Saturday, May 30, 2009

Dalam Duapuluh Menit

Duapuluh menit sudah cangkir itu berada di depanmu
Isinya baru berkurang beberapa mili, meski uap panasnya sudah lama hilang.
Duapuluh menit sudah aku duduk di depanmu
Dan baru dua kali kau memandangku dengan senyum hambar.

Sejak tadi kau diam, termangu seperti orang bosan
Padahal ini kali pertama kita berjumpa setelah sekian minggu
Dan ini awal bulan
Dimana aku bisa menraktirmu kopi berharga puluhan ribu tanpa perlu memeriksa dompet.

“Kenapa?”
Hati-hati, aku bertanya.
Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik
Dan aku tidak ingin merusak momen yang harusnya manis ini.

Sambil mendesah, kau topangkan kedua tangan ke dagu.
“Seandainya bisa seperti mereka,” katamu.
Kuikuti arah pandangmu, kutemukan dua wanita menenteng BlackBerry seri terbaru
Kuku mereka dimanikur rapi, dan dalam sarung warna-warni benda itu bagaikan impian yang jauh dari genggaman.

Atau seperti dia,” tunjukmu.
Kembali kuikuti arah jarimu
Seorang laki-laki tengah menyodorkan kartu berwarna keperakan kepada pelayan
Benda macam itu takkan mampu mengisi dompetmu sampai kapan pun, kecuali mujizat turun dari langit dan menjadikanmu kaya-raya dalam semalam.

“Kayak dia juga boleh, deh,” desahmu dramatis.
Lagi-lagi kuputar tubuhku mencari objek pembicaraan
Seorang remaja duduk di pojokan sambil membaca majalah
Tas yang terletak di sampingnya jelas bukan barang murah, dan sandal yang dipakainya setara sepertiga gaji bulananmu.

Aku tersenyum.
Seandainya kau melihat apa yang kulihat, Dik.
Matamu tak mampu menangkap apa yang tersembunyi di balik peranti elektronik bersarung pelangi, kartu kredit platinum, dan benda-benda mewah
Namun mataku dapat.

Barangkali karena pandanganku cukup awas
Telingaku yang kelewat tajam
Meja-meja yang letaknya berdekatan
Atau café mungil yang sore ini tak terlalu ramai.

Wanita berkuku cantik yang menggenggam Blackberry itu tak hentinya mengeluhkan kelakuan suaminya kepada sang sahabat, yang mendengarkan sambil berkomentar bahwa nasib mereka tak jauh berbeda. Suami yang pergi keluar kota enam kali dalam sebulan. Pulang hanya untuk menyetorkan pakaian kotor, kemudian menghilang tak tentu rimbanya. Si Sulung yang pulang pagi dengan mulut bau alkohol dan membantingi barang-barang. Si Bungsu yang kerap dipanggil Kepala Sekolah karena gemar membolos. “Pusing gue, Rin. Kenapa hidup begini amat, ya?”

Pria dengan kartu kredit platinum itu baru saja ditinggalkan oleh seorang wanita berambut panjang. Setelah mengecupnya sekali, dengan setitik air di pipi ia berkata, “Kembalilah ke anak dan istrimu. Mereka lebih berhak atas dirimu.” Lelaki itu menatap sayu, namun punggung itu tetap menjauh.

Remaja belasan tahun itu sedari tadi tak membalik majalah yang dibacanya. Saat meraih cangkir, matanya berkaca. Dua menit lalu ponselnya baru saja ditutup dengan kalimat, “Aku tuh cuma pengen Mama pulang sekali-sekali, ngumpul lagi sama Papa dan aku kayak dulu. Mama udah nggak sayang aku, ya?”

Seandainya bisa seperti mereka, katamu.

Mungkin kita memang perlu berputar, Dik, untuk menjadi apa yang bukan kita
Demi menemukan diri yang sejati, kebenaran kita sendiri
Serta pemahaman sederhana, bahwa memiliki segala yang dapat dibeli uang
Tidak selalu menuntun kepada bahagia.

