Tuesday, October 27, 2009

Perceraian di Mata Saya

Orang tua saya berpisah ketika saya berusia empat tahun. Penyebab dari perpisahan mereka, sejauh yang saya tahu, adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ada yang mengatakan, seharusnya ibu melahirkan enam anak, namun akibat kekerasan yang terus dialaminya, janin yang sanggup bertahan di rahimnya hanya dua. Saya dan adik saya.

Tidak lama setelah melahirkan adik saya, ibu lari dari rumah karena tidak tahan dengan kekerasan yang semakin menjadi-jadi. Beliau sempat terkapar di rumah sakit dengan sekujur tubuh lebam. Saya sendiri baru mengetahui peristiwa ini setelah beliau meninggal lima tahun silam. It remained a mystery for more than 20 years. Setelah keluar dari rumah sakit, beliau membawa adik saya yang masih bayi dan pulang ke rumah orang tuanya. Beberapa tahun kemudian, saya menyusul dan tinggal bersama ibu.

Saya tidak tahu apakah pernyataan ini akan terdengar kontroversial, namun sebagai seorang anak yang mengalami dampak perceraian, saya justru berharap orang tua saya bercerai lebih dini. Seandainya ibu memiliki keberanian untuk pergi lebih awal, mungkin ia tidak perlu terkapar di rumah sakit dengan memar di sekujur tubuh. Seandainya perpisahan itu dilakukan lebih awal, mungkin ia tidak perlu dihantui trauma dan luka batin seumur hidup. Meski beliau tidak pernah membicarakannya, saya tahu, luka itu ada.

Banyak orang mengatakan, kebahagiaan anak seharusnya diprioritaskan di atas kebahagiaan orang tua. Saya justru berharap sebaliknya. Seandainya sejak awal ibu memprioritaskan kebahagiaannya di atas kebahagiaan saya, barangkali kisah hidup beliau akan berakhir lain. Saya pernah membaca sebuah tulisan, bahkan anak-anak yang orangtuanya tidak mengalami KDRT dan mempertahankan pernikahan ‘demi kebahagiaan anak’, dapat merasakan apa yang sesungguhnya terjadi pada orang tua mereka. Kenyataannya, duduk bersama di meja makan, masuk ke kamar yang sama setiap malam, datang bersama ke acara-acara sekolah, dan banyak sandiwara lain yang dilakukan demi sang buah hati, tidak cukup untuk menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari batin anak yang bersangkutan. They just know. They can feel it. At least, that’s what I read. Di sisi lain, bahkan sebagai anak kecil yang belum mengerti apa-apa, saya turut terkena efek psikologis dari setiap kejadian buruk yang dialami ibu, karena saya membagi aliran darah yang sama dengannya.

Saya tidak tahu dengan orang-orang lain yang orangtuanya juga bercerai. Apa yang mereka rasakan bisa saja berbeda. Namun, saya bersyukur orang tua saya bercerai.

Dalam sebuah obrolan santai beberapa tahun silam, ibu bercerita kepada saya dan adik tentang beberapa orang yang sempat dekat dengannya sebelum beliau bertemu ayah saya.

“Yang naksir Mama itu dulu mulai dari dokter sampai pengusaha. Nggak tahu gimana, bisa jadinya sama Papi kamu,” ujarnya.

Mendengar itu, adik saya nyeletuk, “Kenapa Mama nggak jadian sama yang pengusaha aja? Kan lebih enak!”

“Kalau Mama nggak kawin sama Papi kamu, nggak bakalan ada kamu,” beliau menjawab enteng. Ibu saya bukan orang yang ekspresif. Beliau cenderung keras dan dingin dalam mendidik anak-anaknya, namun saat itu saya yakin, saya mendengar senyuman dalam jawabannya.

Ibu mungkin akan lebih bahagia menikah dengan dokter atau pengusaha. Mereka yang mencintainya dan tidak memukulinya seperti ayah saya yang pemabuk. Namun dengan begitu, tidak akan ada saya. Tidak akan ada adik saya. Dan sama seperti saya tidak menyesali keputusan yang diambilnya berpuluh tahun silam, saya tidak menyesali keputusannya untuk bercerai. Karena perceraian beliau memberikan saya ayah terbaik di seluruh dunia.

