Monday, December 29, 2008

Joker


Sebut saya ketinggalan jaman karena baru menonton ‘The Dark Knight’ saat orang-orang sudah hafal ceritanya dan mengoleksi DVD bajakannya.

Sebut saya aneh karena meski Batman dicanangkan sebagai tokoh utama, buat saya Joker adalah juaranya. Lepas dari ia diperankan seorang aktor yang mati overdosis sebelum sempat menyaksikan penampilan terbaiknya diputar di bioskop. Lepas dari kejeniusan Christopher Nolan. Dan lepas dari betapa kurang gantengnya si pemeran Bruce Wayne.

Sebut saya anomali karena menganggap Joker lebih dari sekadar penjahat psikopat di film-film superhero made-in Hollywood, yang membuat saya berhenti menonton Superman dan Spiderman sejak lama. Joker lebih dari itu. Dia penjahat yang pantas diacungi dua jempol. Empat, dengan jempol kaki.

Sebut saya sinting, karena seandainya Joker betul-betul ada di kehidupan nyata, saya akan menjabat tangannya erat-erat sambil bilang, “Senang bertemu Anda,” meski sehabis itu saya terkencing-kencing di celana dan mimpi buruk selama seminggu.

Sebut saya gila, karena berjam-jam setelah film itu usai, kalimat-kalimat Joker tidak sudi lepas dari otak saya, dan entah bagaimana, buat saya sekarang, dialah pahlawannya.

Wednesday, December 24, 2008

hadirmu

kau pernah hadir sebagai penebus
kau juga hadir sebagai penyembuh
lalu kau hadir sebagai penolong

kau pernah datang sebagai yang adil
kau juga datang sebagai yang menjawab doa
lalu kau datang sebagai yang mencukupkan

kau tunjukkan dirimu sebagai raja
kau juga tunjukkan dirimu sebagai bapa
lalu kau tunjukkan dirimu sebagai sahabat

kini aku menyambutmu sebagai engkau
dan di antara jajaran nama
kini aku menemukanmu sebagai yang tak bernama
namun nyata. lebih dari yang kutahu.

: selamat datang.




Bagi yang merayakan, saya ucapkan Selamat Natal, dan untuk kita semua, saya ucapkan Selamat Tahun Baru.

May your days be merry. :-)







*Gambar dipinjam dari fotosearch.com.

Saturday, December 20, 2008

Jatah

Seorang sahabat belum lama ini menumpahkan kekecewaan mengenai boss-nya di kantor (dimana ia sudah bekerja selama empat tahun) yang menolak meminjaminya uang ketika ibunya sakit dan sangat membutuhkan dana pengobatan. Padahal, menurutnya, selama ini ia belum pernah sekali pun meminjam uang dari perusahaan. Sementara itu, atasan yang sama dengan murah hati memberikan pinjaman kepada rekan kerja sahabat saya untuk membeli mobil baru -yang jumlahnya sama sekali tidak sedikit- dan membebaskannya untuk mengembalikan kapan saja.

Sepanjang hari, sahabat saya cuma bisa menangis di cubicle-nya. Kecewa, jengkel, sedih, marah. Ketika ia bercerita, saya mendengarkan dalam diam. Bukan karena tidak mau berkomentar, tapi saya memilih berhati-hati dalam berucap supaya tidak menambah kekeruhan pikirannya.

Selama berhari-hari, saya berusaha menjadi pendengar yang baik, dan ternyata itu sama sekali tidak mudah. Berkali-kali saya ikut jengkel, sedih, bahkan sebal terhadap seorang atasan yang sama sekali tidak saya kenal, semata-mata karena saya bersimpati terhadap apa yang dialami sahabat saya. Sungguh tidak mudah duduk diam, memasang telinga, dan mendengarkan, tanpa membiarkan hati ini turut memberi penilaian, yang ujung-ujungnya ‘mengharuskan’ saya untuk berpihak. ‘Memilih’ salah satu: sahabat saya, atau sang atasan, yang sekali lagi, tidak saya kenal.

Setelah beberapa minggu, persoalan itu mereda, dan sahabat saya melunak. Tidak terlalu sering lagi meluapkan kekesalan, meski sekali-dua ia masih mengeluh, kerap merasa diperlakukan tidak adil. Saya pun menyadari satu hal: ketika ia mulai berhenti bercerita, hati saya ikut melunak. Iba yang saya rasakan ketika bertemu dengannya mulai memudar. Bukan karena saya tidak bersimpati lagi padanya, namun karena penilaian saya turut melambat seiring berkurangnya frekuensi curhat. Rasa kesal yang sering muncul setiap mendengar cerita-ceritanya juga luntur karena topik itu mulai jarang disebut-sebut lagi.

Dan saya berpikir, betapa tidak mudah menjadi pendengar yang baik –hanya mendengar, tanpa menilai— dan tidak terkontaminasi oleh berbagai persepsi dan pemikiran yang ribut simpang-siur di dalam benak. Betapa tidak mudah menempatkan hati pada posisi netral ketika kita berhadapan dengan situasi yang melibatkan orang-orang terdekat yang disayangi tanpa terpancing untuk ikut menilai dan menjatuhkan penghakiman.

Betapa tidak mudah menerima sebuah kasus sebagai kasus, sebuah situasi sebagai situasi, dan sebuah kondisi sebagai kondisi, apa adanya, tanpa terjebak untuk menjadikannya masalah dengan berbagai penilaian dan observasi yang secara otomatis dirancang oleh segumpal benda bernama otak ini.

Sungguh, sama sekali tidak mudah. Padahal, itu hanya sebatas perkara ‘meladeni-teman-curhat’, dimana kasus yang dicurhatkan sendiri sering kali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita sebagai teman atau pendengar. Boro-boro melibatkan kita, lha wong kenal dengan objek curhatnya aja nggak.

Itu baru satu.

Masih ada yang jauh lebih sulit, seperti menerima berbagai hal tidak enak yang terjadi dalam hidup apa adanya, sebagai ‘jatah’ yang memang harus kita jalani, tanpa berusaha keras mengubahnya. Melapangkan hati untuk menyambutnya dengan ikhlas, tatkala ia bertentangan dengan ekspektasi dan konsep ideal yang selama ini kita genggam erat.

Saya, termasuk yang masih sering (sekali) bergumul dengan hal satu ini. Saya sulit menerima keadaan yang berseberangan dengan ekspektasi, keinginan dan persepsi ideal saya. Saya tidak mudah menerima berbagai kejadian tidak enak (yang sebetulnya hanya sebuah kondisi, yang bertransformasi menjadi masalah karena saya tidak menyukainya) sebagai sesuatu yang ‘memang sudah jatah saya’, atau bahasa religiusnya: takdir.

Saya tidak mudah merangkul berbagai perasaan tidak nyaman yang berkecamuk tatkala situasi berubah pelik, dan acap kali saya berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut, atau menempuh jalan pintas dengan mengambil sikap cuek, semata-mata karena saya tidak ingin terganggu dengan kerikil-kerikil itu.

Persoalan selesai? Boro-boro.

Yang ada, batu-batu yang awalnya saya anggap kerikil kecil, berubah menjadi timbunan yang terus menggunduk dan membesar. Menjadi bukit, bahkan gunung masalah. Dan akhirnya, setelah babak belur berusaha menghancurkan gunung, saya menyerah, lalu mendesah, “Mungkin memang sudah jatah saya” – yang sering kali sudah terlambat. Bukan karena masalahnya tidak bisa lagi dibereskan, namun karena sudah terlalu banyak luka di tubuh saya sehingga perlu waktu dan energi yang tidak sedikit untuk memulihkannya.

Ikhlas. Betapa sering saya mendengarnya. Betapa sering saya mengira telah memahaminya. Betapa sering saya harus kembali ke titik nol dan mengangkat tangan. Melakukan gencatan senjata dan mengaku kalah. Pasrah. Bahwa saya memang tidak paham apa-apa. Bahwa semua pengetahuan yang tersembunyi di balik tempurung kepala ini tidak cukup untuk membuat saya menjadi manusia yang ikhlas.

Jatah. Betapa sering saya mendengarnya, membacanya, bahkan menuliskannya. Kenyataannya, ketika ia hadir tanpa bisa dielakkan, saya tetap kelimpungan dan bergulat untuk sekadar ‘lari’ darinya. Berusaha mati-matian mengubahnya, tanpa mau tahu bahwa seperti cuaca, ada hal-hal dalam hidup yang tercipta hanya untuk diterima dan dipetik pelajarannya. Bukan digeluti, bukan digumuli.

