Monday, November 17, 2008

Rahasia

Siang tadi, Nak, aku tersenyum. Mengintip wajah lelapmu di balik selimut. Menyimak bibir mungilmu yang membentuk sebuah lengkungan lembut. Menebak-nebak, mimpi apa yang membuatmu tampak begitu damai.

Lalu, aku teringat sesuatu. Tepatnya, seseorang. Tidak, banyak orang.

Ingatanku melayang pada mereka, yang menganggapmu makhluk malang karena harus membagi cinta pada ayah dan ibu yang telah berseberangan jalan selagi kau masih terlalu muda untuk mengerti makna perpisahan. Mereka yang menyangka kau telah kehilangan begitu banyak kesenangan saat kanak-kanak seusiamu sedang rakus-rakusnya mereguk kegembiraan. Mereka yang mengira hidupmu tak lagi lengkap karena kau tidak seperti anak-anak mereka yang orangtuanya tinggal di bawah atap yang sama dan tidur dalam kamar yang sama, meski kita tak tahu apa yang terjadi di balik ruangan berdinding empat itu. Mereka yang menatapmu dengan sorot iba dan menggeleng prihatin akan masa depanmu yang (katanya) menggantung suram seperti langit mendung pukul enam.

Mereka yang mengira… ah, sulit aku mengatakannya, Nak… mereka yang mengira engkau terluka, sengsara, pahit, dan tidak bahagia.

Beramai-ramai mereka berdoa untuk kebahagiaanmu. Mungkin karena mereka sungguh peduli. Mungkin juga karena ego mereka terusik tatkala melihatmu duduk dengan senyum terentang. Dan mereka tak putus-putusnya berceloteh tentang cinta, Tuhan, perpisahan, dan kebenaran. Yang belum mereka ocehkan mungkin cuma akhirat, karena mereka belum pernah mati, meski kalau kutilik dari cara mereka berbicara, separuh dari mereka barangkali sudah hidup di neraka.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak.

Kebahagiaan bukan substansi tanpa wujud yang melayang-layang di udara -menunggu diraih- sementara jutaan orang beriak-riak di bawahnya seperti cacing kena garam, menggapai putus asa sekadar untuk mencicipinya barang sekelumit. Kebahagiaan, Nak, adalah apa yang kutemukan di wajahmu ketika kau berlarian tak tentu arah sambil menari-nari dan berlompatan. Kebahagiaan adalah binar yang kutangkap di matamu saat kau berceloteh panjang lebar dalam bahasa yang hanya kau mengerti sendiri. Dan kebahagiaan itu, Nak, didamba begitu banyak orang, bahkan oleh mereka yang menyangka dirinya tahu arti bahagia.

Kebahagiaan, Nak, adalah sesuatu yang membuat banyak orang rela kehilangan jam-jam tidur berharga, memperlakukan tubuh bak mesin yang dinamonya bisa diputar hingga melampaui limit dan mati-matian memeras segumpal sel di balik jidat demi menghasilkan lebih banyak daya untuk bekerja lebih keras, lebih giat, lebih rajin, yang dikiranya akan mendatangkan lebih banyak uang, lebih banyak stempel sukses, dan lebih banyak kesenangan. Lalu mereka duduk, menghela napas panjang, kecapaian, dan menyangka telah mencapai. Tersenyum hanya untuk sesaat, karena tak ada cukup ruang untuk jeda di sini. Terlalu banyak yang harus diraih. Terlalu banyak yang harus dikejar. Dan mereka mengira, semakin banyak mendapat, semakin mereka bahagia.

Mari kubisikkan sesuatu padamu, Nak. Kebahagiaan adalah pemandangan indah yang kulihat kemarin sore, saat kita berbaring malas di sofa -engkau di sampingku sambil memamah keripik- menonton kartun di televisi dan membiarkan angin menidurkan kita perlahan. Senyap dan lama.

Kebenaran, Nak, adalah sesuatu yang dibela habis-habisan oleh begitu banyak orang; tak peduli ia otentik atau bekas pakai, absolut atau usang belaka. Mereka mengusungnya dengan jumawa, membawanya bertempur dengan semangat patriotik, menyerang ranah pribadi orang lain demi menjejalkan sepotong kebenaran versi sendiri yang sudah berjamur, lalu menyebut diri pemberani – tanpa sadar bahwa kebenaran hakiki tak pernah membutuhkan pembela. Barangkali, dalam hati mereka menganggap diri titisan orang suci atau martir, meski era Muhammad dan Yesus sudah lama berlalu.

