Seorang sahabat belum lama ini menumpahkan kekecewaan mengenai boss-nya di kantor (dimana ia sudah bekerja selama empat tahun) yang menolak meminjaminya uang ketika ibunya sakit dan sangat membutuhkan dana pengobatan. Padahal, menurutnya, selama ini ia belum pernah sekali pun meminjam uang dari perusahaan. Sementara itu, atasan yang sama dengan murah hati memberikan pinjaman kepada rekan kerja sahabat saya untuk membeli mobil baru -yang jumlahnya sama sekali tidak sedikit- dan membebaskannya untuk mengembalikan kapan saja.
Sepanjang hari, sahabat saya cuma bisa menangis di cubicle-nya. Kecewa, jengkel, sedih, marah. Ketika ia bercerita, saya mendengarkan dalam diam. Bukan karena tidak mau berkomentar, tapi saya memilih berhati-hati dalam berucap supaya tidak menambah kekeruhan pikirannya.
Selama berhari-hari, saya berusaha menjadi pendengar yang baik, dan ternyata itu sama sekali tidak mudah. Berkali-kali saya ikut jengkel, sedih, bahkan sebal terhadap seorang atasan yang sama sekali tidak saya kenal, semata-mata karena saya bersimpati terhadap apa yang dialami sahabat saya. Sungguh tidak mudah duduk diam, memasang telinga, dan mendengarkan, tanpa membiarkan hati ini turut memberi penilaian, yang ujung-ujungnya ‘mengharuskan’ saya untuk berpihak. ‘Memilih’ salah satu: sahabat saya, atau sang atasan, yang sekali lagi, tidak saya kenal.
Setelah beberapa minggu, persoalan itu mereda, dan sahabat saya melunak. Tidak terlalu sering lagi meluapkan kekesalan, meski sekali-dua ia masih mengeluh, kerap merasa diperlakukan tidak adil. Saya pun menyadari satu hal: ketika ia mulai berhenti bercerita, hati saya ikut melunak. Iba yang saya rasakan ketika bertemu dengannya mulai memudar. Bukan karena saya tidak bersimpati lagi padanya, namun karena penilaian saya turut melambat seiring berkurangnya frekuensi curhat. Rasa kesal yang sering muncul setiap mendengar cerita-ceritanya juga luntur karena topik itu mulai jarang disebut-sebut lagi.
Dan saya berpikir, betapa tidak mudah menjadi pendengar yang baik –hanya mendengar, tanpa menilai— dan tidak terkontaminasi oleh berbagai persepsi dan pemikiran yang ribut simpang-siur di dalam benak. Betapa tidak mudah menempatkan hati pada posisi netral ketika kita berhadapan dengan situasi yang melibatkan orang-orang terdekat yang disayangi tanpa terpancing untuk ikut menilai dan menjatuhkan penghakiman.
Betapa tidak mudah menerima sebuah kasus sebagai kasus, sebuah situasi sebagai situasi, dan sebuah kondisi sebagai kondisi, apa adanya, tanpa terjebak untuk menjadikannya masalah dengan berbagai penilaian dan observasi yang secara otomatis dirancang oleh segumpal benda bernama otak ini.
Sungguh, sama sekali tidak mudah. Padahal, itu hanya sebatas perkara ‘meladeni-teman-curhat’, dimana kasus yang dicurhatkan sendiri sering kali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita sebagai teman atau pendengar. Boro-boro melibatkan kita, lha wong kenal dengan objek curhatnya aja nggak.
Itu baru satu.
Masih ada yang jauh lebih sulit, seperti menerima berbagai hal tidak enak yang terjadi dalam hidup apa adanya, sebagai ‘jatah’ yang memang harus kita jalani, tanpa berusaha keras mengubahnya. Melapangkan hati untuk menyambutnya dengan ikhlas, tatkala ia bertentangan dengan ekspektasi dan konsep ideal yang selama ini kita genggam erat.
Saya, termasuk yang masih sering (sekali) bergumul dengan hal satu ini. Saya sulit menerima keadaan yang berseberangan dengan ekspektasi, keinginan dan persepsi ideal saya. Saya tidak mudah menerima berbagai kejadian tidak enak (yang sebetulnya hanya sebuah kondisi, yang bertransformasi menjadi masalah karena saya tidak menyukainya) sebagai sesuatu yang ‘memang sudah jatah saya’, atau bahasa religiusnya: takdir.
Saya tidak mudah merangkul berbagai perasaan tidak nyaman yang berkecamuk tatkala situasi berubah pelik, dan acap kali saya berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut, atau menempuh jalan pintas dengan mengambil sikap cuek, semata-mata karena saya tidak ingin terganggu dengan kerikil-kerikil itu.