Lalu, untuk apa saya menuliskan ini? Buat apa saya ‘membuka isi perut’ di wadah yang bisa dibaca semua orang seperti ini?

Alasan pertama, karena menulis, bagi saya, adalah terapi. Dan mengungkapkan isi hati melalui tulisan adalah upaya saya untuk jujur terhadap diri sendiri – untuk mengenal diri dengan lebih mendalam.

Meski terkadang kejujuran bisa menyakitkan, saya percaya tidak ada yang lebih penting dari kejujuran. Seorang sahabat pernah berkata, ada hal-hal yang tidak dapat diingkari dalam hidup, namun kita selalu bisa memilih untuk jujur. Dan rasa sakit yang timbul dari kejujuran tidak akan lebih fatal dari luka yang disebabkan ketidakjujuran.

Alasan kedua, karena melalui tulisan ini, saya ingin berkata kepada seseorang –seandainya ia mampir ke sini dan menemukan entri ini— bahwa kini saya mengerti apa yang ia maksud dengan ‘jatah’. Kini saya paham. Dan kendati saya tetap ingin memelihara kejujuran dengan berkata terus terang bahwa ini bukan hal mudah, saya ingin dia tahu, saya bisa menerima.

Jatah, sebagai jatah. Sebuah momen dalam hidup yang hadir untuk diambil maknanya; bukan untuk disesali, bukan untuk dihindari.

Dan untuk itu, dari hati yang terdalam, saya berterimakasih.

:-)

Friday, December 19, 2008

Kata Mereka tentang VAJRA...

Sebelum VAJRA lahir, ia hanya milik saya sendiri. Tersimpan dalam file berukuran 728 kilobytes di komputer, bersama segala impian dan cita-cita untuk menjadi ‘emak sungguhan’ dari sebuah karya yang terwujud dalam bentuk buku, yang nyata, dan ada.

Setelah ia terbit dan nampang di rak-rak toko buku, file itu masih tersimpan rapi di komputer, kali ini bersama sederet foto hasil hunting saya di sejumlah toko, persis seperti emak yang bangga akan anaknya dan tak bosan-bosan mengoleksi fotonya, meski gambarnya selalu sama dan cenderung membosankan: setumpuk buku dalam rak kayu cokelat muda yang bersanding dengan tumpukan buku lain.

Bukan hanya itu pembedanya. Jika dulu ia hanya milik saya sendiri, kini saya mempertemukannya dengan dunia – membaginya dengan Anda semua. VAJRA menjadi milik kita bersama. Saya dan Anda yang mengijinkannya menghuni rak buku Anda.

Berikut adalah beberapa dari mereka yang telah bersua secara langsung dengan VAJRA. Mereka yang telah berkenalan dan memberikan testimoni mengenai anak sulung saya. Thanks a bunch you all. Terima kasih telah menempatkan VAJRA dalam rak kalian, dan terima kasih atas kesediaannya memberikan review dan komentar.

Yang mau nyusul, boleh banget. Yang merasa masih punya 'utang', monggo dilunasi sebelum jatuh tempo *wink-wink*. ;-)

Ditunggu, yaaa!


-----


"Untuk kumcermu, udah baca semua! Untuk sebuah debut, karya kamu ga bisa dipandang sebelah mata. Kudos 4 u!"
(Sitta Karina - novelis dan kontributor majalah “CosmoGIRL!”)


"
Fascinating. Jarang sekali ada tulisan-tulisan yang begitu kaya, tapi tidak kehilangan unsur entertainment-nya. Cinta anak SMA, sampai kloningan abad 22, sampai kehidupan penjaga tol dan pengamen jalanan, ada semua di sini. Kumcer terbaik yang pernah saya baca. Nyesel juga nggak baca abis ini dari dulu. Bagus banget Jen. I’m so proud of you. Damn proud, untuk jujurnya. Keren."
(Farida Susanty - novelis, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat)


Pernah nonton
Desperate Housewives? Kenal tokoh yang namanya Susan Mayer? Naah... seperti yang diakuinya sendiri, Jenny Jusuf ini seorang "Susan Mayer": gadis romantis penuh cinta :) Pokoknya, beda banget dibandingkan gw yang campuran antara the perfectionist Bree van de Kamp dan the practical Lynette Scavo ;-)

Dengan semangat saling mendukung ala tokoh2 DH lah, gw membeli VAJRA. Jujur, by my usual standard, rak chicklit & teenlit di toko buku bukanlah tempat bermain gw ;-)

Tapi akhirnya gw cukup menikmati membacanya. True, Jenny Jusuf is Susan Mayer at heart. But, she is definitely less naive than that romance-hungry character ;-) Cerita2 di Vajra memang ringan, penuh roman, dan terkesan cinta mengalahkan segalanya seperti jalan hidup seorang Susan Mayer.

... tapi, Jenny membekali dirinya dengan pengetahuan yang up-to-date tentang berbagai hal. Dengan demikian, meskipun ceritanya ringan dan penuh cinta, cocok buat remaja2 putri, tapi tulisannya membuat remaja2 itu sedikitnya menambah pengetahuan dan "nggak cuma mikir cinta" ;-)

Yang jelas, Jen, VAJRA gw simpan buat bacaan Ima 1-2 thn lagi ;-)
(Maya Notodisurjo - blogger)


"
Damn! VAJRA KEREN euy! Emang jago deh lo, IRI huehehe. Simpel, menyentuh tapi berisi. Cool debut! Ada beberapa yang KENA banget Mbak, cuma emang ada yang kurang tapi tetep oke. Tapi keren euy! Overall nice, gue seneng bacanya dan gak mau berhenti."
(Haqi - blogger, scriptwriter)


"Jenny tapped the essence of life and brewed it into riveting, page turning stories. Can’t wait for your next book!"
(Tommy Fransiscus)


"
Congratsss... Ada yang sukses bikin mata berkaca-kaca, ada yang sukses bikin nyengar-nyengir ga jelas. Paling suka "Anugrah Terindah”, khas Kakak banget."
(Noviana Roselie)


"Waahhh... Kak Jenny aku udah baca bukunya.... kereeennn!!!! Huhuhuhu... Ayooo ditunggu lagi yaaa bukunyaa!!! Cmangattzz!!!"

(PS: aku paling suka cerpen tentang Faris dan pacarnya... hehehehe pengalaman pribadi soalnya :p)
(Purple_Loverz)


"Halo Kak Jenny :) Salam kenal ya, aku Clarissa... aku tau bukunya dari milisnya Kak Arie dan aku udah beli bukunya, sekarang udah selesai baca. Bukunya bagus banget! Aku suka banget, life lessonsnya bagus-bagus banget :) Selamat ya :D And keep writing!"

(Clarissa)


"Udah beli bukunya... udah baca... gw paling suka ama cerita yang ada quotenya. Gw lupa bahasa inggrisnya, tapi kira-kira gini: kasih yang paling besar adalah saat seseorang mengorbankan nyawanya untuk sahabatnya... dalam banget..."
(Desty)


"Udah beli kumpulan cerpennya Jenny… ^_^ Suka banget ama cerita-cerita di dalamnya…"

(Maggie)

Friday, December 12, 2008

Pelita Hati

Teman-teman tersayang,

Terima kasih untuk semalam, ketika kita duduk mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu keras, mengerjakan segala aktivitas biasa –mengecek HP, menyelesaikan sisa pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang, sampai mengecat kuku- sambil berceloteh panjang lebar. Tentang segala hal dalam hidup. Tentang rencana menikah tahun depan. Tentang pacar yang menjengkelkan. Tentang rekan kerja yang menyebalkan. Tentang kejadian-kejadian yang membuat naik darah.

Lalu, setelah puas mengutuk orang-orang yang kita salahkan membuat hidup jadi lebih sulit, kita berkhayal, alangkah asyiknya kalau tahun depan bisa berlibur bersama ke sebuah tempat indah nan eksotis. Pokoknya harus yang ada pantainya. Kemudian kita mulai menghitung-hitung, membuat perencanaan, dan membahas segala sesuatu.

Kita sepakat, tidak akan pergi naik pesawat. Mahal, Jendral. Kita akan menyewa kendaraan. Lalu, kita akan melakukan segala macam trik untuk menyiasati bawaaan yang segudang. Kenapa segudang? Karena kita akan membawa bahan makanan dan memasak sendiri selama liburan, supaya hemat. Dan kita tertawa-tawa membayangkan orang yang dipercaya membawa segala makanan itu kabur meninggalkan kita, menghilang, atau nyasar entah dimana, dan kita termangu kelaparan.

