Wednesday, December 23, 2009

Infotainment yang Saya Kenal

Beberapa hari terakhir, infotainment dan situs jejaring pertemanan (Twitter, Facebook) diramaikan oleh pemberitaan mengenai Luna Maya dan status Twitter-nya yang penuh kecaman terhadap infotainment. Para blogger pun ikut bersuara. Ibu ini dan Mbak ini menuliskan artikel dengan judul ‘Luna ... ’ – mengupas kasus tersebut dari berbagai sudut pandang.


Dalam entri ini, saya sengaja tidak berkomentar tentang Luna *ehmm, mungkin iya, tapi sedikiiit banget*. Sejujurnya, saya tidak kaget dengan reaksi yang dimunculkannya. Bagi saya, kemarahan Luna sama sekali tidak berlebihan, kendati dilontarkan dengan ceroboh. Bukan ceroboh dalam arti kurang bijak dalam menghina meluapkan amarah, melainkan ceroboh karena ia melupakan keberadaan monster bermata hijau Undang-undang ITE.


Sebelum entri ini semakin mirip dengan artikel-artikel gosip, mari saya jelaskan bahwa tujuan saya menulis entri ini adalah untuk membagi beberapa peristiwa yang pernah saya alami saat berurusan secara langsung dengan media gosip. Artikel ini pertama kali saya tulis pada akhir tahun 2008. Saat itu, saya memutuskan untuk tidak menyelesaikannya, karena semakin ditulis, kemarahan saya semakin menumpuk. Demi kesehatan jiwa, saya memutuskan untuk menyimpan draft setengah jadi itu dan mempublikasikan tulisan ini sebagai gantinya. Bagaimanapun, insiden Luna dengan infotainment kembali menyulut niat saya untuk membagi cerita ini dengan Anda, yang (barangkali) selama ini terpaksa puas dengan suguhan satu arah dari media gosip.


Kenapa ‘satu arah’? Karena apa yang Anda lihat, dengar dan baca selama ini adalah hasil ramuan media gosip—pencampuran antara fakta, fiksi, skenario, dan narasi yang dirajut dengan apik membentuk ‘informasi faktual’. Sebagai penonton, kita hanya melihat hasil liputan yang sudah jadi. Yang tertangkap oleh indera penglihatan dan pendengaran kita hanya apa yang tampak di layar televisi dan tabloid. Kita tidak pernah betul-betul tahu apa yang sesungguhnya terjadi ketika kamera berhenti merekam, ketika halaman terakhir selesai kita baca, ketika proses penyuntingan berlangsung.


Saya bercerita bukan dari sudut pandang seorang selebriti. Bukan juga dari sudut pandang media. Saya hanya orang biasa yang—kebetulan—bekerja dengan figur publik dan saya tidak memihak siapa-siapa. Semoga apa yang saya ceritakan di sini bisa memberikan perspektif segar untuk kita semua agar lebih bijak dalam menyikapi pemberitaan media gosip.


1.
Pertengahan November 2008, tidak lama setelah Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan di Australia, mereka kembali ke Jakarta dan beristirahat di rumah selama beberapa hari. Saya belum bertemu dengan mereka berdua dan komunikasi sepenuhnya kami lakukan melalui telepon dan SMS. Kami belum sempat bertukar cerita mengenai pernikahan yang baru saja berlangsung, dan sangat sedikit yang saya ketahui tentang pernikahan tersebut.


Malam itu, ponsel saya tak henti-hentinya berdering. Pukul sepuluh malam, seorang pekerja infotainment dari program ‘S’ meminta saya untuk bersedia diwawancarai saat itu juga.


“Posisi Mbak di mana sekarang? Kami sudah siap kamera dan peralatan, Mbak tinggal sebut Mbak ada di mana.” Ketika saya menjelaskan bahwa saya tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut, mereka mendesak, “Kami butuh sekarang karena liputannya mau ditayangkan besok pagi. Nggak bisa ditunda lagi. Mbak cuma perlu mengonfirmasi apakah betul Reza dan Dewi sudah menikah.”


Saya menjawab, “Kalau hanya butuh konfirmasi, saya bisa berikan sekarang tanpa perlu pengambilan gambar. Lagipula ini sudah malam.”


Namun mereka bersikeras mengambil gambar saya. Saya pun menolak dan memutuskan sambungan telepon. Ponsel saya kembali berdering tanpa henti. Akhirnya saya menegaskan bahwa saya HANYA bersedia memberi konfirmasi via telepon, tanpa pengambilan gambar. Pertanyaan yang akan saya jawab pun hanya pertanyaan mengenai benar atau tidaknya Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan. Sejurus kemudian, sambungan telepon kembali terputus—tanpa ada kepastian dari pihak infotainment.


Beberapa menit setelahnya, ponsel saya kembali berdering, namun yang berbicara di seberang sana adalah orang yang berbeda. Suaranya halus, tutur katanya sopan dan terjaga; sementara orang yang sebelumnya berbicara dengan nada mendesak dan memaksa. Mendadak, saya merasa ada yang tidak beres, namun tidak tahu apa.


Pertanyaan pertama yang diajukan adalah benar atau tidaknya Reza dan Dewi menikah pada tanggal 11 November. Saya mengiyakan pertanyaan itu.


Pertanyaan kedua adalah apakah pernikahan tersebut memang berlangsung di Australia. Saya kembali mengiyakan, namun entah bagaimana, saya merasa wawancara ini direkam tanpa seizin saya, dan pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan berhenti sampai sebatas ‘memberi konfirmasi’. Saya pun berpura-pura kehilangan sinyal dan memutuskan sambungan telepon.


Esok paginya, wawancara tersebut ditayangkan di ‘S’. Wawancara itu memang direkam tanpa seizin saya. Nama saya tertulis besar-besar, dan karena mereka tidak berhasil mendapatkan gambar saya, yang tampak di layar hanya sebuah pesawat telepon yang memperdengarkan wawancara tersebut.


Setelah dua pertanyaan pertama (berikut jawabannya) diperdengarkan, pertanyaan ketiga, keempat dan seterusnya pun bermunculan. Saya terperanjat karena orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan saya. Suara tersebut bukan suara saya. Saya tidak tahu siapa yang meneruskan wawancara tersebut. ‘Jenny’ menjelaskan bahwa pernikahan tersebut berlangsung di Sydney, di rumah paman Reza, dan seterusnya. Saya menyimak semuanya sambil terbengong-bengong, karena saya sendiri TIDAK TAHU di kota mana Dewi dan Reza menikah, di rumah siapa, dan dihadiri siapa.


2.
Peristiwa berikutnya terjadi ketika Dewi menyanyi di sebuah stasiun televisi dalam program yang ditayangkan secara live. Dewi dijadwalkan untuk menyanyikan dua lagu. Setelah lagu pertama selesai dan jeda iklan tiba, kami kembali ke backstage karena Dewi perlu merapikan rambutnya. Di tengah jalan, kami ditemui beberapa orang berseragam hitam yang meminta kesempatan untuk wawancara. Di belakang mereka, seorang juru kamera mengambil gambar kami tanpa izin.


Sambil tersenyum Reza dan Dewi menolak permintaan tersebut. Ketika mereka mendesak, Reza menjelaskan bahwa mereka tidak bersedia diwawancarai dan Dewi harus merapikan riasan wajah dan rambutnya di backstage.


Ketika kami kembali ke panggung, si juru kamera membuntuti kami. Ia mengambil gambar dari jarak yang sangat dekat. Kemana pun Reza dan Dewi melangkah, kamera ikut bergerak. Reza mengulurkan selembar tisu. Dewi menghapus keringatnya. Kami berbincang-bincang. Kami bergurau. Kami tertawa. Semuanya diabadikan dari jarak sangat dekat, kurang dari tigapuluh sentimeter.


Setelah beberapa menit, Reza yang merasa terganggu meminta juru kamera itu mengambil gambar dari jarak yang lebih jauh. Ia pun melipir dan duduk bersama rekan-rekannya, sekitar empat meter dari tempat kami berdiri.


Ketika Dewi selesai menyanyi dan kembali ke backstage, sejumlah pekerja infotainment merubung dan mencoba menerobos masuk ke backstage—area yang seharusnya bersih dari media. Manajer Dewi dan beberapa staff dari stasiun televisi yang bersangkutan menghalau mereka, namun satu orang berhasil masuk dan menempatkan kameranya tepat di depan ruangan kecil tempat kami menunggu. Setiap kali kami memandang melalui celah pintu, terlihat mikrofon dan kamera yang bergeming dengan lensa terbuka. Reza pun menelepon supir untuk menjemput kami agar kami bisa langsung naik ke mobil sekeluarnya dari backstage.


Ketika kami keluar dari backstage, sejumlah pekerja infotainment—lengkap dengan mikrofon dan kamera masing-masing—langsung memburu kami. Mereka menjajari langkah kami seraya berusaha menempatkan mikrofon sedekat mungkin dengan kami. Seorang wartawan bahkan menempelkan mikrofonnya di punggung Dewi. Seorang lagi menempatkan mikrofonnya di lengan kiri saya. Saya melirik cepat ke atas, sebuah mikrofon tepat berada di atas kepala saya. Seorang juru kamera mengambil gambar sambil berjalan mundur di depan Reza.


Sambil menjajari kami, mereka berteriak-teriak. Sebagian mengajukan pertanyaan, sebagian minta agar kami berhenti, sebagian lagi marah karena kami terus berjalan secepat mungkin. Saya berusaha memusatkan perhatian pada punggung Dewi yang berada tepat di depan saya. Tidak mudah. Seseorang nekat menyelinap di celah sempit antara saya dan Dewi. Saya mendorongnya dan menggunakan lengan kiri saya sebagai tameng untuk menciptakan jarak antara mereka, Dewi, dan diri saya sendiri.


Ketika akhirnya kami tiba di mobil, mereka merangsek maju. Reza mencoba menghindar dari seorang juru kamera yang berdiri terlalu dekat dan menutupi lensanya dengan telapak tangan. Ia membuka pintu agar Dewi bisa masuk lebih dulu ke dalam mobil. Saya berusaha membuka pintu depan dan gagal, karena seorang juru kamera bertubuh besar menghalangi pintu dengan badannya sambil terus menyorotkan kamera.


“Permisi, Mas,” tegur saya sedikit gugup. Teriakan-teriakan dari belakang kami semakin keras dan bernada tidak sabar. Sang juru kamera bergeming. Saya menarik handel lebih keras. Pintu terbuka sedikit. Saya merangsek maju dan akhirnya ia mengalah—bergerak ke pinggir sambil tetap menyorotkan kamera, mencoba mengambil gambar Reza dan Dewi yang sudah duduk di kursi belakang.


Kami telah aman berada dalam mobil, namun seruan-seruan di luar makin menjadi. Beberapa dari mereka tampak gusar. Seorang juru kamera berteriak, “WOY! GAK BISA BEGITU DONG! LU KAN ARTIS!” Seolah tak cukup, seruan itu diulangnya berkali-kali. “EH, LU ITU ARTIS! LU ITU ARTIS!!” Demikian, terus-menerus. Sebagai aksi penutup, ia mengakhirinya dengan memukul mobil dengan kamera yang dibawanya.


Mobil melaju meninggalkan tempat itu. Saya mengira mereka akan berhenti ketika mobil mulai berjalan, namun teriakan para pekerja infotainment itu masih terdengar hingga belasan meter jauhnya.


Esoknya, infotainment beramai-ramai mempublikasikan peristiwa itu dengan berbagai julukan yang dialamatkan kepada Reza dan Dewi. Arogan, tidak etis, angkuh, kasar, temperamental, dan sebagainya. Sebuah situs media gosip bahkan menyatakan tindakan Reza menutup lensa kamera sebagai kemarahan tanpa sebab, dan terbenturnya kamera di mobil adalah perbuatan Reza—bukan ulah juru kamera yang dengan sengaja memukulkannya.



3.
Beberapa minggu berselang, Dewi menyanyi di stasiun televisi lain. Tidak lama setelah kami memasuki ruang tunggu artis, wartawan infotainment dan juru kamera menghampiri kami dan minta diberikan waktu untuk wawancara tentang album dan buku terbaru Dewi (Rectoverso). Dewi pun menyetujui dengan catatan pertanyaan yang diajukan HANYA seputar album dan buku—bukan kehidupan pribadi.


