Thursday, July 24, 2008

Sebuah Proses Bernama Evolusi

Saya punya dua benda favorit yang tidak boleh absen dari kamar, supaya kapanpun saya butuh bisa langsung disambar dan digunakan: jaket hitam yang enak dipakai dan botol minum plastik berwarna pink yang pasaran jaya.

Si jaket sudah menghuni lemari saya sejak lulus SMU (that was, like 7 years ago) dan sudah ngatung dengan canggihnya di seputar perut. Yang masih layak dilihat cuma bagian lengannya. ;-)

Si Pinkie baru jadi teman setia saya selama setahun. Cuma, ya itu, karena saya termasuk spesies perempuan sradak-sruduk, botol minum itu sudah berkali-kali kebanting dan tutupnya mulai retak.

Beli baru?

Bukan itu soalnya. Masalahnya, saya terlanjur jatuh cinta dengan benda-benda itu. Sahabat-sahabat lama yang nyaman dipakai dan sudah terlalu akrab dengan saya, karena selalu dibawa kemana-mana. Kadang, saya merasa kurang lengkap kalau pergi tanpa jaket itu, atau tanpa menenteng si Pinkie. Padahal mah, dibawa juga belum tentu dipakai, dan yang lebih sering menghabiskan air di botol pink itu malah teman-teman saya.

Anyway, saya memutuskan untuk ‘bertahan’... sampai Jum’at kemarin, ketika saya menyempatkan diri untuk berkaca setelah mengenakan si jaket, dan mendadak sadar bahwa senyaman-nyamannya benda itu melekat di badan, penampilan saya jadi aneh dengan jaket yang ngatung seperut, terlalu pas-badan dan siku yang kesempitan.

Oh, well...

Saya melangkah dengan PD ke warung nasi dan memesan seporsi nasi rames. Ketika meletakkan botol minum di meja untuk membuka dompet, baru saya ngeh bahwa si Pinkie sudah basah. Air di dalamnya merembes gara-gara retakan yang makin panjang.

Saya hanya cengar-cengir. Ya sudahlah, benda-benda itu memang sudah waktunya masuk museum (atau dibuang? Hihihi). Bahasa kerennya mah: expired. Ngindonesianya: Kadaluarsa. Percuma dipertahankan, karena akhirnya malah akan merepotkan. Nyaman, tapi sudah tidak pas lagi untuk dipakai.

Sepanjang perjalanan ke kantor, saya merenung *tsah*. Meski menyimpan barang yang sudah terlalu tua itu tidak baik (dan cenderung menimbulkan kesan pelit, hahaha), entah kenapa saya masih tetap melestarikan kebiasaan itu. Adik saya malah sering mengomentari isi lemari saya yang sebagian terdiri dari baju-baju jaman penjajahan Belanda: “Baju kayak gitu dibuang aja kenapa sih?!”, yang selalu saya tangkis, “Enak aja. Nyaman dipake, tauuu.”

Yup, karena nyaman, saya mempertahankan barang-barang yang seharusnya sudah lama dibuang. Meskipun koleksi barang-barang baru terus bertambah, saya kekeuh melestarikan benda-benda usang, sampai lemari saya tidak cukup lagi untuk menampung semuanya, dan saya harus meluangkan waktu untuk membongkar dan memilah – mana yang masih layak disimpan, mana yang harus disalurkan kepada yang lebih membutuhkan... atau dibakar sekalian. ;-D

Kemarin, seorang teman yang tinggal di Amerika mengirim sebuah pesan pendek, “Handphone apa yang lagi ngetop di Indonesia?”

Saya menjawab, “Nggak tahu, sudah nggak pernah ngikutin.”

Beberapa tahun lalu, saya rajin mengupdate diri dengan informasi tentang handphone terbaru yang beredar di pasaran; mulai dari fitur, ukuran, harga, sampai dimana membelinya. Tidak jarang, karena terlanjur jatuh cinta dengan handphone tipe tertentu, saya meracuni teman-teman saya untuk membelinya juga, meski mereka tidak memerlukan fitur-fitur di dalamnya (memangnya saya butuh? Nggak juga, cuma suka aja ;-D). Tapi, seiring bertambahnya umur dan menyurutnya keinginan narsis untuk mengabadikan diri dalam foto berbagai gaya secara berlebihan dan mengoleksi lagu-lagu keren, saya jadi malas mengikuti perkembangan handphone. Saya memilih menabung untuk membeli laptop (dan setelah itu mengisinya dengan foto-foto narsis dalam berbagai gaya dan lagu-lagu keren, HAHAHA).

