Wednesday, January 30, 2008

Memasuki Tahun Ke-24 :-)

Tahun ke-24. Terima kasih, Tuhan.

Lagi dan lagi, tak henti-hentinya saya bersyukur atas semua yang telah saya rasakan dan lalui sepanjang hidup. Atas setiap tetes nikmat dan anugerah yang tidak pernah berhenti tercurah dalam hidup ini. Atas aroma segar tanah sebelum hujan, dan pelangi indah setelah tetes terakhir jatuh ke bumi. Atas hari baru yang dibawa matahari dan embun setiap pagi. Atas kemurahan dan kebaikan Sang Mahabesar yang terjadi dalam tiap detik kehidupan saya, bahkan ketika saya terlalu sibuk untuk menyadarinya. Atas ‘sosok’ Tuhan yang saya jumpai di mana-mana, dan membuka mata hati saya terhadap begitu banyak hal yang sering terlewat dalam cepatnya perputaran roda kehidupan.

Tangan seorang gadis berbaju lusuh yang menjinjing tas kotor dalam bis antarkota yang mengulurkan sekeping rupiah kepada setiap pengamen tanpa terhalang kepapaannya sendiri – itulah tangan Tuhan.

Kerelaan untuk mengabdikan diri di daerah rawan konflik tanpa kompensasi yang memadai; serta kesediaan untuk mengambil dan merawat orang-orang gila yang terbuang untuk menyayangi mereka seperti keluarga sendiri – itulah hati Tuhan.

Cinta seorang Ibu yang rela memberikan nyawa bagi anak-anaknya dan kasih seorang sahabat yang selalu menerima dan mendukung tanpa mengharap pamrih sekejap pun – itulah cinta Tuhan.

Pelangi yang muncul setelah hujan dan mencerahkan Bumi dengan warna-warna indah, bunga yang tumbuh dan mekar setiap hari, sinar mentari yang menghangatkan tubuh dan setia terbit di ufuk, tetes-tetes embun di pucuk daun yang menjadi pertanda datangnya hari baru; itulah kebesaran Tuhan, dan masih banyak lagi ‘sifat-sifat’ Tuhan yang saya temukan setiap hari, dalam berbagai peristiwa dan individu.

Sahabat Mahakeren dan Kekasih Mahabaik yang selalu membuat saya jatuh cinta dengan kasih yang tidak terbatas, tangan yang selalu terulur memberi kekuatan (dan tidak pernah sekejap pun meninggalkan saya, bahkan saat saya berada pada ‘titik terendah’ hidup saya) -- itulah Tuhan, bagi saya. Yang berkali-kali membuat saya jatuh cinta. Yang membuat saya mengerti bagaimana menjalani hidup. Yang menguatkan dan selalu menopang, sampai saya dapat berjalan tanpa terjatuh (dan ketika saya tersandung, lagi-lagi Dia ada di sana).

Terlalu sederhana? Mungkin iya :-) Yang pasti, saya bersyukur bahwa hati ini masih bisa terus merasakan cinta-Nya, yang akhirnya menjadi mutiara yang membingkai jiwa saya.

Saya bersyukur bahwa mata ini masih dapat menilik kebesaran-Nya yang tersembunyi dalam alam semesta dan sering kali luput dari perhatian.

Saya bersyukur bahwa kepingan jiwa ini masih mampu mengapresiasi makna kebaikan sebelum menjatuhkan penilaian terhadap sesama, dan masih mampu melihat garis keperakan pada setiap awan gelap yang menunjukkan secercah harapan dalam kemustahilan.

Saya bersyukur saya masih bisa belajar dari hal-hal sederhana yang ditawarkan kehidupan, detik demi detik.

Saya bersyukur bahwa kini saya mengerti arti ‘bijaksana’ melebihi tahun-tahun sebelumnya, di mana saya hanya melihat kehidupan dari balik lensa berwarna. Lebih dari saat-saat ketika saya hanya menganalisa dengan subyektif, sementara hidup ini begitu kaya warna.

Lebih dari segalanya, saya bersyukur bahwa saya terus bertumbuh bersama kehidupan. Tidak berlari, melainkan melangkah setapak demi setapak sambil menikmati keindahan di sepanjang jalan. Merengkuh keyakinan saya erat-erat sambil tetap membuka mata dan hati, karena bagaimanapun, hidup tidaklah terdiri dari hitam dan putih belaka.

Tahun ke-24.

Terima kasih, Tuhan. Untuk selalu berada di sisi saya. Untuk selalu menguatkan dan memberi yang terbaik bagi saya. Terima kasih buat cinta yang tidak pernah berhenti menghangatkan hati dan anugerah yang selalu tercurah, yang memampukan saya untuk menilik hidup dengan bijak dan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Dan yang terpenting, terima kasih karena telah mengajarkan saya tentang cinta, dengan mencintai saya seutuhnya sehingga saya bisa membagikan cinta yang sama kepada orang-orang lain -- tanpa tersekat perbedaan. Semoga proses belajar itu tak pernah berhenti... :)

Monday, January 28, 2008

Setitik Embun, Semalam.

