Thursday, December 6, 2007

Menemukan Surga

We just can’t be separated.”

Itu jawaban singkat teman saya beberapa minggu lalu, waktu saya keheranan melihatnya gloomy berat akibat ditinggal suami keluar kota selama 4 hari. Gak tanggung-tanggung bo, ‘perpisahan’nya pakai nangis segala.

Pengantin baru?

Nggak juga. Mereka sudah menikah selama 1,5 tahun, tapi (memang) belum pernah berpisah semalam pun.

Awalnya saya nggak habis pikir. 4 hari gitu loh. Saya sempat meledeknya,”Baru juga 4 hari. Kalo 2 minggu gimana coba?”

“Nggak boleh.” Teman saya menjawab tandas. Saya ngakak.

“Lah, tapi kalo tugas kantor kan mau gak mau?” Pancing saya.

I’ll make him say ‘no’.” Lagi-lagi ia menjawab tegas, “kecuali gue boleh ikut,” tambahnya cuek. Singkat, padat dan bikin bengong.

Mendengar jawaban itu, saya jadi terdiam.

Mungkin memang ada orang-orang seperti itu, yang saking cintanya sampai nggak bisa pisah sehari pun -- mereka yang menemukan ‘surga’ dalam diri pasangannya dan tidak sanggup ‘kehilangan’ walau sebentar saja. Sejujurnya, saya nggak bisa membayangkan apa jadinya kalau si suami harus pergi selama 10 hari, misalnya. Benar-benar nggak kebayang.

Di sisi lain, saya merasa menemukan ‘hal baru’ yang membuat saya bertanya-tanya: Kalau gue nikah nanti, kira-kira bakal kayak gitu nggak, ya?

*Uhmm… mudah-mudahan nggak. Tersiksa bo! Hehehe.

Anyway, selain gloomy berat, teman saya jadi kehilangan semangat selama ditinggal suami. Males kerja, males makan, males ngapa-ngapain. Kalau kehilangan ‘surga’, hidup rasanya kayak di ‘neraka’ kali ya? :-)

Tadi siang saya menonton acara TV yang meliput panti perawatan khusus orang cacat mental di Jawa Tengah (namanya lupa). Bukan rumah sakit jiwa, melainkan semacam asrama yang diperuntukkan bagi mereka yang menderita gangguan jiwa. Pendiri sekaligus pengelola panti itu adalah seorang pria berpenampilan ‘nyentrik’ yang sekilas tampak sangar. Tapi, ketika wajahnya di-close up dalam wawancara, sepasang matanya bersinar lembut.

“Dulu panti ini cuma diisi 5 orang,” ia memulai ceritanya, disusul tayangan yang menampilkan aktivitas sehari-hari para penghuni panti: mendengarkan ceramah, melakukan pekerjaan ringan atau sekedar duduk-duduk di beranda.

“Cara kami merawat dan menyembuhkan mereka adalah melalui pendekatan agamis,” ia kembali bertutur. Rambut keriting yang terurai panjang dan jenggot yang dibiarkan dalam keadaan serupa tidak menutupi ketulusan yang terpancar dari matanya.

“Untuk penghuni yang baru datang dan belum bisa mengendalikan tingkah laku, kami siapkan ruangan khusus berbentuk seperti sel. Kami tempatkan mereka di sana selama 3 hari, maksimal 7 hari. Setelahnya kami lepaskan, dengan syarat mereka harus membawa sebuah bangku kemana-mana. Tujuannya untuk menguji dan melihat sejauh mana mereka bisa dipercaya. Setelah itu, kami bebaskan mereka sepenuhnya di dalam panti.”

Kalimat-kalimat itu sempat membuat saya bergidik, ditambah gambar seorang wanita yang menangis keras-keras di balik pintu berterali besi. Tapi, sekali lagi, ada ketulusan dalam suara laki-laki itu. Kedengarannya kejam, tapi apa yang dilakukannya semata-mata demi kebaikan seluruh penghuni panti.

Saya terkesima.

Tidak banyak yang berani bergaul dengan orang gila, namun pria bersahaja ini menghabiskan setengah hidupnya untuk merawat puluhan orang yang terkucil dari masyarakat dan terlunta-lunta akibat gangguan jiwa.

Sebagian dari kita mungkin akan mengernyit jika melihat orang gila berkeliaran di pinggir jalan. Sebagian lagi mungkin cepat-cepat menyingkir. Sebagian lagi mungkin memilih untuk cuek. Tidak dengan pria ini, karena orang gila adalah dunianya.

Lagi-lagi saya teringat dengan teman yang mewek karena ditinggal suami selama 4 hari.

Baginya, sang suami adalah segalanya.