Persoalan selesai? Boro-boro.
Yang ada, batu-batu yang awalnya saya anggap kerikil kecil, berubah menjadi timbunan yang terus menggunduk dan membesar. Menjadi bukit, bahkan gunung masalah. Dan akhirnya, setelah babak belur berusaha menghancurkan gunung, saya menyerah, lalu mendesah, “Mungkin memang sudah jatah saya” – yang sering kali sudah terlambat. Bukan karena masalahnya tidak bisa lagi dibereskan, namun karena sudah terlalu banyak luka di tubuh saya sehingga perlu waktu dan energi yang tidak sedikit untuk memulihkannya.
Ikhlas. Betapa sering saya mendengarnya. Betapa sering saya mengira telah memahaminya. Betapa sering saya harus kembali ke titik nol dan mengangkat tangan. Melakukan gencatan senjata dan mengaku kalah. Pasrah. Bahwa saya memang tidak paham apa-apa. Bahwa semua pengetahuan yang tersembunyi di balik tempurung kepala ini tidak cukup untuk membuat saya menjadi manusia yang ikhlas.
Jatah. Betapa sering saya mendengarnya, membacanya, bahkan menuliskannya. Kenyataannya, ketika ia hadir tanpa bisa dielakkan, saya tetap kelimpungan dan bergulat untuk sekadar ‘lari’ darinya. Berusaha mati-matian mengubahnya, tanpa mau tahu bahwa seperti cuaca, ada hal-hal dalam hidup yang tercipta hanya untuk diterima dan dipetik pelajarannya. Bukan digeluti, bukan digumuli.
Lalu, untuk apa saya menuliskan ini? Buat apa saya ‘membuka isi perut’ di wadah yang bisa dibaca semua orang seperti ini?
Alasan pertama, karena menulis, bagi saya, adalah terapi. Dan mengungkapkan isi hati melalui tulisan adalah upaya saya untuk jujur terhadap diri sendiri – untuk mengenal diri dengan lebih mendalam.
Meski terkadang kejujuran bisa menyakitkan, saya percaya tidak ada yang lebih penting dari kejujuran. Seorang sahabat pernah berkata, ada hal-hal yang tidak dapat diingkari dalam hidup, namun kita selalu bisa memilih untuk jujur. Dan rasa sakit yang timbul dari kejujuran tidak akan lebih fatal dari luka yang disebabkan ketidakjujuran.
Alasan kedua, karena melalui tulisan ini, saya ingin berkata kepada seseorang –seandainya ia mampir ke sini dan menemukan entri ini— bahwa kini saya mengerti apa yang ia maksud dengan ‘jatah’. Kini saya paham. Dan kendati saya tetap ingin memelihara kejujuran dengan berkata terus terang bahwa ini bukan hal mudah, saya ingin dia tahu, saya bisa menerima.
Jatah, sebagai jatah. Sebuah momen dalam hidup yang hadir untuk diambil maknanya; bukan untuk disesali, bukan untuk dihindari.
Dan untuk itu, dari hati yang terdalam, saya berterimakasih.
:-)
5 comments:
"Meski terkadang kejujuran bisa menyakitkan..."
hmm??
Gaya tulisan loe berubah, Jen, why ;)? Terutama bagian2 yang menyebut "ikhlas" dan "terapi". It reminds me of someone else's writing :) Bukan plagiat, I'm sure, hanya sebuah influence, tampaknya :)
Hmmm... apakah semua yang bertentangan dengan ekspetasi/ideal adalah "jatah"? Atau bahkan "takdir"? Kalaupun "takdir", takdir seperti apa?
Gw mempercayai [seperti yang diajarkan oleh agama gw] bahwa "jatah" yang tidak dapat diubah hanyalah lahir, jodoh, dan mati. Yang lainnya SANGAT MUNGKIN berubah jika kita mau usaha.
Oleh karena itu, buat gw, terlalu prematur kalau kita gampang sekali menerima segala sesuatu sebagai "jatah". That's not what "ikhlas" means... :)
Seringkali gw menemukan orang menggunakan "ikhlas" sebagai pembenaran untuk tidak usaha... :) Baik secara sadar maupun tidak sadar. Makanya, hati2lah menggunakan kata "ikhlas"... :)
Vendy: 'hmmm' juga... *apaseh*
Jeung May: gaya tulisan gue kayaknya emang gak pernah sama terus. Saking banyaknya 'sosok' dalam diri gue kali, hahahahah ;-D
ikhlas menerima serta mencari solusi lebih baik daripada menggerutu tanpa ada folllow up..
Hidup sudah dibekali 2 gelas, isinya air tawa dan air mata:)!
Post a Comment