Setelah selesai dirias, Dewi keluar dari ruang tunggu untuk diwawancara. Wawancara berlangsung kurang-lebih duapuluh menit. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar tentang proses penciptaan lagu, penulisan cerpen, serta proses produksi Rectoverso secara keseluruhan. Memasuki lima menit terakhir, sang wartawan bertanya, “Dari 11 lagu yang ada di album ini, adakah yang Dewi buat untuk orang terdekat?”


Dengan halus, wawancara pun bergulir memasuki ranah personal Dewi. Kehidupan setelah pernikahan, rencana ke depan, dan si kecil Keenan pun turut dikulik. Esoknya, wawancara tersebut ditayangkan di stasiun televisi yang sama. Namun wawancara mengenai proses pembuatan album dan buku Dewi tidak ditayangkan. Bagian yang ditayangkan dimulai dari pertanyaan yang saya tuliskan di atas, serta pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau album terbaru Dewi. Wawancara asli sepanjang duapuluh menit disunat menjadi lima menit dengan topik yang berkebalikan dengan apa yang telah disepakati Dewi dan pekerja infotainment sebelumnya.


***


Semua yang saya ceritakan di atas tidak dapat Anda temukan di layar kaca maupun di tabloid yang Anda baca. Hanya orang-orang yang terlibat dan berada langsung di lokasi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi—apa yang berada di balik pemberitaan media gosip. Sayangnya, tidak seperti gosip dan skandal yang memperoleh tempat begitu luas di ranah hiburan tanah air, kenyataan yang faktual seringkali tidak mendapat kesempatan untuk bersuara. Itu sebabnya saya memutuskan untuk membaginya di sini.


Saat ini, saya tidak lagi menaruh perhatian secara khusus pada pemberitaan media gosip. Sesekali saya menyempatkan diri untuk menonton, namun saya tidak pernah menanggapinya dengan serius. Bukan karena saya tidak peduli dengan apa yang sedang ramai dibicarakan orang, bukan pula karena saya tidak mau tahu apa yang sedang berlangsung di ranah hiburan, namun karena saya paham apa yang sesungguhnya terjadi di balik pemberitaan penuh sensasi itu—secuil fakta yang dipelintir di sana-sini dan diramu sedemikian rupa dengan banyak bumbu.


Jika ada pelajaran yang saya tarik dari pengalaman di atas, maka itu adalah bagaimana menyikapi begitu banyak pilihan yang disodorkan di tengah kebebasan yang kita miliki. Pada akhirnya, keputusan memang berada di tangan kita. Sejauh remote control yang kita genggam, dan sejauh akal sehat yang bersemayam di balik tempurung kepala ini.

-----
*Gambar dipinjam dari http://gettyimages.com

Wednesday, December 16, 2009

Ruri dan Pak Dokter

Ruri adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun yang bekerja sebagai salesgirl. Keperawanannya direnggut oleh kekasih lamanya ketika ia berusia 18 tahun. Kepada pacarnya yang sekarang, Ruri mengaku masih perawan karena takut ditinggalkan. Masalah baru muncul ketika sang pacar mengajaknya bertunangan. Ruri yang ketakutan rahasianya terbongkar memilih untuk menempuh jalan pintas: melakukan operasi selaput dara. Pacarnya tidak perlu tahu. Orangtuanya apalagi. Cukup dengan sekian juta rupiah, ia bisa mendapatkan kembali keperawanannya dan menjadi perempuan utuh. Perempuan sempurna yang didambakan setiap lelaki.

Ruri adalah tokoh rekaan saya. Ia hidup dalam benak saya dan dalam korespondensi yang berlangsung selama beberapa minggu antara saya dengan seorang dokter ‘spesialis’ operasi selaput dara. Saya menemukan website-nya dari blog seorang teman, yang karena pertimbangan tertentu tidak saya cantumkan di sini.

Ketika pertama kali membuka situs tersebut, saya hanya bisa melongo. Pertama, karena alamat dan nama situsnya yang sumpah mati malesin (saya harus menutupi layar laptop ketika membukanya di tempat umum—saking mokal-nya). Kedua, karena artikel-artikel di sana ditulis dengan gaya bahasa dan kosakata yang jauh dari kesan profesional bin terpercaya. Ketiga, karena background website tersebut berupa gambar perempuan seksi dengan ekspresi seduktif. Keempat, karena meskipun di sana tercantum kalimat ‘mendapatkan izin dari Departemen Kesehatan’, tidak ada unsur identitas yang cukup meyakinkan mengenai Pak Dokter dan klinik yang didirikannya. Satu-satunya ‘identitas’ yang ada hanya sepenggal nama (tanpa nama belakang), alamat e-mail, dan sebaris panjang nomor ponsel yang nggak ada cantik-cantiknya (baca: tipikal nomor yang gampang dibeli di mana saja dengan modal 10.000 perak).

Website itu berisi sejumlah penjelasan tentang operasi selaput dara, berbagai bentuk selaput dara, alasan tentang perlunya melakukan operasi selaput dara, testimoni dari pasien-pasien yang pernah ‘digarap’ Pak Dokter, dan tak lupa, pendapat dari pemuka agama mengenai operasi selaput dara ditinjau dari pemahaman kitab suci. Intinya, para perempuan yang telah kehilangan mahkotanya bisa mendapatkan kembali keperawanannya melalui operasi sederhana yang tidak menghabiskan biaya. Cukup dengan beberapa juta rupiah (yang relatif lebih murah dibandingkan operasi sejenis di luar negeri), selaput dara kembali utuh, kehormatan terjaga, dan tidak perlu khawatir ditinggal suami (atau calon suami) yang kecewa karena istri (atau calon istri) ternyata tidak perawan lagi.

Hal itulah yang menggelitik saya untuk mengirimkan e-mail kepada Pak Dokter. Ruri membutuhkan pertolongan. Saya membutuhkan pemuas rasa ingin tahu.

E-mail yang saya kirimkan di siang hari dibalas malam itu juga. Dengan tutur kata halus dan sopan santun terjaga, Pak Dokter mengungkapkan bahwa biaya operasi selaput dara sebesar 5 juta rupiah, dengan waktu yang bisa ditentukan sendiri oleh ‘Adik Ruri’. Alamat klinik akan diberikan menjelang tanggal operasi.

Ruri sempat terkesima, tidak bisa membayangkan apa yang terjadi seandainya ia meminta operasi dilakukan besok pagi di Surabaya, misalnya. Namun ia mencoba untuk mengerti. Barangkali cara kerja dokter profesional memang seperti itu. Praktis dan serba rahasia karena tidak ingin direpotkan oleh pasien.

Saya punya tabungan sebesar 5 juta rupiah, namun Ruri tidak. Ruri hanya mahasiswi sederhana yang keuangannya pas-pasan. Tabungan dari hasil bekerja sebagai salesgirl tidak bisa menutupi biaya operasi. Maka, Ruri mengirim e-mail kedua kepada Pak Dokter, memohon agar diberi keringanan.

Balasan kembali datang. Kali ini, Pak Dokter tidak seramah semula. Tulisannya singkat dan dingin, tanpa salam pembuka atau salam penutup. Hanya beberapa kalimat pendek yang menyatakan bahwa harga terakhir yang diberikannya adalah 4 juta rupiah, dengan catatan operasi harus dilakukan selambatnya 2 minggu setelah e-mail dikirimkan.

Ruri yang lega dan kegirangan langsung mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kebaikan hati Pak Dokter. Tanggal operasi pun ditentukan: 7 November. E-mail berikutnya yang diterima Ruri dari Pak Dokter berisi pernyataan bahwa ia wajib membayarkan uang muka sebesar 200 ribu rupiah sebelum tanggal operasi yang sudah disepakati.

“Hitung-hitung uang bensin, sekaligus menguji apakah Adik serius atau tidak. Untuk orang yang serius, 200 ribu bisa ditanggulangi dengan mudah, tapi orang iseng akan berpikir 1000 kali untuk mengeluarkan uang. Dokter makan uang segitu nggak akan kaya. Maaf ini pengalaman, karena pernah diberi kelonggaran kepada pasien, malah ngelunjak (tidak datang, padahal Dokter sudah datang, sudah beli alat, sudah sterilkan alat operasi, dan lain-lain, jadi Dokter rugi kalau pasien tidak datang dan cuma iseng.” tulis Pak Dokter sedikit curcol.

Tentu saja Ruri tidak keberatan. Apalah artinya 200 ribu rupiah dibandingkan dengan keperawanan yang kembali utuh dan hubungan yang harmonis dengan calon tunangannya. Ruri berjanji akan membayarkan uang muka pada awal bulan setelah menerima gaji. Ia juga meminta nomor rekening Pak Dokter.

Setelah janji diberikan, Pak Dokter kembali bersikap manis. Pak Dokter berjanji tidak akan mengecewakan Adik Ruri, namun nomor rekening tidak dapat diberikan sebelum tanggal pembayaran uang muka. Ruri pun maklum. Barangkali cara kerja dokter profesional memang seperti itu. Inginnya yang pasti-pasti saja.

Saya menikmati jalannya korespondensi itu dari balik layar. Pelan namun pasti, saya terheran-heran sendiri dengan munculnya berbagai rasa yang tidak saya sangka-sangka. Awalnya, saya merasa keisengan ini amatlah lucu. Ketika mendapat balasan untuk pertama kalinya, saya terpingkal-pingkal sampai taksi yang sedang saya naiki nyaris nyasar ke kompleks tetangga.

Saat korespondensi berlanjut, rasa yang mendominasi bukan lagi geli dan penasaran. Saya sebal dengan sikap Pak Dokter yang berubah drastis ketika penawaran dilakukan. Keliatan bener pengen duitnya, meskipun Pak Dokter tidak sepenuhnya salah. Dokter kok ditawar, lo kira beli ikan di pasar?

Saya juga kesal dengan tenggat waktu yang ditentukannya. Mentang-mentang boleh nawar, langsung dibatesin 2 minggu. Namun, lagi-lagi, Pak Dokter tidak sepenuhnya salah. Udah bagus didiskon. Jangan ngelunjak, Jeeek.

Saya sendiri tidak tahu kenapa saya ikut-ikutan sebal dan kesal. Mungkin karena seperti Ruri, saya pun perempuan, kendati saya tidak ambil pusing dengan urusan perawan atau tidak perawan. Utuh atau terkoyak. Sempit atau longgar. Baru atau bek... uuups.

Korespondensi yang (awalnya) berlangsung atas nama iseng itu akhirnya membuat saya merenung sendiri: apa yang akan saya lakukan jika berada di posisi Ruri. Seandainya saya membohongi pacar saya dengan mengatakan bahwa saya masih perawan, akankah saya meneruskan kebohongan itu ketika ia mengajak saya menikah? Bahkan seandainya saya mendapatkan kembali ‘keperawanan’ saya dengan jalan operasi—dan tidak seorangpun tahu kecuali saya dan Pak Dokter—akankah saya tega membohonginya seumur hidup? Tegakah saya menyenangkan suami saya dengan membiarkannya mengira tetesan darah dan erangan yang saya keluarkan pada malam pertama kami adalah perlambang kesucian yang saya persembahkan hanya untuknya? Dan sanggupkah saya menjalani kehidupan rumah tangga nantinya, sementara saya sadar fondasi yang melandasinya amatlah rapuh?

Ruri memilih menghubungi Pak Dokter untuk menyelesaikan masalahnya. Akankah saya memilih jalan yang sama?

Sayangnya, saya tidak suka berandai-andai. Hidup, bagi saya, bukan naskah novel yang memerlukan outline sebelum ditulis. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena saya bukan Ruri. Biarlah Ruri yang menjawabnya sendiri.

Tanggal 31 Oktober—2 hari sebelum uang muka dibayarkan dan 7 hari sebelum tanggal operasi—Ruri mengirimkan e-mail terakhirnya kepada Pak Dokter.

Yth. Pak Dokter,

Dengan ini, saya hendak menginformasikan pembatalan operasi yang tadinya dijadwalkan pada 7 November.

Tadi malam pacar saya berkunjung ke rumah, dan saya menceritakan semua kepadanya, termasuk rencana operasi selaput dara ini. Saya tidak tega membohongi dia. Kalau kami bertunangan nanti, bahkan sampai menikah, saya tidak mau rumah tangga saya dilandasi dengan kebohongan. Lebih baik saya jujur daripada membohongi orang yang saya cintai, meskipun dia memutuskan saya. Ternyata, pacar saya tidak keberatan. Dia memang kecewa, tapi dia bersedia menerima saya apa adanya. Dia bilang dia tetap menyayangi saya meskipun saya sudah tidak perawan, karena selain keperawanan, ada hal-hal yang lebih penting di dunia. Cinta kami salah satunya. Saya lega dan bahagia sekali.