Ketika nominal disebutkan, kita beramai-ramai sepakat bahwa kita akan rajin menabung, mulai dari sekarang. Angka itu sama sekali tidak kecil, meski kita memilih liburan ala backpacker miskin. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali menabung dan mengencangkan ikat pinggang. Mulai detik ini. Demi sebuah liburan yang menyenangkan, tahun depan.

Kita menyimpan harapan itu dalam hati, rapi-rapi, serta berjanji pada diri sendiri untuk tak alpa menyisihkan uang setiap bulan. Kemudian kita kembali pada aktivitas masing-masing. Mengecek HP. Menyelesaikan sisa pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang. Mengecat kuku. Sambil mengobrol panjang lebar tentang segala macam hal dalam hidup.

Saya tahu, seperti kalian pun (mungkin) tahu. Liburan itu tidak akan terwujud. Meski kita lebih suka membungkam mulut rapat-rapat dan tidak membicarakannya. Hidup memang tidak pernah menutup peluang terhadap berbagai mujizat dan keajaiban, namun, jika menilik realitas, kita semua sadar, kita takkan menjejakkan kaki ke pantai impian itu. Setidaknya, tidak tahun depan.

Saya memilih realistis dengan merangkul kenyataan bahwa serajin apa pun saya menabung dan berhemat dalam setahun, tabungan saya tidak akan cukup untuk membawa saya ke sana. Teman kita yang satu lagi, juga tidak akan mampu membiayai perjalanannya karena ia bahkan tidak punya tabungan sama sekali. Tidak bisa menabung, tepatnya. Setiap bulan, seluruh gajinya habis untuk hidup sehari-hari, menyekolahkan dua keponakan, dan diberikan kepada orang tuanya yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan. Lalu, teman kita yang satu lagi, yang wajahnya selalu berhasil membuat tertawa meski batin sedang gundah, tahun depan akan menikah. Kita semua tahu, biaya pernikahan tidak sedikit. Dan adik kita tersayang, Batak Tembak Langsung yang jagoan membuat orang terpingkal-pingkal itu, berniat melanjutkan kuliah, mengambil S2. Itu juga butuh biaya yang tidak sedikit.

Lantas, kenapa kita repot-repot merencanakan sebuah perjalanan yang tidak akan terwujud?

Karena kita masih ingin punya mimpi. Karena impian memberi semangat pada diri yang mulai jenuh menghadapi dunia. Karena impian memberi bahan bakar untuk menyalakan api di hati. Untuk terus melangkah. Untuk terus berjalan. Meski kaki-kaki kita sudah penat dan lelah. Meski tubuh ini sudah menjerit-jerit minta time-out.

Teman-teman tersayang,

Terima kasih banyak untuk semalam, ketika untuk kesekian kalinya kita duduk bersama. Mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu keras, ditemani sebungkus keripik dan air mineral. Mengobrolkan segala macam hal. Menertawakan hidup, karena cuma itu yang kita bisa. Karena terkadang hidup tidak menyisakan pilihan selain tertawa, meski itu tawa getir. Sepat.

Terima kasih untuk senantiasa berbagi. Tawa, tangis, amarah, bahagia, kecewa, takut, dan segala rasa lain yang silih berganti hadir dalam perjalanan panjang ini. Dan, kendati liburan impian kita nanti betul-betul tidak terwujud (kenapa ‘betul-betul’? Ya karena saya masih ingin menyimpan harapan akan datangnya mujizat :-D), saya ingin berterima kasih karena kalian telah menemani saya dalam perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan panjang bernama Kehidupan.

Terima kasih untuk setiap bungkus keripik singkong, snack keju, wafer cokelat, permen jeli, mie instan, bakwan sayur, sirup jeruk, dan teh manis dingin yang kita bagi bersama. Terima kasih untuk kedamaian yang selalu singgah setiap pandangan saya bertemu dengan wajah-wajah kalian, yang seringnya tampak kusut dan jemu, meski kalian –seperti juga saya— selalu berusaha menyamarkannya dengan senyuman. Betapa saya tahu, sesungguhnya saya tak pernah sendiri.

Terima kasih untuk kegembiraan yang timbul kala kita beriringan menyusuri pinggiran jalan yang berdebu, berpayung berdua-dua, menyetop angkot dan urunan seorang dua ribu, lalu berjalan ke mall terdekat di bawah siraman rintik gerimis dan hawa dingin sambil tak henti-hentinya bercanda dan terpingkal-pingkal.

Terima kasih untuk setiap curhat yang meyakinkan bahwa saya memang tidak perlu kesepian. Terima kasih untuk setiap kegilaan yang mengocok perut, yang selalu berhasil menghadirkan kehangatan dan cahaya ketika hidup sedang suram-suramnya. Meski kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa bersama (sebelum salah satu dari kita akhirnya resign dari kantor dan pindah ke kos-kosan lain, misalnya, atau menikah dan tinggal bersama suami), saya ingin berterima kasih karena kalian selalu ada.

Meski saya tidak akan pernah mengucapkan ini secara langsung (karena kalian pasti akan terbahak-bahak dan meledek saya habis-habisan, huh!), saya ingin kalian tahu, kalian adalah pelita hati. Each one of you. Dan ketika memandang wajah kalian, satu persatu, saya tahu, kita tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

:-)

Sunday, December 7, 2008

Buat Kamu

Terima kasih untuk menelepon di saat yang sangat tepat. Ketika saya merasa penat dengan segala kegilaan yang terus bergulir; saat saya sedang ingin meninggalkan semuanya untuk mencicipi kehidupan ‘normal’ – sebentar saja.

Don’t be sad,” katamu, padahal saya tak bercerita apa-apa. Mungkin gelombang otak kita sedang berada dalam frekuensi yang sama, atau kemampuan telepati mendadak muncul karena kita saling merindu.

Kamu, ya, kamu. Saya selalu sayang kamu. Saya tahu kamu tahu. Dan terima kasih karena selalu ada.

(Tidak, yang saya maksudkan bukan kehadiranmu secara fisik. Tapi hatimu.)

I love you, Papa.

Dan, ya, saya janji tidak akan terlalu sering mandi malam dan begadang lagi. :-)

Friday, December 5, 2008

Reputasi itu Penting, Jendral!



Nomor teleponnya sengaja nggak ditutupin. Siapa tahu ada yang butuh... ;-)

Friday, November 28, 2008

kepada yang merasa media gosip se-tanah air

Ketika kau gebrak itu pintu mobil
Sambil berteriak-teriak tak karuan seperti menyerbu maling
Dengan kalimat yang membuat pekak telinga dan nyali ciut
Sadarkah kau berapa yang terduduk lemas di balik kaca itu?

Ketika kau ketok itu palu untuk menjatuhkan vonis atas hidup orang
Adakah benakmu berbisik, salahkah ini
Atau memang otakmu tak lagi punya ruang untuk hati?

Ketika kau curi itu orang punya suara
Lalu kau palsukan, dibalur narasi dan aksara
Seperti pil pahit bersalut gula untuk membohongi lidah
Pernahkah kau bertanya apa karmamu kelak?

Ketika kau pakai itu orang punya nama
Dan kau jejalkan di bawahnya kebohongan demi kebohongan
Sempatkah kau berpikir, bagaimana kalau namamu yang ada di sana?

Ketika kau hujani itu orang punya hidup
Dengan lampu sorot besar-besar untuk kau kulik
Dan kau jadikan komoditi tanpa peduli bahwa orang juga berhak punya privasi
Tahukah kau resah dan gelisah yang hadir merampok batin?

Ketika kau angkat itu lensa hitam tinggi-tinggi
Dan kau dekatkan tigapuluh senti dari wajah seperti polisi memburu tersangka
Adakah kau mengerti semburat teror yang berlintasan di sana?

Jadi, kawan-kawan tersayang, teruslah mendulang apa yang kalian sebut rezeki dengan mendagangkan sejumput hidup orang. Tak usah khawatir akan karma, fakta dan etika, karena di sini kita cuma berdagang, dan dunia yang kita tinggali memang tak menyisakan tempat untuk nurani. Teruslah bekerja, dan sebut itu karya. Sebut yang kau kabar-kabari itu informasi faktual, akurat, terpercaya, setajam silet. Teruslah merampok hak dan kebebasan orang lain untuk punya ranah privat, toh kita cuma sama-sama cari makan. Toh, mereka yang terus kalian kutak-katik itu hanya segelintir orang yang sial karena ketempelan cap publik figur.