Bagi Anda yang mengikuti blog ini dan mulai bertanya-tanya, ya, pria yang saya panggil ‘Ayah’, yang saya cintai segenap jiwa dan berkali-kali muncul dalam tulisan-tulisan saya, bukanlah ayah kandung saya. Beliau menikah dengan ibu setelah ibu dan ayah kandung saya bercerai. Dan beliau adalah satu-satunya orang yang berada di sisi ibu ketika wanita tersayang itu menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit.

Kami, anak-anaknya, tidak ada di sisinya. Ibu saya meninggal didampingi laki-laki yang mencintainya sampai akhir hayatnya, yang menerimanya apa adanya dengan tanggungan dua orang anak dan tidak pernah –satu kali pun—mendaratkan pukulan di tubuhnya. Laki-laki yang pernah dikucilkan keluarganya selama bertahun-tahun karena orang tua dan saudara-saudaranya tidak bisa menerima keputusannya untuk menikahi ibu saya. Laki-laki yang pernah kehilangan mata pencaharian karena sang ayah yang jengkel terhadapnya menarik toko obat yang sedang ia kelola dan memberikannya kepada saudaranya yang lain. Laki-laki yang rela tidak memiliki anak dari pernikahannya dengan ibu, dan tetap mencintai saya dan adik seperti anak kandungnya sendiri. Laki-laki yang sampai hari ini masih menyimpan foto ibu saya di ponselnya. Laki-laki itu tidak hanya saya panggil ‘Ayah’. Darinyalah saya belajar memaafkan dan mencintai.

Saya menulis artikel ini setelah membaca sebuah diskusi di internet yang membahas perceraian dua figur publik di Amerika Serikat. Selain keputusan yang cukup mendadak dan memancing reaksi para anggota forum, yang paling banyak dibicarakan adalah dampak perceraian mereka terhadap anak-anak yang berusia 9 dan 6 tahun. Pendapat yang dilontarkan pun beraneka ragam. Ada yang bisa memahami, ada yang mendukung, ada yang kecewa, ada pula yang terang-terangan mencela mereka sebagai orang tua yang tidak bertanggung jawab, egois, menelantarkan kebahagiaan anak, dan sebagainya.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anak-anak itu kelak. Mungkin orang-orang di forum itu benar. Mungkin juga mereka salah. Yang saya tahu hanya, dalam daftar hal yang paling saya syukuri di dunia, perceraian orang tua saya menduduki peringkat awal. Saya bahkan mengagumi ibu yang dengan tegar berjuang melepaskan diri dari siksaan dan dengan berani menjadi orang pertama dalam keluarga besar kami yang menandatangani surat cerai.

Perceraian bagi sebagian orang mungkin merupakan simbol dari kesedihan, penderitaan, bahkan tragedi. Tidak bagi saya. Perceraian telah mengajarkan saya tentang kejujuran dan cinta, dan pada akhirnya, mengajarkan saya untuk berdamai dengan hidup.

:-)

-----

Thursday, October 22, 2009

Perkara Tuding-menuding dan Cela-mencela

Malam ini, timeline akun Twitter saya ramai dengan pembahasan seputar para menteri terpilih yang baru saja diumumkan di televisi. Saya, yang dari awal memang tidak tertarik untuk mengikuti, memilih mendem di kamar demi menamatkan Harry Potter, entah untuk keberapa kalinya. Emang ciamik Nyonya Rowling itu, gak ada matinye. Tapi mari kita tidak berfokus pada Harry Potter atau Nyonya Rowling.

Saya terdiam saat membaca tweet demi tweet yang masuk, dan akhirnya, ketika membaca tweet seorang selebriti yang cukup vokal mencela menteri-menteri terpilih, saya pun nyengir kuda.