Terima kasih banyak atas kebaikan Pak Dokter selama ini, mulai dari membalas e-mail saya, memberi keringanan biaya, dan sebagainya. Saya sangat menghargai itu.

Salam,

Ruri


Saya membaca ulang e-mail yang baru saja terkirim, dan tersenyum sendiri. Drama singkat ini telah memberi pelajaran kepada saya jauh lebih banyak dari yang saya kira.

:-)


P.S. Pak Dokter membalas e-mail terakhir ini dengan memberi diskon tambahan sehingga tarif operasi menjadi 3 juta rupiah saja. Ada yang berminat? ;-)

-----

Thursday, December 3, 2009

Dear Nuel,

Apa kabar?

Belakangan ini gue sibuk dengan calon buku kedua gue. Buku itu akan terbit tahun depan. Di dalamnya ada artikel tentang elo. Judulnya ‘Farewell’, karena artikel itu gue tulis setelah kita berpisah. Sejujurnya, dari sekian banyak tulisan yang jadi pengisi buku itu, gue lupa bahwa ‘Farewell’ ada di sana. Sampai malam ini, ketika gue mengedit artikel itu.

Nel, gue nggak nangis waktu kita pisah. Gue bahkan nggak nangis waktu ninggalin elo. Gue pikir lo udah bahagia. And I did believe so. Lo tampak tenang sekali di sana, di peti itu. Lo kurus, tapi lo seperti tersenyum. Seakan pingin bilang ke semua orang, “Gue udah nggak apa-apa. Kalian bisa berhenti khawatir.” Tapi sekarang gue nangis. And I cry hard.

Nel, gue kangen elo. Kangen banyolan-banyolan lo. Kangen senyuman lo. Kangen minta tolong lo bawain barang lagi (karena lo yang paling berotot di antara kita semua dan gue yang paling cungkring). Kangen lihat lo ngangkat-ngangkat boom segede dosa itu. Kangen ngelihat lo dan Lala pacaran lagi kayak dulu. Kangen makan bareng lagi. Kangen ketawa-ketawa lagi.

Nel, kenapa gue nangis ya? Kenapa malam ini air mata gue nggak bisa berhenti inget elo? Berapa bulan sejak lo pergi? Sembilan? Sepuluh?

Bahkan sebelum lo pergi kita udah jarang ketemu. Lala bilang, lo sempet nanyain gue. Dan sekarang rasanya gue rela ngasih apa aja supaya bisa ketemu lo sekali lagi… ketika lo masih bisa senyum. Ketika gue masih bisa bercandain elo. Dan kita bisa sama-sama ketawa.

Di atas sana kayak apa, Nel? Indah? Lo ketemu nyokap gue? Sampaikan salam gue buat dia, ya. I miss her so damn much. Tell her I’m happy. Gue tahu dia tahu. Gue cuma pingin bilang aja. :-)

Nel, gue nggak pernah dapet kesempatan untuk ngomong ini ke elo. Tapi sekarang gue mau bilang.

Terima kasih karena udah ada di hidup gue. Terima kasih udah jadi temen gue. Terima kasih untuk tahun-tahun indah yang kita lewati bareng-bareng. Terima kasih untuk setiap senyum dan tawa yang pernah kita bagi, yang masih bisa gue kenang sampai sekarang ketika lo udah nggak ada. Lo nggak akan pernah tahu betapa berartinya itu semua. Ketika segalanya lenyap, yang tersisa cuma kenangan. Dan kenangan itu kita jaga, karena kita belum mau lupa.

…..



Hhhh.

Udah, ah. Gue udah selesai mewek. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya. Kalau kata Mitch Albom, gue yang curhat, lo yang dengerin. Ketika waktunya tiba nanti, kita bakal bisa lagi, kok, ngobrol dua arah.

:-)


Nel…

Gue kangen. Banget.

-----

Sunday, November 29, 2009

The Power of Mind

Saya dan seorang teman berencana pergi bersama. Belum lagi niat itu terlaksana, saya merasa terganggu dengan aroma bawang yang menguar dari tubuhnya. Bukan ‘bawang’ yang merupakan kiasan bau badan, tapi bawang yang sebenarnya. Celakanya, saya tidak tahan dengan aroma bawang.

“Kamu baru masak pakai bawang, ya?” saya bertanya setengah menuduh. Aroma itu semakin tajam, benar-benar mengganggu. Saya menatapnya dengan bimbang. Lebih baik tidak jadi pergi daripada tersiksa sepanjang jalan.

“Iya. Kamu nggak suka, ya?” ia mendekatkan tangan ke hidung dan mengendusnya. Ketika saya mengiyakan, ia berkata enteng, “Kalau aku sih udah biasa masak pakai bawang.”

Detik berikutnya, saya membuka mata. Saya sedang berada di tempat tidur, bergelung seperti bayi dengan selimut tebal. Di luar hujan. Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Berarti baru 4 jam saya tidur, setelah semalaman begadang membaca novel.

Bukan mimpi itu yang membangunkan saya, melainkan kenyataan bahwa hidung saya benar-benar mencium aroma bawang yang tajam menyengat. Selama beberapa detik saya melongo—antara percaya dan tidak.

Saya keluar dari kamar. Seseorang baru selesai memasak dan aromanya memenuhi kamar saya yang tepat berseberangan dengan dapur. Saya menghela nafas. Bukan saja saya tidak bisa kembali tidur; saya harus ‘membersihkan’ sarang saya dari aroma itu sebelum masuk lagi ke sana.

Sambil menunggu aroma bawang lenyap, saya melamun sendiri memikirkan mimpi aneh tadi.

Indra penciuman saya telah menangkap aroma bawang yang saya benci ketika saraf-saraf saya yang lain—yang masih terlelap—belum menyadarinya. Dengan mekanisme yang tidak saya pahami, otak saya menyeleksi aroma asing itu dan mengelompokkannya ke dalam kategori ‘bau-bauan tidak enak’, lantas menciptakan ilusi berupa mimpi untuk ‘mengalihkan’ perhatian saya. Sebuah mimpi yang memang berhasil menahan tidur saya selama beberapa menit sebelum akhirnya saya sungguhan terjaga.

Sepanjang pagi, tidak habis-habisnya saya merenungi kejadian itu dan merasa kagum sendiri atas kemampuan pikiran (alam bawah sadar—atau apa pun namanya) yang supercepat, supertanggap dan superkreatif dalam ‘menanggulangi’ sebuah masalah—bahkan sebelum kesadaran saya mampu mencerna masalah tersebut. Agar saya tidak perlu terbangun, diciptakanlah mimpi yang mengonfirmasi ketidaksukaan saya, dan lucunya, orang yang berinteraksi dengan saya di mimpi itu adalah orang yang sedang bertengkar dengan sahabat saya di kehidupan nyata. Beberapa hari terakhir, sahabat saya rutin mengadukan kekesalannya atas ulah seorang kawan, dan meski saya berusaha netral, sedikit banyak saya ikut terpengaruh oleh peristiwa tersebut. A ditambah B, dan voila, pikiran saya dengan kreatif memasok ilusi masakan bawang yang dibuat oleh orang yang tidak saya sukai demi menutupi fakta sederhana bahwa tepat di depan kamar saya seseorang (hanya) sedang memasak.

Saya termangu mendapati betapa sederhananya kenyataan itu, dan betapa kompleksnya cara kerja pikiran dalam (berusaha) menanggulangi sebuah masalah—di mana yang disebut ‘masalah’ sesungguhnya tidak lebih dari sesuatu yang tidak saya sukai.

Lucu, bagaimana perangkat yang didesain untuk menolong manusia berevolusi dan menapaki perjalanan hidup sebagai makhluk berakal budi sanggup menciptakan berbagai ilusi yang mengaburkan pandangan dari kenyataan sederhana yang sebenarnya terjadi. Jangan-jangan, sebenarnya tidak pernah ada yang salah dengan hidup ini. Jangan-jangan, segala sesuatu yang terjadi hanyalah ‘ada apa adanya’. Jangan-jangan, kita sebenarnya bertanggungjawab atas ilusi yang diciptakan pikiran ini, sementara pada saat yang sama kita menudingkan jari pada begitu banyak hal di luar sana yang kita anggap sebagai sumber masalah—sedangkan apa yang disebut ‘masalah’ sebenarnya tidak lebih dari sesuatu yang tidak kita sukai.

Jangan-jangan. Saya sendiri tidak tahu. Namun kemungkinan itu ada.

Anda yang membaca judul di atas barangkali berasumsi bahwa saya menulis artikel self-help mengenai kekuatan pikiran dan bagaimana memaksimalkan potensi tersebut untuk menolong seseorang mencapai keberhasilan. Sebut saya naif, namun saya berpendapat, mustahil untuk hidup dalam kekuatan pikiran yang sejati jika seseorang tidak betul-betul memahami cara pikirannya bekerja. Jangan-jangan, segala konsep motivasional yang kita kenal selama ini tidak lebih dari ilusi yang diaminkan dengan mata setengah terpejam, karena apabila segala faktor yang melatari konsep tersebut dirunut ke belakang, kita hanya membentur sebuah alasan yang sama: kita ingin bahagia.

Jika demikian adanya, lantas apa hubungan antara kebahagiaan dengan kesuksesan? Kebahagiaan dengan mencapai hal-hal tertentu yang kita inginkan? Mengapa kita memerlukan kondisi tertentu agar bisa bahagia? Mengapa kita harus meraih ini dan itu dulu; atau memiliki anu dan inu? Mengapa kita tidak bisa bahagia sekarang? Mengapa kita sulit untuk bahagia—begitu saja?

Dan pertanyaan yang sama pun kembali berulang di benak saya: are you happy, Jen?

* * *

Pagi itu, saya duduk di dekat jendela dengan novel di pangkuan dan semangkuk mi instan mengepul. Di luar hujan terus mendera bumi. Saya kedinginan, tapi teh manis panas perlahan-lahan menghangatkan tubuh. Untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, mendadak saya merasa bahagia. Sangat bahagia.

Saya tidak tahu kenapa saya bahagia. Mungkin karena novel baru yang belum selesai dibaca. Mungkin karena semangkuk mi instan dan secangkir teh panas. Mungkin karena rintik hujan yang membuat suasana jadi romantis. Mungkin karena mimpi barusan secara tidak langsung telah mengingatkan bahwa saya tidak perlu terjerat ilusi dalam menjalani permainan hidup; bahwa saya bisa bernafas lebih lega dan melangkah lebih ringan. Atau mungkin karena kebahagiaan sesederhana cuaca; datang dan pergi pada waktunya. Saya tidak perlu tahu kenapa dan kapan.

Mungkin. Entahlah. Saya tidak berminat mencari tahu. Yang saya tahu hanya, pagi itu saya tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

:-)

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com.

-----

Sunday, November 22, 2009

Siapa Bilang Jadi Vegetarian itu Susah?

Menjadi vegetarian adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas di benak saya sama sekali. Saya cukup sering membaca berbagai tulisan dan artikel tentang vegetarian, dan pernah pula tergoda menjajal berpuasa daging ketika mendengar Oprah Winfrey menjadi vegetarian, namun semuanya hanya sebatas mampir di otak. Berkelebat sekilas dan lenyap tanpa bekas.

Sebagai pelahap sejati ayam bakar, empal goreng, bistik, gulai otak, hamburger, dan segala jenis makanan berdaging lain, saya menjadikan daging menu utama dalam hidangan sehari-hari. Saya bahkan sanggup menyantap menu yang sama selama berhari-hari, selama racikan bumbunya pas dan sesuai dengan lidah saya, dan yang terpenting, berdaging.

Perkenalan saya yang pertama dengan makanan tanpa daging terjadi kira-kira sepuluh bulan yang lalu, ketika saya menjalin pertemanan dengan dua herbivora vegetarian. Yang satu sudah menjadi vegetarian selama tiga tahun, sedangkan satunya lagi sudah delapanbelas tahun.

Kunjungan yang cukup sering membuat saya tergoda mencicipi hidangan yang tersaji di meja makan mereka. Saya masih tidak bisa membayangkan rasanya makan tanpa daging, namun setelah dicoba, rasanya tidak seburuk yang saya duga. Ketika bepergian bersama, saya memilih menu tanpa daging untuk menghormati mereka. Ternyata, saya menikmatinya. Lewat beberapa bulan, tubuh saya pun mulai merasakan manfaatnya. Entah sugesti atau bukan, saya merasa lebih sehat dan penyakit jarang mampir.

