Sunday, June 29, 2008

Oleh-oleh dari Masa Depan


Salut buat kalian, wahai para pembajak, karena ternyata kalian tak hanya pandai membajak, tapi juga mampu menciptakan mesin waktu. Hebat lah. ;-D
*Gambar diambil dari sampul CD installer milik seorang kawan. Tentunya bajakan. *Yyya iyyyalah!*

Saturday, June 21, 2008

Kunjungan 120 Menit

“Hayu’ aja. Ntar janjian kalo lo udah nyampe di sini.”
Itu yang saya katakan kepada seorang sahabat pertengahan minggu lalu, ketika ia menelepon dan berkata akan ke Jakarta, sekaligus mengajak saya bertandang ke rumah kenalannya.

Bukan ‘kenalan’ biasa. Tepatnya seorang taipan *alah, taipan!* kondang yang mengingatkan saya pada keluarga Hanafiah di novel-novel Mbak ini.

Sabtu pagi, saya bolak-balik rebahan di ranjang, mendadak malas pergi karena di luar hujan deras. Tapi janji yang sudah dibuat itu terus terngiang-ngiang. Akhirnya saya meraih handuk dan berjalan ke kamar mandi.

Ajaib, tepat setelah saya mandi, hujan berhenti.

Setengah jam kemudian, kami sudah berada dalam mobil dan meluncur ke rumah si taipan (bo, aneh banget sih istilah ini). Sepanjang jalan, saya sibuk mengunyah crackers sambil sesekali meraba rambut yang tidak kering-kering.

Setengah jam berikutnya, kami sudah duduk manis di ruangan berlantai marmer yang dipenuhi kursi lipat putih, siap mengikuti acara yang diselenggarakan tuan rumah. Acara itu adalah sebuah kebaktian sederhana yang terdiri dari pembagian kesaksian, pembacaan Alkitab, puji-pujian singkat dan khotbah.

Saya melayangkan pandangan ke luar jendela. Rasanya tidak seperti di Jakarta. Danau berair tenang yang teduh dengan pepohonan rindang dan padang rumput luas terasa menyejukkan. Pemandangan indah yang luarbiasa mahal harganya.

“Orangnya yang mana, sih?” saya berbisik penasaran. Maksud saya tentu si empunya rumah.

Sahabat saya menggeleng. “Belum dateng.”

Sejurus kemudian, ibadah dimulai. Saya menyimpan pertanyaan itu dalam hati dan memusatkan perhatian pada kebaktian, meski sesekali tergoda untuk lirak-lirik pada sekumpulan pemuda bertampang yummy yang duduk di pojok ruangan ;-)

Setelah lagu pujian selesai dinaikkan, seorang hamba Tuhan naik ke podium kecil yang tersedia di depan. Penampilannya kontras dengan sebagian besar orang yang hadir di situ, yang rata-rata mengenakan pakaian dan aksesoris yang sekali lirik saja ketebak berapa harganya (dan memakai parfum mahal yang superwangi sampai kepala saya nyut-nyutan. Mungkin makenya bukan disemprot, tapi DITUANG).

Si hamba Tuhan hanya mengenakan kemeja kotak-kotak yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana panjang cokelat muda. Rapi namun samasekali tidak glamor, dan –sejujurnya- agak kebanting bila dibandingkan dengan para jemaat yang duduk di depannya dengan penampilan shiny dan serba bling-bling.

Di sela-sela khotbah, saya masih sempat-sempatnya berbisik penasaran, “Yang mana orangnya?”

Sahabat saya menyahut dengan gumaman tak jelas. Saya bersandar di kursi dan melupakan pertanyaan itu, karena merasa tidak pantas membahas sesuatu yang kurang penting di sela kebaktian.

Setelah khotbah usai, si hamba Tuhan beranjak dari podium dan duduk di barisan paling belakang. Sejenak saya merasa ‘kasihan’. Dalam ibadah-ibadah yang pernah saya ikuti di beberapa gereja, biasanya hamba Tuhan memperoleh kursi terbaik di barisan terdepan, bersama majelis gereja yang terhormat. Namun, di sini, yang terjadi adalah kebalikannya.

Setelah lagu pujian terakhir dan doa selesai dinaikkan, para jemaat bangkit dan menuju meja panjang di luar ruangan, dimana hidangan disajikan. Makan dan mengobrol sambil menikmati pemandangan indah.

Perut saya yang sudah kerucukan semakin lapar mencium aroma bakso. Tapi saya masih penasaran dengan pertanyaan yang belum terjawab itu.

“Orangnya yang mana, sih?” lagi-lagi saya berbisik sambil jelalatan. Mengira-ngira, sosok mana yang paling cocok untuk mewakili figur pemilik kerajaan bisnis raksasa.

“Dia itu yang tadi khotbah di depan.” jawab sahabat saya.

Saya tersenyum lebar.

Mendadak, kunjungan singkat itu menjadi begitu berharga. Bukan karena kesempatan bertemu dengan figur yang disegani (hampir) semua orang yang pernah mendengar namanya, melainkan karena hari itu saya belajar satu lagi makna kerendahan hati dari sosok besar yang tak merasa perlu menjadi ‘besar’.

Tuesday, June 17, 2008

Jatuh Cinta Lagi

Lebih dari 2 dekade saya mengenalmu. Bersamamu. Mengecap intisari keberadaan saya di dunia ini denganmu.

Kita begitu dekat. Kita tak terpisahkan. Kita adalah satu.