Saya di sini, menonton. Anda dan lakon-lakon yang silih berganti menjelmakan dagelan di panggung berjudul industri hiburan ini. Karena cuma itu yang saya bisa.

Kendati ini bakal sia-sia, saya tetap belum bosan berharap dan menunggu
Saat ketika manusia bisa jadi manusia.

:-)

Monday, November 24, 2008

Ta' Sobek-Sobek!

--pluk--

Saya meraba telinga kanan, lalu memungut kabel hitam tipis yang tergeletak di pangkuan. Kembali memasang earphone yang sudah berkali-kali jatuh sambil menghela napas panjang. Sejak tadi, hanya itu yang saya lakukan. Berulang-ulang menarik napas. Bukan karena earphone yang sudah uzur dan minta di-lem biru (lempar, beli baru), namun karena topik program radio yang sedang saya dengarkan sangat menguji kesabaran mental.

Penyesalan mulai merambat naik. SMS yang dikirimkan sahabat saya –narasumber tetap siaran radio gila (atau narasumber gila siaran radio tetap? Au ah. *wink-wink*)— tepat sebelum siaran dimulai sudah cukup memicu kecurigaan bahwa topik pagi ini akan mengusik kesejahteraan jiwa. Still, saya memasang earphone dan mencari-cari gelombang yang tak pernah berhasil saya hafal frekuensinya.

Topik yang menjadi objek pembahasan kali ini adalah tema yang sudah berkali-kali kami (saya dan sahabat) obrolkan dan selalu berhasil membuat saya cengar-cengir sebal, yakni mengenai penilaian yang tidak seimbang tentang uang, mentalitas ‘punya tapi miskin’, perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari (gila diskon, refleks menawar sampai ke satuan terkecil, penerapan ‘hemat pangkal kaya’ nan hiperbolis, perhitungan yang akurasinya sangat terjamin –kalau soal uang, ya. Soal lain mah belum cenchu- irit-pahit-medit, de-el-el. Yang belum tinggal bikin berhala dari duit aja)... sampai dampaknya terhadap ketenteraman batin.

Setiap kali pembahasan itu muncul, saya hanya mesam-mesem konyol dan membela diri sebisanya, atau balas nyeplos sekenanya. Tak pernah menganggapnya serius. Sampai sahabat saya nyeletuk bahwa ia berniat mengadakan seminar dimana pesertanya diharuskan membakar uang dan menggunting kartu diskon demi mengikis mentalitas ‘berduit tapi miskin’ yang meracuni pikiran seperti asap hitam knalpot bis kota –mengaburkan kejernihan pandang dan membuat sesak napas— saya masih mengira bahwa ia cuma bercanda. Main-main. Tidak sungguhan. Orang gila mana yang nekat membakar uang yang diperoleh dengan kerja keras? Emangnya duit turun dari langit?

Untung tak dapat diraih, malang tak da *...ah, sudahlah*. Ternyata, sahabat saya tidak bergurau. Bedanya, ia tidak benar-benar membuat seminar, melainkan mengangkat topik tersebut dalam pembahasan radio hari ini. Lengkap dengan latihan bakar-membakar, yang demi keamanan lingkungan, diganti dengan sobek-menyobek. Iya, uang. Bukan kertas bekas, bukan bungkus pisang goreng. Dan saya merasa ‘terjebak’.

Separuh otak saya langsung ribut menyuruh mematikan radio, namun untuk alasan yang tak pasti, saya malah terus mendengarkan. Setiap jeda iklan dan lagu, saya berulang kali tergoda menekan ‘switch off’ dan melanjutkan tidur, tapi sinkronisasi tidak berlaku pagi ini.

Dan terjadilah momen sialan bersejarah itu. Sahabat saya mengeluarkan selembar limapuluh ribuan (iya, uang. Bukan daun singkong) dan mendekatkannya pada microphone (eh, dideketin nggak sih? Pokoknya gitu lah). Bunyi sobekan yang terdengar –lambat dan jelas— nyaris mengubah saya menjadi psikopat.

Limapuluh ribu. D i s o b e k.

Dan masih banyak orang di luar sana yang nggak bisa makan.

Yang nggak mampu beli baju.

Yang nggak sanggup bayar uang sekolah.

Yang banting tulang jadi kuli demi mengais rupiah dan bisa mati setiap saat ketimpa beton.

Yang jualan koran di lampu merah saat panas terik cuma supaya bisa dapet sepuluh-duapuluh ribu.

Yang ngesot-ngesot mengemis di pinggir jalan.

Yang naik-turun ngamen di angkutan umum dengan resiko kelindes kontainer.

Limapuluh ribu. D i s o b e k.

Dan ia masih berani mengajukan ‘saran’ kepada pendengar untuk melakukan hal serupa. Tidak harus sama jumlahnya, boleh mencoba dengan nilai satu persen dari total gaji.

Tidak banyak, memang. Katakanlah gaji yang didapat satu juta, maka yang disobek ‘hanya’ sepuluh ribu rupiah.

Tapi kan, bok... TETEP AJA DUIT!!!

Siaran selesai tak lama kemudian, dan saya sungguh penasaran ingin melihat tampang para host yang agaknya tidak kalah shocked dengan latihan berbasis terapi itu. Saya meraih dompet dan melangkahkan kaki ke warung nasi untuk membeli sarapan. Tapi, sepanjang jalan, benak saya tak henti-hentinya bergemuruh. Entah kenapa. Saya kehilangan konsentrasi dan hanya berjalan menyeret kaki seperti orang bodoh. Untung nggak ketabrak truk.

Sekembalinya ke kosan, saya duduk di ruang tamu dan menyantap sarapan sambil terbengong-bengong. Seperti orang ‘hilang’. Pikiran saya menolak diajak berfokus, namun saya juga tak mampu mencermati kemana ia mengembara.

Mendadak, entah darimana datangnya, saya merasakan sesuatu ‘bergolak’ di dalam diri. Saya bahkan tidak sempat menelusuri sumbernya, karena ia muncul begitu saja tanpa terbendung. Campuran antara sengit, kesal, dan tidak rela. Ingatan tentang suara uang yang disobek semakin memicu refleks untuk mengambil pisau dapur dan memutilasi orang. Semakin mengingatnya, semakin saya membenci ‘adegan’ itu. Semakin saya bersumpah TIDAK AKAN PERNAH melakukan ketololan kegilaan serupa. No freaking way, orang Sunda bilang.

Namun, sebagaimana sinkronisasi tidak berlaku pagi ini, tangan saya justru memunculkan respon berkebalikan.

Cepat, tanpa berpikir, saya mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dari dalam dompet. Kemudian merobeknya sekuat tenaga persis seperti perempuan yang baru patah hati menyerpih koleksi surat cintanya sampai potongan terkecil. Setelah sobekan-sobekan itu teronggok di atas meja –sekumpulan kertas yang kini tak lagi punya makna—barulah saya merasakan sensasi lain: dada saya sesak oleh luapan emosi. Bahkan tanpa saya tahu kenapa.

Amarah itu menggelegak. Seperti air mendidih yang siap meluber. Saya merasa perlu masuk ke dalam gua demi menetralisir emosi, atau saya akan mencekik makhluk hidup pertama yang saya temui. Saya merasakan kemarahan yang amat-sangat, entah pada siapa. Tanpa alasan spesifik.

Ketika wajah sahabat saya hadir dalam benak, percikan api itu seperti bertemu bensin. Stimulus yang cukup fatal. Saya betul-betul marah. I seriously wanted to murder him. Dan berhubung sahabat saya akan menjalani trip ke luar negeri dalam waktu dekat, saya sempat berpikir, “Bagus deh, sebaiknya emang gak ketemu-ketemu dulu… demi mencegah pertumpahan darah.”

Saya memandangi sobekan uang yang tertumpuk di meja, dan lagi-lagi menghela napas. Panjang dan lama itulah Coki-Coki .

Bo, d-u-a-p-u-l-u-h r-i-b-u. Kebuang begitu aja. Disobek-sobek pula. Ampunilah saya, Gusti nu Agung. Semoga nggak sampai kualat.

Singkat cerita, tak lama setelah saya kekenyangan memamah ransum, handphone berdering. Sumpah mati saya malas mengangkatnya begitu melihat nama si penelepon.

Entah berapa puluh menit saya habiskan untuk mencaci-maki marah-marah, nggerundel nggak jelas, bahkan berkata keras-keras: “KETERLALUAN, IH!”