Saya pun memutuskan untuk tidak lagi berfoya-foya menyantap daging. Dalam seminggu, saya membiasakan diri untuk berpuasa daging selama dua hari. Setelah beberapa bulan, saya mampu berpuasa daging selama empat hari. Selama itu pula tubuh saya menjadi jauh lebih segar dan tidak rentan penyakit. Perlu diketahui bahwa sejak kecil saya mudah jatuh sakit dan saya terbiasa mengonsumsi antibiotik sejak berusia dua tahun. Kebiasaan itu terbawa hingga dewasa dan menyebabkan saya bergantung dengan obat-obatan. Sejak menekuni meditasi dan mengurangi konsumsi daging, kondisi tubuh saya berangsur-angsur mengalami perubahan.

Saya yang dulu sering terkena flu, kini jarang sekali sakit. Kalaupun sakit, tidak lebih dari dua atau tiga hari. Lebih dari sekali saya mengalami gejala flu dan masuk angin yang hanya bertahan kurang dari duapuluhempat jam tanpa pengobatan apa pun. Saya yang dulu membawa dompet berisi berbagai macam obat –mulai dari jamu sampai kapsul— di dalam tas, kini mulai berani bepergian tanpa segala peralatan perang itu. Saya yang dulu ‘fakir obat’ sekarang tidak pernah lagi minum obat. Seakan-akan tubuh saya kembali menemukan kemampuan alamiahnya untuk menyembuhkan diri sendiri. Tidak hanya tubuh, hati saya pun terasa lebih lapang, karena menyantap daging hewan –pada esensinya yang sejati— sama dengan memindahkan energi yang dimiliki oleh hewan tersebut ke tubuh dan batin kita. Hewan yang diternakkan secara tidak alamiah, misalnya, biasanya mengalami stres yang ikut berpindah ke diri kita ketika kita menyantapnya.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mengeliminasi daging dari menu sehari-hari. Bukan hanya beberapa kali seminggu, melainkan setiap hari. Saya memberi penjelasan kepada anggota keluarga yang mempertanyakan keputusan tersebut. Meski awalnya terkejut, lambat laun mereka mulai terbiasa dengan gaya hidup saya yang baru.

Kekhawatiran yang tadinya saya miliki tentang apa-kata-orang ternyata tidak terbukti. Sebaliknya, menjadi vegetarian memberi saya kesempatan untuk belajar berkomunikasi. Saya belajar menyampaikan dengan jujur dan apa adanya alasan saya untuk tidak mengonsumsi daging. Saya menjelaskan pilihan yang saya ambil kepada teman-teman saya. Ternyata mereka dapat menerimanya dengan baik. Setelah beberapa bulan, dua sahabat saya yang awalnya sangsi menjadi tertarik dan ikut mengurangi menyantap daging.

Kebahagiaan saya bertambah dengan menjamurnya restoran vegetarian di berbagai tempat, yang berarti, pilihan untuk menikmati makanan enak dan sehat juga semakin bertambah. Restoran-restoran lain yang mulai menyediakan menu vegetarian di samping menu biasa juga semakin membuat saya berseri-seri. Sungguh, menjadi vegetarian ternyata tidak sesulit yang saya duga.

Beberapa bulan lalu, saya membereskan kamar. Di sudut meja, saya menemukan sebuah dompet berisi berbagai macam obat. Saya terheran-heran sendiri, sejak kapan benda itu tergeletak di sana. Benda yang dulu tidak pernah saya tinggalkan barang sehari, kini telah terlupakan. Barulah saya ingat, saya pernah mengeluarkannya dari tas karena malas membawa terlalu banyak barang. Saat itu, saya merasa cukup sehat dan yakin alergi saya tidak akan kambuh, tidak akan terserang masuk angin, mual mendadak, dan sebagainya. Saya mengeluarkannya dan menaruhnya di atas meja. Sejak itu, saya tidak pernah menyentuhnya lagi.

Saya tersenyum, lantas mengosongkan isi dompet tersebut. Saya merasa seperti narapidana yang baru keluar dari penjara. Saya bebas.

Setiap hari, saat melihat makanan di piring --apa pun isinya-- hati saya bernyanyi dan bersyukur. Rasa syukur itu tidak hanya datang dari tubuh yang sehat dan dompet obat yang kosong, melainkan dari pilihan yang saya ambil dan jalani setiap hari dengan penuh kesadaran. Sayur nangka, jamur goreng, kentang masak kecap, telur balado, pepes oncom, tempe mendoan, semur tahu, perkedel kentang, dan semangkuk sayur berkuah adalah surga kecil saya sekarang.

Dulu, saya sempat khawatir untuk menyebut diri vegetarian, namun kini saya mengucapkannya dengan percaya diri. Dulu, saya memiliki berbagai kekhawatiran untuk menjalani gaya hidup tanpa daging. Kini, saya sering tersenyum dan membatin, “Tau gitu, dari dulu aja.”

Ya. Siapa bilang jadi vegetarian itu susah?

:-)

*Artikel ini dimuat di majalah Info Vegetarian edisi IV/2009.

**Gambar dipinjam dari gettyimages.com.

----

Thursday, November 12, 2009

The Interview with God

Sudah ada sebuah artikel yang siap saya publikasikan di sini, namun saya memutuskan untuk menundanya demi sesuatu yang lebih berharga.

Go figure. Open your heart. Be blessed. :-)

http://www.theinterviewwithgod.com/popup-frame.html


-----

Wednesday, November 4, 2009

'This Is It' Spells L-O-V-E

Discover the man you thought you knew.

Saya tersenyum membaca tagline itu beberapa saat sebelum memasuki bioskop. Jenius, batin saya. Siapa yang tidak akan terpikat dengan kalimat seperti itu. Saya sendiri, sejujurnya, tidak punya ekspektasi apa-apa. Saya bukan penggemar Michael Jackson. Namanya sudah akrab di telinga saya sejak kanak-kanak, tapi saya tidak pernah mengikuti karya-karyanya, apalagi mengidolakannya.

The man? Saya tidak punya bayangan apa-apa tentangnya. Dokumenter ini bisa jadi sangat mengesankan atau sangat membosankan.

Lima menit pertama berlalu. Raja Pop itu muncul dengan kostum perak-biru dan celana oranye ketat. Satu-satunya yang membuatnya termaafkan adalah karena ia Michael Jackson. :-)

Menit demi menit berlalu, dan saya terkesima. Inilah kali pertama saya melihat sebuah karya dipersiapkan seserius, serapi dan sedetil ini. Nyaris tanpa cacat sampai rasanya ‘menakutkan’. Sepanjang film, berkali-kali saya merasa tertampar. Saya bukan penyanyi atau pencipta lagu, namun saya tahu rasanya berproses untuk mengawinkan ide dan kreativitas sampai melahirkan sebuah karya. Mungkin itulah sebabnya – karena saya merasa sebagian diri saya terwakili olehnya.

This is for love,” sabda sang Raja. Siapa yang tidak setuju setelah melihatnya. Tidak ada yang lebih tepat untuk menguraikan pesan yang terdapat dalam konser ini selain cinta. Cintanya kepada manusia. Kepada dunia. Kepada Bumi. Kepada karya-karyanya. Jackson mencintai dan mengenal setiap karyanya sampai ke detil yang paling sederhana, dan barangkali itulah attitude yang perlu dimiliki setiap orang yang mengaku pekerja seni: karya adalah anak jiwa.

You can’t fool Michael,” komentar seorang musisi yang terlibat dalam konser tersebut. Komentar itu tidak berlebihan. Jackson tidak memasrahkan lagu-lagunya untuk diaransemen ulang dan berpangku tangan terima-jadi seperti yang kerap dilakukan pencipta lagu dan penyanyi lain. Ia mengetahui setiap rekaman, tempo dan kunci dari lagu-lagu yang lahir dari rahim kreatifnya, dan ia menginginkan yang terbaik.

That’s why we have rehearsal,” ucap Jackson. Sederhana, tanpa sirat kesombongan. Saya tidak tahu apakah Kenny Ortega melakukan segala macam cara dalam menyunting film agar Jackson tampak seperti malaikat. Mungkin ia telah membuang bagian-bagian di mana sisi ‘iblis’ Jackson muncul. Mungkin Ortega memang ingin menampilkan Jackson sebagai manusia setengah dewa, karena sosok di layar itu hanya bisa digambarkan dengan ungkapan ‘too good to be true’. Dengan segala kejeniusan, kerendahan hati, ‘I love you’, ‘thank you’, dan ‘God bless you’ yang berkali-kali ia lontarkan, adakah seniman besar yang dijuluki raja ini manusia biasa?

Saya tidak tahu sejumlah lagu yang dibawakan Jackson sehingga saya tidak bisa ikut bernyanyi dalam bioskop. Saya tidak bisa menghayati lagu-lagu tersebut. Saya tidak mengenal Jackson sebaik jutaan penggemarnya yang lain, namun air mata saya mengalir. Jika ada sesuatu yang tidak gemerlap dari seorang Michael Jackson, maka itu adalah cintanya – sesuatu yang berkali-kali diulang dan ditekankannya. Cinta itu sederhana. Begitu sederhana hingga ia dengan mudah menyentuh setiap hati yang dijumpainya.

He is a king. He is a good guy. He is humble and he knows his music,” komentar musisi lainnya. Cukupkah itu untuk mendefinisikan seorang Jackson?

We thought we knew. The truth is, we never knew.

Konser itu tidak pernah terlaksana. Sang Maestro meninggal delapan hari sebelum karya terbesarnya lahir. Banyak orang menyayangkan pembuatan film 'This Is It'. Sebagian keluarga dan fans fanatiknya berkata Jackson tidak akan suka dokumenter tersebut dipublikasikan karena ia seorang pengagung kesempurnaan dan apa yang terekam dalam film itu jauh dari sempurna. Bagi saya, ketidaksempurnaan dalam karya itulah yang menjadikannya sempurna. Karya tersebut memperlihatkan kepada dunia sisi manusia dari seorang manusia setengah dewa yang disanjung setinggi langit. Karya tersebut, meski tidak sempurna, adalah persembahan terbaik Jackson bagi dunia.

Saya duduk hingga baris terakhir dalam credit title selesai ditayangkan. Saya satu-satunya penonton yang tersisa. Petugas kebersihan mulai menyebar di antara lorong kursi dan saya bergeming. Layar kembali menampilkan sosok Jackson di tengah panggung. Gambar berganti, memperlihatkan seorang gadis cilik memeluk bola dunia. Di sudut kiri bawah muncul sebuah guratan. Sebaris ‘I love you’, diikuti tanda tangan Jackson di sebelah kanan.

Layar besar itu gelap sudah. Saya merapatkan tas di bahu dan melangkah keluar dengan hati penuh.

Tagline
itu tidak sepenuhnya benar. Saya masih tidak tahu ‘siapa’ Michael Jackson. Namun satu hal saya ketahui pasti: persembahan terakhirnya bagi dunia telah mengajar saya untuk berkarya dengan cinta.


*Gambar diculik dari: http://memories.michaeljackson.com/ex-images/michael-jackson-this-is-it-movie-poster.jpg

-----

Tuesday, October 27, 2009

Perceraian di Mata Saya

Orang tua saya berpisah ketika saya berusia empat tahun. Penyebab dari perpisahan mereka, sejauh yang saya tahu, adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ada yang mengatakan, seharusnya ibu melahirkan enam anak, namun akibat kekerasan yang terus dialaminya, janin yang sanggup bertahan di rahimnya hanya dua. Saya dan adik saya.

Tidak lama setelah melahirkan adik saya, ibu lari dari rumah karena tidak tahan dengan kekerasan yang semakin menjadi-jadi. Beliau sempat terkapar di rumah sakit dengan sekujur tubuh lebam. Saya sendiri baru mengetahui peristiwa ini setelah beliau meninggal lima tahun silam. It remained a mystery for more than 20 years. Setelah keluar dari rumah sakit, beliau membawa adik saya yang masih bayi dan pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa tahun kemudian, saya menyusul dan tinggal bersama ibu.