Kamu tahu? Saya pernah, lho, benci sama kamu. Kadang saya menganggapmu tak adil, karena kamu tidak selalu memberi apa yang saya inginkan. Beberapa kali (okay, sering malah) saya memakimu. Mengutukmu karena merasa tidak puas dengan apa yang saya dapatkan. Tapi kamu tak pernah marah. Kamu terus mengalir, dan akhirnya saya memutuskan untuk berhenti mencaci dunia, kemudian ikut mengalir bersamamu.

Kamu tahu? Saya menikmati setiap detik kebersamaan kita. Sangat. Walaupun semua itu tak pernah terverbalkan dari bibir saya. Bukankah tidak semua perasaan di dunia ini perlu diungkapkan? Kadangkala kita hanya perlu menyimpannya dan menghayatinya, menikmatinya tanpa perlu kata-kata.

Kamu tahu? Saya sayang kamu. There, I said it. ;-)

Maafkan saya, ya, karena kemarin-kemarin sempat jenuh dengan kamu. Saya terjebak dalam kebosanan yang amat-sangat. Saya kehilangan rasa. Kehilangan makna. Kehabisan energi. Saya lelah melangkah dan hanya ingin duduk di pinggir jalan. Tidak menanti siapa-siapa. Saya hanya ingin berhenti berkejaran dengan waktu dan rehat sejenak. Tapi ternyata kamu punya kejutan lain untuk saya.

Saat saya berhenti, kamu justru menghampiri saya dengan sebuket keindahan yang tak pernah terduga. Keindahan yang tak terselami oleh akal yang selalu haus menilik dengan rasio dan mengukur kebahagiaan berdasar apa yang terlihat oleh mata lahiriah.

Dengan caramu sendiri, kamu mengingatkan bahwa saya sudah memiliki cukup. Berlari mengejar mimpi itu baik, namun ada kalanya saya perlu beristirahat. Bagaimanapun, yang terpenting adalah perjalanannya, bukan hasil akhirnya. Melalui berbagai peristiwa, kamu mengingatkan saya untuk bersyukur, lagi dan lagi.

Terima kasih, ya. Untuk keberadaanmu. Untuk setiap makna yang kamu berikan pada saya. Untuk setiap bahagia, tawa, tangis dan keluh yang kita bagi bersama. Untuk derai airmata yang menyimpan rangkaian makna: haru, gembira, senang, sedih, sakit. Terima kasih telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengecap semuanya dan mensyukuri setiap detik yang begitu berharga dalam helaan nafas ini.

Kamu tahu? Tak pernah saya merasa begitu bersyukur dapat merasakan semilir angin dingin saat hujan lebat. Tak pernah saya begitu menikmati pagi hari di balkon sambil menonton anak tetangga bermain. Tak pernah saya mengira akan merasa nyaman mendengarkan gemercik air di kamar mandi pukul 6 pagi. Tak pernah saya menyangka akan senang mencium aroma terasi digoreng sambil mendengarkan celetukan-celetukan konyol sana-sini. Tak pernah saya menduga akan menemukan kehangatan di antara persona-persona yang jauh berbeda satu sama lain.

Terima kasih, ya. Untuk segala keindahan yang kamu beri. Untuk setiap bahagia yang kamu bawa. Untuk nikmat yang tersembunyi dalam tiap proses dan pembelajaran. Untuk secercah cahaya yang tak pernah berhenti menyinari hati ini. Sungguh, terima kasih.

Kamu tahu?

Saya jatuh cinta lagi. Dengan kamu. :-)


*Dipersembahkan untuk Kehidupan. Mari berhenti sejenak dan beristirahat di pinggir jalan. Resapi warna bunga, hayati semilir angin, nikmati hijau rerumputan, dengar kicau burung, dan bersahabatlah dengan mentari dan hujan. Life is beautiful. Indeed. ;-)

Saturday, June 7, 2008

Original!



Sebelum DVD original-nya beredar, dapatkan dulu kerudungnya.

Siapa tahu sebentar lagi terbit mukena original, sajadah original... atau mungkin sekali, tasbih original. Ingat, jangan beli bajakan!

;-)

Wednesday, June 4, 2008

Mendadak Pengen Nyanyi ;-)

Siang-siang gini biasanya bawaannya ngantuk. Tapi hari ini (tumben-tumbennya) saya nggak ngantuk. Mungkin efek white coffee yang saya minum tadi pagi -- pemberian seorang teman yang tiap hari nanya: “ Udah dicobain belum kopinya?” ;-)

Atau, mungkin juga efek dari lagu indah yang mendadak bikin saya kangen. Bukan sama siapa-siapa, tapi sama seorang Sahabat yang beberapa hari ini jarang saya ajak ngobrol saking konsennya menyelesaikan pekerjaan kantor & daily chores *halah, alasaaan!*.

Seriously, seandainya aja saya bisa main gitar, mungkin saya udah gejembrengan dari tadi sambil nyanyi-nyanyi ini:

Kau begitu sempurna
Di mataku Kau begitu indah
Kau membuat diriku akan s’lalu memujaMu

Di setiap langkahku
Ku kan s’lalu memikirkan diriMu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintaMu

Janganlah Kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamaMu ‘ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh Sayangku, Kau begitu
Sempurna

Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuh
Kau bisikkan kata dan hapus semua sesalku

Janganlah Kau tinggalkan diriku
Takkan mampu menghadapi semua
Hanya bersamaMu ‘ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku, lengkapi diriku
Oh Sayangku, Kau begitu
Sempurna
;-)