Monday, July 26, 2010

Rotan

Suatu senja di Jahanjang, Kalimantan Tengah
Dia membersihkan rotan dengan sarung kumal dan rantai
Pakaiannya seadanya, mukanya masih tersaput bedak
Hasil beramai-ramai menyambut rombongan yang datang dari Jawa


Dia bekerja sambil tersenyum
Sadar bahwa kamera mengintai, siapa tahu nanti bisa masuk TV
Ketika ditanya upahnya
Dia menjawab lugas


“Seharian begini bisa dapat empatpuluh sampai enampuluh…”


Ribu rupiah, maksudnya
Untuk empat ratus pucuk rotan berukuran tiga kali lipat tinggi badannya
Yang dibersihkan dengan cara ditarik dan digerus rantai
Sehari penuh, tak henti, tanpa jeda


Matahari terik menyengat
Tak sanggup ditahan terpal rombeng di atas kepala
Kakinya beralas sandal usang
Barangkali sudah kebal disengat duri rotan


Saya tergugu
Kamera cuma mampu mengambil sebuah gambar
Mata saya membasah
Teringat segelas kopi berharga sama yang mudah saya reguk tanpa kerja keras


Hidup memang tidak adil buat sebagian orang,
Mungkin kau bilang begitu
Tapi senyum di wajahnya
Tak bisa kau beli, kawan.


Friday, July 9, 2010

Jarak

Sinar keemasan sudah menerobos dari tadi, tak mampu dibendung tirai coklat yang menjuntai sampai lantai.

Kau menggeliat. Bisa kudengar desahanmu karena punggung kita cuma terpaut belasan senti. Desah panjang pertamamu di pagi hari.

“Jam berapa?” kau bergumam. Separuh nyawamu masih di dunia lain. Aku tak menyalahkan. Semalam memang cukup melelahkan.

Aku sudah bangun satu jam lalu, menatapi ruangan gelap yang perlahan menjadi terang.



Tidak satu hari pun berlalu tanpa kucoreti angka-angka di kalender yang tergantung di kamar. Setiap hari kuhitungi jarak ke pertemuan berikutnya di mana aku bisa menatapmu, mendekapmu, dan merasakan hangat napasmu di leherku. Tubuhku yang telanjang. Jiwaku yang merindu.

Tak satu hari pun kulewatkan tanpa mengingatmu. Sekadar menyebutkan namamu dalam hati, atau tersenyum saat melewati foto dalam pigura di meja kopi. Foto yang kerap kau protes, “Taruh di kamar aja lah, Say. Nggak enak kalau kelihatan orang.”

“Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda,” itu yang sering kau bilang. Dan aku setuju.

Kau kemari setiap bulan untuk memuaskan yang kedua.

Payudara kanan istrimu tak mampu lagi merasa. Pengangkatan dan implantasi telah mengubah segalanya. Mengubah hidupnya, dan pernikahan kalian. Tubuh ringkihnya sudah menggemuk sejak pertemuan pertama kita di lorong rumah sakit empat bulan silam, namun semuanya memang tak pernah sama lagi.

Penyakit itu muncul setahun yang lalu. Jam-jam panjang penuh duka, air mata, rintihan dan keluhan terlalu lama menderamu. Mengurasmu. Kini ia kembali ke sisimu. Tempat tidurmu tak lagi terlalu luas, namun ada jarak lain yang lebih sukar diseberangi.



Setiap bulan kita mengulangi ritual yang sama.

Kau akan muncul di apartemen ini, mendekapku erat dan berkata betapa kau merindukanku. Aku akan tersenyum dan membuka sebotol anggur yang tak pernah absen tersedia di meja makan.

Kau akan bercerita, kadang dengan kelelahan di matamu, kadang dengan senyuman. Tentang pekerjaanmu, tentang anak-anakmu. Si Sulung yang mulai menyesuaikan diri di sekolahnya yang baru. Si Bungsu yang sudah lincah dan tidak bisa duduk diam barang semenit. Dan, kadang, tentang istrimu. Aku akan mendengarkan dengan antusias. Cerita-ceritamu selalu menarik, dan yang terpenting, kau membaginya denganku.

Sambil bercerita, sesekali kau melirik telepon genggam.

Kau tak pernah meninggalkan benda itu barang sekejap. Satu meter maksimal jaraknya darimu, bahkan ketika kita sedang memadu nafsu. Teleponmu akan berdering minimal satu kali, pada waktu yang nyaris selalu sama. Sikapmu biasa-biasa saja, namun tak bisa kau bohongi gerak gesitmu saat nada dering yang kau pasang khusus untuknya berbunyi, dan tak bisa kau pungkiri betapa tuturmu menghalus saat berbicara dengannya. Betapa matamu berbinar penuh cinta meski kalian tidak sedang bertatapan.

“Aku masih meeting. Tidurlah. Besok aku pulang,” demikian ucapmu selalu. Diakhiri dengan tiga kata yang memang menjadi jatahnya. Yang sudah kau ukir di hatimu sebelum kau memintanya mendampingimu seumur hidup.

Kau menutup telepon dan meletakkannya di meja kecil di sisi tempat tidur agar mudah dijangkau. Lalu kau merengkuhku, menciumku. Aku mendekapmu, membiarkanmu beristirahat, merasakan desah napasmu di pundakku yang telanjang. Napasmu yang perlahan memburu.

Selama beberapa jam berikutnya, kau menjadi milikku sepenuhnya. Selama itu pula, cuma aku yang ada di pikiranmu. Bukan pekerjaanmu. Bukan anak-anakmu. Bukan dia. Cuma namaku yang akan kau sebutkan, cuma harumku yang akan kau hirup, bercampur dengan erangan dan peluh yang menetes. Beberapa jam yang rela kutukar dengan mencoreti kalender setiap hari, menyebut namamu, memandangi fotomu.

30 hari yang kadang bagai neraka, namun takkan kutukar dengan apa pun.

30 hari yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan beberapa jam keberadaanmu di sini. Meskipun setelahnya kau membalikkan badan dan tertidur pulas, membiarkanku terjaga sendirian. Meskipun esoknya kau tergesa-gesa meninggalkan kamar ini untuk mengejar pesawat terpagi.



Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda. Kau datang ke sini setiap bulan untuk memenuhi yang kedua, lalu kau akan pulang untuk memberikan cinta pada dia yang menunggumu.

Dan sejauh itulah jarak yang bisa kuarungi untuk pulang ke hatimu.

-----