Saya tahu, tidak adil berkata seperti itu kepada sahabat saya, karena toh tindakan menyobek-nyobek uang adalah keputusan saya sendiri. Tanggung jawab saya sepenuhnya. Lha, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa, kok. Tapiii… tetap saja, saya perlu menyalahkan orang lain supaya bisa merasa lebih baik.

*Sounds familiar? ;-D*

Ia tidak marah, malah tertawa-tawa. Dan membuat saya semakin jengkel. Menit-menit berikutnya saya habiskan dengan berulangkali menarik napas dan mengomel. Sampai akhirnya saya capek sendiri. Sempat muncul perasaan ngilu yang awalnya saya kira akan tumpah keluar. Saya pikir saya akan menangis. Dan ia bilang, tidak apa-apa. Saya boleh menangis. Tapi, ternyata nyeri itu hanya sesaat. Luapan energi yang terasa mencengkeram tiba-tiba melonggar, dan saya kembali termangu-mangu. Masih sambil mengoceh, tapi tidak seintens tadi. Pegel, bok.

Why should I listen to you?”

Meski terdengar kasar, dalam kondisi seperti ini saya benar-benar tidak ingin menahan apa pun. Saya membiarkan diri saya berceloteh sepuasnya, mengeluarkan apa saja yang bergolak di dalam tanpa merasa perlu menyensornya.

You don’t have to. Just experience it,” ia menjawab kalem.

Perlahan, emosi saya menyurut. Yang tertinggal kini hanya lelah. Seperti orang habis berolahraga... atau dehidrasi? Orang yang baru selesai berolahraga seharusnya merasa segar. Saya hanya merasa letih. Seperti ada tenaga yang hilang dari diri saya. Namun gejolak itu, angkara murka *halah* yang meletup-letup sejak mendengarkan siaran, mulai kehilangan daya genggamnya. Mengendur. Hanya menyisakan penat, yang entah kenapa, terasa... benar. Nyebelin, nyakitin, tapi benar. Seakan-akan memang itulah ‘jatah’ saya. Pengalaman yang harus saya lalui dan reguk esensinya, meski rasanya jauh dari enak.

Dan kemarahan itu... yang bahkan tak saya mengerti karena timbul begitu saja tanpa analisa logis... yang menyembul dan ‘membakar’ saya... rasanya kini mulai saya pahami.

Perasaan itu muncul karena saya merasa keyakinan saya terenggut. Diambil secara paksa oleh tangan yang tak terlihat. Apa yang saya anggap benar dari hasil observasi, studi kasus dan pengalaman hidup bertahun-tahun –okay, okaaay, sebagai hasil pembenaran diri— seperti terampas begitu saja dan saya tak kuasa mencegahnya. Kebenaran semu yang saya rengkuh erat-erat itu direnggut oleh siaran sembilanpuluh menit dan dua lembar sepuluh ribuan yang kini teronggok dalam serpihan-serpihan kecil. Tak peduli berapa nominalnya, yang saya tahu hanya, rasa ‘sakit’ itu benar-benar nyata. Dan saya terkesima sendiri. Tidak menyangka emosi saya bisa bergolak sedahsyat itu hanya karena uang duapuluh ribu.

Sebelum mengecam saya sebagai makhluk pelit nan medit, mari saya jelaskan sesuatu. Saya bukan orang yang anti mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak memberi timbal balik kepada saya. Dalam kondisi-kondisi tertentu, saya sama sekali tidak keberatan mengeluarkan uang yang nominalnya bahkan jauh lebih besar dari yang baru saya sobek, untuk sesuatu yang tidak mendatangkan keuntungan apa pun. Sebagai umat Kristiani yang baik, saya tidak pernah lupa menyisihkan sepersepuluh (sepuluh persen lho, bukan satu persen) dari penghasilan saya untuk diberikan kepada Gereja. Bukan sekali-dua juga saya mentraktir office boy (ketika masih jadi pekerja kantoran dulu), memberi sembako, membelikan makanan untuk anak-anak jalanan, menyumbang untuk berbagai kegiatan sosial, dan sebagainya.

*Stop sebentar. Sebelum saya melanjutkan, tolong pahami bahwa saya menulis hal-hal di atas bukan untuk pamer budi. Saya hanya menjelaskan apa yang saya rasa perlu. Don’t get me wrong, K?*

Saya tidak punya masalah dengan itu semua. Bahkan, ketika saya terpaksa ‘kehilangan’ sejumlah uang karena kebodohan dan kecerobohan saya sendiri –seperti dikibulin supir taksi, termakan rayuan investasi berbasis agama yang ternyata penipuan, ikut-ikutan main saham dan rugi banyak, atau kalap belanja sampai uang ludes untuk hal-hal nggak penting— saya tidak pernah berlarut dalam penyesalan. Bagi saya, selalu ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari setiap peristiwa. Kebodohan dan kecerobohan akan menjadikan saya lebih mawas diri dan berhati-hati dalam mengelola uang. Mempersembahkan sejumlah uang ke tempat ibadah adalah sesuatu yang sudah seyogianya dilakukan, karena itu tertulis dalam buku panduan sejuta umat kitab suci. Berderma kepada mereka yang membutuhkan senantiasa membuat hidup terasa lebih berguna mendatangkan kepuasan batin yang tak terukur nilainya. Setidaknya, saya tahu apa yang saya keluarkan bermanfaat bagi orang lain.

Tapi... menyobek-nyobek uang... meski nilainya ‘hanya’ duapuluh ribu...

...seperti mengobok-ngobok kakus dengan tangan telanjang.

Pergumulan batin saya *tsah!* tidak berhenti sampai di situ. Prinsip ideal tentang uang yang sudah terkonstruksi di benak ini -dan entah sudah berapa lapis karatnya akibat dibiarkan berkerak bertahun-tahun- telah menjelma menjadi sesuatu yang saya rangkul sebagai kebenaran. Setidaknya, untuk diri saya sendiri. Saya demikian percaya diri dan selalu memandang prinsip itu sebagai pilar kokoh penopang kelangsungan hidup, yang tanpanya, separuh diri saya tiada. Dan kini, pilar itu luluh sudah. Bangunan kecil saya terguncang, siap runtuh.

Lama setelah percakapan kami berakhir, saya masih termenung. Saya meraih serpihan-serpihan uang itu. Sahabat saya berpesan agar sobekan itu tidak dibuang, supaya saya bisa melihatnya sesekali dan mengingat pelajaran berharga di balik ‘latihan’ itu. Bahwa apa yang saya anggap sebagai barang berharga sesungguhnya tak lebih dari selembar kertas. Benda itu tidak memenjarakan saya. Penilaian atasnyalah yang menjadikan saya terpenjara. Harapan dan ketakutan yang tersimpan di balik pemahaman yang keliru telah menciptakan begitu banyak konflik dan stres di dalam batin.

Saya meletakkan sobekan-sobekan itu di atas tempat tidur dan terpekur menatapinya. Lama. Kemudian, saya mengeluarkan handphone dan memotretnya.

Lalu, bagaikan disiram air dingin di siang bolong (atau kesamber petir di tengah lapangan – kira-kira efeknya sama, lah), saya terperangah. Kesadaran itu menyerbu benak saya bagai sekumpulan prajurit yang mengendap-endap; menyelinap dan menunggu aba-aba untuk menyerang. Untuk memancingnya keluar hanya dibutuhkan sepenggal isyarat... atau seberkas sinar dari handphone berkamera yang saya genggam.

Kesadaran itu muncul berupa pencerahan. Melalui duapuluh ribu yang hancur tersobek-sobek, saya berjumpa dengan sisi lain dalam diri saya. Bagian dari Jenny yang nyata, ada, meski tak pernah saya sadari keberadaannya. Saya menemukan berlapis-lapis lensa yang membatasi jarak pandang dan cara saya melihat hidup. Saya menemukan keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan harapan yang terwujud dalam kerja keras, dengan label mengejar impian. Berbarengan dengan padamnya lampu kamera; bersamaan dengan munculnya gambar pada layar handphone, saya sadar... saya adalah sebatang bonsai yang mengira dirinya pohon raksasa. Saya adalah burung kecil yang terlalu takut terbang ke angkasa dan mematuk orang yang membukakan pintu kandangnya.

Masih ‘shocked’ dengan perubahan emosi dan reaksi hati yang bagaikan rollercoaster, saya memilih untuk duduk diam. Mengamati apa yang timbul ke permukaan. Hanya merasakan, sepenuhnya. Tanpa menilai.

