Setelah beberapa kali berkirim pesan pendek, sahabat saya menutup pesan terakhirnya dengan sebuah kalimat, “People change, live with it.”
Saya membaca pesan itu dua kali, kemudian menutup ponsel.
Anehnya, kali ini tak ada rasa marah atau kecewa yang menggelayuti saya. Awalnya saya mengira akan merasa jengkel. Namun yang ada hanya lelah –hanya sesaat— yang kemudian menguap dan berganti dengan pemahaman, dia benar.
Segala sesuatu di dunia ini berubah. Energi berubah. Situasi berubah. Lingkungan berubah. Manusia berubah. Kebenaran pun tidak tinggal stagnan. Lalu apa hak saya untuk menghendakinya agar tetap menjadi sosok yang selama ini saya kenal? Kenapa saya harus menginginkannya tetap menjadi sahabat nan baik hati yang selalu mendatangkan rasa nyaman untuk saya? Apa hak saya untuk menaruh pengharapan terhadap seseorang yang terus berevolusi dalam hidupnya – sementara saya sendiri senantiasa mengalami perubahan?
Bus yang saya tunggu datang. Saya menyimpan ponsel di dalam tas dan naik. Sambil mengamati jalan dari balik jendela, saya termenung.
Entah sudah berapa kali saya menulis dan mengulang, the most certain thing in the world is change. Satu-satunya hal yang pasti dalam hidup adalah perubahan. Saya mengira saya telah memahaminya. Namun baru kali ini pemahaman itu datang secara menyeluruh, mengutuh, dengan cara yang tak pernah saya duga. Dan hal pertama yang terlintas di pikiran saya adalah: “Betapa menderitanya hidup di dunia jika satu-satunya hal yang pasti hanya perubahan.”
Manusia terdiri dari ego. Ego membuat kita sanggup mempertahankan kelangsungan hidup di dunia. Dan apa salah satu hal yang paling disukai ego? Kepastian. Itu sebabnya kita amat sulit menolak perubahan. Itu sebabnya kita mati-matian menentang segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan kekacauan; entah perubahan, perpisahan, kematian, dan sebagainya. Ego tidak menyukai chaos. Ia menyukai tatanan yang rapi dan stabil. Ia menyukai asuransi dan garansi.
Ego telah membuat kita bertahan. Lantas, apa yang terjadi jika semuanya diguncang dan dikacaukan?
Barangkali, itulah pentingnya memahami ketidakmelekatan, duga saya. Barangkali itulah yang melatari ajaran para guru besar. Bahwa kita seharusnya meniadakan kemelekatan. Bahwa kemelekatan terhadap apa pun di dunia –bahkan hal-hal yang baik dan disukai seperti kebahagiaan, pengalaman manis dan pencerahan— dapat berubah menjadi selumbar yang menghalangi pandangan, dan menjadi batu sandungan yang menghambat perjalanan kita.
Penyadaran kedua menyerbu batin saya seperti angin ribut. Jika segala sesuatu memang berubah... jika satu-satunya yang permanen di dunia memang hanya ketidakkekalan... jika memang demikian adanya, maka segala keburukan yang ada dalam diri manusia pun takkan tinggal tetap. Sifat buruk, limitasi, kelemahan, kekurangan, dan kebiasaan negatif bukan sesuatu yang mustahil diatasi – dalam arti sebenar-benarnya, bukan sekadar mengubahnya di permukaan sementara alam bawah sadar terus menimbunnya.
Kesusahan tidak abadi. Kesengsaraan tidak selamanya bercokol. Dan, ya, kebahagiaan dan kegembiraan pun takkan tinggal permanen. Ini bisa menjadi berita buruk atau berita baik bagi siapa saja, tergantung bagaimana kita meniliknya. Sebagaimana kebahagiaan berubah dan berganti, segala sesuatu yang selama ini kita labeli ‘buruk’, ‘salah’ dan tak diinginkan pun akan bergulir dan berlalu.
Penyadaran itu membuat saya terhenyak. Konsep impermanensi bukan hal asing bagi saya, namun mengalaminya secara utuh telah meninggalkan jejak yang jauh lebih dalam dari sebatas memahami belaka. Pada saat yang sama, kelegaan membanjiri hati saya.
Saya akan mengatakan ini dengan jujur, sebenar-benarnya. Lepas dari apa pun yang pernah Anda temukan di sini, lepas dari apa pun yang Anda peroleh atau rasakan setelah membaca tulisan-tulisan saya, dan lepas dari apa pun yang pernah (beberapa dari) Anda sampaikan kepada saya sebagai penghargaan, saya memiliki begitu banyak kekurangan dan kelemahan. Anda tidak mengetahuinya, karena Anda hanya membaca tulisan-tulisan saya. Namun saya tahu. Saya telah bergumul dengan kekurangan dan kelemahan nyaris sepanjang hidup saya, dan sering kali saya merasa tidak ada lagi harapan, karena tidak peduli berapa banyak kelas penyembuhan-mandiri yang saya ikuti, tidak peduli seberapa rajin saya menerapkan apa yang saya ketahui, kesembuhan total tidak kunjung terjadi. Bagaikan musim yang silih berganti, kekurangan dan kelemahan terus datang dan pergi.
