Thursday, August 27, 2009

Cambuk

Dalam perjalanan, aku melihat seorang lelaki menyeret keluar sesosok makhluk dari dalam kandang. Keempat kakinya dirantai, sehingga pendek-pendek langkahnya. Makhluk itu besar dan tampak kuat, namun sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Darah merembes dan mengering di bulu-bulunya, menciptakan duri-duri kecil yang lengket.

Aku tidak berani mendekat. Dia tampak menyedihkan. Luka-lukanya seperti tidak pernah diberi kesempatan untuk sembuh. Makhluk itu memandangku, menyadari kehadiranku. Aku mendapati diriku mundur selangkah dan mengambil ancang-ancang untuk lari. Namun ia hanya memandangiku sesaat, sebelum meraung keras.

Aku terkesiap. Belum lagi hilang kagetku, setitik darah jatuh di punggung tanganku. Lelaki itu baru saja menciptakan luka baru di tubuhnya. Cambuk itu kini bernoda darah.

Aku gemetar. Cambuk apa yang bisa melukai separah itu?

“Hentikan.” Susah payah aku bicara.

Lelaki itu bahkan tidak menoleh. “Dia harus dihukum. Dia telah gagal.”

Cambuk kembali mendarat dengan bunyi ‘plak’ keras. Bulu romaku bangkit ketika makhluk itu kembali meraung.

“Kau menyiksanya!” Aku memekik.

“Tidak,” lelaki itu menjawab tenang, “Aku melatihnya. Setiap cambukan mengajarinya sesuatu. Setiap cambukan membuatnya bertambah kuat. Setiap cambukan akan membuatnya berterima kasih padaku kelak.”

Ia pasti melihat kedua tanganku mengepal, karena ia memberiku isyarat untuk mendekat.
“Kemari dan lihatlah sendiri. Dia bertambah kuat.”

Aku menggerakkan kakiku yang gemetar. Menghampiri makhluk yang kini berdiri tidak bergerak. Mengamati darah yang menetes-netes dari luka barunya.

Si lelaki mengacungkan cambuknya, menunjuk garis merah tua di punggung makhluk itu. Bilur yang baru akan sembuh.

“Setiap luka menciptakan parut tebal yang melindungi dirinya dari serangan badai, cuaca dingin, sengatan matahari, dan cakar makhluk lain. Kau lihat, aku melakukan yang terbaik untuknya.”

“Kau gila.”

“Tidak,” lelaki itu tersenyum menatapku, “Aku tahu yang kulakukan. Mungkin kau harus belajar dariku, Anak Muda.”

Aku tidak mengindahkan kata-katanya. Kutelusuri bulu-bulu kasar makhluk itu dengan telapak tangan. Kusentuh darah lengket yang menyatukan bulu-bulunya, merasakan cairan hangat yang amis mengalir melalui jari-jariku.

Aku bergerak maju. Mendekati kepala makhluk itu. Ia bergeming. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat. Mata kami bertemu.

Aku terhenyak.

Aku menjerit.

Aku meraung.

Kesadaranku lumpuh. Tungkai kakiku kehilangan kemampuan menopang. Aku terbanting ke tanah. Debu beterbangan. Sakit yang hebat menderaku sampai ke sum-sum.

Aku mengerang.

Aku meronta.

Aku merintih.

Hewan itu bergeming.

Ia tidak melakukan apa pun. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat.

Ketika pandangan kami bertemu, ketika matanya menyambut mataku, aku tahu,

Akulah makhluk itu.

*****

Maafkan saya, Jenny, atas penderitaan yang saya timbulkan karena menuntutmu untuk

sempurna
cerdas
bijaksana
terstruktur
manis
berbakti
mendedikasikan hidup
tunduk
taat
patuh
normal
menjadi 'baik-baik saja'
berpasangan di usia sekian
memiliki kondisi hidup tertentu
memiliki suasana hati tertentu
memiliki sekian rupiah
menyenangkan orang lain
bersimpati pada penderitaan orang
bersukacita atas kebahagiaan orang
bertahan pada satu titik spiritual
terus mengalami peningkatan
terus menulis
kreatif
eksis/dikenal
sehat
dicintai
diprioritaskan
diterima
dihargai
menjaga perasaan orang
setia pada norma sosial
jadi juara
meneladani orang lain
meredam emosi
bertindak hati-hati
meyakini sesuatu
setia
berperforma maksimal
bekerja keras
memiliki keluarga ‘normal’
menjadi sama dengan orang lain
meraih mimpi
menguasai konsep spiritual tertentu
berbuat baik
beramal
tersenyum
tertawa
berbasa-basi
merasa aman
percaya diri
teratur
bersih
rapi
mendapat pencerahan
merasa lega
merasa nyaman
berhemat
diperhatikan
diperlakukan istimewa
diberi
dipuji
diperlakukan baik
menolong
menyelamatkan
bertanggung jawab
berbuat sesuatu demi orang lain
tidak merepotkan orang lain
tidak mengatakan ‘tidak’
mencapai target
tidak melekat dengan apa pun
berwawasan luas
bersosialisasi
berdisiplin
bahagia
benar
dewasa
bersikap sopan
menjaga sikap
berlaku adil
berkorban
menyukai orang lain
melepas ekspektasi
menemukan jalan keluar
memecahkan masalah
sembuh
lebih banyak memberi
mencapai sesuatu
berhasil/sukses
kuat
tidak menangis
produktif
rajin
tekun
pantang menyerah
bebas konflik batin
bebas masalah
meringankan beban orang lain
menerima apa adanya
bertumbuh
mencari nafkah
memiliki status sosial tertentu
ikhlas
pasrah
menjadi anak yang dibanggakan
menjadi kakak teladan
menjadi teman yang baik
menjadi pekerja yang budiman
menjadi penulis yang menginspirasi
menemukan cinta
memiliki semangat
membalas budi
menjalani rutinitas
memprioritaskan orang lain
sependapat
stabil
bertenggang rasa
menepati janji
tidak berubah
konsisten
sembuh
waras
masuk akal