-----

*Gambar dipinjam dari sxc.hu.com

Tuesday, May 26, 2009

... .. . ?

Bagaimana kamu mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa, jika kamu dikenalkan pada Tuhan yang menciptakan Neraka?

Bagaimana kamu mempercayai penerimaanNya yang tak bersyarat, jika kamu diajar bahwa Tuhan yang menyayangimu juga menghukum mereka yang menolakNya dengan api?

Bagaimana kamu menyembahNya dengan tulus murni, jika kamu percaya bahwa tempat bernama Surga itu diciptakan hanya untuk mereka yang lulus seleksi?

Bagaimana kamu bisa memastikan yang berpijar di dadamu itu cinta, bukan takut dan harap berjubah cinta?

Bagaimana kamu berkata semua makhluk sama di hadapanNya, sementara kamu bersikukuh dirimu yang paling benar?

Bagaimana kamu berkata Tuhan ada dimana-mana, sedang kamu membalikkan punggung kepada mereka yang berbeda?

Bagaimana kamu berkata Tuhan menganugerahimu kehendak bebas, sementara kamu dibekali sederet aturan dan larangan yang jika dilanggar berujung pada siksa?

Bagaimana kamu berkata cintaNya tidak membedakan, sementara kamu percaya Tuhan yang tak memandang rupa itu juga melarang 'terang' dan 'gelap' bersatu?

Jika kamu berkata kamu mengenal Dia, coba beritahu saya sekarang: siapa itu Tuhan?

...

..

.

?

Dan kamu bertanya, mengapa saya tidak ingin menjeratNya dalam sebuah kotak.


*Sebelum ada yang ngatain mengganggap saya sesat just in case: nggak, saya nggak sedang ‘mempelajari aliran baru’. Nggak murtad juga. Boleh dong nanya, mumpung masih gratis. ;-)*

Saturday, May 23, 2009

Murah Meriah Bonus Protein


Chiffon Cake kaya gizi DISKON 50%, bonus penambah nutrisi berupa lalat segar. Masih hidup dan bebas berkeliaran DI DALAM wadah kue.

And here’s another one:




*Gambar diambil di pusat perbelanjaan Lebak Bulus, diikuti ibu-ibu yang latah pengen motret juga, “Buat di Facebook.”
Camkan itu, Saudara-saudara. Buat di Facebook.


-----

Thursday, May 14, 2009

T

wahai Tuhan,
sedang apa di sana?
apakah mataMu melihat ke bawah
atau setiap hari kita bertatapan?

wahai Tuhan,
apa kabarMu?
lama tak bersua
atau kita baru saja berjumpa?

wahai Tuhan,
mari bertemu
berjabat sekali lagi
biar kusebutkan namaku

aku
tak perlu mengenalMu
bagiku Kau ada
itu sudah cukup

-----

Friday, May 8, 2009

Persatuan dan Kesatuan di Negara Republik Indonesia

Rabu malam, pukul setengah sebelas.

Saya merapatkan tangan di depan dada, melindungi diri dari hawa dingin yang menusuk. Hujan baru saja reda, dan celana jeans saya yang terciprat air belum kering. Saya duduk dengan hati-hati di atas motor yang terus melaju, berjaga-jaga agar tidak ada genangan air yang luput dari pandangan. Jeans saya baru dicuci. Saya tidak rela bercak-bercak kotor itu bertambah lebar.

Motor menikung dengan cepat. Sebentar lagi saya akan sampai di kos-kosan. Saya menyusun rencana di kepala, apa saja yang harus dilakukan setibanya di sarang yang nyaman. Mandi, berberes, menyalakan komputer, mengecek e-mail

Kerumunan orang di depan membuat saya menyipitkan mata, mencoba melihat dengan jelas di sela-sela hembusan angin. Di kiri-kanan jalan, orang-orang berdiri dalam kelompok-kelompok kecil. Tidak jauh dari situ, sepeda motor terparkir asal-asalan, dan aparat-aparat keamanan berseragam cokelat mengelilingi mereka.