Akhir-akhir ini saya sedang dekat dengan Alex, putra sahabat saya (sekaligus satu-satunya anak kecil yang namanya paling beredar di sini ^_^). Belum lama ini, Alex ditinggal daddy-nya untuk perjalanan dinas selama hampir sebulan penuh (tiap minggu pulang, tapi cuma sebentar). Di minggu terakhir, Mommy menyusul. Jadilah saya menginap di rumah mereka, menjaga si kecil bersama nanny-nya.

Sebelum menginap di sana, saya sudah sering bermain dengan Alex, membacakannya buku, menemaninya jalan-jalan atau sekedar nonton TV. Tapi menjumpainya first thing in the morning, mendengarnya mengucapkan “Morning, Auntie” dengan suara cadel, memandikannya karena ia ngotot “Da au bui Ncus, bui Auntie” (terjemahan bebas: Nggak mau mandi sama Suster, mau sama Auntie), membacakannya buku sementara ia bersandar di dada saya, memeluknya, menggendong, memangku dan merasakan tubuh mungilnya bergelung nyaman dalam pelukan saya, adalah hal-hal yang sama sekali berbeda.

Mendengarkan rengekannya, menenangkannya, mengusap punggungnya ketika ia kangen pada Mommy dan Daddy mendadak menjadi sesuatu yang priceless buat saya. Mendengar gelak tawanya saat bermain kereta-keretaan, mendiamkan saat ia menangis dan membujuk sambil mengelus-elus kepalanya tiba-tiba menjadi sangat menyentuh dan meninggalkan kesan mendalam, padahal saya sudah mengenal bocah ini sejak ia lahir.

Bersama Alex menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Merasakannya bersandar di tubuh saya dan membiarkannya naik ke pangkuan saya (lalu meringkuk di sana) selalu memberikan sensasi menyenangkan yang susah diungkapkan. Kalau menurut Mbakyu ini, sepertinya itulah yang dinamakan keajaiban.

Sepotong surga dalam dunia.

Indah, bos. :-)

Iklan terakhir selesai ditayangkan (iya, ini mikirnya selama jeda iklan :-)). Wajah laki-laki bersahaja itu kembali muncul di layar. Pertanyaan terakhir si pewawancara adalah: Bagaimana rasanya hidup dengan begitu banyak orang gila?

Ia tersenyum.

“Orang gila adalah teman-teman saya. Nafas saya. Orang gila adalah surga saya.” Itulah caranya menjawab.

Saya ikut tersenyum.

Semua orang mencoba memaknai hidup dengan mencari surga dalam wujud yang berbeda-beda, menurut rupa yang terlihat oleh hati. Berbahagialah mereka yang menemukannya. :-)

Gambar diambil dari gettyimages.com

7 comments:

JengMayNot said...

Itu teman loe di cerita pertama.. dia menemukan surga dalam pasangannya...

.. sekaligus menciptakan neraka bagi pasangannya.. HAHAHAHA..

Menurut gw sih kalo 4 hari ditinggal aja gloomy, kategorinya addicted. Segala sesuatu yang berkelebihan itu nggak baik; termasuk cinta yang berlebih :)

Apa kabar Jeng? Baru bloghopping lagi nih. Sekarang bawaannya maleees mulu :)

Anonymous said...

“Orang gila adalah teman-teman saya. Nafas saya. Orang gila adalah surga saya.”

Hwaaaaaaaaah.
Aku meleleh, JJ..


*speechless

Anonymous said...

Mamaima: Jeng Maaaaaay... apa kabar? Lama tak bersua di jendela maya ini *halah* :D Sama, gue juga bawaannya males mulu. Hahahah. BTW, iya kali ya, addicted? Scara gue pernah diomelin gara2 ngusulin supaya jalan2 sendiri tanpa suami. Kata dese: "It's very rude to say such things to a married woman!" Hehehe.

Ami: Iya tuh, gue juga spicles dengernya :)

AJ's Lover said...

si nur fathoni ituh dengan pondok nurulassalam-nya. salut gue ama dia.

Anonymous said...

Ah! Itu dia namanya ;D Thankyouuuu! *langsung googling*

Anonymous said...

Setelah 3 tahun lebih bersama pasangan, aku masih tetap menangis sesegukan kalau ia pergi ke luar kota selama beberapa hari.
Rasanya seperti ada kepingan yang kurang yang bikin nlongso dan bikin air mata netes begitu aja.

"Buat dunia, kamu mungkin bukan siapa-siapa, tapi buat seseorang mungkin kamu adalah dunianya"

Jenny Jusuf said...

Aaaaaawwww... so sweet :-) *terharu*