...dan banyak lagi.

Maaf atas segala luka yang saya timbulkan ketika saya mengharuskanmu menjadi seperti yang saya inginkan. Maafkan saya karena telah menderamu. Maafkan saya karena berpikir tahu yang terbaik bagimu, sedang kamu sudah begitu lama kesakitan.

Maafkan saya karena tidak menghapus airmatamu saat kamu mengaduh dan mengeluh. Maaf atas segala persyaratan yang saya tetapkan hanya untuk bisa menerimamu. Maaf karena telah mencintaimu dengan segudang harap dan pinta.

Beri saya kesempatan untuk mencintaimu lagi. Kali ini apa adanya.

Dengan penuh cinta,



Dirimu Sendiri

-----

Monday, August 24, 2009

Tips Mengirim Naskah ke Endorser

Semua penulis yang sudah menerbitkan buku –atau bercita-cita menerbitkan buku— pasti tidak asing dengan kata ‘endorsement’, kecuali dia tinggal di ujung dunia. Beberapa tahun lalu, sebelum kata ini sering digunakan, istilah yang familiar di telinga kita adalah ‘paperback comment’.

Selain memberi nilai tambah bagi sebuah karya, endorsement dari seseorang yang ‘sudah punya nama’ –apalagi yang termasuk kategori ‘Penulis Dewa’— sanggup membuat orang tergoda membeli, atau minimal, mengundang rasa penasaran terhadap buku yang bersangkutan. Siapa yang tidak tertarik mengambil buku yang sampul depannya memuat endorsement dari Andrea Hirata atau Dewi Lestari? Siapa penikmat novel remaja yang tidak terpancing mengambil teenlit yang memajang endorsement dari Sitta Karina? Siapa penyuka cerita komedi yang tidak tertarik dengan buku yang di-endorse oleh Raditya Dika?

Sebagai orang yang sudah menerbitkan buku, saya tahu rasanya mengirim naskah kepada penulis-penulis senior; memohon kesediaan mereka untuk memberi sepatah-dua patah kata bagi ‘calon anak’ saya, berharap-harap cemas menanti hasilnya, dan sebagainya. Di sisi lain, sebagai orang yang pernah menjadi endorser untuk beberapa buku –serta menjadi ‘perantara’ bagi mereka yang ingin mendapatkan endorsement dari Ibu ini— saya juga berkesempatan membaca berbagai naskah dengan genre dan penulisan yang sangat bervariasi.

Menerima dan membaca naskah merupakan kegiatan yang menarik, namun tak selalu menyenangkan. Ada kalanya saya mendapatkan ‘naskah emas’ yang memikat perhatian. Saya sanggup begadang semalam suntuk dan melewatkan jam makan hanya untuk menamatkan naskah tersebut. Saya pernah membaca naskah yang sama sebanyak tiga kali dalam sebulan karena jatuh cinta dengan isi dan cara penulisannya. Namun tidak jarang pula saya menerima naskah yang membuat kening berkerut-kerut saking standarnya, saking mentahnya, atau saking absurd-nya. Jenis naskah yang terakhir ini biasanya membuat saya menarik napas panjang sambil membatin, “Duh bo... plis deh,” sebelum menutupnya tanpa menamatkan bab pertama.

Kedengaran belagu? Mungkin, tapi memang itu yang terjadi.

Selain konten, ada hal-hal lain yang memicu keengganan saya untuk membaca sebuah naskah sampai tamat (boro-boro mengomentari, kalau membaca aja nggak selesai). Kemalasan adalah salah satunya. Sisanya adalah beberapa faktor eksternal yang akan saya uraikan di bawah ini.
Apa yang saya tuliskan di sini adalah hasil dari pengamatan pribadi dan bertukar pikiran dengan sesama rekan penulis –maupun figur publik— yang pernah menjadi endorser untuk sebuah buku. Mudah-mudahan bisa bermanfaat. :-)

Tips pertama: pastikan naskah yang kamu kirim ke endorser sudah diterima terlebih dahulu oleh penerbit. Menggunakan endorsement untuk ‘menjual’ naskah ke penerbit memang bukan sesuatu yang salah, namun ini bisa jadi sesuatu yang menyebalkan bagi endorser. Pertama, karena tidak adanya kepastian terbit. Kedua, ada waktu dan energi yang harus diluangkan oleh endorser untuk membaca dan mengomentari karya kamu. Ketidakpastian tersebut akan membuat usaha yang dilakukan endorser tampak sia-sia.

