Showing posts with label Catatan Kecil. Show all posts
Showing posts with label Catatan Kecil. Show all posts

Saturday, April 2, 2011

On Getting Used To

"Eight people died in Afghanistan," my friend told me.

"Huh?"

That was my only response.

Afghanistan.

What's the first thing that comes into your mind when you hear the word?

"Eight people died in Afghanistan."

Why wasn't I surprised?


And now, take a glimpse of this beautiful country.

When was the last time you felt the sickening agony of the killings done by some people who called themselves the servants of God?

When was the last time you were shocked by the news about someone who jumped from the 5th floor of a shopping mall?

When was the last time you felt the painful stab on your chest when you saw the polices bringing out a package that contains bomb out of a building?

We are getting used to it. And that's the scariest thing of all.


-----

Thursday, February 10, 2011

Pesan dari Cancun: Kiamat Modern Tak Perlu Datang Lebih Awal

















Saya cukup beruntung mendapatkan kesempatan untuk meliput konferensi perubahan iklim internasional yang diadakan di Cancun, Meksiko, November-Desember 2010. Pengetahuan saya tentang perubahan iklim selama ini bisa dibilang cukup, tapi saya tak pernah betul-betul memahami dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global yang sering saya baca di media cetak dan internet. Di Cancun, selama dua minggu penuh, saya melihat dan mendengar banyak hal yang membuka mata dan hati saya.

Perubahan iklim dirasakan oleh seluruh negara di dunia, namun ada negara-negara tertentu yang paling parah merasakan pengaruhnya. Dampak perubahan iklim tidak saja meliputi kekurangan bahan makanan, namun juga berpengaruh terhadap kemakmuran dan kesehatan penduduk—yang dipicu kelaparan dan kekurangan gizi—di daerah yang bersangkutan.

Dalam salah satu sesi di Cancun Messe, delegasi dari Uganda—betul, Uganda, tempat yang selama ini cuma saya dengar di televisi—menceritakan kondisi negaranya di mana bencana alam kian sering terjadi. Temperatur meningkat kurang lebih 0.28 derajat Celcius setiap dekade. Kalikan sepuluh, maka persoalan ini tak bisa dianggap remeh.

Perekonomian Uganda saat ini amat bergantung pada sumber daya alam, namun perubahan iklim telah mengakibatkan berbagai peristiwa cuaca ekstrim yang berujung pada rusaknya lahan pertanian. Kegagalan panen. Hama. Meningkatnya kelaparan dan kemiskinan. Kekeringan, kelangkaan air dan erosi tanah bukan hal asing di Uganda. Dan jangan lupakan pertumbuhan populasi yang mengakibatkan situasi bertambah parah, karena jumlah penduduk tak berimbang dengan ketersediaan air dan pangan.

Belum habis keterkejutan saya mendengar fakta-fakta itu, naik ke podium seorang pria berkulit gelap. Ia memperkenalkan diri sebagai delegasi dari Republic of Seychelles di benua Afrika. Namanya Ronny Jumeau. Dengan pelan ia menjelaskan bahwa situasi yang disebabkan kekurangan air dan kekeringan jauh lebih kompleks dibanding dugaan orang selama ini.

Suara Jumeau meninggi saat ia menegaskan bahwa negaranya bukanlah negara miskin. Kelangkaan air itu disebabkan oleh perubahan iklim. Musim hujan menjadi lebih pendek dan kekeringan menjadi ancaman yang tidak hanya merugikan, namun juga mematikan. Untuk mengatasi masalah ini, penggunaan air terpaksa dibatasi secara ketat. Beberapa daerah malah tidak mendapatkan jatah air sama sekali sehingga penduduk harus mengantri demi seember-dua ember air. Masalah berhenti sampai di sana? Tidak. Meningkatnya harga barang kebutuhan pokok seperti makanan dan minyak amat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.

Ruangan menjadi hening ketika Jumeau bicara dengan suara bergetar, “Bangsa kami adalah bangsa yang ramah. Kami senang tersenyum. Tidak mudah bagi kami untuk tersenyum, namun senyuman bisa meringankan beban hidup karena kami tidak mampu membayar terapis. Kami tersenyum, namun kami menderita. Seychelles adalah negeri yang indah, namun kami tidak bisa hidup dari keindahan belaka. Kami tidak bisa makan pasir. Kami tidak bisa minum air laut. Perubahan iklim yang disebabkan tingkah laku manusia telah menyebabkan semua kesusahan ini.”

Delegasi yang bercerita tentang kondisi negara mereka tak cuma orang dewasa. Anak-anak—bahkan yang berusia di bawah remaja—yang turut hadir dalam konferensi iklim Cancun tak mau ketinggalan.

Walter dari Belieze, yang usianya tak lebih dari 10 tahun, dengan berani bercerita tentang banjir yang melanda kotanya dan mengubah hidupnya. Bencana tersebut menyebabkan keluarganya kehilangan hasil pertanian selama berbulan-bulan dan menyisakan trauma mendalam.

“Saya adalah korban perubahan iklim. Saya hidup di daerah yang terus menerus mengalami bencana. Orang-orang kehilangan rumah, hasil panen, bahkan nyawa mereka,” lugas ia bercerita.

“Tolong lakukan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Berikan contoh kepada kami. Anak-anak akan mengikuti apa yang orang tua dan guru-guru lakukan. Tolong berikan contoh yang baik kepada kami.” Permintaan itu sederhana.

Coraline Norris, remaja manis berkulit hitam dari Haiti bercerita tentang badai topan yang menggerogoti negaranya. Juga tentang hidupnya yang tak pernah sama lagi sejak peristiwa tersebut.

“Usia saya baru 14 tahun dan saya sudah mengalami badai topan yang dahsyat. Saya beruntung bisa selamat, tapi setiap malam saya tidur dengan rasa takut karena saya tidak tahu bencana apa lagi yang akan melanda Haiti esok atau lusa,” tutur Norris.

“Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Di Haiti, ada ribuan anak seperti saya—kami selamat, kami bertahan hidup dan menginginkan kesempatan. Impian saya adalah menyumbangkan kebaikan bagi Bumi agar semua orang dapat hidup aman dan damai.” Saat Norris mengakhiri kalimatnya, banyak orang menyusut air di mata mereka.























Coraline Norris membacakan pidatonya


Protokol Kyoto
akan segera berakhir tahun depan. Konferensi Iklim Cancun diharapkan membawa terobosan agar kerja sama internasional yang mengikat negara-negara di dunia dan akan berdampak secara langsung pada eksistensi planet ini dapat tercapai. Sayangnya, bagi banyak negara yang rentan terhadap perubahan iklim, menunggu bukanlah pilihan. Bencana akan tetap terjadi, dengan atau tanpa perjanjian yang mengikat. Kelaparan dan kekurangan mengintai layaknya monster yang bisa menyerbu dan mencabik kapan saja. Negara-negara ini tak bisa menunggu dunia bertindak. Mereka harus menyelamatkan diri sendiri.

“Lepas dari ada atau tidaknya perjanjian yang mengikat, kami memerlukan tindakan nyata. Kami harus beradaptasi dengan perubahan yang terus terjadi. Kami tidak dapat makan pasir dan minum air laut sambil menunggu perjanjian internasional terbentuk. Setidaknya tunjukkan kepada kami apa yang harus kami lakukan.”

Jumeau tahu ia tidak memiliki pilihan. Afrika tidak seperti negara-negara adidaya yang berlimpah hasil bumi, di mana mayoritas penduduk hidup tenteram dan sejahtera. Afrika tidak seperti benua-benua lain yang penduduknya hingga kini masih menikmati mewahnya air bening di rumah masing-masing. Urgensi itu nyata.

Saya terpaku di tempat duduk saya. Semua yang baru saja saya dengar terasa tak nyata, sekaligus mengguncangkan. Bagai tamparan pedas yang tak ingin saya percayai. Di belahan dunia lain, yang selama ini cuma saya saksikan di televisi, jutaan orang menderita kelaparan dan kehausan. Bukan karena mereka miskin, namun karena alam berhenti memberi mereka makan.

Mendadak, saya merasa sangat bersyukur bisa datang ke tempat ini. Di mana mata hati saya dibukakan secara langsung oleh orang-orang yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Di mana saya mendapatkan pembelajaran berharga mengenai kelangsungan hidup planet yang kita tinggali bersama. Di mana saya sekali lagi diingatkan.

Ada orang-orang yang datang ke Cancun sebagai wakil negara untuk bernegosiasi dalam Konferensi Iklim. Ada yang datang atas nama pekerjaan—saya salah satunya. Ada pula yang datang untuk berlibur. Namun tak sedikit orang yang terbang ke tempat ini dengan harapan membuncah. Melintasi ribuan mil karena hanya di sini suara mereka dapat didengar oleh dunia. Mengarungi benua karena cuma di sini jeritan mereka dapat disuarakan. Dan barangkali... barangkali, di suatu tempat, puluhan ribu mil jauhnya, sebuah doa tengah dipanjatkan. Agar kesusahan cepat berlalu. Agar peristiwa alam tak perlu lagi jadi sesuatu yang ditakuti. Agar makanan dan air tak lagi jadi barang istimewa yang dikejar bagai berlian.

Perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata—lebih dari itu, ia tak terhindarkan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanya berupaya agar kiamat modern tak perlu datang lebih cepat dari perhitungan para ahli dan ilmuwan. Merubah gaya hidup bisa merupakan langkah sederhana yang besar artinya bagi eksistensi Bumi. Menanamkan kesadaran akan pentingnya mencintai dan merawat lingkungan hidup bisa jadi penyelamat bagi adik, anak, bahkan cucu kita kelak. Tindakan nyata yang dimulai dari diri sendiri—dari rumah kita sendiri—bisa menyelamatkan jutaan orang di dunia.

Perubahan iklim boleh terus terjadi. Pemanasan global boleh jadi sesuatu yang tak terhindarkan. Namun kita dapat melakukan sesuatu agar Jumeau-Jumeau dan Norris-Norris yang tersebar di seluruh penjuru dunia tidak perlu hidup dalam ketakutan akan hari esok.

Sadari bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang nyata. Sadari bahwa merawat lingkungan hidup bisa jadi merupakan satu-satunya hal yang memungkinkan planet ini tetap ada bagi kelangsungan hidup anak-cucu kita kelak. Dan bertindaklah.




















Saya dan Coraline Norris


-----

Monday, September 27, 2010

9

Entry ini saya tulis pukul dua pagi, sambil merebus air yang akan saya pakai untuk mandi. Hari ini, duabelas jam saya habiskan di sebuah stasiun televisi yang belakangan ini menjadi tempat saya mencari penghasilan tambahan demi menyokong kehidupan di pusat kota.

Dalam keheningan yang menyertai limabelas menit perjalanan saya kembali ke kos-kosan, saya memejamkan mata dan membiarkan tubuh beristirahat. Di luar dugaan, pikiran yang seharian terus berceloteh dan berlompatan ke sana kemari, mendadak ikut meresapi kesunyian.

Alangkah banyak yang ingin saya tuliskan di halaman ini. Berkali-kali saya menerima pertanyaan, “Kapan diisi lagi blog-nya?”, “Kok sekarang jarang posting?”, dan sebagainya. Berkali-kali berbagai pemikiran singgah di otak. Berkali-kali pula saya meniatkan hati untuk menulis barang sehalaman-dua. Toh akhirnya semua niat cuma mengendap.

September nyaris berakhir. Bulan kesepuluh akan segera saya jelang. Rasanya baru kemarin tahun 2009 berlalu. Kadang benak tergoda untuk melontarkan pertanyaan, apa saja yang sudah saya raih selama sembilan bulan? Apa saja pengalaman yang berhasil saya kumpulkan? Pembelajaran apa yang sudah saya petik? Berapa banyak teman yang saya punya? Pencapaian materiil apa yang bisa saya banggakan?

Ada kalanya pertanyaan-pertanyaan ini hadir dan menganggu, tidak peduli sekeras apa pun saya berusaha mengabaikannya. Kadang saya berpikir, jangan-jangan sindrom krisis seperempat abad itu bukan mitos. Tidak jarang pula saya membandingkan diri dengan orang-orang lain dan merasa kecewa—bahkan putus asa—karena sepertinya saya tidak pernah bisa menjadi lebih baik dari mereka.

Namun ada kalanya—ada kalanya—benak yang selalu ribut mengoceh ini menemukan jalan buntu, berulangkali membentur garis pembatas, berputar-putar kebingungan, hingga akhirnya terdiam kelelahan.

Ketika ia terdiam—dalam waktu yang kadang tak lebih dari sekian menit—batin saya mengambil alih. Dengan ketenangan yang tak pernah saya duga ada. Dalam kesunyian yang mendamaikan. Dalam keheningan yang menyejukkan. Ia hadir dan berbisik, “Tidak apa-apa...”

“Tidak apa-apa.”

Dan sepotong kalimat pendek itulah yang membuat saya kembali berdiri.

Malam ini, kesunyian itu hadir lagi. Dalam limabelas menit perjalanan pulang saya. Kesunyian yang sama, yang akhirnya menggerakkan saya untuk menyalakan komputer dan menuliskan ini.

Bukan sebuah artikel. Bukan tulisan penuh kalimat indah. Hanya sepotong curhat singkat disertai sebuah doa. Beberapa orang menyebutnya harapan.

Apa pun yang terjadi selama tiga bulan ke depan, sebelum akhirnya kita bersama-sama melepaskan tahun 2010 ini, saya berdoa agar kita semua senantiasa diingatkan—melalui peristiwa sehari-hari, keajaiban-keajaiban kecil yang kita alami dan siapa pun yang kita temui—bahwa sesungguhnya hidup tidak pernah berhenti menawarkan hadiah. Bahkan tanpa kita perlu berusaha menggapainya.

Bahwa sesungguhnya segala pedih akan berlalu pada waktunya. Kesedihan akan sirna jika sudah saatnya, dan getir tidak akan tinggal tetap. Pun kebahagiaan, kegembiraan dan sukacita.

Bahwa cinta adalah sesuatu yang nyata, ada dan layak dipercayai. Tanpa perlu diwadahi. Tanpa perlu dipaksakan. Tanpa perlu diundang, atau diusir.

Bahwa sesungguhnya, di mana pun kita semua berada, dan kapan pun, Anda dan saya tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

Itu saja.

-----

Wednesday, August 18, 2010

Indonesia65

"Lu mah bukan orang Indonesia. Lu orang Cina."

"Woy, ada amoy! Amoooy!"

"Eh, Cokin. Mau ke mana?"

"Weee, yang matanya sipiiit..."

-----

Darah yang mengalir di tubuh ini barangkali berasal dari negeri di seberang lautan, nun jauh di sana. Namun kedua kaki ini berpijak di tanah Indonesia, dan paru-paru ini menghirup udaranya setiap hari.

Saya orang Indonesia. Sampai kapan pun.

Selamat Hari Jadi, Negeriku.

*Gambar dipinjam dari: http://www.indonesiapusaka.info/wp-content/uploads/2010/03/bendera.jpg

Monday, May 10, 2010

10 Things I Learn About Me

Saya tidak bisa menyenangkan semua orang, namun melihat orang lain terluka akibat perbuatan saya adalah sesuatu yang menyakitkan.

Menyakiti orang lain, apa pun alasannya, sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Dan pada akhirnya, diri sendirilah yang paling menderita.

Kebahagiaan bukan untuk dicari. Ia datang dan pergi dengan sendirinya.

Sekuat apa pun saya berusaha mempertahankan sesuatu, ia akan pergi jika sudah waktunya.

Saya bisa lari menjauhi apa pun di dunia, kecuali diri saya sendiri.

Penghakiman terbesar tidak datang dari orang lain, melainkan diri sendiri.

Kejujuran dan meminta maaf bukan sesuatu yang sulit, dan ia menyembuhkan.

Berdamai dengan diri sendiri jauh lebih penting ketimbang bersahabat dengan seisi dunia.

Saya rindu diri saya yang lama. Yang polos, bodoh dan tidak menghakimi dunia.

Ya, saya tersesat. Saya ingin pulang.

-----

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Wednesday, April 28, 2010

Pemandangan Sudut Jembatan

Hari ini, seperti hari-hari lain yang belakangan sering saya habiskan di pusat Jakarta, saya menaiki jembatan penyeberangan untuk mencapai kantor baru saya di bilangan Thamrin.

Hari ini, yang duduk di sudut jembatan itu adalah seorang ibu muda bersama bayi yang tertidur lelap tepat di sampingnya. Bayi yang usianya takkan lebih dari beberapa bulan. Tangan mungilnya masih tersembunyi dalam sarung putih. Pantatnya masih terbungkus popok. Bayi yang terlalu kecil untuk menghirup udara kehitaman Jakarta dan tersengat terik matahari.

Dalam ketergesaan, saya hanya melirik singkat kepada mereka dan terus berlalu. Namun pikiran saya memutar ulang pemandangan di sudut jembatan yang sama, yang saya temui sebelumnya.

Beberapa hari lalu, sudut itu diisi seorang ibu gemuk dengan rambut dicepol. Bocah di sampingnya barangkali berusia satu tahun. Ketika saya melintasi jembatan di siang hari, sang bocah sedang lelap tertidur. Ketika saya kembali sore harinya, bocah tersebut sedang bermain sambil tertawa-tawa. Sang ibu menggoda anaknya sambil tersenyum lebar. Tak urung saya ikut tersenyum menyaksikan pemandangan yang cuma sekilas itu. Mendadak, perjalanan pulang selama dua jam terasa lebih ringan.

Sudut jembatan itu juga pernah ditempati seorang kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral. Sorot matanya kosong, dan seperti kebanyakan orang yang melintasi jembatan itu dengan langkah-langkah cepat, saya pun berlalu begitu saja.

Hari ini, ketika pikiran saya sedang berpacu dengan jemari untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, sebuah kalimat muncul di layar komputer. Saya tidak kenal penulisnya. Kalimat tersebut diteruskan oleh seorang kawan dalam jaringan pertemanan yang saya ikuti.

They say go for your dreams, don't compromise for anything else. How do you know which one is the "dream" & which one is "anything else"?

Saya terdiam. Lama.



Mimpi-mimpi.

Saya selalu tahu apa yang saya inginkan. Ajukan pertanyaan itu kepada saya dan saya akan menjawabnya dengan sebuah daftar lengkap.

Semua orang bisa bermimpi. Mimpi itu tidak bayar, maka gantungkan cita-citamu setinggi langit. Bahkan anak Sekolah Dasar yang paling bodoh tahu itu. Namun apa yang saya lihat di sudut jembatan beberapa hari terakhir telah memberitahu saya, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejar mimpi.

Kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral mungkin cuma bermimpi bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang malam ini.

Wanita gemuk dengan bocah berwajah sumringah itu barangkali bermimpi bisa menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai lulus SMU.

Beberapa jam sebelum menuliskan entri ini, saya melintasi jembatan yang sama untuk menaiki bus merah-kuning yang akan mengantarkan saya pulang ke rumah—tempat yang nyaman di mana saya bisa beristirahat di kamar yang sejuk usai membersihkan tubuh dengan air hangat.

Ibu muda dan bayinya masih ada di sana. Mereka tertidur pulas di atas selembar kardus. Saya menatap mereka dan bertanya dalam hati, adakah perempuan ini punya mimpi. Barangkali mimpinya sederhana saja: bisa terlelap di ranjang yang hangat dan punya tempat tinggal yang layak agar esok si mungil tak perlu menghirup udara kotor dan tersengat matahari.

Semua orang bisa bermimpi. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejarnya.



Hari ini, saya ingin berterimakasih pada seseorang yang tak saya kenal namanya. Atas sebuah pertanyaan yang mengusik hati dan mengingatkan saya akan sesuatu yang sudah lama saya lupakan.

Mimpi-mimpi saya. Saya sudah hidup di dalamnya.

Dan untuk itu, sepatutnya hari ini ditutup dengan ucapan syukur.

-----

Sunday, February 28, 2010

180 Menit

… tanpa koneksi internet, percakapan dengan siapa pun, atau banjir informasi yang tiada berhenti.

180 menit yang sunyi, kendati hiruk-pikuk di sekitar saya mengalahkan keramaian Pasar Minggu.

180 menit bersama secangkir kopi beraroma hazelnut, langit sore, dan koran edisi terbaru.

180 menit yang memberi tahu saya bahwa

Para barista di gerai kopi ini tampaknya sudah melewati seleksi tampang sebelum diterima bekerja.

Barista jangkung berkulit putih dan berambut spikey punya senyum yang melelehkan hati.

Petugas kebersihan berseragam kotak-kotak tak henti-hentinya mengelapi kaca yang sama.

Pengki yang digunakan petugas kebersihan berwarna merah muda.

Arloji lelaki berperut buncit di meja seberang berwarna coklat keemasan yang berkilau ditimpa sinar mentari.

Gadis-gadis pra-remaja yang datang dengan teman atau orangtua hampir semuanya mengenakan Crocs merah jambu dalam berbagai gradasi warna.

Sebagian besar pengunjung menenteng BlackBerry dengan cover beraneka warna. Ungu. Hijau. Kuning. Putih. Biru.

Pria dan wanita di meja sebelah tidak saling bicara sejak mereka duduk.

Masih ada dunia selain semesta maya sumber informasi yang berada dalam jangkauan kita duapuluhempat jam sehari.


Juga bahwa

Senja ini indah sekali, kendati langit tak cerah

Dan saya tak henti-hentinya tersenyum.


-----


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Thursday, December 3, 2009

Dear Nuel,

Apa kabar?

Belakangan ini gue sibuk dengan calon buku kedua gue. Buku itu akan terbit tahun depan. Di dalamnya ada artikel tentang elo. Judulnya ‘Farewell’, karena artikel itu gue tulis setelah kita berpisah. Sejujurnya, dari sekian banyak tulisan yang jadi pengisi buku itu, gue lupa bahwa ‘Farewell’ ada di sana. Sampai malam ini, ketika gue mengedit artikel itu.

Nel, gue nggak nangis waktu kita pisah. Gue bahkan nggak nangis waktu ninggalin elo. Gue pikir lo udah bahagia. And I did believe so. Lo tampak tenang sekali di sana, di peti itu. Lo kurus, tapi lo seperti tersenyum. Seakan pingin bilang ke semua orang, “Gue udah nggak apa-apa. Kalian bisa berhenti khawatir.” Tapi sekarang gue nangis. And I cry hard.

Nel, gue kangen elo. Kangen banyolan-banyolan lo. Kangen senyuman lo. Kangen minta tolong lo bawain barang lagi (karena lo yang paling berotot di antara kita semua dan gue yang paling cungkring). Kangen lihat lo ngangkat-ngangkat boom segede dosa itu. Kangen ngelihat lo dan Lala pacaran lagi kayak dulu. Kangen makan bareng lagi. Kangen ketawa-ketawa lagi.

Nel, kenapa gue nangis ya? Kenapa malam ini air mata gue nggak bisa berhenti inget elo? Berapa bulan sejak lo pergi? Sembilan? Sepuluh?

Bahkan sebelum lo pergi kita udah jarang ketemu. Lala bilang, lo sempet nanyain gue. Dan sekarang rasanya gue rela ngasih apa aja supaya bisa ketemu lo sekali lagi… ketika lo masih bisa senyum. Ketika gue masih bisa bercandain elo. Dan kita bisa sama-sama ketawa.

Di atas sana kayak apa, Nel? Indah? Lo ketemu nyokap gue? Sampaikan salam gue buat dia, ya. I miss her so damn much. Tell her I’m happy. Gue tahu dia tahu. Gue cuma pingin bilang aja. :-)

Nel, gue nggak pernah dapet kesempatan untuk ngomong ini ke elo. Tapi sekarang gue mau bilang.

Terima kasih karena udah ada di hidup gue. Terima kasih udah jadi temen gue. Terima kasih untuk tahun-tahun indah yang kita lewati bareng-bareng. Terima kasih untuk setiap senyum dan tawa yang pernah kita bagi, yang masih bisa gue kenang sampai sekarang ketika lo udah nggak ada. Lo nggak akan pernah tahu betapa berartinya itu semua. Ketika segalanya lenyap, yang tersisa cuma kenangan. Dan kenangan itu kita jaga, karena kita belum mau lupa.

…..



Hhhh.

Udah, ah. Gue udah selesai mewek. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya. Kalau kata Mitch Albom, gue yang curhat, lo yang dengerin. Ketika waktunya tiba nanti, kita bakal bisa lagi, kok, ngobrol dua arah.

:-)


Nel…

Gue kangen. Banget.

-----

Thursday, October 22, 2009

Perkara Tuding-menuding dan Cela-mencela

Malam ini, timeline akun Twitter saya ramai dengan pembahasan seputar para menteri terpilih yang baru saja diumumkan di televisi. Saya, yang dari awal memang tidak tertarik untuk mengikuti, memilih mendem di kamar demi menamatkan Harry Potter, entah untuk keberapa kalinya. Emang ciamik Nyonya Rowling itu, gak ada matinye. Tapi mari kita tidak berfokus pada Harry Potter atau Nyonya Rowling.

Saya terdiam saat membaca tweet demi tweet yang masuk, dan akhirnya, ketika membaca tweet seorang selebriti yang cukup vokal mencela menteri-menteri terpilih, saya pun nyengir kuda.

Saya tidak anti mencela. Namun, entah mengapa, melihat banyaknya celaan yang ditujukan pada kabinet yang baru terbentuk –yang bahkan tidak pernah saya ikuti perkembangannya—mendadak menimbulkan perasaan aneh di hati. Simpati? Entahlah. Rasanya bukan. Simpati apanya, wong saya Golput kok. ;-)

Saya termasuk kelompok manusia yang suka mencela, dan di saat-saat tertentu, lidah saya bisa lebih tajam dari silet yang baru dibeli di warung – terutama menjelang awal bulan dimana hormon sedang bergejolak, dan ketika sedang banyak pikiran alias stres. Atas nama kejujuran, bagi saya mencela adalah sebuah bentuk terapi – terserah mau dibilang nista, dangkal, atau apa pun. Mengetahui bahwa ada orang yang lebih buruk dari saya, ada yang bisa disalahkan, mengungkapkan itu sesuka hati, dan dengan cara yang saya kehendaki, selalu memberi kelegaan tersendiri, meski kelegaan itu hanya temporer. Siapa peduli berapa lama lega itu bisa bertahan? Siapa peduli efek jangka panjang dari tindakan tersebut? Yang penting sekarang saya bisa merasa (sedikit) lebih nyaman.

Seorang teman berkata, mencela, menuding, dan menghakimi adalah hal yang paling mudah dilakukan. Dan ia benar. Seperti yang saya sebutkan tadi, tiga hal itu bisa jadi jalan pintas untuk melegakan hati. Itu sebabnya sesekali saya masih menonton program-program televisi yang tidak akan saya nikmati dalam keadaan ‘waras’. Itu sebabnya sesekali saya masih mengikuti pemberitaan infotainment yang penuh fiksi dan drama. Itu sebabnya saya kekeuh sumekeuh memonopoli remote control di rumah ketika RCTI menayangkan sinetron Manohara untuk pertama kalinya.

Orang lain mengatakan, justru di situ serunya. Hidup akan terasa hambar kalau tidak ada orang yang suka mencela. Ia juga benar. Bayangkan betapa membosankannya dunia yang warnanya serbaputih. Namun saya bertanya-tanya, akankah kita mengamini hal yang sama, seandainya kita yang jadi sasaran cela, hujat dan kritik?

