Sunday, February 28, 2010

180 Menit

… tanpa koneksi internet, percakapan dengan siapa pun, atau banjir informasi yang tiada berhenti.

180 menit yang sunyi, kendati hiruk-pikuk di sekitar saya mengalahkan keramaian Pasar Minggu.

180 menit bersama secangkir kopi beraroma hazelnut, langit sore, dan koran edisi terbaru.

180 menit yang memberi tahu saya bahwa

Para barista di gerai kopi ini tampaknya sudah melewati seleksi tampang sebelum diterima bekerja.

Barista jangkung berkulit putih dan berambut spikey punya senyum yang melelehkan hati.

Petugas kebersihan berseragam kotak-kotak tak henti-hentinya mengelapi kaca yang sama.

Pengki yang digunakan petugas kebersihan berwarna merah muda.

Arloji lelaki berperut buncit di meja seberang berwarna coklat keemasan yang berkilau ditimpa sinar mentari.

Gadis-gadis pra-remaja yang datang dengan teman atau orangtua hampir semuanya mengenakan Crocs merah jambu dalam berbagai gradasi warna.

Sebagian besar pengunjung menenteng BlackBerry dengan cover beraneka warna. Ungu. Hijau. Kuning. Putih. Biru.

Pria dan wanita di meja sebelah tidak saling bicara sejak mereka duduk.

Masih ada dunia selain semesta maya sumber informasi yang berada dalam jangkauan kita duapuluhempat jam sehari.


Juga bahwa

Senja ini indah sekali, kendati langit tak cerah

Dan saya tak henti-hentinya tersenyum.


-----


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Monday, February 15, 2010

Sederhana

Kamu bagaikan gula-gula kapas
Manis, legit, memikat
Membuat ketagihan
Kendati kutahu kehadiranmu tak bertahan lama

Kamu seperti pasir
Datang dan sirna dibawa ombak
Lepas berhamburan
Jika terlalu erat digenggam

Kamu layaknya api
Membakar dan menghanguskan
Namun tetap saja aku mendekat kepadamu
Mencari hangat dan pijarmu

Kamu tak ubahnya rembulan
Hanya bisa dipandangi
Tak tergenggam,
Tak sanggup kumiliki.

Aku tak paham puisi-puisi rumit
Dan aku bukan penggemar Sapardi
Namun kamu membuatku mengerti isi hati pujangga
Dan mengapa mereka bisa mencipta larik seindah bunga.

Izinkan aku menyayangimu dengan sederhana
Entah kamu gula-gula kapas, pasir, api, atau rembulan
Karena dengan kamu dalam dekapku
Aku tak lagi peduli akan siapa dan mengapa

Maka, biarkan hatiku jatuh bebas
Entah ia terjun, menukik, berputar
Terjerembab, tersandung, terpelintir
Biru lebam, berdarah, atau berkilau

Biarkan rasa ini ada
Selama aku masih diizinkan menggenggam
Selama ia masih ingin berlabuh
Selama ia masih mampu mengalir

Dan izinkan aku menyayangimu dengan sederhana.

~ Februari 2010, untuk Hari Kasih Sayang. Terinspirasi oleh puisi ini. ~

-----


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Tuesday, February 2, 2010

Ho'oponopono

Kurang-lebih satu tahun lalu, saya mengikuti sebuah retreat meditasi di mana instrukturnya adalah sahabat saya sendiri. Dalam sesi pembuka dari retreat yang berlangsung selama empat hari itu, ia mengajak seluruh peserta melakukan Ho’oponopono, sebuah teknik penyembuhan berbasis meditasi yang berasal dari Hawaii.

Ho’oponopono terdiri dari empat kalimat singkat “I’m sorry”, “Please forgive me”, “I love you”, dan “Thank you” yang diucapkan secara berurutan sambil menyadari masalah yang sedang dihadapi. Setiap peserta bebas mengucapkan apa pun yang menjadi ganjalan batinnya dan mengakhiri curhat singkat itu dengan empat kalimat tadi.

Bukan hal mudah bagi saya untuk melakukan teknik sederhana itu. Saya sedang menjalani proses penyembuhan dari perpisahan yang saya alami berbulan-bulan sebelumnya—perpisahan menyakitkan yang diiringi banyak air mata dan membuat saya menangis hampir setiap hari. Saya kecewa. Saya marah. Saya terluka. Saya menyalahkan. Dan kini saya harus mengucapkan “I’m sorry, please forgive me...”? Tidak bisa.