Saya tidak anti mencela. Namun, entah mengapa, melihat banyaknya celaan yang ditujukan pada kabinet yang baru terbentuk –yang bahkan tidak pernah saya ikuti perkembangannya—mendadak menimbulkan perasaan aneh di hati. Simpati? Entahlah. Rasanya bukan. Simpati apanya, wong saya Golput kok. ;-)

Saya termasuk kelompok manusia yang suka mencela, dan di saat-saat tertentu, lidah saya bisa lebih tajam dari silet yang baru dibeli di warung – terutama menjelang awal bulan dimana hormon sedang bergejolak, dan ketika sedang banyak pikiran alias stres. Atas nama kejujuran, bagi saya mencela adalah sebuah bentuk terapi – terserah mau dibilang nista, dangkal, atau apa pun. Mengetahui bahwa ada orang yang lebih buruk dari saya, ada yang bisa disalahkan, mengungkapkan itu sesuka hati, dan dengan cara yang saya kehendaki, selalu memberi kelegaan tersendiri, meski kelegaan itu hanya temporer. Siapa peduli berapa lama lega itu bisa bertahan? Siapa peduli efek jangka panjang dari tindakan tersebut? Yang penting sekarang saya bisa merasa (sedikit) lebih nyaman.

Seorang teman berkata, mencela, menuding, dan menghakimi adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dan ia benar. Seperti yang saya sebutkan tadi, tiga hal itu bisa jadi jalan pintas untuk melegakan hati. Itu sebabnya sesekali saya masih menonton program-program televisi yang tidak akan saya nikmati dalam keadaan ‘waras’. Itu sebabnya sesekali saya masih mengikuti pemberitaan infotainment yang penuh fiksi dan drama. Itu sebabnya saya kekeuh sumekeuh memonopoli remote control di rumah ketika RCTI menayangkan sinetron Manohara untuk pertama kalinya.

Orang lain mengatakan, justru di situ serunya. Hidup akan terasa hambar kalau tidak ada orang yang suka mencela. Ia juga benar. Bayangkan betapa membosankannya dunia yang warnanya serbaputih. Namun saya bertanya-tanya, akankah kita mengamini hal yang sama, seandainya kita yang jadi sasaran cela, hujat dan kritik?

Menumpahkan uneg-uneg itu mudah. Meluapkan amarah dan kekecewaan itu gampang. Menghakimi apalagi. Kalau kepala sudah terlanjur panas, mendengar dan berkomunikasi pun ke laut aje. Memaki-maki dulu, yang penting hati lega. Tidak peduli siapa benar siapa salah. Siapa yang patut didengarkan dan demi alasan apa. Tidak penting. Perkara konsekuensi dan perasaan orang lain, bisa diatur belakangan. Kita memang sudah terbiasa. Hidup mengkondisikan kita untuk terbiasa.

Sekali lagi, saya tidak anti mencela. Saya tidak anti menuding. Setiap akhir pekan saya masih setia nongkrong di depan televisi untuk menikmati guilty pleasure saya: reality show populer slash ajang cari jodoh yang dipandu seorang MC Batak nan tampan. Sebuah tayangan yang selalu berhasil memancing celaan demi celaan dari mulut saya. Bahkan setelah saya tahu pahala saya tidak akan bertambah (defisit iya!), saya tetap suka menontonnya.

Entri pendek ini tidak bertujuan untuk mengurangi populasi kaum pencela, karena saya belum ingin punah dari muka Bumi. Entri ini hanya bertujuan untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa ketika saya menudingkan jari kepada orang lain, empat jari lainnya menuding diri saya sendiri. Mudah-mudahan itu cukup.

-----

*Gambar diculik (lagi) dari gettyimages.com

Monday, October 19, 2009

Iseng-iseng (Tanpa) Berhadiah: Untuk Siapa?

Kali ini saya tidak akan menulis artikel, puisi, atau curhat colongan. Saya ingin mengajak Anda semua bermain.

*Hadiahnya? Nggak ada. Wong saya ngeblog aja gratisan kok.*

Permainannya sederhana. Saya akan menyebutkan SEBUAH PERTANYAAN. Setelah Anda menjawabnya, ajukan pertanyaan berikut kepada diri Anda sendiri: “Apa tujuannya?”

Renungkan pertanyaan tersebut baik-baik. Jawaban setiap orang akan sangat bervariasi, karena masing-masing orang memiliki prioritas dan persepsi yang berbeda-beda. Setelah Anda memperoleh jawaban, ulangi pertanyaan yang sama: “Apa tujuannya?”