Kedua, yakinlah bahwa ketika karya kamu diterima oleh penerbit, karya tersebut memiliki ‘kekuatan’ dan nilai plus yang menjadikannya layak terbit. Pahami juga bahwa setiap penulis mempunyai ciri khas dan kelebihan masing-masing. Karena itu, miliki rasa percaya diri dan hindari mencantumkan kalimat-kalimat berikut dalam permohonan endorsement kamu: “Saya tahu tulisan saya tidak sebagus Mbak…”, “Memang tulisan ini tidak sebanding dengan karya Mbak…”, dan sebagainya. Saya tidak tahu dengan penulis lain, namun permohonan endorsement semacam ini membuat saya kehilangan minat untuk membaca naskah. Jika endorser yang bersangkutan merasa cocok dengan karyamu, ia akan memberikan endorsement dengan senang hati. Tanpa kamu perlu ‘merendah’.

Ketiga, jangan mengirimkan naskah dengan tenggat waktu yang terlalu sempit. Dua minggu sampai satu bulan adalah tenggat yang cukup ideal bagi endorser untuk membaca dan mengomentari calon bukumu, apalagi jika kamu mengirim naskah kepada ‘Penulis Dewa’ yang punya segudang kesibukan. Sadari bahwa mereka memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada membaca naskahmu. And for the love of God, jangan donder. Saya pernah menerima draft dari seseorang yang mengirimkan e-mail dua hari sekali untuk menanyakan apakah draft tersebut sudah dibaca. Kali ketiga ia mengirim e-mail, saya tidak lagi membalasnya. It’s just annoying. Saya hanya tersenyum masam mendengar alasan yang diajukannya: “Minggu depan sudah mau naik cetak, Mbak.” Sebagai orang yang pernah menerbitkan buku, saya tahu ada tenggat waktu yang cukup panjang dari diterimanya naskah oleh penerbit, proses produksi (editing, lay-outing, desain cover, dsb), sampai naik cetak. Keseluruhan proses tersebut bisa makan waktu 3 sampai 5 bulan. Kemane aje lo, baru ngirim draft seminggu terakhir?

Keempat, kirimlah naskah yang sudah ‘matang’, dalam arti sudah melalui proses editing setidaknya satu kali. Selain memudahkan endorser untuk menilai naskah tersebut secara keseluruhan, tindakan ini menunjukkan bahwa kamu menghargai endorser. Kesalahan ketik dan kesalahan tata bahasa adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi, dan saya rasa endorser tidak akan mempermasalahkan hal ini. Namun isi naskah yang masih ‘mentah’ dan kasar akan sangat mengganggu untuk dibaca. Tunjukkan bahwa kamu menghargai endorser yang sudah bersedia meluangkan waktu dan energi untuk membaca naskahmu.

Kelima, gunakan font yang nyaman dibaca dan spasi yang tidak melelahkan mata. Hal ini juga bisa diterapkan untuk mengirim naskah ke penerbit. Saya pernah menerima naskah yang ditulis dengan font Arial Narrow dan spasi single yang panjangnya lebih dari 400 halaman. Saya berusaha membacanya sebanyak tiga kali dan akhirnya menyerah sebelum menyelesaikan bab pertama.

Keenam, kirimkan naskahmu kepada orang yang tepat. Jangan mengirimkan naskah novel pop kepada penulis cerita komedi. Jangan mengirimkan naskah kumpulan blog remaja kepada penulis fiksi ilmiah. Dan demi Tuhan, jangan mengirimkan naskah cerita horor murahan atau drama-komedi berbau seks kepada siapa pun. Kasihanilah kami.

Last but not least, berbesar hatilah jika naskahmu ditolak oleh calon endorser. Tidak usah ngambek. Tidak perlu membujuk calon endorser untuk mempertimbangkan ulang keputusannya dengan berkali-kali menghubunginya. Mereka tentu memiliki pertimbangan tersendiri untuk memberikan (atau tidak memberikan) endorsement. It’s nothing personal. Naskah saya pernah ditolak oleh beberapa penulis. Saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang mereka berikan untuk membaca dan membalas e-mail saya, lalu mencari penulis lain yang bersedia meng-endorse buku saya. Sesederhana itu.

Sekarang, izinkan saya menghancurkan secercah harapan yang kamu miliki. Tips-tips di atas tidak menjamin kamu akan memperoleh endorsement sesuai harapan, bahkan tidak menjamin naskahmu akan dibaca oleh calon endorser.

Tips-tips tersebut hanya bentuk lain dari uneg-uneg yang saya (dan beberapa rekan penulis) miliki dari pengalaman menerima dan membaca naskah yang dikirimkan kepada kami. Sama seperti perjuangan untuk menerbitkan buku, ada banyak hal yang menentukan keberhasilan seseorang dalam mendapatkan endorsement – salah satunya keberuntungan. Saran yang bisa saya berikan adalah: lakukan yang terbaik yang kamu bisa, silangkan jari-jarimu, dan berharaplah keberuntungan ada di pihakmu. Kalaupun tidak, well, akan selalu ada kesempatan lain, selama kamu terus menulis. ;-)

Selamat berburu endorsement!

