Semua penulis yang sudah menerbitkan buku –atau bercita-cita menerbitkan buku— pasti tidak asing dengan kata ‘
endorsement’, kecuali dia tinggal di ujung dunia. Beberapa tahun lalu, sebelum kata ini sering digunakan, istilah yang familiar di telinga kita adalah ‘
paperback comment’.
Selain memberi nilai tambah bagi sebuah karya,
endorsement dari seseorang yang ‘sudah punya nama’ –apalagi yang termasuk kategori ‘Penulis Dewa’— sanggup membuat orang tergoda membeli, atau minimal, mengundang rasa penasaran terhadap buku yang bersangkutan. Siapa yang tidak tertarik mengambil buku yang sampul depannya memuat
endorsement dari
Andrea Hirata atau
Dewi Lestari? Siapa penikmat novel remaja yang tidak terpancing mengambil
teenlit yang memajang
endorsement dari
Sitta Karina? Siapa penyuka cerita komedi yang tidak tertarik dengan buku yang di-
endorse oleh
Raditya Dika?
Sebagai orang yang sudah menerbitkan buku, saya tahu rasanya mengirim naskah kepada penulis-penulis senior; memohon kesediaan mereka untuk memberi sepatah-dua patah kata bagi ‘calon anak’ saya, berharap-harap cemas menanti hasilnya, dan sebagainya. Di sisi lain, sebagai orang yang pernah menjadi
endorser untuk beberapa buku –serta menjadi ‘perantara’ bagi mereka yang ingin mendapatkan
endorsement dari
Ibu ini— saya juga berkesempatan membaca berbagai naskah dengan genre dan penulisan yang sangat bervariasi.
Menerima dan membaca naskah merupakan kegiatan yang menarik, namun tak selalu menyenangkan. Ada kalanya saya mendapatkan ‘naskah emas’ yang memikat perhatian. Saya sanggup
begadang semalam suntuk dan melewatkan jam makan hanya untuk menamatkan naskah tersebut. Saya pernah membaca naskah yang sama sebanyak tiga kali dalam sebulan karena jatuh cinta dengan isi dan cara penulisannya. Namun tidak jarang pula saya menerima naskah yang membuat kening berkerut-kerut saking standarnya, saking mentahnya, atau saking
absurd-nya. Jenis naskah yang terakhir ini biasanya membuat saya menarik napas panjang sambil membatin, “
Duh bo... plis deh,” sebelum menutupnya tanpa menamatkan bab pertama.
Kedengaran belagu? Mungkin, tapi memang itu yang terjadi.
Selain konten, ada hal-hal lain yang memicu keengganan saya untuk membaca sebuah naskah sampai tamat (boro-boro mengomentari, kalau membaca aja nggak selesai). Kemalasan adalah salah satunya. Sisanya adalah beberapa faktor eksternal yang akan saya uraikan di bawah ini.
Apa yang saya tuliskan di sini adalah hasil dari pengamatan pribadi dan bertukar pikiran dengan sesama rekan penulis –maupun figur publik— yang pernah menjadi
endorser untuk sebuah buku. Mudah-mudahan bisa bermanfaat. :-)
Tips pertama: pastikan naskah yang kamu kirim ke
endorser sudah diterima terlebih dahulu oleh penerbit. Menggunakan
endorsement untuk ‘menjual’ naskah ke penerbit memang bukan sesuatu yang salah, namun ini bisa jadi sesuatu yang menyebalkan bagi
endorser. Pertama, karena tidak adanya kepastian terbit. Kedua, ada waktu dan energi yang harus diluangkan oleh
endorser untuk membaca dan mengomentari karya kamu. Ketidakpastian tersebut akan membuat usaha yang dilakukan
endorser tampak sia-sia.
Kedua, yakinlah bahwa ketika karya kamu diterima oleh penerbit, karya tersebut memiliki ‘kekuatan’ dan nilai plus yang menjadikannya layak terbit. Pahami juga bahwa setiap penulis mempunyai ciri khas dan kelebihan masing-masing. Karena itu, miliki rasa percaya diri dan hindari mencantumkan kalimat-kalimat berikut dalam permohonan
endorsement kamu: “Saya tahu tulisan saya tidak sebagus Mbak…”, “Memang tulisan ini tidak sebanding dengan karya Mbak…”, dan sebagainya. Saya tidak tahu dengan penulis lain, namun permohonan
endorsement semacam ini membuat saya kehilangan minat untuk membaca naskah. Jika
endorser yang bersangkutan merasa cocok dengan karyamu, ia akan memberikan
endorsement dengan senang hati. Tanpa kamu perlu ‘merendah’.