Setelah jawaban berikutnya muncul, kembali ajukan pertanyaan yang sama kepada diri Anda. Ulangi siklus tanya-jawab ini sampai Anda merasa tidak ada lagi jawaban yang dapat diberikan. Setelah itu, ajukan pertanyaan terakhir yang saya tuliskan di bagian bawah entri ini.

Yang unik dari permainan ini adalah, apabila Anda berhasil menjawabnya dengan benar, Anda semua akan sampai pada sebuah JAWABAN AKHIR YANG SAMA, sekalipun Anda memulainya dengan jawaban yang berbeda-beda.

Pertanyaan saya adalah:

Pernahkah Anda melakukan sesuatu demi orang lain dan bukan untuk diri sendiri?

Contoh:

(?) Pernahkah saya melakukan sesuatu demi orang lain dan bukan untuk diri saya sendiri?

(=) Pernah.

(?) Apa tujuannya?

(=) Untuk menolong orang tersebut.

(?) Apa tujuan saya menolong orang tersebut?

(=) Supaya ia terbebas dari masalahnya.

(?) Apa tujuan saya membebaskan ia dari masalahnya?

(=) Supaya ia merasa bahagia.

(?) Apa tujuan saya membuatnya merasa bahagia?

… dan seterusnya.


Setelah Anda merasa tidak ada lagi jawaban yang dapat diberikan, ajukan pertanyaan terakhir ini kepada diri Anda:

Jadi, untuk siapa sebenarnya saya melakukan semua itu?

Sekali lagi, keunikan dari permainan ini adalah, jika Anda menjawab dengan benar, Anda semua akan sampai pada JAWABAN AKHIR YANG SAMA, sekalipun Anda memulainya dengan jawaban yang berbeda-beda. Dan apa yang saya maksud dengan ‘jawaban yang benar’ di sini? Jawaban yang benar adalah jawaban yang jujur.

Jika Anda merasa telah menemukan jawaban terakhir Anda, silakan tuliskan jawaban tersebut pada comment box yang tersedia, dan kita akan bersama-sama melihat hasilnya dalam waktu dua minggu setelah entri ini dipublikasikan.

Tidak ada yang menang dan kalah dalam permainan ini. Tidak ada kubu. Tidak ada skor. Tidak ada nomor satu dan nomor sekian. Tidak ada hadiah. Satu-satunya hal yang dapat Anda peroleh dari permainan ini adalah jawaban akhir Anda sendiri, dan barangkali, sedikit perenungan tentang rahasia semesta bernama Hidup.

Selamat bermain! :-)


*Ya ya ya, I know. Saya harus mengurangi hobi tweeting supaya bisa kembali menulis di sini. Secepatnya. :-D

**Gambar diculik dari gettyimages.com.

-----

Sunday, October 11, 2009

Penting Nggak Penting

“Penting buat celebrity hunter, kali,” begitu komentar seorang kawan ketika saya mengomentari sebuah situs yang menampilkan update status terkini para selebriti sebagai ‘nggak penting seenggak penting-nggak pentingnya’.

Saya hampir menimpali dengan, “Kenapa juga ada yang nganggep berburu seleb itu penting?” ketika mendadak saya ingat, setahun lalu kalau nggak salah, ketika SMS Artis sedang booming-booming-nya, saya termasuk salah satu yang ikutan latah mendaftarkan nomor ponsel untuk menerima update dari selebriti favorit saya. Biaya registrasi 2000 rupiah, dan setiap SMS yang dikirimkan si artis langsung dari HP-nya dikenakan biaya 1000 rupiah. Namanya juga nge-fans, nggak apalah, pikir saya.

2 hari kemudian, saya memutuskan untuk berhenti berlangganan. Kenapa? Karena SMS yang dikirimkan si artis langsung dari HP-nya itu amat sangat tak penting. Entah bagi orang lain, namun bagi saya, menerima pesan macam, “Hai, apa kabar? Hari ini aku latihan di …” sungguh membosankan. Bahkan sepupu saya yang masih berumur 10 tahun bisa mengirim SMS yang jauh lebih menarik.