Saya menghela nafas, sadar apa yang akan saya alami dalam hitungan detik. Saya mengumpat dalam hati karena tidak mengenakan helm. Razia versus Tidak Pakai Helm. Satu ditambah satu sama dengan dua.

Tukang ojek yang saya tumpangi (motornya ya, catet) mengurangi kecepatan sedikit. Sambil mengangguk sopan kepada polisi-polisi tersebut, ia menyerukan semacam salam bernada permisi. Santun dan cukup keras sehingga mereka semua bisa mendengar. Polisi-polisi itu memandang kami sekilas, kemudian membiarkan kami berlalu.

Beberapa meter di depan, kami kembali bertemu polisi. Si tukang ojek mengulangi hal yang sama. Tiga atau empat kali, sampai jalan yang kami lalui benar-benar bebas polisi.

Saya terbengong-bengong dengan jayanya mendapati kami meluncur mulus di jalanan becek itu, sementara di kiri-kanan banyak motor diparkir seenaknya karena para pemiliknya sedang berurusan dengan aparat.

“Kok kita nggak di-stop, Bang?” Seru saya.

“Apa, Neng?” Si tukang ojek berseru balik.

“Kok kita bisa lolos? Nggak ikut di-stop? Padahal saya nggak pakai helm?” Saya memberondong dengan penasaran.

“Kan saya pribumi,” si tukang ojek menjawab kalem.

Saya terdiam.

Rasanya seperti disengat. Pedih.

Kalau pengendara motor yang saya naiki bukan pribumi, apakah kami juga akan dihentikan, disuruh memarkir motor di pinggir jalan, diminta menunjukkan kartu identitas, lantas disuruh membayar sejumlah uang ditilang?

Kalau saya tidak menyembunyikan kepala di balik punggung si tukang ojek, apakah kami akan dihentikan karena wajah saya memperlihatkan sepasang mata yang sipit?

Kalau saja kami tidak berkendara pada pukul setengah sebelas malam, melainkan setengah sebelas siang, apakah kami akan dihentikan karena sinar matahari tidak bisa menyembunyikan warna kulit saya yang terang?

Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan yang bersifat homogen. Di rumah, di lingkungan sekitar, di sekolah, saya selalu bertemu orang-orang yang ‘sama’ seperti saya. Begitu pula ketika saya tumbuh dewasa, lulus dari bangku sekolah dan mulai bekerja. Atasan saya, rekan-rekan kerja saya, semua berasal dari suku yang sama dengan saya, dan saya hanya mengenal dua kata pengganti untuk memanggil mereka yang berusia lebih tua: Koko dan Cici.

Kerusuhan Mei 1998 adalah momen yang cukup besar dalam hidup saya, ketika untuk pertama kalinya saya dan keluarga mengalami dampak kebencian hebat yang sudah berakar di negeri tercinta yang semboyannya (konon) mengagung-agungkan persatuan dan kesatuan ini.

Usaha yang dikelola Oom dan Tante saya musnah dalam semalam karena toko mereka dibakar. Bengkel Oom saya yang lain nyaris diserbu massa; untungnya penduduk setempat berbaik hati melindungi mereka hingga kerusakan yang ditimbulkan tidak terlalu berat. Selama berbulan-bulan setelah peristiwa itu, saya tidak pernah keluar rumah tanpa mendapat sedikitnya satu ejekan bernada merendahkan. Pelecehan seksual yang diumbar secara verbal, panggilan-panggilan kasar, berbagai kalimat menyakitkan yang terus mengingatkan betapa bencinya mereka kepada kami –barangkali karena kami dianggap parasit dan tidak layak dibiarkan hidup tenteram— menjadi makanan sehari-hari yang harus ditelan mentah-mentah.