Namun, lepas dari berbagai alasan yang saya kemukakan, “Sudah nggak minat ngikutin tren HP”, “Pengen nabung untuk sesuatu yang lebih berguna”, “Bosan”, dan lainnya, penyebab sesungguhnya saya menyetop kebiasaan itu (dan membuang benda-benda kesayangan) cuma satu: memang sudah saatnya. Masa ‘kadaluarsa’ itu sudah tiba. Memaksakan diri untuk tetap bertahan malah akan membebani dan merepotkan saya.

Itu baru masalah barang kesayangan dan kebiasaan. Hal yang sama, sadar-tidak sadar ternyata sering juga terbawa selama saya meniti perjalanan panjang bernama Kehidupan. Entah berapa kali saya mencoba bertahan dengan berbagai prinsip, nilai, falsafah, atau apapun-itu-labelnya; mengadaptasinya dalam hidup sehari-hari tanpa sadar bahwa kehidupan itu sendiri adalah sebuah evolusi.

Saya menganggap prinsip, nilai dan falsafah tersebut sebagai ‘kebenaran mutlak’ karena itulah yang sudah saya genggam bertahun-tahun. Bahkan, tidak jarang saya menganggap mereka yang berseberangan dengan saya sebagai pihak yang ‘salah’ – semata-mata karena apa yang mereka percayai tidak sejalan dengan saya. Akhirnya, ketika saya menasehati/berusaha meyakinkan seseorang untuk menerima apa yang saya anggap benar (dengan mengatasnamakan kebaikan orang yang bersangkutan), sesungguhnya itu hanyalah upaya untuk mengonfirmasi apa yang bersarang di benak saya sekian waktu lamanya; bahwa saya masih benar, bahwa saya masih bisa menggenggam prinsip tersebut, bahwa saya masih dapat mempercayainya.

Dan, ya, saya pernah (berkali-kali, malah) berusaha mengotbahi orang lain dengan harapan orang yang bersangkutan akan sadar, berubah, mengikuti jejak saya, dan menjadi bahagia... hanya karena saya merasa bahagia dengan apa yang saya jalani saat itu.

;-)

Padahal, kehidupan adalah sesuatu yang dinamis dan selalu mengalami perubahan. The most certain thing in this world is change. Apa yang dianggap mutlak, pasti dan absolut bertahun-tahun lalu barangkali kini sudah dianggap basi. Apa yang digilai, dianut mayoritas orang dan dijadikan konsep ideal massa saat ini, bisa tidak laku lagi 10 tahun mendatang. Apa yang dianggap tren terkini bisa menjadi usang dalam hitungan waktu, dan apa yang disebut ‘nggak banget’ sangat mungkin berubah menjadi ‘gue banget’.

Padahal, apa yang cocok buat saya belum tentu cocok untuk orang lain.

Padahal, apa yang membuat saya bahagia belum tentu bisa membuat orang lain bahagia.

Padahal, ‘kebenaran’ itu sendiri sangatlah relatif, ya nggak, sih? ;-)

*Uhmmm... meskipun memang ada hal-hal yang sudah dijadikan ‘kebenaran’ atau ‘konsep ideal’ sebagai hasil konstruksi dari apa yang dianggap ‘sah’, ‘absolut’ dan ‘pasti’ oleh kebanyakan orang. ;-)*

Intinya, lepas dari apapun yang diyakini sebagai kebenaran mutlak, saya percaya bahwa kebenaran sejati hanya bisa diperoleh dari kehidupan yang terus berevolusi. Dari pengalaman-pengalaman otentik yang mendekatkan setiap orang pada realitas dirinya yang sejati. Kenapa relatif? Karena proses evolusi setiap orang tidak sama; layaknya proses tumbuh-kembang manusia secara fisik (ada anak yang umur setahun sudah bisa berlari, ada yang baru belajar berjalan. Ada yang sudah pandai cuap-cuap ketika berusia 2 tahun, ada yang baru belajar bicara, dan sebagainya), atau seperti faktor penyebab kebahagiaan yang sangat beragam. Nggak usah jauh-jauh ngomong bahagia, dari hal-hal terkecil yang biasa ditemui dalam hidup sehari-hari saja, banyak contoh kasus yang bisa dijadikan analogi.