-----

Monday, August 17, 2009

Tak Pernah Kemana-mana

Dalam ilusi yang mereka sebut cinta
Kau kucari
Sebab kuyakin kau pasti

Dalam mimpi yang mereka sebut hidup
Kau kukejar
Sebab kutahu kau benar

Karena segenap diri percaya
Kau nyata untuk abadi
Ada untuk selalu.

Dalam ilusi yang mereka sebut cinta
Dan mimpi yang mereka sebut hidup
Aku menunggu untuk mengutuh

Hanya untuk menemukan
Sesungguhnya kau
Tak pernah kemana-mana

Aku hanya lupa
Pernah memilikimu
Di dalam sini.

Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within yourself that you have built against it.” (Rumi)

-----

Wednesday, August 12, 2009

(Semacam) Surat Terbuka ;-)

Hai, kamu yang di sana.

Makasih, lho.

Hari ini kamu berhasil membuat saya terpingkal-pingkal; antara geli, sebal, jengkel, dan bangga sekaligus.

Kenapa bangga? Karena kamu membuat saya merasa seperti selebritis. Figur publik nan ngetop yang karya-karyanya dianggap penting sampai layak dibajak.

Sejujurnya, awalnya saya mengira hal itu hanya bisa dialami oleh mereka-mereka yang sudah ditahbiskan menjadi seleblog, seperti ibu ini, ibu ini, atau ibu ini. Saya nggak nyangka ternyata blogger kemarin sore kayak saya, yang masih belajar menulis dan mengamati, bisa dianggap ‘layak bajak’, apalagi oleh blogger seperti kamu, yang punya ratusan followers. Aduh, makasih lho… walaupun saya sedikit bingung, kenapa kamu yang punya begitu banyak ‘penggemar’ (yang pastinya menandakan bahwa tulisan-tulisanmu cukup bermutu), mau membajak tulisan orang lain.

Anyway, sebagai ucapan terima kasih karena hari ini kamu berhasil membuat saya senyum-senyum gila, dengan senang hati saya akan menolong mempublikasikan salah satu karya kamu, yang kamu sadur dari blog saya. Mudah-mudahan hal ini akan dapat meningkatkan popularitasmu di ranah maya.

Cuma satu pesan saya, kalau udah terkenal nanti, jangan sombong, ya. ;-)

UPDATE 13 AGUSTUS 2009, 00:40 WIB:

Dengan ini saya mengumumken *dibaca dengan gaya Pak Harto* bahwa entri yang tercantum di atas telah resmi dihapusken oleh sang empunya blog, pada waktu tersebutken. Teriring doa dan ucapan syukur dari saya. Syukur karena tulisan saya nggak jadi lama-lama dibajak (wahai Papa, akhirnya tak ada lagi yang menjiplak kado ulang tahunmu). Doa supaya takkan ada lagi pembajakan-pembajakan serupa di ranah maya ini.

However, untuk Neng Ayu yang cantik jelita, berhubung tulisan saya sudah sempat nangkring di blog Anda selama dua hari penuh, saya tidak akan menghapus link ke blog Anda di sini, sekalipun entri yang bersangkutan sudah Anda hilangkan, KECUALI, tentunya, jika Anda bersedia menghubungi saya secara pribadi untuk mengkomunikasikan 'penyaduran' ini dengan jujur dan tuntas. Mudah-mudahan ini bisa jadi pelajaran untuk kita bersama.

Ngeblog aja kok nyontek. Malu ateuh. ;-)

UPDATE 16 AGUSTUS 2009:

Kemarin saya membaca artikel ini dan ini, dan lagi-lagi tertawa sendiri karena apa yang tertulis di sana ndilalah kok ya mirip dengan apa yang beredar di kepala saya.

Saya cukup sering menemukan tulisan saya dimuat ulang di berbagai media online yang kebanyakan dilakukan tanpa seizin saya. Saya tidak mempermasalahkan hal tersebut, selama orang yang bersangkutan mencantumkan alamat blog ini –atau setidaknya nama saya— sebagai ‘identitas’ PENULIS ASLINYA. Mempublikasikan tulisan di internet yang dapat diakses semua orang, bagi saya, bukan berarti menghilangkan identitas tulisan tersebut dan menjadikannya ‘milik bersama’ sehingga bebas dicomot, disadur, dan dipublikasikan sebagai hasil karya ORANG LAIN.

Terima kasih, Ariadne dan Fekhi, karena telah menyuarakan isi benak saya. Sejujurnya, meski saya menanggapi kejadian ini dengan tertawa, saya sangat berharap peristiwa serupa tidak terulang kepada saya atau siapapun di jagat maya ini. Sebuah karya, bagaimanapun sederhananya, tetap sebuah karya. Penyadaran terhadap hal ini barangkali bisa membuat kita berpikir ulang sebelum mematenkan karya orang lain atas nama kita.