Selama berbulan-bulan, saya dan keluarga hidup dalam gelisah, cemas, dan takut. Saya, yang waktu itu duduk di bangku SMP, mendadak merasa dunia menjadi tempat yang tidak aman lagi. Dan saya tidak tahu harus berlindung kemana.

Rasa takut itu perlahan berubah menjadi kebencian. Rasa cemas itu menjelma menjadi kemarahan. Untungnya, tidak lama berselang saya menghadiri sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani berskala nasional yang mengusung tema persatuan. Di acara yang bertajuk ‘Jadikan Kami Satu’ itu hati saya kembali terbuka. Kebencian bukan jawaban bagi penderitaan umat manusia. Kemarahan tidak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi. Di sana, saya belajar memberi maaf.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai berjumpa dengan orang-orang yang ‘berbeda’ dengan saya, dan meskipun saya tidak terbiasa, saya belajar menerima dan menghargai mereka apa adanya. Lambat laun, saya bukan hanya mengenal orang-orang ini. Saya berteman dengan mereka. Saya bersahabat dengan mereka.

Orang tua saya mulai terbiasa bertemu dengan kawan-kawan saya yang berkulit lebih gelap. Keluarga saya mulai terbiasa melihat saya membawa (bahkan mengajak menginap) teman yang matanya tidak sesipit saya. Yang tidak mengenal berbagai istilah dalam bahasa Mandarin (saya sendiri tidak bisa berbahasa Mandarin, namun dalam percakapan sehari-hari ada beberapa istilah yang selalu kami gunakan). Yang tidak tahu kenapa orang yang sudah menikah memberikan angpau kepada kerabat yang masih lajang pada hari raya Imlek. Yang tidak paham tradisi, kebiasaan dan adat-istiadat yang dianut saya dan keluarga. Yang memanggil sepupu-sepupu saya yang lebih tua dengan kaku karena lidahnya tidak terbiasa menyebut ‘Koko’ dan ‘Cici’. Yang berbeda dengan kami.

Waktu terus bergulir, dan hidup membawa saya mengalir.

Saya mendapat pekerjaan baru. Kali ini, atasan saya tidak berasal dari suku yang sama dengan saya. Saya memperoleh teman-teman baru, dan mereka tidak sesipit saya. Saya berkenalan dengan orang-orang dari berbagai kalangan, dan mereka tidak bisa memakai istilah-istilah yang saya gunakan, sama seperti saya tidak memahami kata-kata yang mereka ucapkan dalam bahasa Sunda, Batak, Manado, dan sebagainya. Namun, semua itu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin hubungan baik. Saya tidak pernah menganggap perbedaan tersebut sebagai masalah besar. Saya bahkan bangga. Saya menganggap diri saya ‘kaya’.

Saya belajar memanggil atasan dan teman perempuan yang lebih tua dengan sebutan ‘Mbak’. Saya belajar memanggil kawan pria yang lebih tua dengan sebutan ‘Mas’. Kepada mereka yang bukan orang Jawa, saya memanggil dengan sebutan ‘Teteh’, ‘Kakak’, atau ‘Abang’. Saya bahkan pernah terpeleset menyebut teman saya ‘Mbak’ ketika saya seharusnya memanggilnya ‘Cici’. Saya sudah demikian terbiasa, hingga perbedaan itu rasanya nyaris tak pernah ada.

Sahabat-sahabat terbaik saya adalah pribumi. Ambon. Batak. Jawa. Sunda. Padang. Saya bangga berteman dengan mereka, meski warna kulit mereka tidak seterang kulit saya. Dan mereka mencintai saya apa adanya, meski mata saya tidak selebar mata mereka.