Lalu, datanglah rasa terakhir, yang tak saya sangka akan muncul. Tipis, namun perlahan menguat seiring ‘pulih’nya kesadaran saya. Memenuhi ruang pikiran yang masih terlampau peka untuk mencerna apa yang terjadi.

Rasa itu bernama Bangga dan Lega.

Bukan karena merasa hebat. Bukan karena merasa lebih. Namun karena saya merasa ‘menang’. Bukan atas siapa-siapa, melainkan atas berbagai konflik yang telah lama membelenggu batin tanpa saya sadari.

Dalam serpihan-serpihan kertas itu, saya bersua dengan separuh diri saya yang lain. Jenny yang berani. Bukan berani merobek uang, namun berani menghadapi monster yang bersemayam di dalam diri, menerimanya apa adanya, dan –akhirnya- berdamai dengannya. Menyongsong langit biru yang selama ini hanya mampu saya pandangi dari balik sangkar meski pintunya telah lama terbuka. Menjelang kebebasan yang terhampar di depan mata sepenuh hati; tanpa mempertanyakannya, tanpa bergumul. Memandang hidup bukan lagi sebagai arena gulat dimana saya bertempur dengan harapan, keinginan dan ketakutan, melainkan taman bermain dengan aneka wahana yang terkadang menguji nyali, membuat tertawa gembira, merengut sebal, berdebar-debar, dan banyak lagi. Di tengah rasa yang silih berganti hadir –entah itu mencekam, menghanyutkan, menyenangkan, membuat ketagihan— saya sadar bahwa saya hanya sedang bermain.

Dan akhirnya, saya tersadar. Keberanian sejati mungkin bukanlah keberanian untuk membela apa yang kita pandang benar, menjunjungnya tinggi-tinggi dan melindas apa pun yang menghalangi jalan kita. Bukan juga keberanian untuk berhadapan dengan rasa takut tanpa tergoda mundur. Bukan pula keberanian untuk berdiri gagah menentang kelaliman dan menyongsong maut di medan perang.

Keberanian sejati, mungkin, adalah keberanian untuk menyadari penjara yang mengungkung kita selama ini; melihat jeruji-jerujinya sebagaimana adanya -bukan kamar emas beranjang empuk tempat sepiring makanan disuguhkan setiap hari, melainkan pasung yang membelenggu kemerdekaan batin-... lalu mengambil keputusan dan bertindak membebaskan diri – apa pun wujud kebebasan itu. Meski dunia mencela kita sebagai idiot separuh gila.

:-)


*Entri ini saya dedikasikan untuk Pawang Sobek tercanggih sepanjang masa. Selamat, Anda berhasil! Tapi, ingatlaaah... selama Partai Kaypang belum resmi dibubarkan, mawas diri biar nggak ketularan hendaknya perlu. ;-D

Monday, November 17, 2008

Rahasia

Siang tadi, Nak, aku tersenyum. Mengintip wajah lelapmu di balik selimut. Menyimak bibir mungilmu yang membentuk sebuah lengkungan lembut. Menebak-nebak, mimpi apa yang membuatmu tampak begitu damai.

Lalu, aku teringat sesuatu. Tepatnya, seseorang. Tidak, banyak orang.

Ingatanku melayang pada mereka, yang menganggapmu makhluk malang karena harus membagi cinta pada ayah dan ibu yang telah berseberangan jalan selagi kau masih terlalu muda untuk mengerti makna perpisahan. Mereka yang menyangka kau telah kehilangan begitu banyak kesenangan saat kanak-kanak seusiamu sedang rakus-rakusnya mereguk kegembiraan. Mereka yang mengira hidupmu tak lagi lengkap karena kau tidak seperti anak-anak mereka yang orangtuanya tinggal di bawah atap yang sama dan tidur dalam kamar yang sama, meski kita tak tahu apa yang terjadi di balik ruangan berdinding empat itu. Mereka yang menatapmu dengan sorot iba dan menggeleng prihatin akan masa depanmu yang (katanya) menggantung suram seperti langit mendung pukul enam.

Mereka yang mengira… ah, sulit aku mengatakannya, Nak… mereka yang mengira engkau terluka, sengsara, pahit, dan tidak bahagia.

Beramai-ramai mereka berdoa untuk kebahagiaanmu. Mungkin karena mereka sungguh peduli. Mungkin juga karena ego mereka terusik tatkala melihatmu duduk dengan senyum terentang. Dan mereka tak putus-putusnya berceloteh tentang cinta, Tuhan, perpisahan, dan kebenaran. Yang belum mereka ocehkan mungkin cuma akhirat, karena mereka belum pernah mati, meski kalau kutilik dari cara mereka berbicara, separuh dari mereka barangkali sudah hidup di neraka.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak.

Kebahagiaan bukan substansi tanpa wujud yang melayang-layang di udara -menunggu diraih- sementara jutaan orang beriak-riak di bawahnya seperti cacing kena garam, menggapai putus asa sekadar untuk mencicipinya barang sekelumit. Kebahagiaan, Nak, adalah apa yang kutemukan di wajahmu ketika kau berlarian tak tentu arah sambil menari-nari dan berlompatan. Kebahagiaan adalah binar yang kutangkap di matamu saat kau berceloteh panjang lebar dalam bahasa yang hanya kau mengerti sendiri. Dan kebahagiaan itu, Nak, didamba begitu banyak orang, bahkan oleh mereka yang menyangka dirinya tahu arti bahagia.

Kebahagiaan, Nak, adalah sesuatu yang membuat banyak orang rela kehilangan jam-jam tidur berharga, memperlakukan tubuh bak mesin yang dinamonya bisa diputar hingga melampaui limit dan mati-matian memeras segumpal sel di balik jidat demi menghasilkan lebih banyak daya untuk bekerja lebih keras, lebih giat, lebih rajin, yang dikiranya akan mendatangkan lebih banyak uang, lebih banyak stempel sukses, dan lebih banyak kesenangan. Lalu mereka duduk, menghela napas panjang, kecapaian, dan menyangka telah mencapai. Tersenyum hanya untuk sesaat, karena tak ada cukup ruang untuk jeda di sini. Terlalu banyak yang harus diraih. Terlalu banyak yang harus dikejar. Dan mereka mengira, semakin banyak mendapat, semakin mereka bahagia.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak. Kebahagiaan adalah pemandangan indah yang kulihat kemarin sore, saat kita berbaring malas di sofa -engkau di sampingku sambil memamah keripik- menonton kartun di televisi dan membiarkan angin menidurkan kita perlahan. Senyap dan lama.

Kebenaran, Nak, adalah sesuatu yang dibela habis-habisan oleh begitu banyak orang; tak peduli ia otentik atau bekas pakai, absolut atau usang belaka. Mereka mengusungnya dengan jumawa, membawanya bertempur dengan semangat patriotik, menyerang ranah pribadi orang lain demi menjejalkan sepotong kebenaran versi sendiri yang sudah berjamur, lalu menyebut diri pemberani – tanpa sadar bahwa kebenaran hakiki tak pernah membutuhkan pembela. Barangkali, dalam hati mereka menganggap diri titisan orang suci atau martir, meski era Muhammad dan Yesus sudah lama berlalu.

Sini kuberitahu, Nak. Kebenaran versiku –dan mungkin versimu juga, kelak— tidak perlu pembela. Karena apa yang benar bagiku belum tentu benar bagi yang lain. Dan yang otentik bagimu nanti, juga belum tentu sejalan dengan yang lain.

Mau tahu satu rahasia lagi?

Ini antara kita saja. Jangan bilang-bilang.

Surga bagiku, Nak, bukan kubah mahabesar dengan jalan-jalan emas yang akan kita masuki sesudah mangkat. Bukan juga taman penuh bunga tempat bermain kerub yang akan kita jumpai setelah perjalanan ini tiba di ujung waktunya. Surga adalah bercanda denganmu dan mendengarmu tertawa keras-keras. Surga adalah memandangimu menyuap roti cokelat ke mulut, mengunyahnya lahap-lahap, lalu berkata minta tambah. Surga adalah ketika kau memanjat ke pangkuanku dan bersandar di sana, sementara aku menciumi rambut ikal halusmu yang lembap dan bau wangi. Surga adalah melihatmu tertidur dan menyelimutimu rapat-rapat agar hangat hingga pagi menjelang.