Lagipula, hey… sebagus-bagusnya KW-1, tetep bagusan barang aslinya dong ah. Semua juga tahu. ;-)

UPDATE 26 AGUSTUS 2009:

Terima kasih Ayu, untuk mengontak saya secara pribadi dan meluruskan masalah ini. Link ke blog kamu sudah saya hapuskan dari entri ini. Mari sama-sama belajar. :-)

-----

Tuesday, August 4, 2009

Mengalami Secercah Non-Dualitas

Beberapa hari sebelum artikel ini ditulis, saya dan seorang sahabat berselisih –untuk kesekian kalinya— dan sejauh yang saya ingat, perselisihan tersebut adalah yang terhebat sepanjang sejarah pertemanan kami. Sahabat saya bukan orang yang mudah marah, namun kali ini saya tahu ia sungguh-sungguh kecewa. Dan saya pun tak kalah mendidihnya.

Setelah beberapa kali berkirim pesan pendek, sahabat saya menutup pesan terakhirnya dengan sebuah kalimat, “People change, live with it.”

Saya membaca pesan itu dua kali, kemudian menutup ponsel.

Anehnya, kali ini tak ada rasa marah atau kecewa yang menggelayuti saya. Awalnya saya mengira akan merasa jengkel. Namun yang ada hanya lelah –hanya sesaat— yang kemudian menguap dan berganti dengan pemahaman, dia benar.

Segala sesuatu di dunia ini berubah. Energi berubah. Situasi berubah. Lingkungan berubah. Manusia berubah. Kebenaran pun tidak tinggal stagnan. Lalu apa hak saya untuk menghendakinya agar tetap menjadi sosok yang selama ini saya kenal? Kenapa saya harus menginginkannya tetap menjadi sahabat nan baik hati yang selalu mendatangkan rasa nyaman untuk saya? Apa hak saya untuk menaruh pengharapan terhadap seseorang yang terus berevolusi dalam hidupnya – sementara saya sendiri senantiasa mengalami perubahan?

Bus yang saya tunggu datang. Saya menyimpan ponsel di dalam tas dan naik. Sambil mengamati jalan dari balik jendela, saya termenung.

Entah sudah berapa kali saya menulis dan mengulang, the most certain thing in the world is change. Satu-satunya hal yang pasti dalam hidup adalah perubahan. Saya mengira saya telah memahaminya. Namun baru kali ini pemahaman itu datang secara menyeluruh, mengutuh, dengan cara yang tak pernah saya duga. Dan hal pertama yang terlintas di pikiran saya adalah: “Betapa menderitanya hidup di dunia jika satu-satunya hal yang pasti hanya perubahan.

Manusia terdiri dari ego. Ego membuat kita sanggup mempertahankan kelangsungan hidup di dunia. Dan apa salah satu hal yang paling disukai ego? Kepastian. Itu sebabnya kita amat sulit menolak perubahan. Itu sebabnya kita mati-matian menentang segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan kekacauan; entah perubahan, perpisahan, kematian, dan sebagainya. Ego tidak menyukai chaos. Ia menyukai tatanan yang rapi dan stabil. Ia menyukai asuransi dan garansi.

Ego telah membuat kita bertahan. Lantas, apa yang terjadi jika semuanya diguncang dan dikacaukan?

Barangkali, itulah pentingnya memahami ketidakmelekatan, duga saya. Barangkali itulah yang melatari ajaran para guru besar. Bahwa kita seharusnya meniadakan kemelekatan. Bahwa kemelekatan terhadap apa pun di dunia –bahkan hal-hal yang baik dan disukai seperti kebahagiaan, pengalaman manis dan pencerahan— dapat berubah menjadi selumbar yang menghalangi pandangan, dan menjadi batu sandungan yang menghambat perjalanan kita.

Penyadaran kedua menyerbu batin saya seperti angin ribut. Jika segala sesuatu memang berubah... jika satu-satunya yang permanen di dunia memang hanya ketidakkekalan... jika memang demikian adanya, maka segala keburukan yang ada dalam diri manusia pun takkan tinggal tetap. Sifat buruk, limitasi, kelemahan, kekurangan, dan kebiasaan negatif bukan sesuatu yang mustahil diatasi – dalam arti sebenar-benarnya, bukan sekadar mengubahnya di permukaan sementara alam bawah sadar terus menimbunnya.

Kesusahan tidak abadi. Kesengsaraan tidak selamanya bercokol. Dan, ya, kebahagiaan dan kegembiraan pun takkan tinggal permanen. Ini bisa menjadi berita buruk atau berita baik bagi siapa saja, tergantung bagaimana kita meniliknya. Sebagaimana kebahagiaan berubah dan berganti, segala sesuatu yang selama ini kita labeli ‘buruk’, ‘salah’ dan tak diinginkan pun akan bergulir dan berlalu.

Penyadaran itu membuat saya terhenyak. Konsep impermanensi bukan hal asing bagi saya, namun mengalaminya secara utuh telah meninggalkan jejak yang jauh lebih dalam dari sebatas memahami belaka. Pada saat yang sama, kelegaan membanjiri hati saya.