Di kos-kosan tempat saya tinggal, saya adalah satu-satunya penghuni yang bukan pribumi, dan hubungan saya dengan teman-teman sudah demikian akrab – tak ubahnya saudara ketemu gede. Jika beberapa hari saja saya tidak pulang, mereka akan mengirim SMS, menanyakan dimana saya berada dan kapan kembali. Merekalah yang berpesan “Hati-hati di jalan” setiap saya pamit untuk pergi. Merekalah yang membelikan makanan saat saya terkapar sakit. Mereka juga yang mendengarkan keluh-kesah saya dan selalu ada untuk saya, sebagaimana saya ada untuk mereka. Warna kulit kami berbeda, bahasa yang kami pakai berlainan, namun cinta itu sama. Karena cinta memang tidak pernah butuh alasan.

Saya pikir, saya telah melampaui semua batasan itu. Saya telah membangun jembatan di atas jurang perbedaan, dan saya telah menyeberanginya. Saya sampai dengan aman. Saya berhasil. Saya menang. Perbedaan tidak bisa mengalahkan saya. Dan di atas segalanya, persatuan ternyata memang ada. Butir ketiga Pancasila tidak berbohong.

Dugaan itu ternyata tidak sepenuhnya benar.

Kejadian sederhana di Rabu malam itu memberitahu saya dua hal: pertama, saya harus segera membeli helm. Secepatnya. Kedua, di suatu tempat di negeri ini, saya tetap diperlakukan tidak adil karena warna kulit saya berbeda. Dan di belahan lain negeri ini pula, ada orang-orang yang tidak diterima apa adanya karena mereka yang ‘sejenis’ dengan saya menolak mengakui persamaan derajat di antara kami.

Malam itu, saya sadar.

Kita memang belum merdeka. Kita bahkan belum bersatu. Kita hanya diikat menjadi satu dengan selembar kain separuh merah separuh putih dan status legal yang terdiri dari tiga kata: Warga Negara Indonesia.

Warna kulit –dan persepsi kerdil yang terpenjara dalam batok kepala ini— barangkali akan selamanya menjadi pembeda yang memisahkan kita.

-----

Gambar tentunya masih meminjam dari sxc.hu.

Saturday, May 2, 2009

Menulis Jujur (Belum) Tentu Mujur

Akhir pekan lalu, saya memutuskan untuk hengkang sejenak dari kos-kosan dan pulang ke rumah. Di sana, saya menyempatkan diri membongkar koleksi novel yang sudah lama tidak tersentuh. Ini salah satu kegiatan favorit saya setiap pulang ke rumah: membaca tumpukan novel yang tersimpan di kamar, karena saya terlalu malas membawa buku-buku tersebut ke kos-kosan.

Saya memilih sebuah novel dan membaca sambil leyeh-leyeh di tempat tidur. Belum sampai setengahnya, saya berhenti. Saya merasa ada yang ‘aneh’ dengan novel tersebut, dan perasaan itu cukup mengganjal. Tapi saya tidak tahu apa.

Sejurus kemudian, baru saya sadar. Novel itu memuat begitu banyak pesan dan nilai moral. Saking ‘padat’nya, tidak jarang dalam sebuah adegan diselipkan beberapa paragraf berisi petuah bijak yang tidak ada hubungannya dengan cerita. Si penulis juga menyisipkan konsep idealnya di sana-sini, yang meski terbungkus rapi dalam kemasan fiksi, tetap saja (bagi saya) terkesan dipaksakan. Sejujurnya, saya merasa digurui. Dan itu cukup mengganggu, meski akhirnya saya tetap menamatkannya.

Itu kasus pertama.

Kasus kedua, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah diskusi kecil-kecilan di Facebook yang membahas seorang penulis yang karya-karyanya pernah dijuluki ‘sastra selangkangan’ lantaran banyak memuat isu seks dan perempuan. Di forum mini tersebut, beberapa orang mengkritiknya dengan tajam. Salah satu pemicunya (barangkali) karena selain blak-blakan mengedepankan isu seputar ranjang dalam novelnya, penulis ini juga kerap tampil dengan minuman keras dalam acara-acara publik yang menggunakan jasanya.

