Monday, March 23, 2009

The Best Gift

Satu kalimat yang diucapkan Reza sebelum memulai meditasi pada hari pertama retreat, 26 Februari 2009, adalah, “Lihat ke sekeliling kalian, setiap orang di ruangan ini adalah hadiah bagi satu sama lain.”

Mustahil. Itu yang dibisikkan benak saya saat saya menebarkan pandangan, bertukar tatapan dan senyum kepada peserta-peserta lain yang duduk membentuk lingkaran. Bagaimana mungkin empatbelas orang yang datang dari berbagai latar belakang berbeda, yang masing-masing membawa setumpuk persoalan –batin maupun fisik—dan tidak saling akrab bisa menjadi hadiah bagi satu sama lain?

Esoknya, dan berhari-hari sesudahnya, keraguan saya berangsur pupus. Empat hari bersama empatbelas orang yang kini menjadi sahabat-sahabat saya ternyata memberi begitu banyak pengalaman dan pembelajaran berharga, jauh melebihi yang saya bayangkan ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Ubud.

Meditasi intensif yang saya ikuti di Mendut menggunakan teknik tunggal yang diterapkan oleh para peserta selama tiga hari penuh. Dalam retreat yang dipimpin Reza, teknik yang digunakan dalam tiap sesi hampir selalu berbeda. Sebagian besar teknik tersebut cukup sering kami gunakan dalam Meditasi Mingguan. Kadang, saya menyambutnya dengan antusias, namun tak jarang pemikiran yang mampir hanya sebatas, “Oh, teknik ini lagi.”

Beberapa kali saya mengeluh dalam hati ketika teknik yang sama diulang lebih dari sekali. Lambat laun, segala ekspektasi yang saya simpan pun bertransformasi menjadi bosan, lelah, jenuh, penat, bahkan muak. Kondisi ini lazim disebut sebagai fase krisis yang nyaris selalu dijumpai dalam meditasi intensif. Umumnya, fase krisis hadir selama retreat berlangsung, setelah retreat usai, bahkan tak jarang hingga berbulan-bulan sesudahnya (saya sendiri sampai hari ini masih mengalami berbagai fase krisis yang cukup fluktuatif).

Perjalanan mengenal diri bisa jadi sesuatu yang amat melelahkan, bahkan membuat frustrasi. Dan perjalanan ini pulalah yang sesungguhnya ditempuh oleh setiap orang di muka Bumi. Hidup tak lain dari proses panjang untuk menemukan siapa diri kita yang sejati, dan sayangnya, pengetahuan itu takkan datang dari referensi orang, buku self-help, lingkungan sekitar, bahkan didikan orang tua, kendati seringkali kita mengira sebaliknya.

Diri Sejati hanya dapat dijumpai melalui pengalaman pribadi yang bersifat otentik, dan proses pencarian itu bisa makan waktu jauh lebih lama dari yang dapat dibayangkan. Diri Sejati tidak pernah beranjak dari kita. Ia selalu ada, namun berbagai lapisan yang tertumpuk di permukaan kesadaran -yang disebabkan oleh begitu banyak hal dalam hidup- membuat kita perlu berupaya ekstra keras untuk ‘merogoh’ lebih dalam dan ‘menyelam’ ekstra jauh demi bersua dengan Diri.

Segala upaya yang kita lakukan pun pada akhirnya harus dipasrahkan, karena gerbang menuju pengenalan Diri Sejati tidak ubahnya sebuah istana tanpa pintu. Kita dapat mengerahkan segala daya untuk mencapainya, namun ketika tiba di ambangnya, kita hanya bisa menyerahkan hasilnya kepada Sang Pemilik Hidup. Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Barangkali terdengar klise, namun sungguh itulah yang saya rasakan dan alami selama pencarian panjang ini.

