Thursday, October 22, 2009

Perkara Tuding-menuding dan Cela-mencela

Malam ini, timeline akun Twitter saya ramai dengan pembahasan seputar para menteri terpilih yang baru saja diumumkan di televisi. Saya, yang dari awal memang tidak tertarik untuk mengikuti, memilih mendem di kamar demi menamatkan Harry Potter, entah untuk keberapa kalinya. Emang ciamik Nyonya Rowling itu, gak ada matinye. Tapi mari kita tidak berfokus pada Harry Potter atau Nyonya Rowling.

Saya terdiam saat membaca tweet demi tweet yang masuk, dan akhirnya, ketika membaca tweet seorang selebriti yang cukup vokal mencela menteri-menteri terpilih, saya pun nyengir kuda.

Saya tidak anti mencela. Namun, entah mengapa, melihat banyaknya celaan yang ditujukan pada kabinet yang baru terbentuk –yang bahkan tidak pernah saya ikuti perkembangannya—mendadak menimbulkan perasaan aneh di hati. Simpati? Entahlah. Rasanya bukan. Simpati apanya, wong saya Golput kok. ;-)

Saya termasuk kelompok manusia yang suka mencela, dan di saat-saat tertentu, lidah saya bisa lebih tajam dari silet yang baru dibeli di warung – terutama menjelang awal bulan dimana hormon sedang bergejolak, dan ketika sedang banyak pikiran alias stres. Atas nama kejujuran, bagi saya mencela adalah sebuah bentuk terapi – terserah mau dibilang nista, dangkal, atau apa pun. Mengetahui bahwa ada orang yang lebih buruk dari saya, ada yang bisa disalahkan, mengungkapkan itu sesuka hati, dan dengan cara yang saya kehendaki, selalu memberi kelegaan tersendiri, meski kelegaan itu hanya temporer. Siapa peduli berapa lama lega itu bisa bertahan? Siapa peduli efek jangka panjang dari tindakan tersebut? Yang penting sekarang saya bisa merasa (sedikit) lebih nyaman.

Seorang teman berkata, mencela, menuding, dan menghakimi adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dan ia benar. Seperti yang saya sebutkan tadi, tiga hal itu bisa jadi jalan pintas untuk melegakan hati. Itu sebabnya sesekali saya masih menonton program-program televisi yang tidak akan saya nikmati dalam keadaan ‘waras’. Itu sebabnya sesekali saya masih mengikuti pemberitaan infotainment yang penuh fiksi dan drama. Itu sebabnya saya kekeuh sumekeuh memonopoli remote control di rumah ketika RCTI menayangkan sinetron Manohara untuk pertama kalinya.

Orang lain mengatakan, justru di situ serunya. Hidup akan terasa hambar kalau tidak ada orang yang suka mencela. Ia juga benar. Bayangkan betapa membosankannya dunia yang warnanya serbaputih. Namun saya bertanya-tanya, akankah kita mengamini hal yang sama, seandainya kita yang jadi sasaran cela, hujat dan kritik?

Menumpahkan uneg-uneg itu mudah. Meluapkan amarah dan kekecewaan itu gampang. Menghakimi apalagi. Kalau kepala sudah terlanjur panas, mendengar dan berkomunikasi pun ke laut aje. Memaki-maki dulu, yang penting hati lega. Tidak peduli siapa benar siapa salah. Siapa yang patut didengarkan dan demi alasan apa. Tidak penting. Perkara konsekuensi dan perasaan orang lain, bisa diatur belakangan. Kita memang sudah terbiasa. Hidup mengkondisikan kita untuk terbiasa.

Sekali lagi, saya tidak anti mencela. Saya tidak anti menuding. Setiap akhir pekan saya masih setia nongkrong di depan televisi untuk menikmati guilty pleasure saya: reality show populer slash ajang cari jodoh yang dipandu seorang MC Batak nan tampan. Sebuah tayangan yang selalu berhasil memancing celaan demi celaan dari mulut saya. Bahkan setelah saya tahu pahala saya tidak akan bertambah (defisit iya!), saya tetap suka menontonnya.

Entri pendek ini tidak bertujuan untuk mengurangi populasi kaum pencela, karena saya belum ingin punah dari muka Bumi. Entri ini hanya bertujuan untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa ketika saya menudingkan jari kepada orang lain, empat jari lainnya menuding diri saya sendiri. Mudah-mudahan itu cukup.

-----

*Gambar diculik (lagi) dari gettyimages.com

1 comment:

Anonymous said...

.. jd inget jaman gw 'muda-an' dulu.. adaaaa aja yg gw komentarin klo liat sesuatu di TV.. tp dgn berjalannya waktu.. I try to educate myself not to do so, soalnya klo kita nyela ..yg ada gw jd bete, smtr ik males bete utk hal gak penting, wong utk hal penting aja males... :) skg sih berusaha utk refrain myself from commenting badly, at least berusaha lah, dulu kan kesanya addictive gitu... kekeke klo gak nyela, gatel, and I kinda agree with what you wrote, what if we're on THAT position.. org bijak bilang, do things to others what you want others do unto you.. setuju pisan.. klo gak setuju sm seseorg (tingkah laku celeb misalnya or politisi), paling gw mikir..pasti ada alasan knp tu org bertingkah laku aneh bin ajaib kyk gitu.. or other positive excuses, biar gw jg jd nyaman 'mandang'nya.. :)

Vita