Saya bergumul selama sesi berlangsung. Beberapa minggu setelah retreat, dalam pertemuan pribadi dengan sahabat saya, saya berkata terus terang, “Saya tidak sanggup berkata 'I’m sorry' dan 'Please forgive me' dengan tulus karena apa yang terjadi bukan kesalahan saya. Sayalah yang terluka. Sayalah yang menjadi korban. Saya bahkan belum bisa memaafkannya, bagaimana mungkin saya harus minta maaf kepadanya?”

Sahabat saya menjawab dengan tenang, “Ho’oponopono tidak ada hubungannya dengan orang yang menyakiti kamu. Kamu tidak sedang meminta maaf kepadanya. Teknik ini baru akan berhasil ketika dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa kita memiliki andil dalam setiap penderitaan kita.”

Saya menatapnya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin saya memiliki andil dalam penderitaan saya sendiri—atau dengan kata lain, saya turut bertanggungjawab atas penderitaan ini? Jelas-jelas bukan saya yang salah. Jelas-jelas saya disakiti. Jelas-jelas sayalah korbannya. Konsep itu sama sekali tidak masuk akal.

Butuh satu tahun bagi saya untuk bisa betul-betul memahami esensi dari pernyataan tersebut.

Butuh satu tahun bagi saya untuk bisa menyadari bahwa orang lain memang tidak bisa membuat saya menderita. Harapan dan ketakutan sayalah yang membuat saya menderita.

Untuk sadar bahwa orang lain bisa melakukan hal yang paling nista terhadap saya, namun saya bertanggungjawab atas setiap kemarahan, ketakutan, kekhawatiran, harapan, rasa tidak aman, dan banyak hal lain yang timbul dari batin saya sendiri.

Untuk sadar bahwa ketika saya menuntut orang lain untuk berubah menjadi seperti yang saya inginkan, tidak peduli label apa yang saya lekatkan di atasnya, itu bukanlah cinta.

Untuk sadar bahwa saya tidak pernah memiliki kendali atas hidup orang lain. Saya tidak bisa mengubah satu orang pun, dan akhirnya saya tersakiti bukan oleh tindakannya, melainkan oleh pengharapan saya sendiri.

Untuk sadar bahwa setiap pilihan mengandung resiko dan konsekuensi, namun saya tidak perlu mencicil keduanya lebih awal hanya karena saya hidup dalam harapan dan kekhawatiran.

Untuk memahami bahwa cinta memang tidak bersanding dengan harapan dan ketakutan. Ada perbedaan yang sangat besar di antara tiga hal tersebut, sekalipun saya teramat sering mencampurkan ketiganya dan menyebutnya cinta.

Untuk sadar bahwa cinta tidak pernah tumbuh dari masa lalu atau terkubur di masa depan. Ia hanya ada di sini dan sekarang.

Untuk sadar bahwa cinta tidak perlu dicangkangi. Seperti kita tak berusaha mewadahi awan atau mengandangi sinar mentari.


***

Hari ini, ketika saya menuliskan artikel ini, setitik air mata jatuh perlahan.

Untuk rasa syukur karena saya tak lagi perlu menyalahkan orang lain atas apa yang saya alami. Untuk hidup yang telah memberi begitu banyak keajaiban dengan caranya sendiri; yang telah mengizinkan saya untuk mengalaminya, bersentuhan dengannya, dan bertumbuh darinya.

Untuk mereka yang menangis karena suami yang berselingkuh, kekasih yang abusif, pacar yang semena-mena, sahabat yang mengkhianati kepercayaan, anak yang berlaku kurang ajar, orang tua yang tak pernah menunjukkan rasa sayang, dan banyak lagi.

Untuk harapan-harapan yang tak pernah mati dan kekhawatiran yang datang menghantui setiap malam. Bagaimana jika dia kembali berselingkuh. Bagaimana kalau dia sedang bersama wanita lain. Bagaimana kalau dia menyakiti saya lagi. Bagaimana jika dia ternyata belum berubah. Bagaimana jika saya dikhianati lagi. Dan sejuta ‘bagaimana’ lain.

Untuk kekecewaan yang hadir tatkala harapan tidak terpenuhi dan getir yang merampok batin ketika ketakutan benar-benar menjelma nyata.

Untuk mereka yang berjuang keras mencinta dan mempertahankan cinta.

Untuk setiap luka.

Untuk setiap pedih.

Untuk setiap harapan.

Dan ketakutan.


“I’m sorry.”
“Please forgive me.”
“I love you.”
“Thank you.”


Bukan tentang ‘apa’, ‘siapa’, atau ‘mengapa’. Tapi tentang kita.

-----

*Sebuah catatan yang diinspirasi oleh tulisan ini.