Sunday, July 27, 2008

Mengenang dengan Senyuman

Rabu sore.

Jakarta Selatan entah-bagian-mana.

Lampu lalu-lintas berganti dengan lambat, menyebabkan kemacetan panjang yang melelahkan. Pengemudi taksi yang saya tumpangi (taksinya, bukan orangnya ;-D) menginjak pedal rem dengan hati-hati, sementara saya terbengong-bengong seperti orang dusun masuk kota melihat kepadatan yang berpotensi menimbulkan gangguan jiwa itu.

Menyadari perjalanan ini akan makan waktu lebih lama dari yang diperkirakan, saya mengeluarkan biskuit dan air mineral untuk mengganjal perut. Sambil mengunyah, saya berdoa supaya kemacetan ini tidak sampai membuat saya terlambat menghadiri sebuah pertemuan penting. Saya tidak ingin melampaui jam yang sudah ditentukan.

Ketika sedang konsentrasi membersihkan remah biskuit yang tercecer di jeans, saya terkejut karena si supir taksi mendadak tertawa heboh sambil bertepuk tangan.

Saya melongo.

Dugaan pertama, macet-edan-bego ini memang sungguhan berpotensi menimbulkan gangguan jiwa.

Sebelum sempat merumuskan asumsi kedua, saya mengetahui penyebab kegembiraan si supir.

Mengikuti arah pandangnya, saya menemukan seorang pengemudi bus patas AC yang sedang melambaikan tangan dengan bersemangat ke arah kami. Ia tersenyum lebar sambil menunjuk-nunjuk taksi yang saya naiki.

Si supir taksi mencondongkan tubuh, membuka jendela dan bertepuk tangan lagi, gantian menunjuk-nunjuk patas merah yang dikendarai si supir bus, kemudian mengacungkan jempol.

Saya memandangi mereka bergantian, geli karena keduanya bertingkah seperti anak kecil teman sepermainan yang sudah lama tidak bertemu.

Setelah jendela ditutup, saya bertanya spontan, “Memangnya kenal, Pak?”

*Dan langsung sadar: pertanyaan bodoh. Yyya iyyyalaaah, Jen. Hahaha!*

Si supir taksi mengiyakan. “Dulu dia yang bawa taksi ini, Mbak. Nggak lama habis saya diterima di sana, dia keluar, trus nggak pernah ketemu lagi. Eh, tau-tau sekarang udah nyupirin bis AC.”

“Oh...”

Lampu lalu-lintas berganti. Nggak ngefek sebetulnya, karena taksi saya hanya bisa maju beberapa milimeter *hiperbola* saking padat (dan leletnya) kendaraan-kendaraan di depan kami.

*By the way, saya mau titip pesan untuk para pengemudi kendaraan di Jakarta tercinta yang sering terjebak macet: kalau lampu sudah berganti hijau, mbok yaaao jangan santai jaya. Bolehlah ngapain aja selama lampu merah, tapi plis dong tetap alert terhadap pergantiannya. Dan coba ya, itu, jangan keasikan ngobrol dan baru maju setelah diklakson orang.*

Saya menoleh ke arah bus patas merah itu, ingin melihat pengemudinya lagi.

Dia masih ada di sana. Menumpangkan dagu di atas kedua tangannya yang terlipat di jendela. Tersenyum. Sepasang matanya tak lepas menatapi taksi saya. Senyum itu membuat wajahnya berbinar dengan ekspresi yang sulit diartikan, namun entah bagaimana, saya seperti melihat kedamaian di sana. Secercah hangat yang tiba-tiba membuat saya merasa nyaman.

Untuk sesaat, saya sangat ingin tahu apa yang ada dalam benaknya. Apa yang membuatnya tersenyum seperti itu. Apa yang menyebabkan wajahnya berbinar damai. Apa yang membuat lengkungan lembut itu betah tersungging di sana.

Kenangan akan masa lalu? Pengalaman manis? Kesedihan? Atau sesuatu yang lucu?

Saya memalingkan wajah, kembali menatap ke depan – ke deretan kendaraan yang menyemut seolah tak ada habisnya. Lalu mata saya tertumbuk pada sebuah billboard raksasa bernuansa merah-kuning yang berdiri angkuh di sisi jalan.

PERUBAHAN ITU PERLU.

Itulah satu-satunya kalimat yang tertera di sana.

Selama beberapa detik, saya hanya termangu menatapi tulisan itu. Lagi-lagi, dengan cara yang ajaib, Sang Pencipta menunjukkan kebesaran-Nya. Memberi satu lagi peneguhan dan kekuatan untuk hati kecil yang kerap meragu ini. Menciptakan sinkronisitas untuk meyakinkan saya bahwa jalan yang sedang saya tempuh adalah jalan yang benar – setidaknya untuk saat ini. Mengalihkan fokus saya dari berbagai hal yang menyita perhatian dan terkadang begitu menjemukan, untuk sekejap menyapa dan memberitahu bahwa saya tak pernah sendirian dalam menapaki perjalanan panjang ini.

Lampu lalu-lintas belum berganti. Mobil-mobil semakin menyemut, putus asa sekaligus pasrah terhadap kemacetan Rabu sore yang menguras kesabaran. Supir taksi saya tak kalah frustrasi. Ia menghela nafas panjang dan mengangkat kedua tangannya, melipatnya dan menyandarkan kepalanya di sana seolah ingin mengusir penat.

Saya merapatkan cardigan untuk mengusir hawa dingin. Sebelum ikut merebahkan kepala di sandaran jok taksi, sekali lagi saya menoleh, ingin mematri satu sinkronisitas lagi yang singgah di hadapan saya sore itu.

Pengemudi bus itu masih ada di sana, dalam posisi yang sama. Dan dia masih tersenyum.

Saya menatapnya, lama. Perlahan, saya membisikkan sebait doa dari hati yang terdalam.

Apapun yang terjadi di depan sana, apapun yang menunggu saya kelak, apapun yang akan saya alami dalam perjalanan dan evolusi kehidupan yang terus bergulir ini; sesal atau senang, gembira atau sedih, kebanggaan atau kekecewaan, hanya satu harapan saya: semoga saya bisa senantiasa mengenangnya dengan senyuman.

:-)


*Tulisan ini didedikasikan untuk dua orang kawan sekaligus guru yang telah memungkinkan perjalanan-Rabu-sore saya terwujud. Thanks for everything. Most importantly, thanks for being there. ;-)

1 comment:

Debra O said...

Great blog I enjoyed reeading