Membaca kritik-kritik pedas itu, saya termenung. Lambat laun, saya merasa menemukan benang merah antara kedua peristiwa di atas dengan novel-novel saya yang tak kunjung selesai. FYI, beberapa hari sebelum menulis artikel ini, saya membongkar harddisk dan menemukan sepuluh draft (!). Sebagian sudah nganggur bertahun-tahun lamanya, sebagian sudah memiliki outline yang jelas dan lengkap, sebagian lagi sudah jadi, hanya membutuhkan revisi, dan tetap tidak selesai.

Berhari-hari saya merenung dan bertanya-tanya, sampai eneg sendiri. Akhirnya saya mendapati bahwa salah satu faktor yang menyebabkan saya tidak kunjung menyelesaikan novel saya adalah, karena setiap kali saya menulis, di kepala saya selalu muncul berbagai rambu yang mengingatkan saya akan banyaknya batasan yang harus ‘dipatuhi’ dan ‘tidak boleh dilanggar’ demi menciptakan suatu karya yang tidak hanya bermutu, namun juga mengandung pesan moral yang baik dan membangun bangsa. *Halah*

Setelah sekian tahun berkutat dengan draft yang tidak selesai, saya baru menyadari ada begitu banyak batasan yang menghalangi saya untuk menulis apa adanya, seutuh-utuhnya. Dan keterbatasan itu mendorong saya ke titik jenuh, bahkan sampai pada satu titik dimana saya berpikir untuk mengaborsi semua naskah fiksi saya dan memusatkan diri pada tulisan non-fiksi. Saya ‘mendengar’ begitu banyak suara di pikiran yang mengingatkan saya akan kewajiban dan tanggung jawab saya kepada pembaca. Ada semacam ‘kesadaran palsu’ yang akhirnya membuat saya lebih mendengarkan apa kata orang dan merasa khawatir berlebihan untuk ‘melanggar’ rambu-rambu tertentu yang berlaku di masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan berikutnya membombardir otak saya seperti senapan mesin: kenapa juga saya harus merasa bertanggung jawab kepada pembaca? Apakah saya sanggup mengubah pemikiran orang dengan tulisan-tulisan saya? Kalaupun ya, berapa persen tingkat keberhasilannya? Kalaupun ya, apakah benar orang tersebut berubah karena tulisan saya thok, dan bukan karena faktor-faktor lain seperti –katakanlah— memang dia sedang ingin berubah, habis dinasehati oleh orangtua, dikompori teman, dan sebagainya. Kalaupun tidak, apakah saya harus merasa bersalah jika tulisan saya tidak memberi dampak positif bagi orang lain? Apakah saya harus merasa berdosa jika tulisan saya dianggap tidak bermanfaat? Apa itu baik? Apa itu buruk? Apa itu benar? Apa itu salah? Mengapa sastra selangkangan dianggap nista sedangkan tulisan berpetuah bijak dipuji-puji? (RETORIS, by the way. ^_^)

Dan mengapa saya begitu sulit merampungkan naskah fiksi, sementara saya telah menyelesaikan ratusan artikel di blog ini? Apakah perbedaannya hanya terletak di ‘ngeblog nggak perlu pakai plot’ atau ‘ngeblog nggak butuh banyak imajinasi’? Mungkin iya. Tapi, setelah saya meluangkan waktu untuk ‘mengamati ke dalam’, saya mendapati, yang membuat saya bertahan dengan rumah maya ini dan bisa terus menulis adalah, karena di blog saya mampu jujur kepada diri sendiri.