Sini kuberitahu, Nak. Kebenaran versiku –dan mungkin versimu juga, kelak— tidak perlu pembela. Karena apa yang benar bagiku belum tentu benar bagi yang lain. Dan yang otentik bagimu nanti, juga belum tentu sejalan dengan yang lain.

Mau tahu satu rahasia lagi?

Ini antara kita saja. Jangan bilang-bilang.

Surga bagiku, Nak, bukan kubah mahabesar dengan jalan-jalan emas yang akan kita masuki sesudah mangkat. Bukan juga taman penuh bunga tempat bermain kerub yang akan kita jumpai setelah perjalanan ini tiba di ujung waktunya. Surga adalah bercanda denganmu dan mendengarmu tertawa keras-keras. Surga adalah memandangimu menyuap roti cokelat ke mulut, mengunyahnya lahap-lahap, lalu berkata minta tambah. Surga adalah ketika kau memanjat ke pangkuanku dan bersandar di sana, sementara aku menciumi rambut ikal halusmu yang lembap dan bau wangi. Surga adalah melihatmu tertidur dan menyelimutimu rapat-rapat agar hangat hingga pagi menjelang.

Surga adalah matahari kecil yang bersinar benderang di wajahmu ketika kau menggandengku untuk minta dipakaikan celana pendek. Surga adalah jari-jarimu yang menggenggam tanganku saat kita menyusuri jalan setapak di samping rumah. Surga adalah larimu yang secepat angin ketika bermain di kolam pasir yang banyak semut. Surga adalah teriakan ributmu yang memanggilku untuk melihat cacing di selokan. Surga adalah kepalamu yang menyuruk perlahan di antara lenganku ketika kau berbaring sambil minta didekap.

Surga adalah senyummu, gelakmu, cahaya di matamu. Aku bahkan tak perlu mati untuk pergi ke sana.

*Sebuah persembahan untuk malaikat cilik yang matanya selalu tertawa, juga untuk kedua orang tuanya, yang dengan sepenuh hati ingin saya acungi dua jempol. Tabik! :-)

21 comments:

Poppus said...

gw tau j, siapa orang-orang yang lu maksud heuheueheuheu. Btw, emang melalui anak-anak ya kita bisa melihat surga yang tak perlu mati dulu untuk mengetahuinya

Dee Lestari said...

Sudah saatnya kamu menulis manuskrip untuk buku baru.
This writing is a masterpiece.

And thank you... for everything.
If he's big enough to understand your writing, he would probably bow and say his gratitude as well.


~ D ~

Jenny Jusuf said...

Popi: itulah kenapa gue suka banget binar mata anak2. Hehe. Setiap ketemu anak kecil, yang gue 'cari' duluan adalah sinar di matanya. Dari mereka, gue selalu bisa belajar, apa itu 'hidup'.

Mbak Dewi: I'm at lost of words.. Thank you so much, Mbak. Terima kasih juga untuk kesempatan dan kepercayaannya. Dan tentang matahari kecil itu.. saya selalu percaya, ia bersinar karena orang tuanya tak pernah luput menyediakan cinta untuknya. Dan ia akan terus benderang. Saya yakin itu. :-)

kiki.cresenda said...

Jenny.. indah..

Poppus said...

j, beberapa kali gw baca tulisan ini, dan tidak sedikitpun berkurang kedalamannya. Love this writing so much j! seandainya apa yang lu sampaikan ini dimengerti oleh makin banyak orang (terutama para wartawan infotainment), mungkin hidup akan jadi indah, seindah hidup anak-anak yang selalu bisa menemukan cara menjadi bahagia dimanapun mereka berada

Anonymous said...

you're such a brilliant..
aku ikuti terus ya..

Andri Journal said...

Surga adalah ketika petani istirahat di bawah pohon sambil minum air putih setelah seharian mencangkul di sawah...ditemani semilir angin dan rumput yg bergoyang (halah..malah deklamasi..hehe..).

Fenny said...

salut mbak...
tulisan mbak yang ini bikin aku makin yakin kalau kebahagian dan kebenaran itu cuma milik kita sendiri dan ngga perlu disama-samain dengan orang lain, seberapapun berbedanya.

