Saturday, June 21, 2008

Kunjungan 120 Menit

“Hayu’ aja. Ntar janjian kalo lo udah nyampe di sini.”
Itu yang saya katakan kepada seorang sahabat pertengahan minggu lalu, ketika ia menelepon dan berkata akan ke Jakarta, sekaligus mengajak saya bertandang ke rumah kenalannya.

Bukan ‘kenalan’ biasa. Tepatnya seorang taipan *alah, taipan!* kondang yang mengingatkan saya pada keluarga Hanafiah di novel-novel Mbak ini.

Sabtu pagi, saya bolak-balik rebahan di ranjang, mendadak malas pergi karena di luar hujan deras. Tapi janji yang sudah dibuat itu terus terngiang-ngiang. Akhirnya saya meraih handuk dan berjalan ke kamar mandi.

Ajaib, tepat setelah saya mandi, hujan berhenti.

Setengah jam kemudian, kami sudah berada dalam mobil dan meluncur ke rumah si taipan (bo, aneh banget sih istilah ini). Sepanjang jalan, saya sibuk mengunyah crackers sambil sesekali meraba rambut yang tidak kering-kering.

Setengah jam berikutnya, kami sudah duduk manis di ruangan berlantai marmer yang dipenuhi kursi lipat putih, siap mengikuti acara yang diselenggarakan tuan rumah. Acara itu adalah sebuah kebaktian sederhana yang terdiri dari pembagian kesaksian, pembacaan Alkitab, puji-pujian singkat dan khotbah.

Saya melayangkan pandangan ke luar jendela. Rasanya tidak seperti di Jakarta. Danau berair tenang yang teduh dengan pepohonan rindang dan padang rumput luas terasa menyejukkan. Pemandangan indah yang luarbiasa mahal harganya.

“Orangnya yang mana, sih?” saya berbisik penasaran. Maksud saya tentu si empunya rumah.

Sahabat saya menggeleng. “Belum dateng.”

Sejurus kemudian, ibadah dimulai. Saya menyimpan pertanyaan itu dalam hati dan memusatkan perhatian pada kebaktian, meski sesekali tergoda untuk lirak-lirik pada sekumpulan pemuda bertampang yummy yang duduk di pojok ruangan ;-)

Setelah lagu pujian selesai dinaikkan, seorang hamba Tuhan naik ke podium kecil yang tersedia di depan. Penampilannya kontras dengan sebagian besar orang yang hadir di situ, yang rata-rata mengenakan pakaian dan aksesoris yang sekali lirik saja ketebak berapa harganya (dan memakai parfum mahal yang superwangi sampai kepala saya nyut-nyutan. Mungkin makenya bukan disemprot, tapi DITUANG).

Si hamba Tuhan hanya mengenakan kemeja kotak-kotak yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana panjang cokelat muda. Rapi namun samasekali tidak glamor, dan –sejujurnya- agak kebanting bila dibandingkan dengan para jemaat yang duduk di depannya dengan penampilan shiny dan serba bling-bling.

Di sela-sela khotbah, saya masih sempat-sempatnya berbisik penasaran, “Yang mana orangnya?”

Sahabat saya menyahut dengan gumaman tak jelas. Saya bersandar di kursi dan melupakan pertanyaan itu, karena merasa tidak pantas membahas sesuatu yang kurang penting di sela kebaktian.

Setelah khotbah usai, si hamba Tuhan beranjak dari podium dan duduk di barisan paling belakang. Sejenak saya merasa ‘kasihan’. Dalam ibadah-ibadah yang pernah saya ikuti di beberapa gereja, biasanya hamba Tuhan memperoleh kursi terbaik di barisan terdepan, bersama majelis gereja yang terhormat. Namun, di sini, yang terjadi adalah kebalikannya.

Setelah lagu pujian terakhir dan doa selesai dinaikkan, para jemaat bangkit dan menuju meja panjang di luar ruangan, dimana hidangan disajikan. Makan dan mengobrol sambil menikmati pemandangan indah.

Perut saya yang sudah kerucukan semakin lapar mencium aroma bakso. Tapi saya masih penasaran dengan pertanyaan yang belum terjawab itu.

“Orangnya yang mana, sih?” lagi-lagi saya berbisik sambil jelalatan. Mengira-ngira, sosok mana yang paling cocok untuk mewakili figur pemilik kerajaan bisnis raksasa.

“Dia itu yang tadi khotbah di depan.” jawab sahabat saya.

Saya tersenyum lebar.

Mendadak, kunjungan singkat itu menjadi begitu berharga. Bukan karena kesempatan bertemu dengan figur yang disegani (hampir) semua orang yang pernah mendengar namanya, melainkan karena hari itu saya belajar satu lagi makna kerendahan hati dari sosok besar yang tak merasa perlu menjadi ‘besar’.

4 comments:

Anonymous said...

Ternyata ye bo, tuan rumah plus pengkotbah ityu rendah hati sekale... BTW dia punya anak laki nan cakep dan rendah hati juga gak yach....

Jenny Jusuf said...

Anak laki punya, tapi cakep sama rendah hatinya kagak tau, hahaha.

Anonymous said...

mbak jenny, ini taipan nya di jakarta or karawaci? Kalau di karawaci kaya'nya kok aku ngeh yah.. hehe :)

Jenny Jusuf said...

Mmm.. dimana ya? *amnesia*

;-)