Selang beberapa waktu kemudian, saya jatuh ke lubang yang sama mengulangi hal yang serupa, bedanya, kali ini bukan artis, melainkan seorang pakar hipnotis tampan yang selalu berbaju ketat. Tidak sampai seminggu, saya berhenti berlangganan karena jenuh. Sejak itu, saya beranggapan mengikuti update selebriti adalah salah satu hal paling nggak penting di dunia. Bukannya nggak boleh (karena saya pun masih mengikuti beberapa figur publik di Twitter), tapi jelas bukan prioritas. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan; menulis balasan untuk komentator nyinyir yang nyampah seenak jidat di blog saya, misalnya. Atau bermalas-malasan di ranjang dari siang sampai sore. Sebuah kegiatan yang menurut sebagian orang sangat tidak produktif dan tidak penting.

Pesan moral sejauh ini? ‘Penting nggak penting’ bagi setiap orang memang berbeda-beda. Dan ‘penting nggak penting’ menurut persepsi seseorang pun sangat mungkin berubah dari waktu ke waktu.

Contoh kasus: ketika saya membuat blog ini pada tahun 2006, dengan niatnya saya mendaftarkan diri ke banyak milis demi memperkenalkan tulisan saya ke publik. Caranya: saya mempublikasikan beberapa paragraf, memotongnya tepat di bagian ‘yang lagi seru-serunya’, kemudian mencantumkan alamat blog ini persis di bawah paragraf yang bersangkutan. Dengan begitu, anggota milis yang tertarik membaca kelanjutannya akan berkunjung ke blog ini, dan nantinya mereka bisa membaca tulisan-tulisan saya yang lain.

Sepenting itulah makna ‘dibaca orang’ bagi saya, dulu. Sekarang? Masih penting memang, bedanya, kini saya harus menahan diri untuk tidak memaki balik orang yang nyampah seenak jidat, mencela balik mereka yang beranggapan ‘segala-sesuatu-yang-diposting-di-internet-adalah-milik-publik-jadi-mari-kita-ngoceh-sesukanya’, atau merespon ketus “Apa-apaan sih lo?” kepada mereka yang dengan setia menerapkan prinsip SKSDSTSA (Sok Kenal Sok Deket Sok Tau Sok Asik) dalam pergaulan di dunia maya.

Nyampah seenak jidat, berkomentar seenak udel, dan bersikap SKSDSTSA bisa jadi sesuatu yang penting bagi orang yang bersangkutan. Saya tidak tahu alasannya. Saya tidak perlu tahu. Yang saya tahu hanya, adalah sesuatu yang JUGA penting bagi saya untuk tidak disampahi, di-judge seenak udel, atau diperlakukan seolah-olah kawan akrab yang bisa dicandai apa saja oleh orang yang tidak saya kenal. Menemukan apa yang diharapkan dan menumpahkan unek-unek mungkin penting bagi mereka yang membaca tulisan saya, namun JUGA penting bagi saya untuk menulis apa pun yang saya inginkan dan saya anggap penting.

Beberapa minggu lalu, saya terbengong-bengong membaca pesan offline di Yahoo Messenger yang berisi omelan; mengatakan saya judes, angkuh, dan sebagainya. Saya memutar otak, mencoba mencari rekaman peristiwa yang berhubungan dengan kejadian itu, dan tidak menemukannya. Satu-satunya yang saya ingat hanya, beberapa hari sebelumnya, si pengirim pesan menanyakan sesuatu tentang buku dan saya menjawabnya. Cuma itu. Apa yang salah?

Ternyata, ia kecewa ketika saya sign-out setelah menjawab pertanyaannya. Dengan segera ia menduga saya sombong dan judes karena tidak bersedia bercakap-cakap lebih lama. Mendengar alasan itu, saya hanya tertawa. Saya bukan penggemar chatting, bahkan dengan kawan-kawan dekat pun saya termasuk jarang ngobrol berlama-lama di dunia maya. Menjalin pertemanan melalui chatting barangkali penting untuk si pengirim pesan, namun JUGA penting bagi saya untuk melakukan apa yang saya mampu sebisanya tanpa melanggar batasan pribadi saya. Dan SANGAT penting bagi saya untuk tidak diomeli dan dijuluki macam-macam sebutan hanya karena saya keluar dari ranah maya SETELAH menjawab pertanyaannya.