=P

Anonymous said...

senyum dari seorang anak, adalah pertanda baik :D

Jenny Jusuf said...

Kiki: :-)

Popi: gue udah kepikiran nulis ini sejak pertama kali ‘jatuh hati’ sama anak itu. Hehe.. Iyaa, seandainya aja para wartawan ityu bersedia membaca (bukan cuma ngutip untuk dimasukin tabloid gosip heuheueheu) dan mengerti.. ^_^

Cara paling mudah untuk tahu apa itu bahagia, simpel: cari anak kecil yang matanya berbinar. Cara paling sederhana untuk tahu apa itu hidup, yang sebenar2nya, gampang: cari anak kecil yang tawanya cemerlang (eh, kayak pantun ;-D).

Mama Fa: Silakan diikuti.. thanks a lot :-)

Andri: kok jadi inget Rayuan Pulau Kelapa ya. Hehe. Padahal gak nyambung ya?

Fny_w: setujuuuuuh!

Vendy: Amin. :-)

Anonymous said...

speak less,
she's right, this masterpiece.
ijin print out dan ku berikan pada mamanya anakku yang berjaga setiap malam menidurkannya kembali.

aku mulai jadi penggemarmu...

Andri Journal said...

Bukan Rayuan Pulau Kelapa mbak..Tp Rayuan Pulau Rumput..hahaha..(ini malah gak ada sangkut pautnya ama posting?!)

Have a nice day ya mbak Jenny.. :)

Ibeth said...

Aduuhhh, saya berkaca-kaca bacanya.

Thanks for sharing with us :) Kisses for that little angel and his wonderful parents! I am so touched.

Setya Nurul Faizin said...

seolah-olah orang tua saya datang dan mengatakan hal itu padaku,,
maka kubalas,,
surga adalah, Mah, Pah,,
keberadaanmu, cinta kasihmu, wajahmu,,

salam kenal,,
kunjungi blog saya juga yaa,,

Babisuper said...

aaaaahhh...JJ. Memang.









*binar

Anonymous said...

wow
ga bisa berkatakata setelah membaca ini.
manis, mengalir, indah tanpa harus menjadi rumit.
sangat sangat cantik, Jen

Kapan ya ketemu-ketemu? ;)

Anonymous said...

Teguh: *wink*

Nike: Secepatnyaaa! ;-D

Marcell Siahaan said...

Kamu telah berhasil mengingatkan saya ketika pertama kali memandikan dia tanggal 5 Agustus 2004 yang lalu. Saat itu adalah saat dimana saya yakin kalau Keenan adalah cahaya hidup saya yang selalu benderang, Jen. Semakin dia besar dia akan menjadi cahaya bagi siapapun, dimanapun, kapanpun. Cahaya Kasih.

Dan, surga buat saya adalah ketika dia berkata kepada saya: 'Keenan sayang Ayah. Selalu.'

Saya hanya bisa menahan airmata saya untuk tidak mengalir.

Terima kasih atas cinta dan perhatianmu buat dia, Jen. Terima kasih sekali.

Anonymous said...

Sering, ketika bermain-main dengan dia, saya berkhayal, seandainya saya diijinkan kembali ke masa dimana umur saya 4 tahun. Sekali saja. Namun, setelah itu, saya berpikir, barangkali bukan kembali-jadi-anak-anak yang saya inginkan. Saya hanya iri pada kebahagiaan yang selalu ada di matanya.

Seandainya saya bisa memperkenalkan dia pada setiap orang yang membaca tulisan ini. Cukup memperkenalkan, tanpa perlu banyak penjelasan. Sekadar memberitahu, apa itu bahagia. :-)

Anonymous said...

--baru baca dengan seksama abis sms lo tadi malem--

awh Jeje. the kid's so lucky. preserve this for him to read nanti2 di masa depan yah *.*

pariza said...

dear Jenny.. salam kenal!

Tidak ada faktor kebetulan di dunia ini. Iseng2 browsing, ketemu tulisan yg bikin PD for making-a-u turn-in-my-life, thank you for that!

semoga belum terlambat untuk bilang: congratulation for your words, that so "dalem", it reminds me how lucky I'm having my own private heaven at home :)

Thank you, sukses terus ya!!