Hari itu, saya tersadar. Saya telah berfokus pada fakta bahwa saya memiliki begitu banyak kelemahan, namun saya melupakan saat-saat dimana saya menjadi kuat. Saya begitu ingin menyingkirkan keterbatasan, namun saya lupa bahwa untuk itu saya perlu menyadari segala keterbatasan tersebut dan tidak semata berkubang di dalamnya. Saya demikian ingin mengatasi kekurangan-kekurangan saya, sehingga saya melupakan prinsip emas yang berkali-kali saya ucapkan sendiri: what you resist, persists.
Hari itu, saya menyadari dengan penuh kelegaan, bahwa tiada sesuatu dalam hidup yang abadi. Tidak peduli apa pun keterbatasan yang menghantui saya saat ini, semuanya dapat berubah. Dan setelah perubahan terjadi, perubahan berikutnya akan menyusul. Entah baik entah buruk. Hidup boleh membawa saya mengalir. Hidup boleh menghantarkan apa pun yang menjadi bagian saya. Saya akan menerimanya. Saya tidak perlu memaksanya berubah menjadi seperti yang saya inginkan. Saya tidak perlu lagi bergumul. Yang perlu saya lakukan hanya menyadari dan mengamati.
Tubuh saya masih duduk di kursi belakang bus, mata saya masih memandangi deretan kendaraan yang menyemut di balik jendela, pikiran saya masih bekerja, namun kesadaran saya melayang mengatasi segalanya.
Saya masih bisa mendengarkan suara pikiran yang bertanya-tanya, “Apa ini? Apa yang terjadi?”, namun suara itu bagai timbul tenggelam dalam kesadaran yang kian menebal seperti kabut.
Lalu, seperti pelita yang dinyalakan dalam gelap, suara berikutnya muncul dalam pikiran saya, “Inilah yang kamu minta.” Saya pun teringat, beberapa hari sebelumnya, saya pernah memohon dengan sangat kepada Tuhan (atau siapa pun yang bersedia mendengarkan), agar saya diberi kesempatan untuk memahami makna non-dualitas dan mengalaminya secara utuh.
Non-dualitas adalah sesuatu yang sudah lama saya (coba) pelajari. Entah mengapa, saya tidak kunjung memahaminya. Otak saya mampu mencerna informasi yang saya dapatkan, namun batin saya seolah menolak secara aktif untuk menyerapnya. Rasanya bagaikan menggenggam air dengan tangan telanjang. Air yang saya tampung hanya sanggup bertahan sebentar sebelum mengalir melalui lekukan telapak tangan, dan jika saya mencoba menggenggamnya, semakin cepat pula ia habis.
Batin saya tidak pernah sanggup menampung pemahaman tentang non-dualitas. Sejujurnya, kendati hal ini tidak terlalu mempengaruhi kehidupan saya, jauh dalam hati saya mulai merasa frustrasi. Saya mulai bertanya-tanya, akankah saya mengalami non-dualitas, atau memang bukan jatah saya untuk bersentuhan dengan konsep ini. Bagaimana pun, saya merasa non-dualitas bagaikan potongan gambar yang hilang dari puzzle raksasa perjalanan spiritual saya. Saya tidak tahu apakah saya memang memerlukannya, namun tanpa potongan gambar itu, puzzle saya tidak lengkap. Kepingan itu seharusnya ada di sana. Doa yang saya panjatkan beberapa hari sebelum peristiwa itu adalah upaya terakhir saya untuk menggapai kepingan tersebut.
Kini, dalam kesadaran yang kian ‘membengkak’ dan membuat suara pikiran saya semakin kecil terdengar –nun jauh di bawah sana— saya bertanya-tanya, apakah akhirnya saya akan diberi kesempatan untuk mengintip sekilas ranah non-dualitas. Di sisi lain, saya merasa tidak dapat memahami hubungan antara perubahan, ketidakmelekatan, dan non-dualitas, jika ketiganya memang saling berkaitan. Jadi, yang saya lakukan hanya duduk di sana dan ‘menonton’.
Saya akan berusaha menguraikan pemahaman yang saya peroleh dengan sebuah ilustrasi, dan saya akan mencoba menggambarkannya sebaik yang saya bisa. Mohon maaf jika kata-kata yang saya miliki amat terbatas.