Dulu saya tidak suka kopi, tapi sekarang ada saat-saat tertentu dimana saya sangat membutuhkan kopi (kheuseusnya ketika sedang begadang mengejar deadline, atau sedang ingin ngopi bergaya di kedai kapitalis *hai, Jeung*). Dulu, saya tergila-gila dengan kemeja-pas-badan dan celana panjang hitam, sekarang saya memilih untuk mengenakan t-shirt dan jeans kemana-mana. Waktu SD, saya selalu bertengkar dengan semua-anak-laki-laki-yang-cukup-apes-untuk-dipasangkan-semeja-dengan-saya, tapi sekarang saya menyukai pria-pria tampan bertubuh tinggi, berwajah indo, smart, berselera humor... *ini apaan sih?! Hahaha!*... dan selalu adu pendapat dengan teman saya yang menyukai cowok-cowok bertampang Asia nan eksotis dan berkepribadian lembut (LEMBUT, ya, bukan melambai). ;-D

Yang paling kentara secara fisik: dulu saya jerawatan parah, tidak sembuh-sembuh meski sudah mencoba berbagai produk, tapi sekarang yang tersisa hanya bekas-bekasnya – tanpa pengobatan. Menurut seorang teman yang juga ahli dermatologi, hal itu biasa terjadi. Penyebabnya adalah ketidakstabilan hormon yang akan reda dengan sendirinya seiring bertambahnya usia.

Dan masih banyak lagi perubahan yang bisa saya sebutkan sebagai contoh bahwa saya terus berproses bersama kehidupan.

Sederhana saja. Saya sedang berevolusi.

Perubahan. The most certain thing in the world.

Relativitas. Selama ada sesuatu yang disebut kebenaran sejati, akan ada relativitas dimana-mana.

Dan suka tidak suka, cepat atau lambat, kita akan berhadapan dengan momen dimana kita harus memilih: melepaskan apa yang selama ini kita genggam, atau terus menyimpannya sampai berkarat. Tidak mempertahankan apa yang sudah usang, atau memeluknya sampai mati. Meninggalkan sofa empuk untuk meneruskan perjalanan, atau bergelung dan menutupi wajah dengan selimut. Ikut berevolusi bersama kehidupan, atau tinggal dalam kondisi yang sama selamanya.

Siapkah kita, jika suatu saat kita berhadapan dengan realitas bahwa apa yang selama ini kita pegang erat-erat telah berubah menjadi ‘kebenaran usang’ yang tak lagi beriringan dengan proses evolusi kehidupan?

Siapkah kita, jika dihadapkan dengan momen dimana kita diharuskan untuk memilih, meski kita tak ingin menetapkan satu di antara dua (atau tiga, bahkan empat)?

Siapkah kita, jika ‘tanggal kadaluarsa’ itu tiba?

Apa yang akan kita lakukan?

Saya? Saya hanya punya satu harapan, sederhana saja: semoga hati ini bisa semakin diperluas untuk terus beradaptasi dengan setiap proses evolusi kehidupan, apapun wujud dan caranya.

Jika tiba saatnya saya harus melonggarkan jari untuk melepas, biarlah hal itu terjadi dengan natural, sebagaimana mestinya, karena memang sudah saatnya. Jika tiba waktunya untuk berubah, biarlah saya melepas semua yang selama ini saya jalani dengan lapang dada; nyaman tidak nyaman, suka tidak suka. Ketika tiba saatnya berhadapan dengan realitas dari kehidupan yang senantiasa bergerak dinamis ini, biarlah saya memiliki kebesaran jiwa untuk menerimanya... dan bergerak bersamanya.

Ya, semoga saya bisa. :-)

1 comment:

gurubiologi said...

salam kenal Mbak Jenny, saya terharu *menyeka air mata di sudut mata* dengan tulisan ini...saya termasuk orang yang sedang berjuang keras berusaha menerima evolusi kehidupan yang terjadi pada diri sendiri...Rasanya sungguh sulit, tapi saya harus belajar ,melonggarkan jari untuk melepas dan menerima realitas...Terimakasih, saya terinspirasi, termotivasi dan ter ter lainnya..Terimakasih.