Di blog, saya bisa menuangkan apa saja yang saya mau. Saya bisa nyolot sepuas hati dan tinggal melirik kepada orang yang mencela sambil bilang, “Blog, blog gue.” Saya menulis untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Karenanya, saya tidak terlalu peduli pada mereka yang tidak menyukai tulisan saya, pun tidak terlalu ambil pusing ketika ada yang mengecam tulisan saya ‘sesat’ lantaran saya menceritakan berbagai pengalaman spiritual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut agama tertentu. Karena, sekali lagi, blog, blog gue. ;-)

Beberapa bulan lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat via telepon. Ia sempat melontarkan pertanyaan yang membuat saya merenung.

“Apa lo mau seterusnya nulis tentang meditasi kayak gini?”

Waktu itu, bulan Maret tepatnya, saya mendedikasikan lima entri untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya selama mengikuti retreat di Bali. Selama sebulan penuh, isi blog saya berkisar di topik meditasi, pengalaman spiritual, dan insight yang saya dapatkan dalam retreat.

Saya tertawa, “Nggak, lah. Ini lagi special edition aja. Blog gue bukan tentang meditasi..."

Saya terdiam sejenak. Apa yang sebenarnya ingin saya tulis di blog? Tidak sedikit yang berkomentar bahwa tulisan-tulisan saya menginspirasi. Tapi, apa memang itu tujuan utama saya? Untuk menginspirasi? Untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan? Untuk menanamkan nilai-nilai moral?

Jawaban saya berikutnya adalah, “Gue cuma nulis apa yang ingin gue tulis. Apa pun yang lagi nyangkut di pikiran dan hati. Nggak masalah apakah itu tentang pengalaman spiritual, meditasi, pemikiran, curhat, hal-hal remeh, bahkan kalau perlu, omelan-omelan gue.”

Dan saya ingat betul, kalimat terakhir yang saya ucapkan adalah, “Gue nulis bukan buat siapa-siapa, dan bukan untuk menginspirasi atau menanamkan nilai ke siapa pun. Gue nulis buat gue. Kalau ada yang merasa tulisan gue bermanfaat, syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa.”

Lantas, apa yang membedakan ngeblog jujur dengan menulis (fiksi) jujur? Kenapa saya bisa membongkar-bongkar isi perut di blog, sedangkan di buku tidak? Kenapa saya mampu curhat di blog, namun sukar menulis apa adanya di buku? Kenapa saya sanggup ngebacot sesukanya di blog, namun kesulitan untuk menuangkan kejujuran dalam manuskrip fiksi saya, padahal kedua-duanya punya akses tak terbatas untuk dibaca orang? Saya tidak bisa mengontrol siapa yang mengunjungi blog saya, sama seperti saya tidak bisa mengontrol siapa yang membaca buku saya. Tidak banyak bedanya, sungguh. Tapi… kenapa?

Pertanyaan ini kembali membuat saya pusing. Dan lagi-lagi butuh waktu yang tidak sedikit untuk ‘menyelam’ dan menemukan jawabannya.

Jawabannya ternyata sederhana saja: untuk mengakses blog saya, para pengunjung tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Untuk membeli buku saya, diperlukan puluhan ribu rupiah. Dan itu pula yang membuat saya begitu concern dengan draft-draft saya. Saya merasa bertanggungjawab kepada orang-orang yang (nantinya akan) mengeluarkan uang untuk membeli buku saya. Saya merasa berkewajiban untuk menulis sesuatu yang bermanfaat, agar setidaknya, ada nilai positif yang bisa dinikmati oleh pembaca. Syukur-syukur bisa membuat mereka punya kehidupan yang lebih baik. Blog? Hanya dibutuhkan lima ribu perak untuk mendapatkan akses internet berkecepatan tinggi di warnet. Itu pun sudah bonus Aqua gratis, dan bisa sambil buka Facebook, Friendster, Yahoo!, dan Google.