Saya akan mengatakan ini dengan jujur, sebenar-benarnya. Lepas dari apa pun yang pernah Anda temukan di sini, lepas dari apa pun yang Anda peroleh atau rasakan setelah membaca tulisan-tulisan saya, dan lepas dari apa pun yang pernah (beberapa dari) Anda sampaikan kepada saya sebagai penghargaan, saya memiliki begitu banyak kekurangan dan kelemahan. Anda tidak mengetahuinya, karena Anda hanya membaca tulisan-tulisan saya. Namun saya tahu. Saya telah bergumul dengan kekurangan dan kelemahan nyaris sepanjang hidup saya, dan sering kali saya merasa tidak ada lagi harapan, karena tidak peduli berapa banyak kelas penyembuhan-mandiri yang saya ikuti, tidak peduli seberapa rajin saya menerapkan apa yang saya ketahui, kesembuhan total tidak kunjung terjadi. Bagaikan musim yang silih berganti, kekurangan dan kelemahan terus datang dan pergi.

Hari itu, saya tersadar. Saya telah berfokus pada fakta bahwa saya memiliki begitu banyak kelemahan, namun saya melupakan saat-saat dimana saya menjadi kuat. Saya begitu ingin menyingkirkan keterbatasan, namun saya lupa bahwa untuk itu saya perlu menyadari segala keterbatasan tersebut dan tidak semata berkubang di dalamnya. Saya demikian ingin mengatasi kekurangan-kekurangan saya, sehingga saya melupakan prinsip emas yang berkali-kali saya ucapkan sendiri: what you resist, persists.

Hari itu, saya menyadari dengan penuh kelegaan, bahwa tiada sesuatu dalam hidup yang abadi. Tidak peduli apa pun keterbatasan yang menghantui saya saat ini, semuanya dapat berubah. Dan setelah perubahan terjadi, perubahan berikutnya akan menyusul. Entah baik entah buruk. Hidup boleh membawa saya mengalir. Hidup boleh menghantarkan apa pun yang menjadi bagian saya. Saya akan menerimanya. Saya tidak perlu memaksanya berubah menjadi seperti yang saya inginkan. Saya tidak perlu lagi bergumul. Yang perlu saya lakukan hanya menyadari dan mengamati.

Tubuh saya masih duduk di kursi belakang bus, mata saya masih memandangi deretan kendaraan yang menyemut di balik jendela, pikiran saya masih bekerja, namun kesadaran saya melayang mengatasi segalanya.

Saya masih bisa mendengarkan suara pikiran yang bertanya-tanya, “Apa ini? Apa yang terjadi?”, namun suara itu bagai timbul tenggelam dalam kesadaran yang kian menebal seperti kabut.

Lalu, seperti pelita yang dinyalakan dalam gelap, suara berikutnya muncul dalam pikiran saya, “Inilah yang kamu minta.” Saya pun teringat, beberapa hari sebelumnya, saya pernah memohon dengan sangat kepada Tuhan (atau siapa pun yang bersedia mendengarkan), agar saya diberi kesempatan untuk memahami makna non-dualitas dan mengalaminya secara utuh.

Non-dualitas adalah sesuatu yang sudah lama saya (coba) pelajari. Entah mengapa, saya tidak kunjung memahaminya. Otak saya mampu mencerna informasi yang saya dapatkan, namun batin saya seolah menolak secara aktif untuk menyerapnya. Rasanya bagaikan menggenggam air dengan tangan telanjang. Air yang saya tampung hanya sanggup bertahan sebentar sebelum mengalir melalui lekukan telapak tangan, dan jika saya mencoba menggenggamnya, semakin cepat pula ia habis.

Batin saya tidak pernah sanggup menampung pemahaman tentang non-dualitas. Sejujurnya, kendati hal ini tidak terlalu mempengaruhi kehidupan saya, jauh dalam hati saya mulai merasa frustrasi. Saya mulai bertanya-tanya, akankah saya mengalami non-dualitas, atau memang bukan jatah saya untuk bersentuhan dengan konsep ini. Bagaimana pun, saya merasa non-dualitas bagaikan potongan gambar yang hilang dari puzzle raksasa perjalanan spiritual saya. Saya tidak tahu apakah saya memang memerlukannya, namun tanpa potongan gambar itu, puzzle saya tidak lengkap. Kepingan itu seharusnya ada di sana. Doa yang saya panjatkan beberapa hari sebelum peristiwa itu adalah upaya terakhir saya untuk menggapai kepingan tersebut.

Kini, dalam kesadaran yang kian ‘membengkak’ dan membuat suara pikiran saya semakin kecil terdengar –nun jauh di bawah sana— saya bertanya-tanya, apakah akhirnya saya akan diberi kesempatan untuk mengintip sekilas ranah non-dualitas. Di sisi lain, saya merasa tidak dapat memahami hubungan antara perubahan, ketidakmelekatan, dan non-dualitas, jika ketiganya memang saling berkaitan. Jadi, yang saya lakukan hanya duduk di sana dan ‘menonton’.

Saya akan berusaha menguraikan pemahaman yang saya peroleh dengan sebuah ilustrasi, dan saya akan mencoba menggambarkannya sebaik yang saya bisa. Mohon maaf jika kata-kata yang saya miliki amat terbatas.