Dari bermacam teknik meditasi yang pernah saya lakukan, Dyad selalu mendapat tempat khusus di hati saya, karena selain dilakukan berpasangan, sejauh pengalaman saya inilah salah satu teknik meditasi yang memiliki daya gali paling dalam. Pengelupasan lapisan batin secara menyeluruh dimungkinkan oleh teknik meditasi yang satu ini, meskipun teknik-teknik lainnya juga memiliki daya kuras yang cukup dalam. Segala hal bisa terjadi dalam Dyad. Dan dalam retreat kali ini, dimana kami melakukan enam sesi Dyad (masing-masing terdiri dari enam ronde dimana kami bergantian menjadi komunikator dan pendengar), saya mendapati begitu banyak permata berharga ketika kami bersama-sama berproses dan mengeruk lapisan batin masing-masing.

Bagi saya, Dyad merupakan sarana sekaligus wadah yang membebaskan setiap orang untuk mengekspresikan apa pun yang muncul di permukaan kesadarannya dengan utuh. Orang yang berperan sebagai komunikator bertugas menyampaikan dengan jujur, tuntas, dan lengkap apa pun yang timbul sebagai hasil dari pengamatan dan kontemplasinya atas sebuah instruksi: “Beritahu saya siapa diri Anda”. Sederhana, mudah diingat, dan selalu sama. Saya telah mengikuti sekitar duabelas ronde Dyad selama tujuh bulan terakhir, dan instruksi itu tidak pernah berubah.

Kadang, apa yang disampaikan oleh komunikator berupa curhat nonstop selama bermenit-menit. Atau luapan emosi berupa tangis, tawa, bahkan amarah. Tak jarang pula muncul berbagai fenomena dan ‘tingkah ajaib’ selama proses. Nyaris tidak ada kejadian sama persis yang terulang dalam tiap sesi Dyad, kecuali bila komunikasi yang disampaikan dalam ronde sebelumnya belum cukup tuntas sehingga kembali muncul di permukaan kesadaran dalam putaran berikutnya. Karena itu pula, Dyad menjadi ajang terwujudnya segala ‘kegilaan’, ‘kesintingan’, dan ‘ketakwarasan’ (wait... gila, sinting dan nggak waras itu sama aja, ya? ;-D) yang barangkali tidak akan dijumpai di ‘dunia normal’. Bukan hal aneh apabila di tengah putaran Dyad terdengar jeritan, rengekan, racauan, bebunyian aneh, dialek bahasa asing, dan sebagainya dari seluruh penjuru ruangan.

Selama sang komunikator menyampaikan apa yang muncul dalam medan kesadarannya, pasangan Dyad-nya –sang pendengar—bertugas menyediakan telinga, hati dan keberadaannya secara penuh. Ia bertugas mengamati total, tanpa menilai, tanpa menghakimi. Ia bahkan tidak diijinkan memberi pendapat, saran, pertanyaan, atau instruksi selain lima kata tersebut. Ia hanya hadir sepenuhnya, dan meski terdengar sederhana, ini sama sekali bukan hal mudah. Menahan diri dari bereaksi ketika pasangan Dyad meluapkan perasaan (plus melakukan berbagai hal yang tidak lazim) bisa jadi sesuatu yang amat sulit dilakukan.

Uniknya, teknik meditasi yang kerap diwarnai ledakan emosi ini senantiasa memberikan dampak yang luar biasa bagi para peserta yang terlibat. Tak terkecuali saya. Dalam salah satu sesi, saya terpingkal-pingkal selama tigapuluh menit saat mendengarkan penuturan partner saya (dalam Dyad, hal ini diperbolehkan, selama sang pendengar mampu menjaga fokusnya dan tidak memberikan reaksi yang melampaui intensitas komunikasi pasangannya). Saya terbahak-bahak sampai perut kram. Lucunya, setelah kenyang tertawa, yang muncul berikutnya bukan rasa senang, melainkan hampa. Seakan-akan seluruh energi saya terkuras sampai tidak ada tenaga yang tersisa untuk berpikir dan bergerak. Ketika saya terbingung-bingung dan mulai merasa frustrasi akibat perubahan ganjil tersebut, mendadak kesadaran murni mengambil alih perhatian saya dan menghadirkan pencerahan yang selanjutnya saya tulis dalam entri ini.