Surga adalah matahari kecil yang bersinar benderang di wajahmu ketika kau menggandengku untuk minta dipakaikan celana pendek. Surga adalah jari-jarimu yang menggenggam tanganku saat kita menyusuri jalan setapak di samping rumah. Surga adalah larimu yang secepat angin ketika bermain di kolam pasir yang banyak semut. Surga adalah teriakan ributmu yang memanggilku untuk melihat cacing di selokan. Surga adalah kepalamu yang menyuruk perlahan di antara lenganku ketika kau berbaring sambil minta didekap.

Surga adalah senyummu, gelakmu, cahaya di matamu. Aku bahkan tak perlu mati untuk pergi ke sana.

*Sebuah persembahan untuk malaikat cilik yang matanya selalu tertawa, juga untuk kedua orang tuanya, yang dengan sepenuh hati ingin saya acungi dua jempol. Tabik! :-)

Friday, November 14, 2008

Somewhere in the Middle

dear god,
i know you are there, listening.
if you don’t mind,
let’s meet up
in the middle.


you know my number, rite?
:-)


*Inspired by this song, a true genius. Kudos for you, Mark Hall!

Wednesday, November 12, 2008

Dariku dan Yang Tak Bernama


Hari ini, kutitipkan sebaris doa
PadaNya yang tak bernama
Tuk senantiasa menabur bunga di sepanjang jalanmu
Entah ia lurus, berlubang, penuh tanjakan, atau bak labirin.

Hari ini, kusematkan selarik asa
PadaNya yang tak bernama
Agar bahagia mengiringi tiap langkahmu
Dan dijaganya kau dalam susah dan sedih.

Hari ini, kusulamkan seuntai pesan
UntukNya yang tak bernama:
Ingat-ingatlah ia selalu
Dan jangan Kau luputkan tanganMu barang sedetik.

Malam ini, di bawah langit yang berpendar
Kulekatkan namamu di antara ribuan jentik cahaya
Dan bertelut padaNya yang tak bernama
Kubisikkan tiga baris sederhana:

Simpankan cinta ini untuknya.
Kiranya bahagia ini akan abadi
Meski hidup cuma ilusi.


Hei, kalian yang di sana.
Mudah-mudahan menjadi hadiah yang manis di hati.
Selamat berbahagia, yaaa. :-)



*Gambar (pastinya) dari gettyimages.com

Monday, November 10, 2008

Sadisme

Entri ini buat kamu.

Ya, kamu, yang belum sudi saya sebut namanya sampai sekarang.

Harap camkan ini baik-baik, karena dari semua tulisan yang saya buat, ini akan jadi salah satu yang paling sadis, meski kamu takkan tahu kamulah orangnya.

Saya benci kamu. Sangat. Dan sialnya, bukan karena sesuatu yang pernah kamu lakukan terang-terangan pada saya. Kenapa sial? Karena kalau kamu berbuat jahat terhadap saya, akan jauh lebih mudah bagi saya untuk membencimu setengah mampus dan merancang hal-hal kejam untukmu. Mengirim fotomu ke dukun santet Mencekikmu sampai biru dan megap-megap kehabisan napas, misalnya. Atau menculikmu di tengah malam buta, mengikat kepalamu dengan karung dan membenamkanmu di rawa-rawa sampai namamu cuma tinggal sejarah. Dan orang tak perlu tahu kamu pernah ada.

Saya benci kamu. Sangat. Dan ironisnya, kita malah belum pernah bertatap muka.

Saya benci kamu. Sangat.

Kenapa? Karena kamu telah menghancurkan mimpi-mimpi saya. Dan kamu melakukan itu dengan mudahnya, bahkan tanpa perlu banyak usaha. Kamu tinggal merangkai aksara, dan ketika membacanya, saya remuk berkeping-keping.

Hiperbolis? Tidak. Kamu tahu, saya benar-benar nyaris mengubur semua mimpi saya. Dalam semalam. Dan itu semua gara-gara kamu. Kamu dan rangkaian aksaramu, yang ingin saya abaikan, saya anggap sampah, namun tidak pernah bisa.

Saya benci kamu. Sangat.

Tapi malam ini, saya sadar.

Saya salah.

Bukan karena membencimu (memangnya membenci itu salah? Nggak juga. Yah, setidaknya 'kan saya mengaku :-P), tapi karena pernah berniat menenggelamkan mimpi-mimpi saya.

Bodoh sekali, kalau dipikir-pikir. Memangnya, kamu siapa? Begitu pentingkah kamu, sampai gara-gara kamu, saya harus kehilangan impian yang sudah saya sirami dan pupuki bertahun-tahun?

Saya masih membenci kamu. Sangat. Tapi, malam ini saya tahu, mimpi-mimpi itu tak perlu terkubur. Impian dan harapan hanya bisa mati dalam hati dan pikiran saya. Selama saya bisa menjaganya, mereka akan terus hidup.

Jadi, dengarkan ini baik-baik. Suatu hari nanti, sayap-sayap ini akan mengepak. Saya akan membubung tinggi. Amati dan tunggu sampai saat itu tiba. Dan saya mengatakan ini bukan untuk membuktikan diri kepadamu (memangnya, kamu siapa, sampai saya perlu membuktikan diri segala?). Saya akan terbang tinggi, karena di situlah tempat saya.

Langit biru tanpa batas itu adalah rumah saya. Dan akan saya kepakkan terus sayap-sayap ini sampai mereka cukup kuat untuk membawa saya terbang tinggi.

Sampai ketemu di atas sana. Dan tolong, belajarlah terbang lebih baik. Karena, siapa tahu, ketika kita bertemu nanti, saya masih ingin membunuh kamu.


*Tanpa bermaksud ikut-ikutan, bagi yang membaca ini dan merasa bisa menebak siapa orangnya (atau mencoba menyangkut-nyangkutkan dengan entri ini), tolong simpan energi Anda. Percayalah, Anda salah.

Hatur Nuhuuun :-)

Pagi-pagi, baru melek, belom sempet sikat gigi apalagi mandi, dapet SMS dari Ami, katanya saya dapet award. Langsung deh meluncur ke blog ibu ini*...

...TA-DAAA!




Duh, makasih banyak yaaa, Jeng Popi... terharu saya! :-)

*iyaaa, prioritas utama saya begitu bangun pagi emang internetan, bukan sikat gigi. Puas? Hyahahahaha.


Wednesday, November 5, 2008

Lagi, Tentang Cinta.

Minggu sore. Sebuah mal di pinggiran Jakarta. Bedah buku dan accoustic performance dari seorang penulis yang diiringi permainan apik pianis merangkap terapis. *Hi, there! ;-)*

Mendung masih bergelayut di luar, kendati matahari mulai muncul dan menghapus sisa-sisa gerimis yang membuat hari yang (semestinya) cerah menjadi sedikit suram.

Saya, merasa pegal setelah sejam lebih mondar-mandir, mulai mencari tempat duduk di antara puluhan bangku yang penuh terisi dan kerumunan orang yang memadati sekitar panggung.

Di atas panggung, ibu ini sedang diwawancarai oleh moderator yang juga teman saya, membuat saya tak henti-hentinya nyengir geli mendengar banyolan ngaco (orang Betawi bilang: ngebacot), sekaligus berdecak kagum mengakui kehebatannya. Benar-benar emsi kelas kakap. Dua emsi yang saya saksikan sebelum acara bedah buku hari ini mendadak terlihat seperti amatiran.

Saya berdiri tak jauh dari tepi panggung sambil terus jelalatan mencari bangku kosong. Ah, itu dia. Seorang laki-laki kurus-tinggi baru saja beranjak dari tempatnya. Saya menunggu. Dua menit, tiga menit, ia tidak kembali. Dan tidak meninggalkan apa pun di sana. Saya masih menunggu. Cukup banyak yang menonton sambil berdiri, tapi tidak satu pun yang tergerak menduduki kursi lipat hitam itu.

Yasuds, berarti memang jatah saya. Semoga kamu nggak balik. Kalaupun balik, ya maab, siapa suruh kursinya ditinggal-tinggal. *evil grin*

Saya duduk memangku tas, mengikuti jalannya acara sambil menimbang-nimbang apakah sebaiknya mengambil foto lagi atau tidak, karena menurut sahabat saya yang meminjamkan, sisa memorinya hanya cukup untuk mengambil sepuluh gambar. Saya sudah berfoya-foya selama setengah jam pertama, dan ragu-ragu untuk memotret lagi.