Saya tidak tahu apakah pernyataan ini akan terdengar kontroversial, namun sebagai seorang anak yang mengalami dampak perceraian, saya justru berharap orang tua saya bercerai lebih dini. Seandainya ibu memiliki keberanian untuk pergi lebih awal, mungkin ia tidak perlu terkapar di rumah sakit dengan memar di sekujur tubuh. Seandainya perpisahan itu dilakukan lebih awal, mungkin ia tidak perlu dihantui trauma dan luka batin seumur hidup. Meski beliau tidak pernah membicarakannya, saya tahu, luka itu ada.

Banyak orang mengatakan, kebahagiaan anak seharusnya diprioritaskan di atas kebahagiaan orang tua. Saya justru berharap sebaliknya. Seandainya sejak awal ibu memprioritaskan kebahagiaannya di atas kebahagiaan saya, barangkali kisah hidup beliau akan berakhir lain. Saya pernah membaca sebuah tulisan, bahkan anak-anak yang orangtuanya tidak mengalami KDRT dan mempertahankan pernikahan ‘demi kebahagiaan anak’, dapat merasakan apa yang sesungguhnya terjadi pada orang tua mereka. Kenyataannya, duduk bersama di meja makan, masuk ke kamar yang sama setiap malam, datang bersama ke acara-acara sekolah, dan banyak sandiwara lain yang dilakukan demi sang buah hati, tidak cukup untuk menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari batin anak yang bersangkutan. They just know. They can feel it. At least, that’s what I read. Di sisi lain, bahkan sebagai anak kecil yang belum mengerti apa-apa, saya turut terkena efek psikologis dari setiap kejadian buruk yang dialami ibu, karena saya membagi aliran darah yang sama dengannya.

Saya tidak tahu dengan orang-orang lain yang orangtuanya juga bercerai. Apa yang mereka rasakan bisa saja berbeda. Namun, saya bersyukur orang tua saya bercerai.

Dalam sebuah obrolan santai beberapa tahun silam, ibu bercerita kepada saya dan adik tentang beberapa orang yang sempat dekat dengannya sebelum beliau bertemu ayah saya.

“Yang naksir Mama itu dulu mulai dari dokter sampai pengusaha. Nggak tahu gimana, bisa jadinya sama Papi kamu,” ujarnya.

Mendengar itu, adik saya nyeletuk, “Kenapa Mama nggak jadian sama yang pengusaha aja? Kan lebih enak!”

“Kalau Mama nggak kawin sama Papi kamu, nggak bakalan ada kamu,” beliau menjawab enteng. Ibu saya bukan orang yang ekspresif. Beliau cenderung keras dan dingin dalam mendidik anak-anaknya, namun saat itu saya yakin, saya mendengar senyuman dalam jawabannya.

Ibu mungkin akan lebih bahagia menikah dengan dokter atau pengusaha. Mereka yang mencintainya dan tidak memukulinya seperti ayah saya yang pemabuk. Namun dengan begitu, tidak akan ada saya. Tidak akan ada adik saya. Dan sama seperti saya tidak menyesali keputusan yang diambilnya berpuluh tahun silam, saya tidak menyesali keputusannya untuk bercerai. Karena perceraian beliau memberikan saya ayah terbaik di seluruh dunia.

Bagi Anda yang mengikuti blog ini dan mulai bertanya-tanya, ya, pria yang saya panggil ‘Ayah’, yang saya cintai segenap jiwa dan berkali-kali muncul dalam tulisan-tulisan saya, bukanlah ayah kandung saya. Beliau menikah dengan ibu setelah ibu dan ayah kandung saya bercerai. Dan beliau adalah satu-satunya orang yang berada di sisi ibu ketika wanita tersayang itu menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit.

Kami, anak-anaknya, tidak ada di sisinya. Ibu saya meninggal didampingi laki-laki yang mencintainya sampai akhir hayatnya, yang menerimanya apa adanya dengan tanggungan dua orang anak dan tidak pernah –satu kali pun—mendaratkan pukulan di tubuhnya. Laki-laki yang pernah dikucilkan keluarganya selama bertahun-tahun karena orang tua dan saudara-saudaranya tidak bisa menerima keputusannya untuk menikahi ibu saya. Laki-laki yang pernah kehilangan mata pencaharian karena sang ayah yang jengkel terhadapnya menarik toko obat yang sedang ia kelola dan memberikannya kepada saudaranya yang lain. Laki-laki yang rela tidak memiliki anak dari pernikahannya dengan ibu, dan tetap mencintai saya dan adik seperti anak kandungnya sendiri. Laki-laki yang sampai hari ini masih menyimpan foto ibu saya di ponselnya. Laki-laki itu tidak hanya saya panggil ‘Ayah’. Darinyalah saya belajar memaafkan dan mencintai.

Saya menulis artikel ini setelah membaca sebuah diskusi di internet yang membahas perceraian dua figur publik di Amerika Serikat. Selain keputusan yang cukup mendadak dan memancing reaksi para anggota forum, yang paling banyak dibicarakan adalah dampak perceraian mereka terhadap anak-anak yang berusia 9 dan 6 tahun. Pendapat yang dilontarkan pun beraneka ragam. Ada yang bisa memahami, ada yang mendukung, ada yang kecewa, ada pula yang terang-terangan mencela mereka sebagai orang tua yang tidak bertanggung jawab, egois, menelantarkan kebahagiaan anak, dan sebagainya.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anak-anak itu kelak. Mungkin orang-orang di forum itu benar. Mungkin juga mereka salah. Yang saya tahu hanya, dalam daftar hal yang paling saya syukuri di dunia, perceraian orang tua saya menduduki peringkat awal. Saya bahkan mengagumi ibu yang dengan tegar berjuang melepaskan diri dari siksaan dan dengan berani menjadi orang pertama dalam keluarga besar kami yang menandatangani surat cerai.

Perceraian bagi sebagian orang mungkin merupakan simbol dari kesedihan, penderitaan, bahkan tragedi. Tidak bagi saya. Perceraian telah mengajarkan saya tentang kejujuran dan cinta, dan pada akhirnya, mengajarkan saya untuk berdamai dengan hidup.

:-)

-----

Thursday, October 22, 2009

Perkara Tuding-menuding dan Cela-mencela

Malam ini, timeline akun Twitter saya ramai dengan pembahasan seputar para menteri terpilih yang baru saja diumumkan di televisi. Saya, yang dari awal memang tidak tertarik untuk mengikuti, memilih mendem di kamar demi menamatkan Harry Potter, entah untuk keberapa kalinya. Emang ciamik Nyonya Rowling itu, gak ada matinye. Tapi mari kita tidak berfokus pada Harry Potter atau Nyonya Rowling.

Saya terdiam saat membaca tweet demi tweet yang masuk, dan akhirnya, ketika membaca tweet seorang selebriti yang cukup vokal mencela menteri-menteri terpilih, saya pun nyengir kuda.

Saya tidak anti mencela. Namun, entah mengapa, melihat banyaknya celaan yang ditujukan pada kabinet yang baru terbentuk –yang bahkan tidak pernah saya ikuti perkembangannya—mendadak menimbulkan perasaan aneh di hati. Simpati? Entahlah. Rasanya bukan. Simpati apanya, wong saya Golput kok. ;-)

Saya termasuk kelompok manusia yang suka mencela, dan di saat-saat tertentu, lidah saya bisa lebih tajam dari silet yang baru dibeli di warung – terutama menjelang awal bulan dimana hormon sedang bergejolak, dan ketika sedang banyak pikiran alias stres. Atas nama kejujuran, bagi saya mencela adalah sebuah bentuk terapi – terserah mau dibilang nista, dangkal, atau apa pun. Mengetahui bahwa ada orang yang lebih buruk dari saya, ada yang bisa disalahkan, mengungkapkan itu sesuka hati, dan dengan cara yang saya kehendaki, selalu memberi kelegaan tersendiri, meski kelegaan itu hanya temporer. Siapa peduli berapa lama lega itu bisa bertahan? Siapa peduli efek jangka panjang dari tindakan tersebut? Yang penting sekarang saya bisa merasa (sedikit) lebih nyaman.

Seorang teman berkata, mencela, menuding, dan menghakimi adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dan ia benar. Seperti yang saya sebutkan tadi, tiga hal itu bisa jadi jalan pintas untuk melegakan hati. Itu sebabnya sesekali saya masih menonton program-program televisi yang tidak akan saya nikmati dalam keadaan ‘waras’. Itu sebabnya sesekali saya masih mengikuti pemberitaan infotainment yang penuh fiksi dan drama. Itu sebabnya saya kekeuh sumekeuh memonopoli remote control di rumah ketika RCTI menayangkan sinetron Manohara untuk pertama kalinya.

Orang lain mengatakan, justru di situ serunya. Hidup akan terasa hambar kalau tidak ada orang yang suka mencela. Ia juga benar. Bayangkan betapa membosankannya dunia yang warnanya serbaputih. Namun saya bertanya-tanya, akankah kita mengamini hal yang sama, seandainya kita yang jadi sasaran cela, hujat dan kritik?

Menumpahkan uneg-uneg itu mudah. Meluapkan amarah dan kekecewaan itu gampang. Menghakimi apalagi. Kalau kepala sudah terlanjur panas, mendengar dan berkomunikasi pun ke laut aje. Memaki-maki dulu, yang penting hati lega. Tidak peduli siapa benar siapa salah. Siapa yang patut didengarkan dan demi alasan apa. Tidak penting. Perkara konsekuensi dan perasaan orang lain, bisa diatur belakangan. Kita memang sudah terbiasa. Hidup mengkondisikan kita untuk terbiasa.

Sekali lagi, saya tidak anti mencela. Saya tidak anti menuding. Setiap akhir pekan saya masih setia nongkrong di depan televisi untuk menikmati guilty pleasure saya: reality show populer slash ajang cari jodoh yang dipandu seorang MC Batak nan tampan. Sebuah tayangan yang selalu berhasil memancing celaan demi celaan dari mulut saya. Bahkan setelah saya tahu pahala saya tidak akan bertambah (defisit iya!), saya tetap suka menontonnya.

Entri pendek ini tidak bertujuan untuk mengurangi populasi kaum pencela, karena saya belum ingin punah dari muka Bumi. Entri ini hanya bertujuan untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa ketika saya menudingkan jari kepada orang lain, empat jari lainnya menuding diri saya sendiri. Mudah-mudahan itu cukup.

-----

*Gambar diculik (lagi) dari gettyimages.com

Monday, October 19, 2009

Iseng-iseng (Tanpa) Berhadiah: Untuk Siapa?

Kali ini saya tidak akan menulis artikel, puisi, atau curhat colongan. Saya ingin mengajak Anda semua bermain.

*Hadiahnya? Nggak ada. Wong saya ngeblog aja gratisan kok.*

Permainannya sederhana. Saya akan menyebutkan SEBUAH PERTANYAAN. Setelah Anda menjawabnya, ajukan pertanyaan berikut kepada diri Anda sendiri: “Apa tujuannya?”

Renungkan pertanyaan tersebut baik-baik. Jawaban setiap orang akan sangat bervariasi, karena masing-masing orang memiliki prioritas dan persepsi yang berbeda-beda. Setelah Anda memperoleh jawaban, ulangi pertanyaan yang sama: “Apa tujuannya?”

Setelah jawaban berikutnya muncul, kembali ajukan pertanyaan yang sama kepada diri Anda. Ulangi siklus tanya-jawab ini sampai Anda merasa tidak ada lagi jawaban yang dapat diberikan. Setelah itu, ajukan pertanyaan terakhir yang saya tuliskan di bagian bawah entri ini.

Yang unik dari permainan ini adalah, apabila Anda berhasil menjawabnya dengan benar, Anda semua akan sampai pada sebuah JAWABAN AKHIR YANG SAMA, sekalipun Anda memulainya dengan jawaban yang berbeda-beda.

Pertanyaan saya adalah:

Pernahkah Anda melakukan sesuatu demi orang lain dan bukan untuk diri sendiri?

Contoh:

(?) Pernahkah saya melakukan sesuatu demi orang lain dan bukan untuk diri saya sendiri?

(=) Pernah.

(?) Apa tujuannya?

(=) Untuk menolong orang tersebut.

(?) Apa tujuan saya menolong orang tersebut?

(=) Supaya ia terbebas dari masalahnya.

(?) Apa tujuan saya membebaskan ia dari masalahnya?

(=) Supaya ia merasa bahagia.

(?) Apa tujuan saya membuatnya merasa bahagia?

… dan seterusnya.


Setelah Anda merasa tidak ada lagi jawaban yang dapat diberikan, ajukan pertanyaan terakhir ini kepada diri Anda:

Jadi, untuk siapa sebenarnya saya melakukan semua itu?