Contoh kasus lain: seorang teman sering bertanya, “Lo butuh waktu berapa lama?” sebelum sesi curhat dimulai dan selalu minta di-SMS terlebih dahulu sebelum ditelepon. Awalnya, saya merasa aneh, risih, dan berpikir, “Malesin bener sih nih orang, sok penting banget. Nggak usah aja sekalian.” Lantas, saya tersadar. Sama seperti saya yang punya batasan pribadi dalam banyak aspek hidup (termasuk berelasi dengan orang lain), ia pun memiliki batasan-batasannya sendiri. Apa yang tidak penting menurut saya, bisa jadi penting baginya. Apa yang terdengar malesin bagi saya, bisa jadi merupakan sesuatu yang prinsipil bagi orang yang bersangkutan. Dan ternyata memang demikian adanya.

Bertelanjang bulat ke Circle K bisa jadi sesuatu yang hina, nista dan super-tak-penting bagi sebagian orang, tapi juga bisa dianggap sebagai tindakan heroik, keren, dan berani bagi sebagian yang lain. Dan ya, saya menganggap online berjam-jam untuk memantau perkembangan aksi nekat Bapak ini sebagai sesuatu yang PENTING. Penting buat saya, dan tak harus penting bagi orang lain.

;-)

‘Penting nggak penting’ memang sangat relatif, karena tidak ada dua orang yang sama persis di dunia ini. Saya bukan pakar dalam hal ini, tapi saya percaya salah satu kunci untuk berelasi dengan waras di dunia yang sakit jiwa ini adalah dengan menyadari APA yang penting bagi kita, dan menyadari bahwa apa yang tidak penting bagi kita BISA JADI penting bagi orang lain. Saya tidak bicara tentang tenggang rasa. Saya tidak bicara tentang saling menghormati. Kedua konsep itu sudah terlalu sering kita ucapkan dan telan bulat-bulat tanpa sungguh-sungguh memahami maknanya.

Untuk saat ini, sadar dulu aja, Cong. Saya juga masih belajar, kok.

-----

Friday, October 2, 2009

fiksi.

Setelah sepuluh hari berprofesi sebagai tukang jaga kandang lantaran si Mbak mudik, di hari kesebelas saya menghadiahi diri sendiri dengan DVD yang sudah lama saya cari: fiksi. (bukan yang bajakan ya, catet).

Saya, yang sempat eneg dengan pengalaman nonton ‘Orphan’ karena efek suara yang oh-sungguh-ganggu, langsung bersiap menemukan hal serupa begitu ngeh ‘fiksi.’ bergenre thriller. Thriller samasekali bukan jenis film yang tepat untuk saya yang kagetan. Sambil menyilangkan jari, saya menyalakan DVD player dan menaikkan kaki ke atas sofa.

*Jangan ada yang berani nanya: “Kalo jarinya disilang, nyalain DVD-nya pake apa?”*

Alisha (Ladya Cheryl) adalah gadis yang kesepian. Masa lalu yang traumatik ditambah hubungan yang tidak harmonis dengan ayahnya membuatnya tidak dapat hidup seperti gadis kebanyakan. Ayahnya tidak pernah ada baginya, namun beliau memonitor setiap gerakannya bagaikan polisi mencurigai maling. Hidupnya yang membosankan mulai berubah ketika ia bertemu Bari yang bekerja membersihkan kolam di rumahnya. Setelah mengetahui bahwa Bari tinggal di rumah susun, Alisha pun memutuskan untuk kabur dari rumah dan menempati sebuah kamar kosong persis di sebelah kamar Bari.

Bari (Donny Alamsyah) adalah seorang penulis yang sedang berjuang menyelesaikan cerita-ceritanya. Ia telah berpacaran dengan Renta (Kinaryosih) selama tujuh tahun. Mereka tinggal bersama di rumah susun, tempat Bari mengambil tokoh-tokoh ceritanya dari kehidupan nyata dan memetik inspirasi dari dunia kecil yang bagaikan sirkus. Bari yang tidak mengetahui asal-usul Alisha dengan senang hati menjadi tour guide dadakan bagi gadis itu, menceritakan kisah demi kisah yang terjadi di rumah susun, dan menunjukkan cerita-cerita yang ia tulis. Cerita-cerita yang tidak pernah berakhir dengan kata ‘Tamat’.