Apabila baik dan buruk bagaikan dua substansi yang berada dalam sebuah neraca –sebelah di kiri dan sebelah di kanan, dalam porsinya sendiri-sendiri– maka substansi yang selama ini terpisah itu kini terangkat dari wadah masing-masing, melayang mengatasi neraca tempatnya dipilah dan ditimbang, terus mengambang di udara, saling mendekati, bersisian, kemudian melebur menjadi satu. Dua substansi yang tadinya terpisah dan saling melengkapi keberadaan satu sama lain dalam pemahaman dualitas kini menyatu dan meniadakan segala perbedaan di antara mereka.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak lagi ada pemisahan antara baik dan buruk dalam ranah non-dualitas. Tidak ada lagi pemisahan antara benar dan salah. Suci dan najis. Yin dan yang. Dua sisi yang terpisah dan saling melengkapi itu tidak lagi ada. Semua lebur menjadi satu dalam kesempurnaan. Kesempurnaan total, tanpa cacat. Kesempurnaan dimana yang ada menjadi tiada, dan yang tiada menjadi nyata. Tatanan tanpa cela yang sepenuhnya murni dan utuh. Tiada lagi pembatasan. Tiada lagi pemisahan. Tiada lagi perbedaan. Tiada yang salah. Tiada yang berada di luar jalur. Tiada yang perlu diperbaiki, diubah, dibetulkan. Semua adalah satu, dan satu berada dalam semua.
Masih terpukau dengan itu semua, saya menoleh keluar jendela, ke pinggir jalan yang dipenuhi pepohonan dan orang yang lalu-lalang di trotoar. Saya mengamati dengan takjub ketika penyadaran berikutnya muncul: saya menemukan sebagian diri saya dalam setiap mereka. Secara harafiah, SETIAP orang dan makhluk hidup yang berada di pinggir jalan itu.
Pohon berdaun jarang yang baru saja ditinggalkan seekor burung adalah saya. Burung gereja yang terbang dari sebuah cabang adalah saya. Kakek berkulit gelap yang duduk di trotoar sambil mengunyah-entah-apa adalah saya. Pemuda berbaju lusuh dan berwajah kusam yang melintas di samping bus adalah saya. Wanita berbadan gempal dengan kaus pink yang baru saja meninggalkan kios tempatnya berjualan adalah saya. Supir bus yang duduk jauh di depan adalah saya. Laki-laki bertopi yang duduk di sampingnya adalah saya. Bapak separuh baya yang menduduki kursi di depan saya, adalah saya. Ibu muda yang sibuk berbicara dengan logat Mandarin kental juga saya. Tidak ada satu pun kata yang sanggup menggambarkan apa yang saya rasakan. Tidak akan ada kalimat yang cukup pas untuk mendeskripsikan rasanya memandang dunia dan menemukan sebagian diri saya dalam SETIAP hal yang saya jumpai.
Dalam kesadaran yang terus bergulung, seperti selimut tebal yang menaungi pikiran, perlahan benak saya memunculkan ingatan tentang seseorang bernama Khrisnamurti. Saya pernah membaca tulisan-tulisannya, dan tidak banyak yang saya ingat dari sana. Namun ada sesuatu yang kini terbangkitkan dengan amat jelas: pengalaman yang dialami oleh Khrisnamurti ketika berusia muda yang membalikkan perjalanan hidupnya secara total.
Pada tahun 1922, dalam usia 27 tahun, ia mengalami proses Pencerahan yang berlangsung selama 3 hari, di mana ia mengalami kesadaran yang berubah: “... Ada seseorang tengah memperbaiki jalan, orang itu adalah aku; beliung yang dipegangnya adalah aku; batu yang tengah dipecahnya adalah bagian dariku; helai rumput yang rapuh adalah aku; dan pohon di samping orang itu adalah aku.”
(‘Duduk Diam dengan Batin yang Hening’ – J. Khrisnamurti)
(‘Duduk Diam dengan Batin yang Hening’ – J. Khrisnamurti)
Kedamaian yang sukar dijelaskan dengan kata-kata melingkupi saya. Pencerahan atau bukan, saya tidak lagi peduli. Semua mendadak tidak lagi penting. Konflik dengan sahabat saya, yang selama berhari-hari menggelayuti pikiran seperti awan mendung, mendadak tidak lagi penting – bahkan, segala hal yang saya alami sebelum peristiwa ini tidak lagi penting. Semua yang saya ketahui selama ini juga tidak lagi penting. Saya menaiki mesin waktu yang menghantarkan saya memasuki dimensi baru dimana 24 jam tidak lagi berlaku, dan tidak ada esok maupun kemarin. Dimensi itu bernama Masa Kini.
Tidak ada air mata. Tidak ada perasaan spektakuler yang menyertai penyadaran ini. Tidak ada gejolak emosi yang mengharu-biru. Pengalaman ini hanya terasa begitu nyata, tepat, sederhana, dan segala sesuatu di luar itu tidak lagi penting.