Apabila baik dan buruk bagaikan dua substansi yang berada dalam sebuah neraca –sebelah di kiri dan sebelah di kanan, dalam porsinya sendiri-sendiri– maka substansi yang selama ini terpisah itu kini terangkat dari wadah masing-masing, melayang mengatasi neraca tempatnya dipilah dan ditimbang, terus mengambang di udara, saling mendekati, bersisian, kemudian melebur menjadi satu. Dua substansi yang tadinya terpisah dan saling melengkapi keberadaan satu sama lain dalam pemahaman dualitas kini menyatu dan meniadakan segala perbedaan di antara mereka.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak lagi ada pemisahan antara baik dan buruk dalam ranah non-dualitas. Tidak ada lagi pemisahan antara benar dan salah. Suci dan najis. Yin dan yang. Dua sisi yang terpisah dan saling melengkapi itu tidak lagi ada. Semua lebur menjadi satu dalam kesempurnaan. Kesempurnaan total, tanpa cacat. Kesempurnaan dimana yang ada menjadi tiada, dan yang tiada menjadi nyata. Tatanan tanpa cela yang sepenuhnya murni dan utuh. Tiada lagi pembatasan. Tiada lagi pemisahan. Tiada lagi perbedaan. Tiada yang salah. Tiada yang berada di luar jalur. Tiada yang perlu diperbaiki, diubah, dibetulkan. Semua adalah satu, dan satu berada dalam semua.

Masih terpukau dengan itu semua, saya menoleh keluar jendela, ke pinggir jalan yang dipenuhi pepohonan dan orang yang lalu-lalang di trotoar. Saya mengamati dengan takjub ketika penyadaran berikutnya muncul: saya menemukan sebagian diri saya dalam setiap mereka. Secara harafiah, SETIAP orang dan makhluk hidup yang berada di pinggir jalan itu.

Pohon berdaun jarang yang baru saja ditinggalkan seekor burung adalah saya. Burung gereja yang terbang dari sebuah cabang adalah saya. Kakek berkulit gelap yang duduk di trotoar sambil mengunyah-entah-apa adalah saya. Pemuda berbaju lusuh dan berwajah kusam yang melintas di samping bus adalah saya. Wanita berbadan gempal dengan kaus pink yang baru saja meninggalkan kios tempatnya berjualan adalah saya. Supir bus yang duduk jauh di depan adalah saya. Laki-laki bertopi yang duduk di sampingnya adalah saya. Bapak separuh baya yang menduduki kursi di depan saya, adalah saya. Ibu muda yang sibuk berbicara dengan logat Mandarin kental juga saya. Tidak ada satu pun kata yang sanggup menggambarkan apa yang saya rasakan. Tidak akan ada kalimat yang cukup pas untuk mendeskripsikan rasanya memandang dunia dan menemukan sebagian diri saya dalam SETIAP hal yang saya jumpai.

Dalam kesadaran yang terus bergulung, seperti selimut tebal yang menaungi pikiran, perlahan benak saya memunculkan ingatan tentang seseorang bernama Khrisnamurti. Saya pernah membaca tulisan-tulisannya, dan tidak banyak yang saya ingat dari sana. Namun ada sesuatu yang kini terbangkitkan dengan amat jelas: pengalaman yang dialami oleh Khrisnamurti ketika berusia muda yang membalikkan perjalanan hidupnya secara total.

Pada tahun 1922, dalam usia 27 tahun, ia mengalami proses Pencerahan yang berlangsung selama 3 hari, di mana ia mengalami kesadaran yang berubah: “... Ada seseorang tengah memperbaiki jalan, orang itu adalah aku; beliung yang dipegangnya adalah aku; batu yang tengah dipecahnya adalah bagian dariku; helai rumput yang rapuh adalah aku; dan pohon di samping orang itu adalah aku.”
(‘Duduk Diam dengan Batin yang Hening’ – J. Khrisnamurti)

Kedamaian yang sukar dijelaskan dengan kata-kata melingkupi saya. Pencerahan atau bukan, saya tidak lagi peduli. Semua mendadak tidak lagi penting. Konflik dengan sahabat saya, yang selama berhari-hari menggelayuti pikiran seperti awan mendung, mendadak tidak lagi penting – bahkan, segala hal yang saya alami sebelum peristiwa ini tidak lagi penting. Semua yang saya ketahui selama ini juga tidak lagi penting. Saya menaiki mesin waktu yang menghantarkan saya memasuki dimensi baru dimana 24 jam tidak lagi berlaku, dan tidak ada esok maupun kemarin. Dimensi itu bernama Masa Kini.

Tidak ada air mata. Tidak ada perasaan spektakuler yang menyertai penyadaran ini. Tidak ada gejolak emosi yang mengharu-biru. Pengalaman ini hanya terasa begitu nyata, tepat, sederhana, dan segala sesuatu di luar itu tidak lagi penting.