Menumpahkan uneg-uneg itu mudah. Meluapkan amarah dan kekecewaan itu gampang. Menghakimi apalagi. Kalau kepala sudah terlanjur panas, mendengar dan berkomunikasi pun ke laut aje. Memaki-maki dulu, yang penting hati lega. Tidak peduli siapa benar siapa salah. Siapa yang patut didengarkan dan demi alasan apa. Tidak penting. Perkara konsekuensi dan perasaan orang lain, bisa diatur belakangan. Kita memang sudah terbiasa. Hidup mengkondisikan kita untuk terbiasa.

Sekali lagi, saya tidak anti mencela. Saya tidak anti menuding. Setiap akhir pekan saya masih setia nongkrong di depan televisi untuk menikmati guilty pleasure saya: reality show populer slash ajang cari jodoh yang dipandu seorang MC Batak nan tampan. Sebuah tayangan yang selalu berhasil memancing celaan demi celaan dari mulut saya. Bahkan setelah saya tahu pahala saya tidak akan bertambah (defisit iya!), saya tetap suka menontonnya.

Entri pendek ini tidak bertujuan untuk mengurangi populasi kaum pencela, karena saya belum ingin punah dari muka Bumi. Entri ini hanya bertujuan untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa ketika saya menudingkan jari kepada orang lain, empat jari lainnya menuding diri saya sendiri. Mudah-mudahan itu cukup.

-----

*Gambar diculik (lagi) dari gettyimages.com

Thursday, August 27, 2009

Cambuk

Dalam perjalanan, aku melihat seorang lelaki menyeret keluar sesosok makhluk dari dalam kandang. Keempat kakinya dirantai, sehingga pendek-pendek langkahnya. Makhluk itu besar dan tampak kuat, namun sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Darah merembes dan mengering di bulu-bulunya, menciptakan duri-duri kecil yang lengket.

Aku tidak berani mendekat. Dia tampak menyedihkan. Luka-lukanya seperti tidak pernah diberi kesempatan untuk sembuh. Makhluk itu memandangku, menyadari kehadiranku. Aku mendapati diriku mundur selangkah dan mengambil ancang-ancang untuk lari. Namun ia hanya memandangiku sesaat, sebelum meraung keras.

Aku terkesiap. Belum lagi hilang kagetku, setitik darah jatuh di punggung tanganku. Lelaki itu baru saja menciptakan luka baru di tubuhnya. Cambuk itu kini bernoda darah.

Aku gemetar. Cambuk apa yang bisa melukai separah itu?

“Hentikan.” Susah payah aku bicara.

Lelaki itu bahkan tidak menoleh. “Dia harus dihukum. Dia telah gagal.”

Cambuk kembali mendarat dengan bunyi ‘plak’ keras. Bulu romaku bangkit ketika makhluk itu kembali meraung.

“Kau menyiksanya!” Aku memekik.

“Tidak,” lelaki itu menjawab tenang, “Aku melatihnya. Setiap cambukan mengajarinya sesuatu. Setiap cambukan membuatnya bertambah kuat. Setiap cambukan akan membuatnya berterima kasih padaku kelak.”

Ia pasti melihat kedua tanganku mengepal, karena ia memberiku isyarat untuk mendekat.
“Kemari dan lihatlah sendiri. Dia bertambah kuat.”

Aku menggerakkan kakiku yang gemetar. Menghampiri makhluk yang kini berdiri tidak bergerak. Mengamati darah yang menetes-netes dari luka barunya.

Si lelaki mengacungkan cambuknya, menunjuk garis merah tua di punggung makhluk itu. Bilur yang baru akan sembuh.

“Setiap luka menciptakan parut tebal yang melindungi dirinya dari serangan badai, cuaca dingin, sengatan matahari, dan cakar makhluk lain. Kau lihat, aku melakukan yang terbaik untuknya.”

“Kau gila.”

“Tidak,” lelaki itu tersenyum menatapku, “Aku tahu yang kulakukan. Mungkin kau harus belajar dariku, Anak Muda.”

Aku tidak mengindahkan kata-katanya. Kutelusuri bulu-bulu kasar makhluk itu dengan telapak tangan. Kusentuh darah lengket yang menyatukan bulu-bulunya, merasakan cairan hangat yang amis mengalir melalui jari-jariku.

Aku bergerak maju. Mendekati kepala makhluk itu. Ia bergeming. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat. Mata kami bertemu.

Aku terhenyak.

Aku menjerit.

Aku meraung.

Kesadaranku lumpuh. Tungkai kakiku kehilangan kemampuan menopang. Aku terbanting ke tanah. Debu beterbangan. Sakit yang hebat menderaku sampai ke sum-sum.

Aku mengerang.

Aku meronta.

Aku merintih.

Hewan itu bergeming.

Ia tidak melakukan apa pun. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat.

Ketika pandangan kami bertemu, ketika matanya menyambut mataku, aku tahu,

Akulah makhluk itu.

*****

Maafkan saya, Jenny, atas penderitaan yang saya timbulkan karena menuntutmu untuk

sempurna
cerdas
bijaksana
terstruktur
manis
berbakti
mendedikasikan hidup
tunduk
taat
patuh
normal
menjadi 'baik-baik saja'
berpasangan di usia sekian
memiliki kondisi hidup tertentu
memiliki suasana hati tertentu
memiliki sekian rupiah
menyenangkan orang lain
bersimpati pada penderitaan orang
bersukacita atas kebahagiaan orang
bertahan pada satu titik spiritual
terus mengalami peningkatan
terus menulis
kreatif
eksis/dikenal
sehat
dicintai
diprioritaskan
diterima
dihargai
menjaga perasaan orang
setia pada norma sosial
jadi juara
meneladani orang lain
meredam emosi
bertindak hati-hati
meyakini sesuatu
setia
berperforma maksimal
bekerja keras
memiliki keluarga ‘normal’
menjadi sama dengan orang lain
meraih mimpi
menguasai konsep spiritual tertentu
berbuat baik
beramal
tersenyum
tertawa
berbasa-basi
merasa aman
percaya diri
teratur
bersih
rapi
mendapat pencerahan
merasa lega
merasa nyaman
berhemat
diperhatikan
diperlakukan istimewa
diberi
dipuji
diperlakukan baik
menolong
menyelamatkan
bertanggung jawab
berbuat sesuatu demi orang lain
tidak merepotkan orang lain
tidak mengatakan ‘tidak’
mencapai target
tidak melekat dengan apa pun
berwawasan luas
bersosialisasi
berdisiplin
bahagia
benar
dewasa
bersikap sopan
menjaga sikap
berlaku adil
berkorban
menyukai orang lain
melepas ekspektasi
menemukan jalan keluar
memecahkan masalah
sembuh
lebih banyak memberi
mencapai sesuatu
berhasil/sukses
kuat
tidak menangis
produktif
rajin
tekun
pantang menyerah
bebas konflik batin
bebas masalah
meringankan beban orang lain
menerima apa adanya
bertumbuh
mencari nafkah
memiliki status sosial tertentu
ikhlas
pasrah
menjadi anak yang dibanggakan
menjadi kakak teladan
menjadi teman yang baik
menjadi pekerja yang budiman
menjadi penulis yang menginspirasi
menemukan cinta
memiliki semangat
membalas budi
menjalani rutinitas
memprioritaskan orang lain
sependapat
stabil
bertenggang rasa
menepati janji
tidak berubah
konsisten
sembuh
waras
masuk akal

...dan banyak lagi.

Maaf atas segala luka yang saya timbulkan ketika saya mengharuskanmu menjadi seperti yang saya inginkan. Maafkan saya karena telah menderamu. Maafkan saya karena berpikir tahu yang terbaik bagimu, sedang kamu sudah begitu lama kesakitan.

Maafkan saya karena tidak menghapus airmatamu saat kamu mengaduh dan mengeluh. Maaf atas segala persyaratan yang saya tetapkan hanya untuk bisa menerimamu. Maaf karena telah mencintaimu dengan segudang harap dan pinta.

Beri saya kesempatan untuk mencintaimu lagi. Kali ini apa adanya.

Dengan penuh cinta,



Dirimu Sendiri

-----

Monday, August 24, 2009

Tips Mengirim Naskah ke Endorser

Semua penulis yang sudah menerbitkan buku –atau bercita-cita menerbitkan buku— pasti tidak asing dengan kata ‘endorsement’, kecuali dia tinggal di ujung dunia. Beberapa tahun lalu, sebelum kata ini sering digunakan, istilah yang familiar di telinga kita adalah ‘paperback comment’.

Selain memberi nilai tambah bagi sebuah karya, endorsement dari seseorang yang ‘sudah punya nama’ –apalagi yang termasuk kategori ‘Penulis Dewa’— sanggup membuat orang tergoda membeli, atau minimal, mengundang rasa penasaran terhadap buku yang bersangkutan. Siapa yang tidak tertarik mengambil buku yang sampul depannya memuat endorsement dari Andrea Hirata atau Dewi Lestari? Siapa penikmat novel remaja yang tidak terpancing mengambil teenlit yang memajang endorsement dari Sitta Karina? Siapa penyuka cerita komedi yang tidak tertarik dengan buku yang di-endorse oleh Raditya Dika?

Sebagai orang yang sudah menerbitkan buku, saya tahu rasanya mengirim naskah kepada penulis-penulis senior; memohon kesediaan mereka untuk memberi sepatah-dua patah kata bagi ‘calon anak’ saya, berharap-harap cemas menanti hasilnya, dan sebagainya. Di sisi lain, sebagai orang yang pernah menjadi endorser untuk beberapa buku –serta menjadi ‘perantara’ bagi mereka yang ingin mendapatkan endorsement dari Ibu ini— saya juga berkesempatan membaca berbagai naskah dengan genre dan penulisan yang sangat bervariasi.