Ketiga, jangan mengirimkan naskah dengan tenggat waktu yang terlalu sempit. Dua minggu sampai satu bulan adalah tenggat yang cukup ideal bagi
endorser untuk membaca dan mengomentari calon bukumu, apalagi jika kamu mengirim naskah kepada ‘Penulis Dewa’ yang punya segudang kesibukan. Sadari bahwa mereka memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada membaca naskahmu.
And for the love of God, jangan donder. Saya pernah menerima
draft dari seseorang yang mengirimkan
e-mail dua hari sekali untuk menanyakan apakah
draft tersebut sudah dibaca. Kali ketiga ia mengirim
e-mail, saya tidak lagi membalasnya.
It’s just annoying. Saya hanya tersenyum masam mendengar alasan yang diajukannya: “Minggu depan sudah mau naik cetak, Mbak.” Sebagai orang yang pernah menerbitkan buku, saya tahu ada tenggat waktu yang cukup panjang dari diterimanya naskah oleh penerbit, proses produksi (
editing, lay-outing, desain
cover, dsb), sampai naik cetak. Keseluruhan proses tersebut bisa makan waktu 3 sampai 5 bulan.
Kemane aje lo, baru ngirim draft
seminggu terakhir?
Keempat, kirimlah naskah yang sudah ‘matang’, dalam arti sudah melalui proses
editing setidaknya satu kali. Selain memudahkan
endorser untuk menilai naskah tersebut secara keseluruhan, tindakan ini menunjukkan bahwa kamu menghargai
endorser. Kesalahan ketik dan kesalahan tata bahasa adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi, dan saya rasa
endorser tidak akan mempermasalahkan hal ini. Namun isi naskah yang masih ‘mentah’ dan kasar akan sangat mengganggu untuk dibaca. Tunjukkan bahwa kamu menghargai
endorser yang sudah bersedia meluangkan waktu dan energi untuk membaca naskahmu.
Kelima, gunakan
font yang nyaman dibaca dan spasi yang tidak melelahkan mata. Hal ini juga bisa diterapkan untuk mengirim naskah ke penerbit. Saya pernah menerima naskah yang ditulis dengan
font Arial Narrow dan spasi
single yang panjangnya lebih dari 400 halaman. Saya berusaha membacanya sebanyak tiga kali dan akhirnya menyerah sebelum menyelesaikan bab pertama.
Keenam, kirimkan naskahmu kepada orang yang tepat. Jangan mengirimkan naskah novel pop kepada penulis cerita komedi. Jangan mengirimkan naskah kumpulan blog remaja kepada penulis fiksi ilmiah. Dan demi Tuhan, jangan mengirimkan naskah cerita horor murahan atau drama-komedi berbau seks kepada siapa pun. Kasihanilah kami.
Last but not least, berbesar hatilah jika naskahmu ditolak oleh calon
endorser. Tidak usah
ngambek. Tidak perlu membujuk calon
endorser untuk mempertimbangkan ulang keputusannya dengan berkali-kali menghubunginya. Mereka tentu memiliki pertimbangan tersendiri untuk memberikan (atau tidak memberikan)
endorsement.
It’s nothing personal. Naskah saya pernah ditolak oleh beberapa penulis. Saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang mereka berikan untuk membaca dan membalas
e-mail saya, lalu mencari penulis lain yang bersedia meng-
endorse buku saya. Sesederhana itu.
Sekarang, izinkan saya menghancurkan secercah harapan yang kamu miliki. Tips-tips di atas tidak menjamin kamu akan memperoleh
endorsement sesuai harapan, bahkan tidak menjamin naskahmu akan dibaca oleh calon
endorser.
Tips-tips tersebut hanya bentuk lain dari
uneg-uneg yang saya (dan beberapa rekan penulis) miliki dari pengalaman menerima dan membaca naskah yang dikirimkan kepada kami. Sama seperti perjuangan untuk menerbitkan buku, ada banyak hal yang menentukan keberhasilan seseorang dalam mendapatkan
endorsement – salah satunya keberuntungan. Saran yang bisa saya berikan adalah: lakukan yang terbaik yang kamu bisa, silangkan jari-jarimu, dan berharaplah keberuntungan ada di pihakmu. Kalaupun tidak,
well, akan selalu ada kesempatan lain, selama kamu terus menulis. ;-)
Selamat berburu
endorsement!
-----