;-)

Perlahan-lahan, sebuah kesadaran baru muncul di benak saya. Selama ini, selama bertahun-tahun, saya telah bersikap tidak adil. Kepada diri saya sendiri. Kepada Jenny yang menanti-nanti untuk bisa bersuara dengan bebas. Kepada berbagai ide kreatif yang terus-menerus diaborsi dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjenguk dunia. Kepada dorongan hati yang begitu sering saya tekan setiap kali muncul ke permukaan.

Seseorang pernah berkata, “Sebuah pilihan akan menjadi benar apabila pilihan itu sesuai dengan isi hati dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”

Sebuah pernyataan yang barangkali sangat layak diaminkan dan dijadikan quote of the day. Tidak bagi saya. Saya memilih untuk berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena, pada kenyataannya, apa yang saya lakukan, apa yang saya pilih, apa yang saya putuskan, tidak pernah betul-betul bisa mengubah apa pun dalam hidup seseorang – entah itu mendatangkan manfaat, atau menghilangkan manfaat.

Jika ada enam juta orang di muka Bumi, maka ada enam juta ukuran kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya, juga ada enam juta ukuran keburukan dan kesengsaraan, yang menjadikan semuanya amat relatif, tergantung dari kondisi hati dan persepsi tiap-tiap orang.

Kita bisa bilang, “Saya bahagia karena dia melakukan ini untuk saya,” namun sesungguhnya kita tidak berbahagia karena perlakuan dari orang yang bersangkutan. Kita bisa mengatakan “Saya berubah karena dia,” namun sesungguhnya kita tidak pernah berubah karena orang lain. Dan kita bisa menempelkan label ‘baik-buruk-benar-salah’ pada ribuan hal di dunia, dan pada saat yang sama, tidak pernah ada yang betul-betul ‘baik’ atau ‘buruk’, ‘benar’ atau salah’. Semua hanya dibatasi oleh lapisan persepsi dan konsep ideal yang kita bawa.

Itu sebabnya, saya berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena saya tidak percaya bahwa pilihan yang benar HARUS mengandung azas-sosial-manfaat-bagi-banyak-orang. Mungkin kedengarannya egois, namun bagi saya, pilihan yang saya ambil menjadi benar karena itulah yang cocok untuk saya saat ini. Yang terbaik. Yang paling pas. Sejauh mana kecocokan tersebut, hanya saya yang tahu, sama halnya dengan enam juta orang lain di dunia – hanya diri mereka yang paling tahu. Bukan saya.

Kenapa saya harus berpikir bahwa apa yang saya tulis bermanfaat bagi pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang terbaik bagi mereka? Kenapa saya harus berpikir bahwa tulisan saya punya pengaruh signifikan atas hidup pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang bisa membuat mereka bahagia? Kenapa saya harus bertanggungjawab atas buah pikiran saya, sedangkan saya tidak pernah tahu isi pikiran pembaca?

Kejujuran kadang memiliki harga, dan harga itu tidak murah. But for once in my life, I want to be honest. To myself. Saya ingin bebas dari ‘kewajiban’ bertanggungjawab terhadap hasil persepsi orang lain, dan saya tidak ingin merasa bersalah hanya karena ‘gagal’ melunasi ‘tanggung jawab moral’ saya. Saya ingin merasa puas karena saya menulis apa yang saya inginkan. Menulis demi Jenny, bukan demi Anu, Inu, atau Uni.

Dan itulah yang terpenting buat saya, setidaknya untuk saat ini. Menulis bukan untuk siapa-siapa. Menulis untuk saya sendiri. Cuma itu.

Saya ingin memberi kesempatan pada Jenny Jusuf. Saya ingin membiarkannya bersuara. Saya ingin mengijinkannya menyampaikan apa pun yang ia mau katakan. Dalam wadah apa pun. Fiksi atau non-fiksi. Buku atau blog. Apa saja.

Saya, hanya ingin jujur.

------

Gambar dari sxc.hu.