Menerima dan membaca naskah merupakan kegiatan yang menarik, namun tak selalu menyenangkan. Ada kalanya saya mendapatkan ‘naskah emas’ yang memikat perhatian. Saya sanggup begadang semalam suntuk dan melewatkan jam makan hanya untuk menamatkan naskah tersebut. Saya pernah membaca naskah yang sama sebanyak tiga kali dalam sebulan karena jatuh cinta dengan isi dan cara penulisannya. Namun tidak jarang pula saya menerima naskah yang membuat kening berkerut-kerut saking standarnya, saking mentahnya, atau saking absurd-nya. Jenis naskah yang terakhir ini biasanya membuat saya menarik napas panjang sambil membatin, “Duh bo... plis deh,” sebelum menutupnya tanpa menamatkan bab pertama.

Kedengaran belagu? Mungkin, tapi memang itu yang terjadi.

Selain konten, ada hal-hal lain yang memicu keengganan saya untuk membaca sebuah naskah sampai tamat (boro-boro mengomentari, kalau membaca aja nggak selesai). Kemalasan adalah salah satunya. Sisanya adalah beberapa faktor eksternal yang akan saya uraikan di bawah ini.
Apa yang saya tuliskan di sini adalah hasil dari pengamatan pribadi dan bertukar pikiran dengan sesama rekan penulis –maupun figur publik— yang pernah menjadi endorser untuk sebuah buku. Mudah-mudahan bisa bermanfaat. :-)

Tips pertama: pastikan naskah yang kamu kirim ke endorser sudah diterima terlebih dahulu oleh penerbit. Menggunakan endorsement untuk ‘menjual’ naskah ke penerbit memang bukan sesuatu yang salah, namun ini bisa jadi sesuatu yang menyebalkan bagi endorser. Pertama, karena tidak adanya kepastian terbit. Kedua, ada waktu dan energi yang harus diluangkan oleh endorser untuk membaca dan mengomentari karya kamu. Ketidakpastian tersebut akan membuat usaha yang dilakukan endorser tampak sia-sia.

Kedua, yakinlah bahwa ketika karya kamu diterima oleh penerbit, karya tersebut memiliki ‘kekuatan’ dan nilai plus yang menjadikannya layak terbit. Pahami juga bahwa setiap penulis mempunyai ciri khas dan kelebihan masing-masing. Karena itu, miliki rasa percaya diri dan hindari mencantumkan kalimat-kalimat berikut dalam permohonan endorsement kamu: “Saya tahu tulisan saya tidak sebagus Mbak…”, “Memang tulisan ini tidak sebanding dengan karya Mbak…”, dan sebagainya. Saya tidak tahu dengan penulis lain, namun permohonan endorsement semacam ini membuat saya kehilangan minat untuk membaca naskah. Jika endorser yang bersangkutan merasa cocok dengan karyamu, ia akan memberikan endorsement dengan senang hati. Tanpa kamu perlu ‘merendah’.

Ketiga, jangan mengirimkan naskah dengan tenggat waktu yang terlalu sempit. Dua minggu sampai satu bulan adalah tenggat yang cukup ideal bagi endorser untuk membaca dan mengomentari calon bukumu, apalagi jika kamu mengirim naskah kepada ‘Penulis Dewa’ yang punya segudang kesibukan. Sadari bahwa mereka memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada membaca naskahmu. And for the love of God, jangan donder. Saya pernah menerima draft dari seseorang yang mengirimkan e-mail dua hari sekali untuk menanyakan apakah draft tersebut sudah dibaca. Kali ketiga ia mengirim e-mail, saya tidak lagi membalasnya. It’s just annoying. Saya hanya tersenyum masam mendengar alasan yang diajukannya: “Minggu depan sudah mau naik cetak, Mbak.” Sebagai orang yang pernah menerbitkan buku, saya tahu ada tenggat waktu yang cukup panjang dari diterimanya naskah oleh penerbit, proses produksi (editing, lay-outing, desain cover, dsb), sampai naik cetak. Keseluruhan proses tersebut bisa makan waktu 3 sampai 5 bulan. Kemane aje lo, baru ngirim draft seminggu terakhir?

Keempat, kirimlah naskah yang sudah ‘matang’, dalam arti sudah melalui proses editing setidaknya satu kali. Selain memudahkan endorser untuk menilai naskah tersebut secara keseluruhan, tindakan ini menunjukkan bahwa kamu menghargai endorser. Kesalahan ketik dan kesalahan tata bahasa adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi, dan saya rasa endorser tidak akan mempermasalahkan hal ini. Namun isi naskah yang masih ‘mentah’ dan kasar akan sangat mengganggu untuk dibaca. Tunjukkan bahwa kamu menghargai endorser yang sudah bersedia meluangkan waktu dan energi untuk membaca naskahmu.

Kelima, gunakan font yang nyaman dibaca dan spasi yang tidak melelahkan mata. Hal ini juga bisa diterapkan untuk mengirim naskah ke penerbit. Saya pernah menerima naskah yang ditulis dengan font Arial Narrow dan spasi single yang panjangnya lebih dari 400 halaman. Saya berusaha membacanya sebanyak tiga kali dan akhirnya menyerah sebelum menyelesaikan bab pertama.

Keenam, kirimkan naskahmu kepada orang yang tepat. Jangan mengirimkan naskah novel pop kepada penulis cerita komedi. Jangan mengirimkan naskah kumpulan blog remaja kepada penulis fiksi ilmiah. Dan demi Tuhan, jangan mengirimkan naskah cerita horor murahan atau drama-komedi berbau seks kepada siapa pun. Kasihanilah kami.

Last but not least, berbesar hatilah jika naskahmu ditolak oleh calon endorser. Tidak usah ngambek. Tidak perlu membujuk calon endorser untuk mempertimbangkan ulang keputusannya dengan berkali-kali menghubunginya. Mereka tentu memiliki pertimbangan tersendiri untuk memberikan (atau tidak memberikan) endorsement. It’s nothing personal. Naskah saya pernah ditolak oleh beberapa penulis. Saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang mereka berikan untuk membaca dan membalas e-mail saya, lalu mencari penulis lain yang bersedia meng-endorse buku saya. Sesederhana itu.

Sekarang, izinkan saya menghancurkan secercah harapan yang kamu miliki. Tips-tips di atas tidak menjamin kamu akan memperoleh endorsement sesuai harapan, bahkan tidak menjamin naskahmu akan dibaca oleh calon endorser.

Tips-tips tersebut hanya bentuk lain dari uneg-uneg yang saya (dan beberapa rekan penulis) miliki dari pengalaman menerima dan membaca naskah yang dikirimkan kepada kami. Sama seperti perjuangan untuk menerbitkan buku, ada banyak hal yang menentukan keberhasilan seseorang dalam mendapatkan endorsement – salah satunya keberuntungan. Saran yang bisa saya berikan adalah: lakukan yang terbaik yang kamu bisa, silangkan jari-jarimu, dan berharaplah keberuntungan ada di pihakmu. Kalaupun tidak, well, akan selalu ada kesempatan lain, selama kamu terus menulis. ;-)

Selamat berburu endorsement!

-----

Wednesday, August 12, 2009

(Semacam) Surat Terbuka ;-)

Hai, kamu yang di sana.

Makasih, lho.

Hari ini kamu berhasil membuat saya terpingkal-pingkal; antara geli, sebal, jengkel, dan bangga sekaligus.

Kenapa bangga? Karena kamu membuat saya merasa seperti selebritis. Figur publik nan ngetop yang karya-karyanya dianggap penting sampai layak dibajak.

Sejujurnya, awalnya saya mengira hal itu hanya bisa dialami oleh mereka-mereka yang sudah ditahbiskan menjadi seleblog, seperti ibu ini, ibu ini, atau ibu ini. Saya nggak nyangka ternyata blogger kemarin sore kayak saya, yang masih belajar menulis dan mengamati, bisa dianggap ‘layak bajak’, apalagi oleh blogger seperti kamu, yang punya ratusan followers. Aduh, makasih lho… walaupun saya sedikit bingung, kenapa kamu yang punya begitu banyak ‘penggemar’ (yang pastinya menandakan bahwa tulisan-tulisanmu cukup bermutu), mau membajak tulisan orang lain.

Anyway, sebagai ucapan terima kasih karena hari ini kamu berhasil membuat saya senyum-senyum gila, dengan senang hati saya akan menolong mempublikasikan salah satu karya kamu, yang kamu sadur dari blog saya. Mudah-mudahan hal ini akan dapat meningkatkan popularitasmu di ranah maya.

Cuma satu pesan saya, kalau udah terkenal nanti, jangan sombong, ya. ;-)

UPDATE 13 AGUSTUS 2009, 00:40 WIB:

Dengan ini saya mengumumken *dibaca dengan gaya Pak Harto* bahwa entri yang tercantum di atas telah resmi dihapusken oleh sang empunya blog, pada waktu tersebutken. Teriring doa dan ucapan syukur dari saya. Syukur karena tulisan saya nggak jadi lama-lama dibajak (wahai Papa, akhirnya tak ada lagi yang menjiplak kado ulang tahunmu). Doa supaya takkan ada lagi pembajakan-pembajakan serupa di ranah maya ini.