Sekalipun saya dapat menjelaskan teknik dan ‘aturan bermain’nya, pengalaman Dyad termasuk yang paling sulit digambarkan dengan kata-kata. Satu-satunya cara untuk memahami Dyad secara utuh adalah dengan mengalami langsung. Barangkali salah satu faktor yang membuat Dyad memiliki daya kuras yang amat besar adalah karena di dalamnya tercampur empat aspek terpenting yang sangat esensial dalam proses pencarian Diri, yakni meditasi, kontemplasi, komunikasi jujur, dan mendengarkan sepenuh hati.

Meditasi dan kontemplasi adalah sesuatu yang bisa dipraktekkan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, karena untuk melakukannya tidak dibutuhkan kehadiran seorang rekan. Namun berkomunikasi secara jujur dan mendengarkan sepenuh hati mustahil dilakukan tanpa kehadiran seseorang. Dan, sungguh, kedua hal ini sama sekali tidak sepele artinya, kendati kehidupan (di kota besar khususnya) kerap membuat kita mempercayai sebaliknya.

Salah satu kendala terbesar untuk mengkomunikasikan isi hati secara jujur, utuh dan tuntas adalah kekhawatiran atas reaksi yang akan dimunculkan oleh lawan bicara kita. Dan salah satu hambatan untuk mendengarkan sepenuh hati adalah godaan untuk mengajukan pendapat dan memberikan penilaian, meski hanya sebatas dalam batin. Rasanya tidak berlebihan bila saya berpendapat bahwa komunikasi yang jujur dan mendengarkan sepenuh hati bagaikan barang langka dalam kehidupan sehari-hari, dimana setiap hari kita bergulat di bawah tekanan dan berhadapan dengan berbagai jenis manusia yang kadang-kadang kelakuannya lebih setan daripada setan. Dalam Dyad, kedua hal itu dimungkinkan, dijalani, dan dialami sepenuhnya. Hasilnya, mereka yang pernah melakukan meditasi berpasangan dengan teknik Dyad berpotensi menjadi pendengar yang lebih baik, sekaligus komunikator yang lebih jujur dari sebelumnya.

Selain Dyad dan teknik meditasi lainnya, sesi diskusi dan berbagi pengalaman juga memberi manfaat yang tidak kecil bagi seluruh peserta retreat. Di sini, setiap peserta bebas menceritakan apa saja yang ia rasakan dan alami ketika berproses. Karena fase krisis adalah hal yang sangat lumrah terjadi dalam meditasi intensif, tak jarang sesi diskusi berubah menjadi ajang curhat.

Uniknya, sekalipun curhat identik dengan sampah batin, kami justru merasa sedang bercermin dalam pengalaman satu sama lain. Entah bagaimana, kami mampu saling memahami dengan begitu mendalam. Pelan namun pasti, puzzle yang kosong di sana-sini mulai mengutuh, memperlihatkan kepada setiap orang –dengan cara yang berbeda-beda— lukisan apa yang dijatahkan hidup bagi mereka. Murni, apa adanya. Utuh, tanpa selubung.

Pada hari keempat, menjelang berakhirnya kebersamaan kami, Reza kembali mengingatkan bahwa kami semua adalah hadiah bagi satu sama lain. Apa pun yang kami alami, pencerahan apa pun yang muncul, semuanya terjadi karena kehadiran cermin-cermin jiwa yang membantu setiap orang untuk melongok lebih jauh ke dalam diri. Dalam keheningan, kami telah menjadi rekan dan penolong terbaik untuk satu sama lain.

Kali ini, saya tak menyanggah pernyataan itu. Empat hari di Ubud, bergeming bersama empatbelas rekan yang menjelajah ke dalam diri di keheningan yang bening, telah menyadarkan saya, betapa sesungguhnya saya tak pernah sendirian, kendati perjalanan ini amatlah sunyi.

Ada begitu banyak mutiara yang saya dapatkan selama retreat, kendati sebagian dari mereka saya temukan dalam fase krisis dimana jenuh dan muak mendominasi. Meski saya berusaha berbagi dan bercerita sebaik mungkin, nyaris semua pengalaman meditasi mustahil diungkapkan dengan kata-kata, dan pada akhirnya, sama seperti hal-hal lain dalam hidup, pengalaman ini pun akan berlalu.