Doa saya telah terjawab, namun bahkan doa tersebut tidak lagi penting. Belum pernah saya merasa, seumur hidup, bahwa segala hal yang terjadi pada diri saya saat ini, detik ini, apa pun itu (enak atau tidak, disukai atau tidak), adalah sesuatu yang amat tepat, benar, dan sempurna. Pikiran manusia selalu bertindak untuk mengevaluasi, menilai dan merencana. Bahkan ketika hidup berada di titik paling prima, dimana segala sesuatu yang bisa dibayangkan seseorang telah berada dalam genggaman, pikiran terus bekerja secara mekanis memompa berbagai penilaian, membandingkan, dan mengingatkan untuk terus mencapai lebih, sehingga nyaris tidak ada sesuatu pun yang bisa dijadikan parameter kesempurnaan. Hari itu, di tengah segala ketidaksempurnaan yang saya dapati dalam hidup, saya menyadari semuanya sempurna. Dan inilah surga.
Dari pengalaman sore itu, barangkali inilah hadiah kecil yang bisa saya bagi dengan Anda semua: penyadaran sederhana bahwa di tengah segala ketidaksempurnaan, hidup sesungguhnya selalu sempurna. Di tengah segala kelemahan dan keterbatasan diri, Anda dan saya sesungguhnya adalah makhluk-makhluk tanpa cela. Anda dicintai sebagaimana adanya, dan tidak ada yang salah dari diri Anda. Anda diterima sebagaimana adanya, dan tidak ada yang kurang sempurna dari diri Anda.
Anda dicintai dan diterima, karena Anda adalah Anda. Cukupkah itu untuk menciptakan surga dalam ruang kecil yang tersembunyi di sudut batin Anda? Semoga.
Izinkan saya menyelesaikan tulisan ini dengan mengutip ucapan salah satu ‘guru’ saya, serta memberikan sebuah pesan: ketika kalimat terakhir usai Anda tuntaskan, lupakan semua yang Anda baca mengenai non-dualitas. Anda tidak perlu mempercayai penjelasan saya. Anda tidak perlu mencoba memahami tulisan ini, karena penguraian saya hanya sebentuk usaha yang bisa menjadi sia-sia, bagaikan jaring menangkap angin. Non-dualitas melampaui segala pengertian dan definisi yang bisa dihasilkan pikiran, namun yakinlah bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil. Jika kesempatan itu datang, jika kelak mesin waktu yang telah membawa saya singgah di depan Anda, barangkali kita bisa bersama-sama menjejakkan kaki ke dalamnya dan mengintip sejenak surga kecil yang memungkinkan tulisan ini tercipta.
‘Till then, may all beings be happy. :-)
“There is a level of mind, a conscious being, which is not dualistic, which is not conceptual, which is by its very definition, is beyond thought. It cannot be thought about and it cannot be conceptualized, but it can be realized.” (Tenzin Palmo)
-----
3 comments:
Wow ...Dahsyat.
Diri
Tanah terhampar
Hujan menyiram
Batang menjulang
Dedaun merimbun
Mentari merekah
Angin mengelus
Dedaun gugur
Tanah memeluk
Dedaun mengurai
Tanah menggembur
Rerumput menari
Menghampar bumi
Cacing berbiak
Mata pancing menikam
Kail dilepas
Ikan menggelepar
Api menyala
Minyak mendesir
Ikan digoreng
Aroma mengalir
Selera terundang
Ikan dimakan
Perut kenyang
Kantuk datang.
Subuh terbangun
Dingin menusuk
Perut meradang
Minta kebelakang
Lari kekolam
Duduk semedi
Menguras perut
Yang penuh isi.
Perut terkuras
Lega di hati
Air menyibak
Ikan berdesak
Berenang garang
Berebut makan
Saudara sendiri.
Lonceng berbunyi
Hati mengeri
Berjalan diri
Ke rumah si mati
Tangis memecah
Tandu diusung
Mayat ditanam
Cacing menanti
Mayat terurai
Tanah memeluk
Lalu …..
Ada diri jadi pohon
Ada diri jadi rerumput
Ada diri jadi cacing
Ada diri jadi ...
Lalu ...
Siapakah sebenarnya diri ?.
I've got the same feeling too!
it is singular, but dualism.
Bagaikan karet gelang yang terlihat dari atas, nampak sebagai lingkaran utuh. Dari samping, nampak sebgai garis lurus. Singular.
Lalu ketika dipegang dengan kedua tangan, diputar sedikit pada bagian masing-masing kutub yang terbentuk oleh tangan kita (menyerupai angka 8) nampak seperti 2 sisi yang berpasangan. Dualism.
Very nice post.
Salam
Post a Comment