Sekali lagi, keunikan dari permainan ini adalah, jika Anda menjawab dengan benar, Anda semua akan sampai pada JAWABAN AKHIR YANG SAMA, sekalipun Anda memulainya dengan jawaban yang berbeda-beda. Dan apa yang saya maksud dengan ‘jawaban yang benar’ di sini? Jawaban yang benar adalah jawaban yang jujur.

Jika Anda merasa telah menemukan jawaban terakhir Anda, silakan tuliskan jawaban tersebut pada comment box yang tersedia, dan kita akan bersama-sama melihat hasilnya dalam waktu dua minggu setelah entri ini dipublikasikan.

Tidak ada yang menang dan kalah dalam permainan ini. Tidak ada kubu. Tidak ada skor. Tidak ada nomor satu dan nomor sekian. Tidak ada hadiah. Satu-satunya hal yang dapat Anda peroleh dari permainan ini adalah jawaban akhir Anda sendiri, dan barangkali, sedikit perenungan tentang rahasia semesta bernama Hidup.

Selamat bermain! :-)


*Ya ya ya, I know. Saya harus mengurangi hobi tweeting supaya bisa kembali menulis di sini. Secepatnya. :-D

**Gambar diculik dari gettyimages.com.

-----

Sunday, October 11, 2009

Penting Nggak Penting

“Penting buat celebrity hunter, kali,” begitu komentar seorang kawan ketika saya mengomentari sebuah situs yang menampilkan update status terkini para selebriti sebagai ‘nggak penting seenggak penting-nggak pentingnya’.

Saya hampir menimpali dengan, “Kenapa juga ada yang nganggep berburu seleb itu penting?” ketika mendadak saya ingat, setahun lalu kalau nggak salah, ketika SMS Artis sedang booming-booming-nya, saya termasuk salah satu yang ikutan latah mendaftarkan nomor ponsel untuk menerima update dari selebriti favorit saya. Biaya registrasi 2000 rupiah, dan setiap SMS yang dikirimkan si artis langsung dari HP-nya dikenakan biaya 1000 rupiah. Namanya juga nge-fans, nggak apalah, pikir saya.

2 hari kemudian, saya memutuskan untuk berhenti berlangganan. Kenapa? Karena SMS yang dikirimkan si artis langsung dari HP-nya itu amat sangat tak penting. Entah bagi orang lain, namun bagi saya, menerima pesan macam, “Hai, apa kabar? Hari ini aku latihan di …” sungguh membosankan. Bahkan sepupu saya yang masih berumur 10 tahun bisa mengirim SMS yang jauh lebih menarik.

Selang beberapa waktu kemudian, saya jatuh ke lubang yang sama mengulangi hal yang serupa, bedanya, kali ini bukan artis, melainkan seorang pakar hipnotis tampan yang selalu berbaju ketat. Tidak sampai seminggu, saya berhenti berlangganan karena jenuh. Sejak itu, saya beranggapan mengikuti update selebriti adalah salah satu hal paling nggak penting di dunia. Bukannya nggak boleh (karena saya pun masih mengikuti beberapa figur publik di Twitter), tapi jelas bukan prioritas. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan; menulis balasan untuk komentator nyinyir yang nyampah seenak jidat di blog saya, misalnya. Atau bermalas-malasan di ranjang dari siang sampai sore. Sebuah kegiatan yang menurut sebagian orang sangat tidak produktif dan tidak penting.

Pesan moral sejauh ini? ‘Penting nggak penting’ bagi setiap orang memang berbeda-beda. Dan ‘penting nggak penting’ menurut persepsi seseorang pun sangat mungkin berubah dari waktu ke waktu.

Contoh kasus: ketika saya membuat blog ini pada tahun 2006, dengan niatnya saya mendaftarkan diri ke banyak milis demi memperkenalkan tulisan saya ke publik. Caranya: saya mempublikasikan beberapa paragraf, memotongnya tepat di bagian ‘yang lagi seru-serunya’, kemudian mencantumkan alamat blog ini persis di bawah paragraf yang bersangkutan. Dengan begitu, anggota milis yang tertarik membaca kelanjutannya akan berkunjung ke blog ini, dan nantinya mereka bisa membaca tulisan-tulisan saya yang lain.

Sepenting itulah makna ‘dibaca orang’ bagi saya, dulu. Sekarang? Masih penting memang, bedanya, kini saya harus menahan diri untuk tidak memaki balik orang yang nyampah seenak jidat, mencela balik mereka yang beranggapan ‘segala-sesuatu-yang-diposting-di-internet-adalah-milik-publik-jadi-mari-kita-ngoceh-sesukanya’, atau merespon ketus “Apa-apaan sih lo?” kepada mereka yang dengan setia menerapkan prinsip SKSDSTSA (Sok Kenal Sok Deket Sok Tau Sok Asik) dalam pergaulan di dunia maya.

Nyampah seenak jidat, berkomentar seenak udel, dan bersikap SKSDSTSA bisa jadi sesuatu yang penting bagi orang yang bersangkutan. Saya tidak tahu alasannya. Saya tidak perlu tahu. Yang saya tahu hanya, adalah sesuatu yang JUGA penting bagi saya untuk tidak disampahi, di-judge seenak udel, atau diperlakukan seolah-olah kawan akrab yang bisa dicandai apa saja oleh orang yang tidak saya kenal. Menemukan apa yang diharapkan dan menumpahkan unek-unek mungkin penting bagi mereka yang membaca tulisan saya, namun JUGA penting bagi saya untuk menulis apa pun yang saya inginkan dan saya anggap penting.

Beberapa minggu lalu, saya terbengong-bengong membaca pesan offline di Yahoo Messenger yang berisi omelan; mengatakan saya judes, angkuh, dan sebagainya. Saya memutar otak, mencoba mencari rekaman peristiwa yang berhubungan dengan kejadian itu, dan tidak menemukannya. Satu-satunya yang saya ingat hanya, beberapa hari sebelumnya, si pengirim pesan menanyakan sesuatu tentang buku dan saya menjawabnya. Cuma itu. Apa yang salah?

Ternyata, ia kecewa ketika saya sign-out setelah menjawab pertanyaannya. Dengan segera ia menduga saya sombong dan judes karena tidak bersedia bercakap-cakap lebih lama. Mendengar alasan itu, saya hanya tertawa. Saya bukan penggemar chatting, bahkan dengan kawan-kawan dekat pun saya termasuk jarang ngobrol berlama-lama di dunia maya. Menjalin pertemanan melalui chatting barangkali penting untuk si pengirim pesan, namun JUGA penting bagi saya untuk melakukan apa yang saya mampu sebisanya tanpa melanggar batasan pribadi saya. Dan SANGAT penting bagi saya untuk tidak diomeli dan dijuluki macam-macam sebutan hanya karena saya keluar dari ranah maya SETELAH menjawab pertanyaannya.

Contoh kasus lain: seorang teman sering bertanya, “Lo butuh waktu berapa lama?” sebelum sesi curhat dimulai dan selalu minta di-SMS terlebih dahulu sebelum ditelepon. Awalnya, saya merasa aneh, risih, dan berpikir, “Malesin bener sih nih orang, sok penting banget. Nggak usah aja sekalian.” Lantas, saya tersadar. Sama seperti saya yang punya batasan pribadi dalam banyak aspek hidup (termasuk berelasi dengan orang lain), ia pun memiliki batasan-batasannya sendiri. Apa yang tidak penting menurut saya, bisa jadi penting baginya. Apa yang terdengar malesin bagi saya, bisa jadi merupakan sesuatu yang prinsipil bagi orang yang bersangkutan. Dan ternyata memang demikian adanya.

Bertelanjang bulat ke Circle K bisa jadi sesuatu yang hina, nista dan super-tak-penting bagi sebagian orang, tapi juga bisa dianggap sebagai tindakan heroik, keren, dan berani bagi sebagian yang lain. Dan ya, saya menganggap online berjam-jam untuk memantau perkembangan aksi nekat Bapak ini sebagai sesuatu yang PENTING. Penting buat saya, dan tak harus penting bagi orang lain.

;-)

‘Penting nggak penting’ memang sangat relatif, karena tidak ada dua orang yang sama persis di dunia ini. Saya bukan pakar dalam hal ini, tapi saya percaya salah satu kunci untuk berelasi dengan waras di dunia yang sakit jiwa ini adalah dengan menyadari APA yang penting bagi kita, dan menyadari bahwa apa yang tidak penting bagi kita BISA JADI penting bagi orang lain. Saya tidak bicara tentang tenggang rasa. Saya tidak bicara tentang saling menghormati. Kedua konsep itu sudah terlalu sering kita ucapkan dan telan bulat-bulat tanpa sungguh-sungguh memahami maknanya.

Untuk saat ini, sadar dulu aja, Cong. Saya juga masih belajar, kok.

-----

Friday, October 2, 2009

fiksi.

Setelah sepuluh hari berprofesi sebagai tukang jaga kandang lantaran si Mbak mudik, di hari kesebelas saya menghadiahi diri sendiri dengan DVD yang sudah lama saya cari: fiksi. (bukan yang bajakan ya, catet).

Saya, yang sempat eneg dengan pengalaman nonton ‘Orphan’ karena efek suara yang oh-sungguh-ganggu, langsung bersiap menemukan hal serupa begitu ngeh ‘fiksi.’ bergenre thriller. Thriller samasekali bukan jenis film yang tepat untuk saya yang kagetan. Sambil menyilangkan jari, saya menyalakan DVD player dan menaikkan kaki ke atas sofa.

*Jangan ada yang berani nanya: “Kalo jarinya disilang, nyalain DVD-nya pake apa?”*

Alisha (Ladya Cheryl) adalah gadis yang kesepian. Masa lalu yang traumatik ditambah hubungan yang tidak harmonis dengan ayahnya membuatnya tidak dapat hidup seperti gadis kebanyakan. Ayahnya tidak pernah ada baginya, namun beliau memonitor setiap gerakannya bagaikan polisi mencurigai maling. Hidupnya yang membosankan mulai berubah ketika ia bertemu Bari yang bekerja membersihkan kolam di rumahnya. Setelah mengetahui bahwa Bari tinggal di rumah susun, Alisha pun memutuskan untuk kabur dari rumah dan menempati sebuah kamar kosong persis di sebelah kamar Bari.

Bari (Donny Alamsyah) adalah seorang penulis yang sedang berjuang menyelesaikan cerita-ceritanya. Ia telah berpacaran dengan Renta (Kinaryosih) selama tujuh tahun. Mereka tinggal bersama di rumah susun, tempat Bari mengambil tokoh-tokoh ceritanya dari kehidupan nyata dan memetik inspirasi dari dunia kecil yang bagaikan sirkus. Bari yang tidak mengetahui asal-usul Alisha dengan senang hati menjadi tour guide dadakan bagi gadis itu, menceritakan kisah demi kisah yang terjadi di rumah susun, dan menunjukkan cerita-cerita yang ia tulis. Cerita-cerita yang tidak pernah berakhir dengan kata ‘Tamat’.

Alisha yang bertekad memasuki kehidupan Bari mulai menyelesaikan cerita demi cerita dengan caranya sendiri. Satu persatu tokoh yang diambil Bari dari kehidupan nyata menemui ajal di tangan Alisha, dan Renta terancam bahaya yang sama besarnya. Rumah susun itu tidak pernah sama lagi. Cerita-cerita yang mulanya hanya tercetak di kertas putih kini mewujud dengan cara yang samasekali tidak terduga.

Ternyata, apa yang saya khawatirkan sebelum menonton tidak terjadi. Ada beberapa adegan yang mengejutkan, namun tidak ada efek suara mengganggu yang membuat saya meloncat dari sofa. Tidak ada iring-iringan musik yang membuat jantung berdebar keras. Tidak ada suara “JRENGGG” lebay.