Pengalaman ini boleh datang dan pergi kapan pun, dan di saat yang sama, ia tetap ada. Ia dapat tertimbun oleh debu batin, meredup dan mengusam oleh waktu, namun ia tak lekang oleh jaman. Tidak akan ada perbendaharaan kata yang cukup untuk menampung semua rasa dan pengalaman yang didapat dalam keheningan. Pada akhirnya, yang tersisa dari semua upaya dan usaha hanya kebenaran paling sejati, yang otentik dan sah bagi sang pengamat.

Di pagi pertama bulan Maret, ketika denting bel menyudahi masa hening di tepi sungai, ketika kami saling menyelamati dan mengungkapkan cinta dan terima kasih kepada satu sama lain, hati saya diliputi haru. Ternyata Vajra tak hanya ada di dalam jiwa. Ia juga hadir dalam wujud sahabat, dimana kita bercermin dan menemukan pantulan Diri.

Setelah keheningan resmi berakhir, kami beramai-ramai menceburkan diri ke sungai. Puas bermain air, kami meniti tambang untuk pergi ke air terjun di balik bebatuan. Di bawah birunya langit Ubud, di antara gemuruh arus dan percikan air besar-besar, saya menyempatkan diri untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dalam empat hari, saya mendapatkan empatbelas saudara baru.

:-)

Untuk kalian semua, rekan-rekan seperjalanan yang dengan cara masing-masing telah merintis setapak ke dalam jiwa saya: terima kasih banyak. Kalian adalah permata hati. Each one of you. Terima kasih karena kehadiran kalian telah melengkapi ruang kosong dalam teka-teki gambar raksasa ini. Terima kasih karena melalui kalian saya menemukan pantulan Diri Sejati. Terima kasih telah berbagi pengalaman, pembelajaran, kejujuran, air mata, tawa, hening… dan di atas segalanya, terima kasih telah ada.

Untuk sahabat-sahabat saya, Reza Gunawan dan Dewi Lestari: terima kasih telah menjadi kawan sejiwa dalam menapaki lingkaran tak berujung ini, yang senantiasa saya syukuri sepenuh hati. Kita tak perlu lebih banyak kata. Sungguh. Kegemingan, dan kebeningan ini, sudah lebih dari cukup.

Have a safe journey.

-----

4 comments:

Anonymous said...

nice writing

Anonymous said...

Jenny yang baik,
hidup, adalah perjalanan menjemput tiap buih waktu dalam interaksi diri dengan kenyataan
hidup, berisi gulir negosiasi dengan sejuta pilihan, reaksi apa yang akan diberi atas kenyataan yang rasanya mencekik harapan, seolah memaksa diri (hanya punya)satu jalan yang maha sempit. Saya sedang bergumul, memeras kesabaran dan kepasrahan saya pada 'jalan cerita' hidup yang harus saya terima saat ini. Tantangan rasanya ramai-ramai memblokir dari segala arah, dari masalah keluarga, masalah karir, dan kebutuhan aktualisasi/panggilan diri yang harus berhitung dengan batu-batu tantangan tersebut. Saya yakin, ini adalah ladang subur untuk memberikan jalan tumbuh bagi benih sudi berkorban, benih tak kenal kata menyerah untuk menyemangati koko untuk bangkit membangun usahanya kembali (seperti yang telah dilakoni alm Papa, tidak pernah kehabisan asa untuk membuka pikiran koko), yang terpenting mungkin memampukan koko untuk bisa menyemangati dirinya sendiri, menemukan kepercayaan dirinya kembali. Napas saya harus berhitung dengan semua ini Sahabat. Hadiah terbaik sedang menunggu dalam rute ikhlas menerima 'skenario' yang harus saya perankan.

salam hangat,

Chindy Tan

Jenny Jusuf said...

Thanks for sharing, Mbak. Doa saya selalu menyertaimu. I wish I have great words to say, but I don't. Namun satu yang cukup pasti, setidaknya untuk saat ini, perjalanan ini -lingkaran ini- boleh terus ada, dan di dalamnya kita bergandengan. :-)

chindy tan said...

that's more than enough sist;)
let honesty and patience be our guide...