai sesama medioker, bagaimana kalau kita berjumpa ;)? Ngopi2 lagi ;)?

@Jenny:
Gw baca dengan khusyuk dulu diskusinya ya... baru komentar belakangan ;) Panjang euy, dan penuh dengan "kata2 sulit" yang mesti bikin gw buka kamus... HAHAHAHA....

JengMayNot said...

Yak! Sekarang gw komentar... HAHAHA...

Sebenarnya yang pasti cuma niat loe aja: loe mau jadi penulis terkenal/profesional, atau mau sekedar menulis (dan kalau sampai terkenal/profesional itu namanya bonus?)

Kalau tujuan loe adalah yang pertama, mungkin loe emang awalnya harus "melacur" dulu dikit: bikin tulisan yang bisa diterima penerbit dan pasar. Kenapa? Karena faktanya "selera pasar" adalah salah satu push faktor yang mempengaruhi keputusan penerbit untuk menerbitkan karya loe. Hubungannya kausalitas, dan meskipun gw belum menghitung dengan ANOVA, gw yakin sumbangan faktor ini cukup besar untuk keputusan menerbitkan :)

Naaah... setelah sekali dua kali loe "melacur", udah punya nama, baru deh loe nulis yang sesuai loe. Dengan nama yang loe udah punya, loe gak perlu melacur lagi lah ;-) Kalau loe masih melacur melulu, nggak (bisa/mau) memanfaatkan nama yang loe udah ada, baruuuu namanya penulis medioker ;-)

Itu kalau loe mau jadi penulis terkenal/profesional ;-) Kalau loe cuma mau nulis, ya anggap aja menulis itu kayak kentut... HAHAHAHA... Yang penting bikin loe lega. Just write, and follow your guts. Tapi... ya jangan berharap tulisan loe akan segera diterbitkan. Terbitnya buku loe itu harus loe lihat sebagai bonus, sebagai jackpot, bukan sebagai tujuan.

*kalau gw sih tujuan menulis emang gak mau jadi terkenal/profesional. Cuma mau jadi tukang cela dan tukang silet... HAHAHAHA... Tapi boleh juga kalau jadi oposan terhadap penulis2 "established" ;-)*

Dodol Surodol said...

Yuk, medioker yuk!

Gua udah beli tiket. Jumat tanggal 5 malem nyampe. Minggu gua cabut, balik Jakarta lagi kemungkinan Kamis. Balik sini lagi Minggunya.

Novelis Kondyang, giman man kalo kamu ke Jakarta aja :)

JengMayNot said...

@Jenny:
Jen, gw baru mikir. Mungkin posting loe SALAH JUDUL ;) Mestinya bukan "Menulis Jujur [Belum] Tentu Mujur", tapiiii.....

Menulis Jujur [Belum] Tentu MANJUR ;-)

Manjur memikat hati para penerbit/pembaca, maksudnya ;-)

Gimana? Mungkin kalau terminologinya "Manjur", bukan "Mujur", gak banyak kontroversi. Sebab "manjur" itu kaitannya dengan hasil, dan hasil itu punya hubungan kausalitas dengan prosesnya... hehehe... Bukan cuma hubungan korelasi seperti "mujur" ;-)

Now, am I good or what? HAHAHAHAHA.....

@Dodol:
Yuuuuuukkkkkkkkssss..... :)
Eh, loe gak di Jakarta sampai ultah gw aja ;-)?

@Okke:
Hi my favorite novelist, benar apa yang dikatakan Dodol. Jakarta yuuuks ;-)?

penulis kondyang said...

aduh, ga bisa, gue sibuk nulis nih, untuk menuh-menuhin katalog...


hauahahahaha.... insidejokes.com

Dodol Surodol said...

Wah, sori, Jeng. Elu ultahnya dimajuin aja giman man. Orang sini kalo ngerayain ultah sebelon harinya lho.