Tidak hanya efek suara, film ini pun tidak boros dialog. Akting para pemain mampu membuat penonton larut tanpa harus mengumbar banyak kalimat. Salut untuk Joko Anwar yang mampu menulis skenario minimalis dengan hasil maksimalis – meski beberapa dialog menyiratkan dengan jelas gap antara usia penulis dengan usia anak-zaman-sekarang yang sebenarnya. :-D

*Walau saya sendiri nggak kebayang kalau Alisha bilang, “Bi’, siapa cowok alay itu?” atau Renta ngomong, “Ihh gue kan suka banget gethooo sama kelinciiiw.”*

Saya hanya orang awam yang hobi nonton film. Jika saya diminta mendeskripsikan ‘fiksi.’ dalam dua kata, maka kata tersebut adalah beautiful dan profound. Film ini indah dalam arti sebenar-benarnya. Segala sesuatu di dalamnya indah. Konsep, penceritaan, alur, dan pengambilan gambarnya – semuanya indah. Sepanjang film, mata saya terus dimanjakan dengan visualisasi yang tertata rapi namun tidak kaku, manis namun tidak kacangan. Setiap angle dan proporsi dalam frame diperhitungkan secermat mungkin. Mouly Surya benar-benar orang yang idealis dan perfeksionis. Setidaknya, itu yang saya simpulkan.

Plot yang terjalin apik dan memadukan drama dan thriller membuat film ini ‘berjejak’ – meninggalkan bekas di hati dan pikiran lama setelah ia usai. Komentar media-media asing dan berbagai ‘stempel’ yang tertera pada sampulnya sama sekali tidak berlebihan.

An inventive and elegant approach to the thriller genre,” tulis Screen Daily. Saya setuju. ‘fiksi.’ memang pantas jadi pemenang, dan sutradara favorit saya kini bertambah satu. :-)

Lewat pertengahan cerita, memasuki jam kedua, mendadak saya menyadari, batasan antara realita dan fiksi menjadi semakin tipis hingga nyaris hilang sama sekali. Saya mulai kesulitan membedakan mana realita yang dijalani Alisha, Bari dan Renta, mana fiksi yang ditulis Bari dan diselesaikan Alisha dengan caranya sendiri. Entah saya yang kurang cermat dalam menonton atau apa (padahal nontonnya sampe nggak gerak lho, sumpah!), namun itu yang saya alami. Realita dan fiksi berbaur sedemikian rupa dan garis pembatas di antaranya menjadi blur.

Adegan favorit saya adalah ketika Bari menemukan kunci Renta yang dibawa oleh Alisha dan menyadari kekasihnya berada dalam bahaya. Dalam kemarahan dan frustrasi, Bari mengguncang tubuh Alisha dan memaksanya mengakui dimana Renta disembunyikan. Bukannya menjawab, Alisha justru berkata dengan tenang, “Ternyata, yang paling menarik adalah cerita tentang kamu sendiri.” Saat Bari mengira dirinya adalah penentu nasib dari para tokoh dalam ceritanya, ia telah menjadi salah satu tokoh itu sendiri.

*****

Usai menonton, saya termenung. Saya selalu berpendapat, sebuah film yang bagus adalah film yang mampu menekan ‘tombol pause’ dalam hidup penontonnya. Jeda yang sanggup membuat orang berhenti sejenak dan merenung. Bertanya. Berpikir. Film yang baik adalah refleksi dari kehidupan yang sesungguhnya. Pembuat film yang baik bukan penjual mimpi belaka – ia adalah pedagang cermin. Belum banyak film seperti itu di Indonesia, dan ‘fiksi.’, tidak diragukan lagi, adalah satu dari yang sedikit itu.

Apa yang membedakan realita dan fiksi?

Pertanyaan yang tidak sulit dijawab. Namun siapa yang bisa menjawab dimana kita hidup sekarang? Realita, atau fiksi? Bagi yang menjawab realita, betulkah? Yakinkah kita bahwa kita sungguh-sungguh hidup dalam realita? Benarkah dalam realita ada benar ada salah? Benarkah dalam realita ada saya ada kamu? Benarkah dalam realita ada si Anu dan si Uni? Benarkah realita selalu punya masa lalu, masa kini dan masa depan? Benarkah realita punya alur yang bisa kita ceritakan kembali kepada orang lain? Yang bisa direkam dalam bentuk tulisan, gambar bergerak maupun kenangan?

I don’t think so. :-)

Bagi saya, realita tidak pernah bicara tentang jalan cerita. Realita tidak pernah punya rentang masa –dulu, sekarang, nanti—dan tidak kenal sesal dan takut. Realita hanya ada di detik ini, bahkan apa yang baru saja saya tulis dan Anda baca sudah lama berlalu. Tidak ada tokoh dalam realita. Tidak ada saya, kamu, dia, kami, mereka. Tidak ada benar salah dalam realita. Yang ada hanyalah apa adanya. Yang ada hanyalah ini. Bahkan ‘ini’ tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Jadi, dimana kita berada sebenarnya? Realitakah? Atau jangan-jangan kita sedang hidup dalam fiksi besar hasil rekaan kita sendiri, dan kita menyangka sedang menjalani realita?

Mouly memberikan jawaban yang sangat menarik: “Di antaranya. Karena meskipun kita hidup dalam realita, di kepala kita punya berbagai fiksi tentang realita tersebut.” Saya membaca tulisan tersebut dan tersenyum. Sebuah kebetulan yang cukup menarik bahwa blog ini berjudul ‘In Between’.

Saya tidak akan berpanjang-panjang membahas paragraf di atas, namun inilah yang bisa saya bagikan sebagai hasil dari perenungan malam itu: menyadari bahwa kita hidup di antara dua dunia –realita dan fiksi—barangkali bisa memberi sedikit kelegaan dan kejernihan dalam menjalani hidup. Peran-peran yang kita mainkan secara bergantian setiap hari –orang tua, anak, musisi, karyawan, atasan, suami, istri, dan sebagainya—adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari hidup, namun semuanya tidak lebih dari lakon yang melekat pada kita di panggung sandiwara raksasa ini.

Pertunjukan besar ini adalah sebuah fiksi. Yang sekalipun tampak nyata, tetap punya tanda titik di akhirnya. Cerita yang akan tamat, suka atau tidak suka. Satu-satunya yang nyata, yang tidak punya titik dan akan terus berlanjut adalah realita yang kita pijak. Realita yang membawa kita ke detik INI, yang kita jalani tersaruk-saruk karena langkah ini selalu tersangkut di masa lalu dan terseret ke masa depan. Realita yang adakalanya sulit dikenali karena kita terlanjur menganggap fiksi sebagai kebenaran.

Menyadari bahwa kita hidup di antara dua dunia barangkali bisa memberi secercah lapang di batin. Bahwa semua yang tengah berlangsung tak lebih dari fiksi, dan di saat yang sama, kita tak perlu selamanya tinggal dalam fiksi. Kita tak perlu selamanya menjalankan berbagai peran yang kadang begitu melelahkan. Kita tak selamanya harus berlakon.

Penyadaran mungkin satu-satunya cara untuk membawa kita keluar dari ilusi panjang ini, untuk sesekali kembali ke tempat dimana segala sesuatunya nyata; tanpa cerita, tanpa lakon, tanpa penghujung. Untuk mencicipi realitas yang sejati. Untuk benar-benar hidup.

Realita tidak pernah menyajikan cerita. Tapi fiksi punya banyak cerita.

Pilih mana?

-----

Thursday, September 24, 2009

13

Tigabelas bulan sudah
Dan saya masih bermimpi tentang kamu

Saya masih mendengarkan apa yang kamu katakan
Saya masih melakukan apa yang kamu pinta
Saya masih mengiyakan setiap ucapmu
Dan hati ini masih punyamu

Kamu tahu,
Berapa lama saya bertanya kapan mimpi ini berakhir
Dan tidur saya akan benar-benar nyenyak?

Kamu tahu,
Betapa ingin saya menjalani operasi bedah otak
Hanya untuk menghapus segala kenangan tentangmu?

Tigabelas bulan sudah
Dan saya masih bermimpi tentang kamu

Mungkin kamu memang bukan untuk dilupakan
Mungkin kamu memang bukan untuk dihapuskan
Mungkin kamu memang bukan untuk ditiadakan
Mungkin memang jatahmu untuk terus ada di sini

Kamu tahu,
Saya telah belajar berdamai
Dan kamu boleh selamanya ada di hati

Kamu tahu,
Saya telah berhenti bergumul
Dan kamu boleh terus menyelinap ke mimpi-mimpi saya

:

Tigabelas duapuluhtiga tigapuluhtiga
Tinggallah selama kamu mau.

-----

Saturday, September 12, 2009

No Wonder You Stay Single, Darling





























... enough said.


Sumber: majalah wanita ibukota.

-----

Sunday, September 6, 2009

Maaf, Sedang Jatuh Cinta

Matamu mata terindah
Senyummu senyum termanis
Parasmu paling rupawan
Dan aku cuma ingin kamu

Mereka bilang, orang yang sedang jatuh cinta itu menyebalkan
Karena dunia dianggap cuma milik berdua
Yang lain silakan menyingkir atau gigit jari
Karena kami takkan berhenti saling menggenggam, mencium, bercinta

Mereka bilang, orang yang sedang jatuh cinta itu menyebalkan
Diberitahunya seisi dunia segala bahagia dan gembira
Tak peduli orang lain mengernyit mual dan sebal
Karena cinta memang menutup mata terhadap semua

Aku jatuh cinta
Setiap hari, lagi dan lagi
Aku jatuh cinta
Dan tidak ingin berhenti

Mereka bilang, orang yang sedang jatuh cinta itu menyebalkan
Namun bagiku, tiada pemandangan lebih indah dari mereka yang mencinta
Meski gelap meski mendung meski kelabu
Dunia yang mencinta selalu punya matahari

Maaf, sekarang sayalah yang punya dunia ini
Maaf, saya sedang jatuh cinta
Setiap hari dan setengah mati
Kepada perempuan di cermin

Dan di sini, cahaya selalu ada.

~ September 2009. Because every day I fall in love with girl in the mirror ~


Gambar dipinjam dari gettyimages.com

-----

Thursday, August 27, 2009

Cambuk

Dalam perjalanan, aku melihat seorang lelaki menyeret keluar sesosok makhluk dari dalam kandang. Keempat kakinya dirantai, sehingga pendek-pendek langkahnya. Makhluk itu besar dan tampak kuat, namun sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Darah merembes dan mengering di bulu-bulunya, menciptakan duri-duri kecil yang lengket.

Aku tidak berani mendekat. Dia tampak menyedihkan. Luka-lukanya seperti tidak pernah diberi kesempatan untuk sembuh. Makhluk itu memandangku, menyadari kehadiranku. Aku mendapati diriku mundur selangkah dan mengambil ancang-ancang untuk lari. Namun ia hanya memandangiku sesaat, sebelum meraung keras.

Aku terkesiap. Belum lagi hilang kagetku, setitik darah jatuh di punggung tanganku. Lelaki itu baru saja menciptakan luka baru di tubuhnya. Cambuk itu kini bernoda darah.

Aku gemetar. Cambuk apa yang bisa melukai separah itu?

“Hentikan.” Susah payah aku bicara.

Lelaki itu bahkan tidak menoleh. “Dia harus dihukum. Dia telah gagal.”

Cambuk kembali mendarat dengan bunyi ‘plak’ keras. Bulu romaku bangkit ketika makhluk itu kembali meraung.

“Kau menyiksanya!” Aku memekik.

“Tidak,” lelaki itu menjawab tenang, “Aku melatihnya. Setiap cambukan mengajarinya sesuatu. Setiap cambukan membuatnya bertambah kuat. Setiap cambukan akan membuatnya berterima kasih padaku kelak.”

Ia pasti melihat kedua tanganku mengepal, karena ia memberiku isyarat untuk mendekat.
“Kemari dan lihatlah sendiri. Dia bertambah kuat.”

Aku menggerakkan kakiku yang gemetar. Menghampiri makhluk yang kini berdiri tidak bergerak. Mengamati darah yang menetes-netes dari luka barunya.

Si lelaki mengacungkan cambuknya, menunjuk garis merah tua di punggung makhluk itu. Bilur yang baru akan sembuh.

“Setiap luka menciptakan parut tebal yang melindungi dirinya dari serangan badai, cuaca dingin, sengatan matahari, dan cakar makhluk lain. Kau lihat, aku melakukan yang terbaik untuknya.”

“Kau gila.”

“Tidak,” lelaki itu tersenyum menatapku, “Aku tahu yang kulakukan. Mungkin kau harus belajar dariku, Anak Muda.”

Aku tidak mengindahkan kata-katanya. Kutelusuri bulu-bulu kasar makhluk itu dengan telapak tangan. Kusentuh darah lengket yang menyatukan bulu-bulunya, merasakan cairan hangat yang amis mengalir melalui jari-jariku.

Aku bergerak maju. Mendekati kepala makhluk itu. Ia bergeming. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat. Mata kami bertemu.

Aku terhenyak.

Aku menjerit.