Alisha yang bertekad memasuki kehidupan Bari mulai menyelesaikan cerita demi cerita dengan caranya sendiri. Satu persatu tokoh yang diambil Bari dari kehidupan nyata menemui ajal di tangan Alisha, dan Renta terancam bahaya yang sama besarnya. Rumah susun itu tidak pernah sama lagi. Cerita-cerita yang mulanya hanya tercetak di kertas putih kini mewujud dengan cara yang samasekali tidak terduga.

Ternyata, apa yang saya khawatirkan sebelum menonton tidak terjadi. Ada beberapa adegan yang mengejutkan, namun tidak ada efek suara mengganggu yang membuat saya meloncat dari sofa. Tidak ada iring-iringan musik yang membuat jantung berdebar keras. Tidak ada suara “JRENGGG” lebay.

Tidak hanya efek suara, film ini pun tidak boros dialog. Akting para pemain mampu membuat penonton larut tanpa harus mengumbar banyak kalimat. Salut untuk Joko Anwar yang mampu menulis skenario minimalis dengan hasil maksimalis – meski beberapa dialog menyiratkan dengan jelas gap antara usia penulis dengan usia anak-zaman-sekarang yang sebenarnya. :-D

*Walau saya sendiri nggak kebayang kalau Alisha bilang, “Bi’, siapa cowok alay itu?” atau Renta ngomong, “Ihh gue kan suka banget gethooo sama kelinciiiw.”*

Saya hanya orang awam yang hobi nonton film. Jika saya diminta mendeskripsikan ‘fiksi.’ dalam dua kata, maka kata tersebut adalah beautiful dan profound. Film ini indah dalam arti sebenar-benarnya. Segala sesuatu di dalamnya indah. Konsep, penceritaan, alur, dan pengambilan gambarnya – semuanya indah. Sepanjang film, mata saya terus dimanjakan dengan visualisasi yang tertata rapi namun tidak kaku, manis namun tidak kacangan. Setiap angle dan proporsi dalam frame diperhitungkan secermat mungkin. Mouly Surya benar-benar orang yang idealis dan perfeksionis. Setidaknya, itu yang saya simpulkan.

Plot yang terjalin apik dan memadukan drama dan thriller membuat film ini ‘berjejak’ – meninggalkan bekas di hati dan pikiran lama setelah ia usai. Komentar media-media asing dan berbagai ‘stempel’ yang tertera pada sampulnya sama sekali tidak berlebihan.

An inventive and elegant approach to the thriller genre,” tulis Screen Daily. Saya setuju. ‘fiksi.’ memang pantas jadi pemenang, dan sutradara favorit saya kini bertambah satu. :-)

Lewat pertengahan cerita, memasuki jam kedua, mendadak saya menyadari, batasan antara realita dan fiksi menjadi semakin tipis hingga nyaris hilang sama sekali. Saya mulai kesulitan membedakan mana realita yang dijalani Alisha, Bari dan Renta, mana fiksi yang ditulis Bari dan diselesaikan Alisha dengan caranya sendiri. Entah saya yang kurang cermat dalam menonton atau apa (padahal nontonnya sampe nggak gerak lho, sumpah!), namun itu yang saya alami. Realita dan fiksi berbaur sedemikian rupa dan garis pembatas di antaranya menjadi blur.

Adegan favorit saya adalah ketika Bari menemukan kunci Renta yang dibawa oleh Alisha dan menyadari kekasihnya berada dalam bahaya. Dalam kemarahan dan frustrasi, Bari mengguncang tubuh Alisha dan memaksanya mengakui dimana Renta disembunyikan. Bukannya menjawab, Alisha justru berkata dengan tenang, “Ternyata, yang paling menarik adalah cerita tentang kamu sendiri.” Saat Bari mengira dirinya adalah penentu nasib dari para tokoh dalam ceritanya, ia telah menjadi salah satu tokoh itu sendiri.