Kondyang, lingerie kali, pake katalog segala.

nita said...

emang mesti lingerie yang pake katalog gitu?

Dee Lestari said...

Sayang rasanya melihat diskusi yang (tadinya) menarik ini melebar ke mana2. Tapi barangkali itulah fitrahnya diskusi.

Dan cukup lucu melihat banyak yang reaktif dengan istilah "MEDIOKER" (apa pun alasan di baliknya):
So, let us hear this word again:
MEDIOKER! MEDIOKER! MEDIOKER! MEDIOKER! MEDIOKER! MEDIOKER!
MEDIOKER! MEDIOKER! MEDIOKER!

Oh, sekalian satu lagi:
MENUHIN KATALOG! MENUHIN KATALOG! MENUHIN KATALOG! MENUHIN KATALOG!
MENUHIN KATALOG! MENUHIN KATALOG!

Barangkali saatnya bertanya, kenapa kok reaktif mendengar istilah2 tsb :) Bagi saya pribadi, mediocrity adalah fase. Semua orang berangkat dari sana. Semua orang bisa melewatinya. Dan untuk melewati fase tersebut, satu tips manjur untuk kita semua--termasuk saya, adalah:

Berkarya aja. Jangan banyak bacot.

:)

okke said...

jenny khusus lho nge-SMS buat nunjukin komen terakhir ;-)

Lepas dari kata MEDIOKER dan MENUH-MENUHIN KATALOG yang jadi becandaan hilarious belakangan ini, kali ini gw pro ma loe, Dee. Berkarya, ya berkarya aja, ga usah banyak mulut; bikin project nulis berapa bulan terus mendadak kena writer's block lah, ngomong-ngomong udah nulis sampe bab berapa lah, susah menulis jujur lah.

Diem-diem dan karya muncul mendadak kan, syedap.

Selamat berkarya, apa pun karyanya dan apapun tanggapan terhadap karyanya.

Selamat menikmati hidup :)

;-)

Jenny Jusuf said...

Terima kasih untuk semua yang sudah berpartisipasi dalam diskusi ini: Dee, Okke, Reza, Maya, Dodol, Biyan, Nita, dan teman2 semua. Senang bisa ngobrolin topik yang menarik di forum kecil-kecilan ini.

Let's write. May all beings be happy. :-)

*Dan ya, saya ngaku, komentar ini untuk menggenapkan jumlahnya jadi 40. Hyahahah ^_^*

Dodol Surodol said...

Yah, jadi 41 deh. Bilangan prima.

okke said...

BTW, nambah ah, biar jadi 42. =)) *doh, disuruh nyampah sih gw demen*

soal istilah yang jadi becandaan (dan bikin lo bingung, kenapa banyak orang bersikap reaktif, ye Mpok), sebenarnya bukan dari istilah itu sendiri sih, tapi dari tone, manner dan penggunaan seluruh kalimat dari pencetus pertama istilah tersebut.

Maknanya sih udah ke laut...

HAHAHAHAH...

udah ah, udah terakhiiir....

PS: gw baru tau kalo lo hamil. Congrats. Take care of your health.

;-)

JengMayNot said...

Nih... gw tambahin yang ke-43 :)

Reaktif? Karena kata "Medioker" dan "Menuh2in Katalog"? Enggak sih... JUSTRU kalo buat saya sih kata "medioker" saya pakai untukkkk..... MEMANCING REAKSI ;-)

Semacam stimulus aja sih, untuk melihat reaksi si Mpok lebih lanjut :) Dan... reaksinya cukup menghibur. Karena sangat reaktif.. BWAHAHAHAHA...

*eh, on a more serious mode, I always enjoy observing the reactions of others. No offense, and there is nothing personal to you ;)

BTW, Jeng, dikau memang selalu reaktif begini, atau bawaan orok aja ;)? Hehehe...

Anyway... congrats. Jangan suka reaktif, Mbakyu, kasihan si kecil di perut. Inhale, exhale, inhale, exhale ;)