However, untuk Neng Ayu yang cantik jelita, berhubung tulisan saya sudah sempat nangkring di blog Anda selama dua hari penuh, saya tidak akan menghapus link ke blog Anda di sini, sekalipun entri yang bersangkutan sudah Anda hilangkan, KECUALI, tentunya, jika Anda bersedia menghubungi saya secara pribadi untuk mengkomunikasikan 'penyaduran' ini dengan jujur dan tuntas. Mudah-mudahan ini bisa jadi pelajaran untuk kita bersama.

Ngeblog aja kok nyontek. Malu ateuh. ;-)

UPDATE 16 AGUSTUS 2009:

Kemarin saya membaca artikel ini dan ini, dan lagi-lagi tertawa sendiri karena apa yang tertulis di sana ndilalah kok ya mirip dengan apa yang beredar di kepala saya.

Saya cukup sering menemukan tulisan saya dimuat ulang di berbagai media online yang kebanyakan dilakukan tanpa seizin saya. Saya tidak mempermasalahkan hal tersebut, selama orang yang bersangkutan mencantumkan alamat blog ini –atau setidaknya nama saya— sebagai ‘identitas’ PENULIS ASLINYA. Mempublikasikan tulisan di internet yang dapat diakses semua orang, bagi saya, bukan berarti menghilangkan identitas tulisan tersebut dan menjadikannya ‘milik bersama’ sehingga bebas dicomot, disadur, dan dipublikasikan sebagai hasil karya ORANG LAIN.

Terima kasih, Ariadne dan Fekhi, karena telah menyuarakan isi benak saya. Sejujurnya, meski saya menanggapi kejadian ini dengan tertawa, saya sangat berharap peristiwa serupa tidak terulang kepada saya atau siapapun di jagat maya ini. Sebuah karya, bagaimanapun sederhananya, tetap sebuah karya. Penyadaran terhadap hal ini barangkali bisa membuat kita berpikir ulang sebelum mematenkan karya orang lain atas nama kita.

Lagipula, hey… sebagus-bagusnya KW-1, tetep bagusan barang aslinya dong ah. Semua juga tahu. ;-)

UPDATE 26 AGUSTUS 2009:

Terima kasih Ayu, untuk mengontak saya secara pribadi dan meluruskan masalah ini. Link ke blog kamu sudah saya hapuskan dari entri ini. Mari sama-sama belajar. :-)

-----

Saturday, August 1, 2009

Tentang Dia yang Saya Panggil 'Ayah'

Ayah saya adalah seorang jagoan. Disimpannya rapat-rapat airmatanya dan hanya menangis ia jika sendirian. Bukan karena tak mau membagi rasa, namun karena ia tak ingin saya bersusah hati. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Orang tua harus tahu kapan anaknya susah, tapi anak tidak perlu tahu kalau orang tuanya susah.”

Ayah saya adalah seorang pencinta. Masih lekat dalam ingatan sebuah pigura berbingkai gelap berisi foto almarhumah Ibu yang selalu dipeluknya erat sebelum tidur. Ia sanggup tidur tanpa kasur dan selimut, namun tak pernah sedetik pun dilepasnya foto itu. Sebagaimana selalu diucapkannya, "Kalau lagi kangen Mama kamu, jadi nggak bisa tidur."

Ayah saya adalah seorang pahlawan. Tak pernah ragu menolong yang kesusahan dan tak sedetik pun menunda membantu yang lemah. Meski tindakannya ini kerap membuat saya dan adik mengomel, karena kebaikannya sering disalahgunakan oleh orang lain. Sebagaimana selalu diucapkannya, "Biarin lah, kasihan..."

Ayah saya adalah seorang dokter. Dan ia menyembuhkan bukan dengan obat-obatan. Ia menyembuhkan dengan dering telepon yang rutin di malam hari dan sapaan yang menghangatkan seperti selimut tebal. Mendengar suaranya, saya selalu yakin, semua akan baik-baik saja. Sebagaimana selalu diucapkannya, "Jangan banyak pikiran, jangan kecape'an kerjanya. Udah makan belum? Udah mandi?"

Ayah saya adalah seorang penyair. Dua kalimat favoritnya adalah ‘I love you’ dan ‘take care’ yang kami pertukarkan nyaris setiap hari. Meski kalimat-kalimat itu tak dibubuhi embel-embel puitis lain, di telinga saya mereka laksana syair pujangga ulung.

Saya sangat beruntung.

Bukan karena memiliki seorang jagoan, pencinta, pahlawan, dokter, sekaligus penyair sebagai ayah, namun karena mengetahui, bahwa di dunia yang bisa gelap, keras dan menyakitkan ini, cintanya selalu ada.

Selamat ulang tahun, Papa. Saya sayang Papa. Sangat.

-----

Friday, July 24, 2009

Di Pihak Siapa?

Mari maju, maju, maju
Ke medan peperangan
Tiada waktu untuk santai

Mari maju, maju, maju
Ke tanah perjanjian
Puji nama-Nya dan rebut kemenangan

S’bab Tuhan ada di pihak kita
Kuasa-Nya selalu menolong kita
Maju, kemenangan bagi kita

Biarlah dunia 'kan melihat
Biarlah dunia 'kan mendengar
Biarlah dunia akan tahu
Bahwa Allah kita gagah perkasa

Gagah perkasa
Gagah perkasa


Lagu di atas pernah menjadi favorit saya beberapa tahun silam. Lagu yang selalu diiringi hentakan drum itu senantiasa berhasil memicu adrenalin dan membuat saya bersemangat. Saya meloncat-loncat tanpa jeda sepanjang lagu dinyanyikan (yang bisa diulang berkali-kali dari awal sampai akhir), berteriak sampai suara parau dan leher sakit, bertepuk tangan sekeras-kerasnya sampai telapak dan pergelangan saya memerah, dan berjingkrakan sampai tubuh terasa panas.

Hingga pada satu titik, saya tersadar.

Jika ada ‘kita’, berarti ada ‘mereka’.

Jika ada ‘Allah kita’, berarti ada ‘Allah mereka’.

Siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’? Apakah Tuhan lebih dari satu?

Jika Tuhan lebih dari satu dan mereka berperang, lantas siapa yang akan menang? Adakah Tuhan yang satu lebih kuat dari Tuhan lainnya?

Jika Tuhan hanya ada satu, lalu ‘kita’ dan ‘mereka’ berperang, lantas kepada siapa Ia berpihak?

Lantas, adakah gunanya dunia tahu Tuhan siapa lebih berkuasa atas Tuhan siapa? Adakah gunanya dunia sadar mana yang lebih kuat mana yang lebih lemah?

Dan apa yang dimaksud dengan kemenangan? Pihak yang satu menduduki pihak lainnya? Pihak yang satu berkuasa atas pihak lainnya? Lantas, apa yang akan dilakukan kepada pihak yang kalah?

Lagu itu pernah menjadi kesukaan saya, sampai saya mulai bertanya.

-----


*Hhh. Susah emang kalau punya bakat cari gara-gara. Berserah sih berserah, penasaran teteub, nanya-nanya jalan terusss.

**Cuma sebuah pemikiran iseng di Jum’at sore. Nggak usah ditanggap serius, tapi kalau ada yang berminat ngasih jawaban, monggo lho.

***Maaf nggak mencantumkan nama pencipta lagunya, karena saya nggak tahu siapa.

Saturday, June 20, 2009

Malaikat Kecil

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Saya pernah memandangnya dengan iba. Ayah-ibu saya sudah lama bercerai, dan saya bisa memahami rasanya tinggal bersama orangtua yang tak lagi lengkap. Ternyata saya salah. Orang bilang, perpisahan selalu berujung luka. Tidak bagi dia. Untuknya, perpisahan adalah sebuah awal baru. Dari keluarga besar yang dulu tidak dimilikinya. Dari kebahagiaan yang semakin bertambah seiring bergulirnya waktu. Dari seorang ayah dan seorang ibu, kini dia punya dua ayah dan dua ibu, seorang adik laki-laki, dua calon adik bayi yang belum ketahuan jenis kelaminnya, dan seekor kucing bernama Tjondro.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Senyumnya menerbitkan hangat di hati, layaknya mentari yang tak pernah jemu membagi sinar. Jika anak-anak seusianya sering malu bertemu orang baru, dia takkan segan mempertontonkan segala jenis keahlian, mulai dari bergoyang dombret, bernyanyi lagu Batak keras-keras, menggebuk drum di udara, sampai berjoget-joget lincah. Rambut kriwilnya tak pernah diam, sama seperti tubuhnya yang selalu bergerak kesana-kemari.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Rabu malam pukul sepuluh adalah saat yang selalu saya nantikan, karena malaikat kecil itu akan berjingkrak-jingkrak di depan pintu begitu mendengar suara mobil mendekati rumah. Dia akan menunggu dengan manis, lalu menyambut kami layaknya pahlawan pulang dari medan perang. Hangat, gembira, penuh kebahagiaan. Setelah itu, ia akan mengucapkan kalimat pendek yang selalu diulangnya: “Mbak Jenjus, peluk.” Dan saya akan mendekapnya erat sambil membaui rambutnya yang wangi.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Dia bercahaya, dan dia benderang. Kehangatan itu tak pernah habis untuk dibagi. Dia akan segera tumbuh dewasa, dan sinarnya akan berpijar semakin terang. Dia tak perlu mentari, karena dialah sang empunya surya. Sayap-sayapnya akan menjadi kuat dan mengepak. Dia akan membubung tinggi dan ketika saat itu tiba, saya berharap saya bisa mengantarnya sambil tersenyum lebar.