Aku meraung.

Kesadaranku lumpuh. Tungkai kakiku kehilangan kemampuan menopang. Aku terbanting ke tanah. Debu beterbangan. Sakit yang hebat menderaku sampai ke sum-sum.

Aku mengerang.

Aku meronta.

Aku merintih.

Hewan itu bergeming.

Ia tidak melakukan apa pun. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat.

Ketika pandangan kami bertemu, ketika matanya menyambut mataku, aku tahu,

Akulah makhluk itu.

*****

Maafkan saya, Jenny, atas penderitaan yang saya timbulkan karena menuntutmu untuk

sempurna
cerdas
bijaksana
terstruktur
manis
berbakti
mendedikasikan hidup
tunduk
taat
patuh
normal
menjadi 'baik-baik saja'
berpasangan di usia sekian
memiliki kondisi hidup tertentu
memiliki suasana hati tertentu
memiliki sekian rupiah
menyenangkan orang lain
bersimpati pada penderitaan orang
bersukacita atas kebahagiaan orang
bertahan pada satu titik spiritual
terus mengalami peningkatan
terus menulis
kreatif
eksis/dikenal
sehat
dicintai
diprioritaskan
diterima
dihargai
menjaga perasaan orang
setia pada norma sosial
jadi juara
meneladani orang lain
meredam emosi
bertindak hati-hati
meyakini sesuatu
setia
berperforma maksimal
bekerja keras
memiliki keluarga ‘normal’
menjadi sama dengan orang lain
meraih mimpi
menguasai konsep spiritual tertentu
berbuat baik
beramal
tersenyum
tertawa
berbasa-basi
merasa aman
percaya diri
teratur
bersih
rapi
mendapat pencerahan
merasa lega
merasa nyaman
berhemat
diperhatikan
diperlakukan istimewa
diberi
dipuji
diperlakukan baik
menolong
menyelamatkan
bertanggung jawab
berbuat sesuatu demi orang lain
tidak merepotkan orang lain
tidak mengatakan ‘tidak’
mencapai target
tidak melekat dengan apa pun
berwawasan luas
bersosialisasi
berdisiplin
bahagia
benar
dewasa
bersikap sopan
menjaga sikap
berlaku adil
berkorban
menyukai orang lain
melepas ekspektasi
menemukan jalan keluar
memecahkan masalah
sembuh
lebih banyak memberi
mencapai sesuatu
berhasil/sukses
kuat
tidak menangis
produktif
rajin
tekun
pantang menyerah
bebas konflik batin
bebas masalah
meringankan beban orang lain
menerima apa adanya
bertumbuh
mencari nafkah
memiliki status sosial tertentu
ikhlas
pasrah
menjadi anak yang dibanggakan
menjadi kakak teladan
menjadi teman yang baik
menjadi pekerja yang budiman
menjadi penulis yang menginspirasi
menemukan cinta
memiliki semangat
membalas budi
menjalani rutinitas
memprioritaskan orang lain
sependapat
stabil
bertenggang rasa
menepati janji
tidak berubah
konsisten
sembuh
waras
masuk akal

...dan banyak lagi.

Maaf atas segala luka yang saya timbulkan ketika saya mengharuskanmu menjadi seperti yang saya inginkan. Maafkan saya karena telah menderamu. Maafkan saya karena berpikir tahu yang terbaik bagimu, sedang kamu sudah begitu lama kesakitan.

Maafkan saya karena tidak menghapus airmatamu saat kamu mengaduh dan mengeluh. Maaf atas segala persyaratan yang saya tetapkan hanya untuk bisa menerimamu. Maaf karena telah mencintaimu dengan segudang harap dan pinta.

Beri saya kesempatan untuk mencintaimu lagi. Kali ini apa adanya.

Dengan penuh cinta,



Dirimu Sendiri

-----

Monday, August 24, 2009

Tips Mengirim Naskah ke Endorser

Semua penulis yang sudah menerbitkan buku –atau bercita-cita menerbitkan buku— pasti tidak asing dengan kata ‘endorsement’, kecuali dia tinggal di ujung dunia. Beberapa tahun lalu, sebelum kata ini sering digunakan, istilah yang familiar di telinga kita adalah ‘paperback comment’.

Selain memberi nilai tambah bagi sebuah karya, endorsement dari seseorang yang ‘sudah punya nama’ –apalagi yang termasuk kategori ‘Penulis Dewa’— sanggup membuat orang tergoda membeli, atau minimal, mengundang rasa penasaran terhadap buku yang bersangkutan. Siapa yang tidak tertarik mengambil buku yang sampul depannya memuat endorsement dari Andrea Hirata atau Dewi Lestari? Siapa penikmat novel remaja yang tidak terpancing mengambil teenlit yang memajang endorsement dari Sitta Karina? Siapa penyuka cerita komedi yang tidak tertarik dengan buku yang di-endorse oleh Raditya Dika?

Sebagai orang yang sudah menerbitkan buku, saya tahu rasanya mengirim naskah kepada penulis-penulis senior; memohon kesediaan mereka untuk memberi sepatah-dua patah kata bagi ‘calon anak’ saya, berharap-harap cemas menanti hasilnya, dan sebagainya. Di sisi lain, sebagai orang yang pernah menjadi endorser untuk beberapa buku –serta menjadi ‘perantara’ bagi mereka yang ingin mendapatkan endorsement dari Ibu ini— saya juga berkesempatan membaca berbagai naskah dengan genre dan penulisan yang sangat bervariasi.

Menerima dan membaca naskah merupakan kegiatan yang menarik, namun tak selalu menyenangkan. Ada kalanya saya mendapatkan ‘naskah emas’ yang memikat perhatian. Saya sanggup begadang semalam suntuk dan melewatkan jam makan hanya untuk menamatkan naskah tersebut. Saya pernah membaca naskah yang sama sebanyak tiga kali dalam sebulan karena jatuh cinta dengan isi dan cara penulisannya. Namun tidak jarang pula saya menerima naskah yang membuat kening berkerut-kerut saking standarnya, saking mentahnya, atau saking absurd-nya. Jenis naskah yang terakhir ini biasanya membuat saya menarik napas panjang sambil membatin, “Duh bo... plis deh,” sebelum menutupnya tanpa menamatkan bab pertama.

Kedengaran belagu? Mungkin, tapi memang itu yang terjadi.

Selain konten, ada hal-hal lain yang memicu keengganan saya untuk membaca sebuah naskah sampai tamat (boro-boro mengomentari, kalau membaca aja nggak selesai). Kemalasan adalah salah satunya. Sisanya adalah beberapa faktor eksternal yang akan saya uraikan di bawah ini.
Apa yang saya tuliskan di sini adalah hasil dari pengamatan pribadi dan bertukar pikiran dengan sesama rekan penulis –maupun figur publik— yang pernah menjadi endorser untuk sebuah buku. Mudah-mudahan bisa bermanfaat. :-)

Tips pertama: pastikan naskah yang kamu kirim ke endorser sudah diterima terlebih dahulu oleh penerbit. Menggunakan endorsement untuk ‘menjual’ naskah ke penerbit memang bukan sesuatu yang salah, namun ini bisa jadi sesuatu yang menyebalkan bagi endorser. Pertama, karena tidak adanya kepastian terbit. Kedua, ada waktu dan energi yang harus diluangkan oleh endorser untuk membaca dan mengomentari karya kamu. Ketidakpastian tersebut akan membuat usaha yang dilakukan endorser tampak sia-sia.

Kedua, yakinlah bahwa ketika karya kamu diterima oleh penerbit, karya tersebut memiliki ‘kekuatan’ dan nilai plus yang menjadikannya layak terbit. Pahami juga bahwa setiap penulis mempunyai ciri khas dan kelebihan masing-masing. Karena itu, miliki rasa percaya diri dan hindari mencantumkan kalimat-kalimat berikut dalam permohonan endorsement kamu: “Saya tahu tulisan saya tidak sebagus Mbak…”, “Memang tulisan ini tidak sebanding dengan karya Mbak…”, dan sebagainya. Saya tidak tahu dengan penulis lain, namun permohonan endorsement semacam ini membuat saya kehilangan minat untuk membaca naskah. Jika endorser yang bersangkutan merasa cocok dengan karyamu, ia akan memberikan endorsement dengan senang hati. Tanpa kamu perlu ‘merendah’.

Ketiga, jangan mengirimkan naskah dengan tenggat waktu yang terlalu sempit. Dua minggu sampai satu bulan adalah tenggat yang cukup ideal bagi endorser untuk membaca dan mengomentari calon bukumu, apalagi jika kamu mengirim naskah kepada ‘Penulis Dewa’ yang punya segudang kesibukan. Sadari bahwa mereka memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada membaca naskahmu. And for the love of God, jangan donder. Saya pernah menerima draft dari seseorang yang mengirimkan e-mail dua hari sekali untuk menanyakan apakah draft tersebut sudah dibaca. Kali ketiga ia mengirim e-mail, saya tidak lagi membalasnya. It’s just annoying. Saya hanya tersenyum masam mendengar alasan yang diajukannya: “Minggu depan sudah mau naik cetak, Mbak.” Sebagai orang yang pernah menerbitkan buku, saya tahu ada tenggat waktu yang cukup panjang dari diterimanya naskah oleh penerbit, proses produksi (editing, lay-outing, desain cover, dsb), sampai naik cetak. Keseluruhan proses tersebut bisa makan waktu 3 sampai 5 bulan. Kemane aje lo, baru ngirim draft seminggu terakhir?

Keempat, kirimlah naskah yang sudah ‘matang’, dalam arti sudah melalui proses editing setidaknya satu kali. Selain memudahkan endorser untuk menilai naskah tersebut secara keseluruhan, tindakan ini menunjukkan bahwa kamu menghargai endorser. Kesalahan ketik dan kesalahan tata bahasa adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi, dan saya rasa endorser tidak akan mempermasalahkan hal ini. Namun isi naskah yang masih ‘mentah’ dan kasar akan sangat mengganggu untuk dibaca. Tunjukkan bahwa kamu menghargai endorser yang sudah bersedia meluangkan waktu dan energi untuk membaca naskahmu.

Kelima, gunakan font yang nyaman dibaca dan spasi yang tidak melelahkan mata. Hal ini juga bisa diterapkan untuk mengirim naskah ke penerbit. Saya pernah menerima naskah yang ditulis dengan font Arial Narrow dan spasi single yang panjangnya lebih dari 400 halaman. Saya berusaha membacanya sebanyak tiga kali dan akhirnya menyerah sebelum menyelesaikan bab pertama.

Keenam, kirimkan naskahmu kepada orang yang tepat. Jangan mengirimkan naskah novel pop kepada penulis cerita komedi. Jangan mengirimkan naskah kumpulan blog remaja kepada penulis fiksi ilmiah. Dan demi Tuhan, jangan mengirimkan naskah cerita horor murahan atau drama-komedi berbau seks kepada siapa pun. Kasihanilah kami.

Last but not least, berbesar hatilah jika naskahmu ditolak oleh calon endorser. Tidak usah ngambek. Tidak perlu membujuk calon endorser untuk mempertimbangkan ulang keputusannya dengan berkali-kali menghubunginya. Mereka tentu memiliki pertimbangan tersendiri untuk memberikan (atau tidak memberikan) endorsement. It’s nothing personal. Naskah saya pernah ditolak oleh beberapa penulis. Saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang mereka berikan untuk membaca dan membalas e-mail saya, lalu mencari penulis lain yang bersedia meng-endorse buku saya. Sesederhana itu.

Sekarang, izinkan saya menghancurkan secercah harapan yang kamu miliki. Tips-tips di atas tidak menjamin kamu akan memperoleh endorsement sesuai harapan, bahkan tidak menjamin naskahmu akan dibaca oleh calon endorser.

Tips-tips tersebut hanya bentuk lain dari uneg-uneg yang saya (dan beberapa rekan penulis) miliki dari pengalaman menerima dan membaca naskah yang dikirimkan kepada kami. Sama seperti perjuangan untuk menerbitkan buku, ada banyak hal yang menentukan keberhasilan seseorang dalam mendapatkan endorsement – salah satunya keberuntungan. Saran yang bisa saya berikan adalah: lakukan yang terbaik yang kamu bisa, silangkan jari-jarimu, dan berharaplah keberuntungan ada di pihakmu. Kalaupun tidak, well, akan selalu ada kesempatan lain, selama kamu terus menulis. ;-)

Selamat berburu endorsement!

-----