Seingat saya, sebentar lagi ada kuis berhadiah bagi pengunjung yang dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Siapa tahu ada momen menarik yang bisa saya potret. Saya menyilangkan tangan di depan dada, mengingat-ingat rundown yang hanya sempat saya baca sekilas, dan kini entah berada dimana.

-----

“Sekarang waktunya kuis!”

Pengumuman lantang itu membuat saya mendongak.

“Ada dua buku dan CD yang akan kita bagi-bagi. Kalau sudah punya, ya nggak apa-apa, bisa dikasih ke temannya, saudaranya...”

Saya menegakkan tubuh, bersiap menyalakan kamera. Sebentar lagi MC akan mempersilakan ibu ini untuk mengajukan pertanyaan sehubungan dengan buku yang sedang dibahas, dan pengunjung akan berebutan mengacungkan jari. Siapa cepat (dan bisa menjawab, ya. Kalau nggak, ya batal, hehehe), dia dapat.

“Siapa di sini yang datang berdua sama pacar???”

.....

Lha?

Kok…?

“Hayooo… siapa yang di sini datangnya berdua pacaaaaar? Ngakuuu!”

Saya memandang ke panggung, bingung. Ibu ini tampak sama herannya. Hanya teman saya yang cengar-cengir, dengan rencana yang cuma dia (dan Tuhan) yang tahu.

Tak berapa lama, sepasang muda-mudi *halah, muda-mudi bo! So sembilanpuluhan* naik ke panggung. Keduanya tersipu-sipu, senyam-senyum tanpa arti.

Dan teman saya yang kocak nan jenius itu memang terbukti nggak ada matinya. Sambil menyerahkan microphone, ia menodong si laki-laki –yang ternyata sudah berstatus suami, bukan pacar- untuk mengungkapkan perasaan sayangnya pada istrinya. Dan sang istri juga diwajibkan untuk merespon balik. Seketika, suasana berubah ramai.

Saya tergelak tanpa bisa ditahan, meski pasutri tersebut *ohmaigod – pasutri! Asa cacat kosakata* belum mengucapkan apa-apa, masih berdiri sambil cengar-cengir mokal. Pasti bakal seru.

Melihat gelagat ‘kalau-nggak-dipaksa-nggak-bakal-ngomong’ yang mereka tunjukkan, MC semakin bersemangat menyuruh sang suami bicara.

Akhirnya, masih dengan gestur malu-malu kucing, ia mendekatkan mic ke mulutnya. Sambil memandang istrinya –setengah tertunduk, entah rikuh atau jengah- ia mulai bersuara.

“Adek…”

Refleks, saya menajamkan pendengaran, meski sebenarnya tidak perlu.

“…dua tahun kita nikah –tiga tahun sama pacaran- aku tahu, aku bukan orang yang romantis…”

Kalimat itu mengalir lancar. Sederhana.

“…aku jarang ajak kamu makan di restoran, jarang ajak kamu jalan-jalan, atau beliin barang…”

Saya termangu di kursi, membisu sambil menggenggam kamera erat-erat. Tanpa ingin menjepretkannya satu kali pun. Penonton mendadak sunyi.

“Tapi, aku mau bilang… aku sayang kamu. Buat aku, cuma kamu seorang... satu-satunya...”

Mendadak, tenggorokan saya terasa nyeri. Kamera semakin erat tergenggam. Dalam keadaan mati.

“Kamu… tidak tergantikan.”

Sunyi kembali memecah. Sang istri menanggapi kalimat-kalimat suaminya dengan senyum malu-malu dan wajah tertuju ke bawah. Nggak heran. Saya juga akan melakukan hal yang sama seandainya berada di atas panggung bersama artis favorit dan mendengarkan pernyataan cinta suami sambil ditontoni orang se-mall.

Semua orang menunggu responnya. Termasuk saya, yang bahkan tidak ingat lagi akan tugas mendokumentasikan acara.

“Aku juga sayang kamu,” ia membalas pelan, tersipu. Menunduk dengan rona tipis di kedua pipi.

Tepuk tangan bergemuruh, riuh.

Mata saya membasah. Saya tahan kuat-kuat agar kaca bening itu tak luruh mengalir.

Kamu tidak tergantikan.

Mereka bukan pasangan Cinderella dan Prince Charming. Tanpa bermaksud merendahkan, saya ingin berterus terang bahwa fisik, penampilan dan pembawaan mereka bahkan tidak memenuhi kriteria pasangan ideal yang bisa mengundang decak kagum orang. Namun mata itu bersinar tulus. Dan kata-kata sederhana yang tak terpoles keindahan bahasa itu jauh lebih sempurna dari kalimat cinta apa pun yang pernah saya dengar.

Tidak ada ekspresi berarti di wajah pasangan itu. Tidak ada kalimat-kalimat bahagia. Tidak ada wajah yang berbinar penuh cinta, tidak ada mata yang bercahaya sukacita, tidak pula ada bahasa tubuh yang melukiskan keajaiban kasih yang diungkap tanpa pretensi. Hanya semburat semu yang nyaris tak kentara. Namun, semua itu mendadak tidak lagi penting.

Rona tipis itu sudah menjelaskan segalanya. Cinta itu tak butuh suara untuk bisa jadi juara.



Malam ini, saya hanya ingin mendengar lagu-lagu cinta. Malam ini, ijinkan saya bermimpi. Tentang seseorang yang bersedia hadir tanpa syarat, memandangi wajah lelap saya sambil membisikkan sebaris indah “Kamu tak tergantikan”. Hanya untuk saya. Ah, dasar mellow sumellow! ;-D


*Gambar diambil dari gettyimages.com

Friday, October 31, 2008

Malam ini, kembali mengenangnya.

Mama, apa kabar?
Baik-baikkah di sana?
Aku kangen sekali.
It’s been a long time.

Kadang
Ingin sekali menemuimu
Menaruh kepalaku di bahumu
Meski sekejap saja

Melihatmu tersenyum
Bukan hanya di mimpi
Mendengarmu tertawa
Yang bukan cuma di ingatan

Menjajari langkah-langkah gesitmu
Yang selalu terburu
Dan berseru,
Jangan cepat-cepat, kakiku tak cukup panjang.

Menjengukmu di dapur
Dengan daster dan rambut diikat
Mencoba membantu
Dan dimarahi karena membuat kotor

Mengadu di saat susah dan sebal
Selalu senang
Mendengar diriku dibela
Meski tak jarang aku yang salah

Mendengar namaku
Dalam doa yang kau bisikkan
Pagi, siang, petang
Tanpa jemu, tanpa lelah

Membaca ucapan ulang tahun
Berisi kata sayang dan wejangan
Agar selalu aku jadi anak yang baik
Dan semua hadiah lain tak lagi penting

Menemanimu di kamar, ruang tamu, meja makan
Bahkan ketika kau terlalu sakit
Untuk bisa menyambutku.
Sekadar bersamamu sudah cukup.

Menatapimu yang tertidur lelap
Bersyukur karena kau tak lagi didera
Memandangmu yang pulas dalam damai abadi
Berbahagia untukmu, meski aku ingin engkau selamanya ada.


Mama, apa kabar?
Indahkah di atas sana?
Aku kangen sekali.
:-)


Malam ini, empat tahun sudah saya mengenangnya. Dia tak akan terganti.
I love you, Mom.


*Ditulis sambil mendengarkan lagu ini.

Monday, October 27, 2008

Belajar dari Teletubbies

Satu senyuman. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Pernah dengar bahwa pelukan adalah nutrisi bagi jiwa?

Belum pernah?

Sekarang saya bilang lagi: pelukan adalah nutrisi jiwa.

Iya, benar.

Tidak percaya? Coba saja.

Kamu pikir, apa sebabnya Tinky-Winky, Dipsy, Lala, dan Poo selalu tersenyum?

Karena meski terhalang perut gendut dan kepala sebesar baskom, mereka tak pernah alpa berpelukan.

Karena perbedaan warna tak membuat mereka absen menyayangi.

Karena ukuran tak menghalangi mereka untuk berbagi cinta, meski ditontoni orang sejagat raya.

Pelukan adalah nutrisi jiwa. Suplemen hati yang tak perlu dibeli di toko obat.

Tidak percaya?

Kamu pikir, apa sebabnya Teletubbies tak pernah menangis?

Ah, sekarang kamu bilang saya konyol. Teletubbies hanya tokoh fiksi anak-anak.

Tapi, toh mereka tersenyum.

:-)

Jadi, ayo, ayo, belajar dari Teletubbies.

Satu senyuman setiap hari. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Cairkan penat di hati. Semaikan cinta. Dan rayakan kehidupan.