Doa saya telah terjawab, namun bahkan doa tersebut tidak lagi penting. Belum pernah saya merasa, seumur hidup, bahwa segala hal yang terjadi pada diri saya saat ini, detik ini, apa pun itu (enak atau tidak, disukai atau tidak), adalah sesuatu yang amat tepat, benar, dan sempurna. Pikiran manusia selalu bertindak untuk mengevaluasi, menilai dan merencana. Bahkan ketika hidup berada di titik paling prima, dimana segala sesuatu yang bisa dibayangkan seseorang telah berada dalam genggaman, pikiran terus bekerja secara mekanis memompa berbagai penilaian, membandingkan, dan mengingatkan untuk terus mencapai lebih, sehingga nyaris tidak ada sesuatu pun yang bisa dijadikan parameter kesempurnaan. Hari itu, di tengah segala ketidaksempurnaan yang saya dapati dalam hidup, saya menyadari semuanya sempurna. Dan inilah surga.

Dari pengalaman sore itu, barangkali inilah hadiah kecil yang bisa saya bagi dengan Anda semua: penyadaran sederhana bahwa di tengah segala ketidaksempurnaan, hidup sesungguhnya selalu sempurna. Di tengah segala kelemahan dan keterbatasan diri, Anda dan saya sesungguhnya adalah makhluk-makhluk tanpa cela. Anda dicintai sebagaimana adanya, dan tidak ada yang salah dari diri Anda. Anda diterima sebagaimana adanya, dan tidak ada yang kurang sempurna dari diri Anda.

Anda dicintai dan diterima, karena Anda adalah Anda. Cukupkah itu untuk menciptakan surga dalam ruang kecil yang tersembunyi di sudut batin Anda? Semoga.

Izinkan saya menyelesaikan tulisan ini dengan mengutip ucapan salah satu ‘guru’ saya, serta memberikan sebuah pesan: ketika kalimat terakhir usai Anda tuntaskan, lupakan semua yang Anda baca mengenai non-dualitas. Anda tidak perlu mempercayai penjelasan saya. Anda tidak perlu mencoba memahami tulisan ini, karena penguraian saya hanya sebentuk usaha yang bisa menjadi sia-sia, bagaikan jaring menangkap angin. Non-dualitas melampaui segala pengertian dan definisi yang bisa dihasilkan pikiran, namun yakinlah bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil. Jika kesempatan itu datang, jika kelak mesin waktu yang telah membawa saya singgah di depan Anda, barangkali kita bisa bersama-sama menjejakkan kaki ke dalamnya dan mengintip sejenak surga kecil yang memungkinkan tulisan ini tercipta.

Till then, may all beings be happy. :-)

There is a level of mind, a conscious being, which is not dualistic, which is not conceptual, which is by its very definition, is beyond thought. It cannot be thought about and it cannot be conceptualized, but it can be realized.” (Tenzin Palmo)

-----

Saturday, August 1, 2009

Tentang Dia yang Saya Panggil 'Ayah'

Ayah saya adalah seorang jagoan. Disimpannya rapat-rapat airmatanya dan hanya menangis ia jika sendirian. Bukan karena tak mau membagi rasa, namun karena ia tak ingin saya bersusah hati. Sebagaimana selalu diucapkannya, “Orang tua harus tahu kapan anaknya susah, tapi anak tidak perlu tahu kalau orang tuanya susah.”

Ayah saya adalah seorang pencinta. Masih lekat dalam ingatan sebuah pigura berbingkai gelap berisi foto almarhumah Ibu yang selalu dipeluknya erat sebelum tidur. Ia sanggup tidur tanpa kasur dan selimut, namun tak pernah sedetik pun dilepasnya foto itu. Sebagaimana selalu diucapkannya, "Kalau lagi kangen Mama kamu, jadi nggak bisa tidur."

Ayah saya adalah seorang pahlawan. Tak pernah ragu menolong yang kesusahan dan tak sedetik pun menunda membantu yang lemah. Meski tindakannya ini kerap membuat saya dan adik mengomel, karena kebaikannya sering disalahgunakan oleh orang lain. Sebagaimana selalu diucapkannya, "Biarin lah, kasihan..."

Ayah saya adalah seorang dokter. Dan ia menyembuhkan bukan dengan obat-obatan. Ia menyembuhkan dengan dering telepon yang rutin di malam hari dan sapaan yang menghangatkan seperti selimut tebal. Mendengar suaranya, saya selalu yakin, semua akan baik-baik saja. Sebagaimana selalu diucapkannya, "Jangan banyak pikiran, jangan kecape'an kerjanya. Udah makan belum? Udah mandi?"

Ayah saya adalah seorang penyair. Dua kalimat favoritnya adalah ‘I love you’ dan ‘take care’ yang kami pertukarkan nyaris setiap hari. Meski kalimat-kalimat itu tak dibubuhi embel-embel puitis lain, di telinga saya mereka laksana syair pujangga ulung.

Saya sangat beruntung.

Bukan karena memiliki seorang jagoan, pencinta, pahlawan, dokter, sekaligus penyair sebagai ayah, namun karena mengetahui, bahwa di dunia yang bisa gelap, keras dan menyakitkan ini, cintanya selalu ada.

Selamat ulang tahun, Papa. Saya sayang Papa. Sangat.

-----