Malaikat kecil itu bernama Keenan.

Lihatlah dia di sana. Tertawa riang sekali.

Di bangku-bangku itu, empat orang tak lepas menatapinya dengan senyum bangga. Bukan cuma dua.

:-)


*Picture taken from Keenan’s Fan Page.

Thursday, June 11, 2009

A Ship That Never Sinks

Hari ini, saya masuk ke teras rumah mayanya, dan tersenyum membaca guratan terbarunya. Perlahan, airmata saya mengembang. Dan saya tertegun sendiri. Sejak kapan kebahagiaannya menjadi kebahagiaan saya, dan kesedihannya kesedihan saya? Sejak kapan tawanya menjelma menjadi tawa saya, dan lukanya luka saya?

Saya tak pernah tahu. Kami tak pernah sadar. Namun cinta telah memungkinkan segalanya. Dalam persahabatan yang terus tumbuh, jarak hati itu tak lagi ada, meski kami terpisah ruang dan waktu.

Tahun ini adalah tahun kesepuluh kami, dua sosok yang amat berbeda; yang seringkali membuat kami tertawa sendiri karena rentang yang terlampau mencolok justru mampu mengawetkan persahabatan selama satu dekade. Persahabatan yang tak terduga, setelah sekian banyak pertengkaran dan adu mulut yang seolah tiada habisnya. Persahabatan yang dulu kerap dipandang sebelah mata, karena kami tak ubahnya hitam dan putih digandengkan jadi satu.

Perbedaan itu nyata dalam segala hal: usia, warna kulit, selera, karakter, pembawaan. Satu-satunya kesamaan di antara kami barangkali hanya apresiasi terhadap keberadaan satu sama lain; sebuah ikrar tak tersurat yang tersimpan di hati masing-masing untuk saling menyayangi dan menerima apa adanya, meski kejujuran kadang bisa jadi hal paling menyakitkan di dunia.

Dia orang pertama yang hadir ketika Ibu saya meninggal bertahun-tahun silam. Dia menemani saya hampir setiap hari, menyisihkan waktu sepulang kantor dan menunda jam istirahat agar saya punya tempat menuangkan segala sedih dan lelah.

Dia satu-satunya orang yang berkata, “Apapun keputusan yang lo buat, gue bakal tetap jadi sahabat lo,” ketika kawan-kawan saya yang lain ‘gugur’ satu persatu karena tak bisa menerima pilihan saya yang berseberangan dengan keyakinan mereka.

Dia satu dari sedikit sahabat yang saya percayai untuk mendengar segala rahasia yang tak berani saya bagi kepada dunia. Bukan karena petuah sakti maupun wejangan berharganya, namun semata karena ia pendengar yang baik. Dan saya tahu, kepercayaan saya terjaga aman dalam tangannya, begitu pula sebaliknya.

Dia orang pertama yang menerima SMS saya dalam begitu banyak hal, mulai dari tebakan tak penting, lelucon garing, celoteh absurd, diskusi serius, sampai curhat patah hati. Meski saya tak selalu menjawab telepon-teleponnya, nomornya selalu berada di urutan teratas daftar prioritas –berjajar dengan keluarga saya— untuk dihubungi kembali segera setelah saya punya waktu.

Dan dia satu dari sangat sedikit orang yang betul-betul tahu luar dan dalamnya seorang Jenny Jusuf. Bukan karena persahabatan yang terjalin selama satu dekade, melainkan karena keterbukaan untuk saling menerima apa adanya telah memberi ruang yang cukup bagi terciptanya kebebasan dan rasa nyaman.

Kami tak perlu tahu segalanya tentang satu sama lain. Ranah privat itu tak perlu dipangkas. Saling menyayangi tidak lantas menjadi alasan untuk menghakimi dan menjajah area paling pribadi yang sama-sama kami miliki. Pada akhirnya, rasa sayang itu tak lagi mengenal kata 'karena', karena tak ada syarat di sana. Dari sanalah persahabatan ini tumbuh. Dari dermaga itulah perahu mungil ini meluncur.

Kini, saat angka itu genap sepuluh, begitu banyak hal telah kami lalui bersama. Hidup membawa kami menempuh jalur masing-masing, dan sebelas digit nomor telepon adalah satu-satunya penghubung kami sekarang. Kendati terbatas, jalur itu tak pernah tertutup. Kendati terpisah, senyum dan cerita itu tak pernah habis untuk dibagi. Dengan cinta, Jakarta-Batam tak terlampau jauh untuk diseberangi.

Persahabatan adalah perahu yang tak pernah tenggelam. Saya tak tahu apakah itu benar. Tapi satu hal yang saya tahu pasti, dari berjuta perahu bernama persahabatan yang ada di dunia, milik kami masih tetap mengapung hingga hari ini. Dan saya mensyukuri setiap detiknya.

Congratulations, Ine. To you. To us. I am so proud.


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Tuesday, April 14, 2009

Catatan Kecil Buat Tuhan

Terima kasih untuk selalu menjadi tempat berpulang saat saya mendamba kehangatan rumah.

Terima kasih untuk senantiasa menjadi sauh saat kapal kecil ini kehilangan haluan.

Terima kasih untuk cinta tanpa syarat yang tidak pernah menuntut balasan.

Terima kasih karena selalu ada. Di dalam sini.

Dan yang terpenting, terima kasih untuk selalu mengingatkan, lagi dan lagi, mengapa saya jatuh cinta kepadaMu.

Ya. Sampai detik ini, saya masih jatuh cinta. :-)


You feel that you are lonely
It doesn’t prove that you are alone
You feel that nobody wants you
It doesn’t mean that no one cares about you

Listen to the word I say
That I will always be by your side
You mean everything to Me
And I will never leave you
‘Cause I love you so

You think that you are nothing
But for Me you are something beautiful
You think that you can’t do anything
But you can do a lot of things with Me

Listen to the word I say
That I will always be by your side
You mean everything to Me
And I will never leave you
‘Cause I love you so

No more fear about the future
And blame for the past
I’ll give everything
W
hen I say that I love you

When I say that I love you
I really do.

(When I Say That I Love You – Franky Sihombing)


*Inspired by this song, and this.

**Thanks to Franky Sihombing, jenius pencipta lagu-lagu di atas. Lo emang juaranya, Bang!
:-)

***Gambar masih dari www.sxc.hu.

Friday, April 3, 2009

Bahagia Versi Saya

...adalah ketika saya melihat hidup saya, diri saya, apa adanya, dan menyadari tidak ada sesuatu pun yang ingin saya ubah.

Hidup tidak selalu indah. Tapi ia sempurna. Dan untuk itu, kata yang paling pas barangkali hanya "Terima kasih".

Sungguh, Tuhan. Tidak ada yang lain.

.....

Well, setidaknya untuk saat ini. ;-)



*Gambar dipinjam dari www.sxc.hu.

Monday, February 9, 2009

Bertolak ke Mendut

Saya tidak pernah tahu secara spesifik apa yang membuat saya menamai anak pertama saya Vajra. Sebelum kata itu muncul dan menimbulkan kesan mendalam, saya sudah punya beberapa alternatif judul, antara lain ‘Fireworks’ dan ‘2016’. Keduanya adalah judul cerpen yang terdapat di dalam buku, yang kalau dipikir-pikir, sebenarnya lebih pas dan ‘gaul’ (baca: menjual) ketimbang Vajra.

Vajra saya temukan dalam salah satu entri di blog ibu ini, kurang lebih dua tahun yang lalu. Saya rajin membaca blog tersebut karena menyukai karya-karya beliau dalam Filosofi Kopi, kendati setiap kali menemukan entri bermuatan spiritual saya hanya sanggup mencerna separuh-separuh, dan sisanya membatin, “Opo tho, ‘ki?”

Lepas dari ceteknya pengetahuan saya tentang meditasi, spiritualitas dan segala macamnya, Vajra yang dituliskan lengkap dengan maknanya berhasil memikat saya, sampai kata itu terekam berhari-hari di otak. Akhirnya, saya menggunakannya sebagai judul dan bersiap-siap seandainya ditolak penerbit, atau diganti judul lain. Ternyata, naskah tersebut diterima, sejudul-judulnya, dan setahun kemudian kumpulan cerpen saya terbit.

Saya, yang waktu itu sudah mulai tertarik pada hal-hal spiritual (spiritual ya, bukan klenik), lantas nekat mengirim e-mail kepada ibu ini untuk bertanya tentang meditasi. Bukan jawaban singkat yang saya terima, melainkan balasan yang cukup panjang ...beserta brosur retreat meditasi intensif selama tiga hari di Mendut, Jawa Tengah.

Ohmaigod.

Saya masih ingat desir-desir yang timbul di perut ketika menerima e-mail tersebut. Antara kegirangan mendapat balasan dari penulis favorit (serasa balik ke jaman SD waktu surat saya dibalas oleh Bertrand Antolin, meski isinya cuma fotokopian biodata ;-P), bersemangat menyimak penjelasan tentang meditasi, sekaligus jiper berat membaca keterangan di dalam brosur.