*****

Usai menonton, saya termenung. Saya selalu berpendapat, sebuah film yang bagus adalah film yang mampu menekan ‘tombol pause’ dalam hidup penontonnya. Jeda yang sanggup membuat orang berhenti sejenak dan merenung. Bertanya. Berpikir. Film yang baik adalah refleksi dari kehidupan yang sesungguhnya. Pembuat film yang baik bukan penjual mimpi belaka – ia adalah pedagang cermin. Belum banyak film seperti itu di Indonesia, dan ‘fiksi.’, tidak diragukan lagi, adalah satu dari yang sedikit itu.

Apa yang membedakan realita dan fiksi?

Pertanyaan yang tidak sulit dijawab. Namun siapa yang bisa menjawab dimana kita hidup sekarang? Realita, atau fiksi? Bagi yang menjawab realita, betulkah? Yakinkah kita bahwa kita sungguh-sungguh hidup dalam realita? Benarkah dalam realita ada benar ada salah? Benarkah dalam realita ada saya ada kamu? Benarkah dalam realita ada si Anu dan si Uni? Benarkah realita selalu punya masa lalu, masa kini dan masa depan? Benarkah realita punya alur yang bisa kita ceritakan kembali kepada orang lain? Yang bisa direkam dalam bentuk tulisan, gambar bergerak maupun kenangan?

I don’t think so. :-)

Bagi saya, realita tidak pernah bicara tentang jalan cerita. Realita tidak pernah punya rentang masa –dulu, sekarang, nanti—dan tidak kenal sesal dan takut. Realita hanya ada di detik ini, bahkan apa yang baru saja saya tulis dan Anda baca sudah lama berlalu. Tidak ada tokoh dalam realita. Tidak ada saya, kamu, dia, kami, mereka. Tidak ada benar salah dalam realita. Yang ada hanyalah apa adanya. Yang ada hanyalah ini. Bahkan ‘ini’ tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Jadi, dimana kita berada sebenarnya? Realitakah? Atau jangan-jangan kita sedang hidup dalam fiksi besar hasil rekaan kita sendiri, dan kita menyangka sedang menjalani realita?

Mouly memberikan jawaban yang sangat menarik: “Di antaranya. Karena meskipun kita hidup dalam realita, di kepala kita punya berbagai fiksi tentang realita tersebut.” Saya membaca tulisan tersebut dan tersenyum. Sebuah kebetulan yang cukup menarik bahwa blog ini berjudul ‘In Between’.

Saya tidak akan berpanjang-panjang membahas paragraf di atas, namun inilah yang bisa saya bagikan sebagai hasil dari perenungan malam itu: menyadari bahwa kita hidup di antara dua dunia –realita dan fiksi—barangkali bisa memberi sedikit kelegaan dan kejernihan dalam menjalani hidup. Peran-peran yang kita mainkan secara bergantian setiap hari –orang tua, anak, musisi, karyawan, atasan, suami, istri, dan sebagainya—adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari hidup, namun semuanya tidak lebih dari lakon yang melekat pada kita di panggung sandiwara raksasa ini.

Pertunjukan besar ini adalah sebuah fiksi. Yang sekalipun tampak nyata, tetap punya tanda titik di akhirnya. Cerita yang akan tamat, suka atau tidak suka. Satu-satunya yang nyata, yang tidak punya titik dan akan terus berlanjut adalah realita yang kita pijak. Realita yang membawa kita ke detik INI, yang kita jalani tersaruk-saruk karena langkah ini selalu tersangkut di masa lalu dan terseret ke masa depan. Realita yang adakalanya sulit dikenali karena kita terlanjur menganggap fiksi sebagai kebenaran.

Menyadari bahwa kita hidup di antara dua dunia barangkali bisa memberi secercah lapang di batin. Bahwa semua yang tengah berlangsung tak lebih dari fiksi, dan di saat yang sama, kita tak perlu selamanya tinggal dalam fiksi. Kita tak perlu selamanya menjalankan berbagai peran yang kadang begitu melelahkan. Kita tak selamanya harus berlakon.

Penyadaran mungkin satu-satunya cara untuk membawa kita keluar dari ilusi panjang ini, untuk sesekali kembali ke tempat dimana segala sesuatunya nyata; tanpa cerita, tanpa lakon, tanpa penghujung. Untuk mencicipi realitas yang sejati. Untuk benar-benar hidup.

Realita tidak pernah menyajikan cerita. Tapi fiksi punya banyak cerita.

Pilih mana?

-----