Sumpah, buat saya, isi brosur itu sangat menakutkan. Terutama bagian ini: “Selama program meditasi berlangsung, peserta tidak dibenarkan berbicara atau berkomunikasi dengan bahasa isyarat dengan sesama peserta, mem­baca, menulis, melihat arloji/jam, menelepon/menerima telepon, dan sebagainya.

Tiga hari tanpa komunikasi, tidak boleh membaca, menulis, bahkan melirik jam? Bunuh aja saya. Setelah membaca sampai habis, saya langsung menyimpulkan bahwa retreat ini sama sekali tidak cocok untuk saya. Namun saya tetap menyimpan si brosur di komputer, tidak sampai hati mendeletenya. Bo, mau ketemu untuk minta tanda tangan aja susahnya setengah mampus, e-mail dan brosurnya pun jadilah, untuk kenang-kenangan. Brosur tersebut saya simpan rapi dalam sebuah folder, dan tidak pernah saya buka lagi.

Siapa sangka, dua tahun kemudian, saya benar-benar bertemu dengan ibu ini dan menjadi asistennya. Hidup memang mirip komedi. Lucunya, beberapa bulan sebelum perjumpaan pertama kami, saya tergelitik untuk kembali mencari informasi tentang meditasi dan bertanya-tanya pada seorang teman yang mendalaminya. Sayang, informasi yang saya dapatkan tidak detil, mungkin karena ia juga baru belajar. Saya mencoba menjelajah dunia maya, tapi malah jadi ilfeel melihat banyaknya informasi yang simpang siur. Saya pun menjajal meditasi dengan mengandalkan feeling, yang hasilnya kira-kira sebanding dengan belajar bikin kue tanpa resep. Acak-acakan, dan saya lebih sering ketiduran ketimbang bermeditasi – tapi setidaknya saya sudah mencoba.

Lalu, setelah bertemu dengan ibu ini dan (calon) suaminya, saya mulai rajin mengikuti meditasi yang diadakan seminggu sekali oleh institusi ini. Saya seperti anak kecil bertemu mainan baru; dengan penuh semangat mengeksplorasi berbagai teknik meditasi yang selalu berbeda-beda setiap minggu. Kami menyebut sesi meditasi mingguan ini sebagai ‘Arisan Rabu’, atau ‘Sekte Rabu’.

Sekian bulan mendalami meditasi (sekali seminggu selama dua jam, disertai latihan-latihan sederhana di rumah), saya mulai merasakan ‘kebutuhan’ untuk mengikuti retreat meditasi intensif. Kebutuhan apa tepatnya, saya tidak tahu. Saya hanya merasa perlu pergi. Meskipun masih jiper lantaran peristiwa traumatis dua tahun silam *superlebay*, saya mulai berani membayangkan, seperti apa kira-kira rasanya berada di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, tanpa sarana komunikasi, tanpa menjalankan aktivitas lain – hanya bermeditasi selama berhari-hari.

Pada saat yang sama, bapak ini mengumumkan akan mengadakan retreat meditasi intensif di Ubud selama empat hari. Selain excited karena belum pernah mengunjungi Pulau Dewata, saya langsung merasa ini waktu yang paling ‘pas’ untuk saya.

*Okay, jangan ada yang berani bilang: “Hah, belum pernah ke Bali?! Kasian amat!” ;-D*

Namun, setelah mengkalkulasi, saya mendapati bahwa retreat di Ubud bukan pilihan yang tepat, kendati waktunya pas. Tabungan saya memang mencukupi, tapi saya tidak berani mengambil resiko jadi fakir miskin sepulangnya dari sana. Jadilah saya memutar otak dengan sia-sia dan berkhayal, seandainya ada retreat meditasi intensif di tempat yang lebih bersahabat, dan perginya nggak perlu pakai pesawat. Saya tidak keberatan dengan akomodasi ala hostel dan makanan seadanya, selama ramah kantong. Benar-benar mentalitas backpacker.

Pucuk dicinta, ulam tiba (ada yang bisa memberitahu kenapa harus ‘pucuk’ dan ‘ulam’?). Suatu pagi, saya bangun dengan malas-malasan, menyalakan komputer, dan mengakses internet. Sebuah e-mail nangkring dengan manisnya di baris teratas kotak masuk. E-mail tersebut berasal dari milis Meditasi Mengenal Diri yang saya ikuti, berisi pengumuman tentang retreat meditasi intensif yang akan diadakan selama tiga hari di Mendut, tanggal enam sampai delapan Februari. Ya, retreat yang sama, yang brosurnya pernah saya terima dua tahun lalu.

Saya membaca pengumuman singkat itu berkali-kali sambil melongo. Pertama, karena selama ini saya telah menjadi anggota milis tersebut tanpa ngeh bahwa brosur lawas yang tidak pernah mau saya buka itu berasal dari institusi yang sama. Kemana saja saya selama ini? Planet Mars? Kedua, karena keinginan saya benar-benar menjadi kenyataan. Timing yang tepat, jarak tempuh yang bersahabat, perginya nggak perlu pakai pesawat, dan sudah pasti ramah kantong karena diadakan di sebuah vihara.

*Nooow, jangan ada yang tanya, “Vihara?! Emang agama lo sekarang apa, sih?” Tolong jauhkan dulu yang satu itu. Saya tidak berminat pindah agama, lagipula retreat meditasi ini bersifat lintas agama. Save the ‘nyinyir’ tone for yourself, please.*

Siang itu juga, saya menelepon ibu ini. Apalagi kalau bukan minta ijin ‘cuti’, karena meski pekerjaan saya sekarang jauh lebih fleksibel dari segi waktu, retreat meditasi selama tiga hari akan mengharuskan saya berpisah dari segala bentuk alat komunikasi seperti handphone, komputer, internet, dan e-mail, sedangkan keempat hal itu mutlak saya perlukan untuk bekerja.

Saya mendapat ijin dengan sangat mudah dan cepat. Seriously, ini bukan menjilat karena saya tahu ia akan membaca entri ini, ya. Moral of the story: carilah pekerjaan yang boss-nya punya minat serupa dengan kita dan tidak saklek tentang jam kerja. Dijamin minta cutinya jauh lebih gampang.

*Dan semua orang beramai-ramai mengejar saya sambil bawa batu dan teriak, “NGOMONG MAH ENAK, NYEEET!”*

:-D

Setelah mendapatkan tiket, tanggal lima sore saya berangkat ke Jawa dengan bis. Tiba pukul setengah enam pagi di Jombor, Yogyakarta, dan langsung mencari warnet duapuluh empat jam untuk facebook-ing dan yahoo-ing beristirahat sambil menunggu warung pinggir jalan dibuka.

Saya hanya menghabiskan beberapa jam di Yogya. Pukul setengah sebelas, saya berangkat ke Vihara Mendut dan sukses menjadi peserta yang datang paling awal. Saya hanya bengong melihat bangsal yang sudah disekat menjadi bilik-bilik kecil –tempat para peserta tidur— kosong tanpa satu orang pun, karena awalnya saya mengira akan langsung berjumpa dengan peserta-peserta lain.

Setelah mandi dan mengisi perut, saya berkeliling Vihara, mengitari apa saja yang menarik perhatian sampai kaki lelah. Akhirnya, saya memutuskan untuk beristirahat. Ketika memasuki bilik dan merebahkan tubuh di matras berseprai cokelat polos, mendadak saya merasakan kedamaian yang menenangkan. Atmosfir vihara itu memang sangat nyaman.

Saya tidak mudah tidur di tempat baru, selelah apa pun tubuh saya. Namun, di sana, saya segera terlelap beberapa menit setelah kepala menyentuh bantal. Saya masih ingat, di saat-saat terakhir menjelang ‘take-off’, saya menaruh kedua telapak tangan di atas perut dan tersenyum lebar sambil memejamkan mata. Agak mirip orang sinting memang, tapi rasanya saya mulai tahu, untuk apa saya berada di sini.


(Bersambung ke episode selanjutnya minggu depan ‘Merunut Langkah di Mendut’)

Monday, December 29, 2008

Joker


Sebut saya ketinggalan jaman karena baru menonton ‘The Dark Knight’ saat orang-orang sudah hafal ceritanya dan mengoleksi DVD bajakannya.

Sebut saya aneh karena meski Batman dicanangkan sebagai tokoh utama, buat saya Joker adalah juaranya. Lepas dari ia diperankan seorang aktor yang mati overdosis sebelum sempat menyaksikan penampilan terbaiknya diputar di bioskop. Lepas dari kejeniusan Christopher Nolan. Dan lepas dari betapa kurang gantengnya si pemeran Bruce Wayne.

Sebut saya anomali karena menganggap Joker lebih dari sekadar penjahat psikopat di film-film superhero made-in Hollywood, yang membuat saya berhenti menonton Superman dan Spiderman sejak lama. Joker lebih dari itu. Dia penjahat yang pantas diacungi dua jempol. Empat, dengan jempol kaki.

Sebut saya sinting, karena seandainya Joker betul-betul ada di kehidupan nyata, saya akan menjabat tangannya erat-erat sambil bilang, “Senang bertemu Anda,” meski sehabis itu saya terkencing-kencing di celana dan mimpi buruk selama seminggu.

Sebut saya gila, karena berjam-jam setelah film itu usai, kalimat-kalimat Joker tidak sudi lepas dari otak saya, dan entah bagaimana, buat saya sekarang, dialah pahlawannya.