“Bisa tolong ceritakan keadaan di dalam, Bu?”
“Ya… ada keluarganya, dekat kaki Pak Harto. Ada Mbak Tutut juga, terus saya lihat Pak Moerdiono…”
“Bagaimana Ibu bisa masuk ke dalam?”
“Digilir, Mbak. Sepuluh-sepuluh. Yang pakai baju Muslim duluan, jadi saya masuk sama teman-teman pengajian.”
“Mbak sempat lihat jenazah Pak Harto?”
“Cuma sekilas, Mbak. Ndak tahan saya…”

Mata itu berkaca-kaca dan sembab, seolah merasakan pedih akibat ditinggal sanak keluarga atau sahabat terkasih.

Tangisnya tumpah semalam. Untuk sosok kaku yang terbujur dengan kain putih panjang.

Airmatanya jatuh semalam. Untuk seseorang yang bahkan tak pernah dikenalnya secara pribadi.

Dia berduka atas seseorang yang telah menuai hujat dan amarah penghuni negeri. Dan dalam doanya, dia memohonkan ampun.

Wanita berjilbab hitam itu menghela nafas. Berat.

Di depan layar kaca, saya termangu.

Siapa bilang kita tak lagi punya harapan?

Di tengah padang yang mulai meranggas ini, masih berkilau setitik embun.

Masih ada hati yang mau memberi maaf.


Selamat Jalan, Pak Harto.

Sunday, January 20, 2008

Oleh-oleh Perjalanan

“Si Anu tuh baik ya. Orangnya nggak pelit, kalo pergi-pergi suka bawa oleh-oleh banyak banget.”

Saya tersenyum kecut mendengar komentar itu, karena sama seperti si Anu, saya juga baru saja kembali dari perjalanan, tapi tanpa membawa oleh-oleh (kecuali t-shirt untuk si kecil Alex). Si Anu, walau hanya mengunjungi 1 kota, membawa oleh-oleh cukup banyak untuk seluruh anggota keluarganya. Saya, yang wara-wiri ke 3 kota, pulang dengan tangan kosong dan baju kotor. *wink*

Rasa bersalah sempat berkelebat di hati, karena tiba-tiba saya merasa ‘pelit’. Lha, buktinya, pergi 5 hari, ke 3 tempat pula, masa nggak ada buah tangan yang dibawa?

Tapi, setelah dipikir-pikir, nggak ah, bukannya pelit kok. Alasan kenapa saya nggak membawa buah tangan untuk teman dan keluarga adalah... ...ya karena males aja berburu oleh-oleh.

Hehehe.

Jadi ingat konversasi dengan seorang sahabat pertengahan tahun lalu, ketika saya main ke kotanya dan menginap di rumahnya.

Waktu itu dia bertanya, “Mau beli baju gak? Kalo mau ntar gue temenin ke factory outlet.”

“Nggak.”

“Yakin?”

“Beneran kok.”

“Kalo belanja?”

Yang ada saya malah balik nanya, “Belanja apa?”

“Apa kek, siapa tau lo mau beli apa gitu.”

“Nggak, ah.”

“Beli makanan buat oleh-oleh?”

Lagi-lagi saya menggeleng.

Saya baru bergerak ketika adik saya SMS minta dibawakan makanan khas kota itu.

Sumpah, alasannya bukan karena nggak mau keluar uang. Simply karena saya kurang suka merambah sudut-sudut kota hanya untuk berbelanja. Saya lebih senang menghabiskan waktu untuk menikmati udara segar, sambil leyeh-leyeh dan ngobrol panjang-lebar bersama sahabat (karena tinggal berbeda kota tentunya membuat komunikasi jadi terbatas, kan? Makanya kalau ketemu dipuas-puasin.. :-)). Atau makan di luar, mencicipi makanan khas daerah setempat. Itu thok. Kalau ada kesempatan, saya juga suka mengunjungi tempat-tempat menarik di kota yang saya singgahi, dengan catatan BUKAN factory outlet, pusat perbelanjaan atau tempat beli oleh-oleh.

Makanya, adik dan anggota keluarga saya yang lain hampir tidak pernah menanyakan oleh-oleh setiap kali saya pulang dari bepergian. Kalau mereka ingin sesuatu, mereka tinggal memesan lewat telepon/SMS, dan saya akan berusaha untuk mendapatkannya. Itu juga dengan embel-embel, “Kalau nemu, ya. Nggak janji pasti dapet.”

Hehehe.

Jadi, apa dong yang bisa dibagi dari perjalanan-perjalanan saya?

Cerita. Pengalaman.

Dua hal itu nggak bisa dibeli di tempat oleh-oleh mana pun, bos. Dan berbagi cerita setelah kembali dari perjalanan adalah hal yang paling saya sukai, ketimbang memberikan kantung plastik berisi oleh-oleh.

Cerita-cerita dan pengalaman yang saya dapatkan selama perjalanan bukan sesuatu yang ‘wah’ atau luar biasa. Kebanyakan sangat sederhana, namun selalu berkesan dan memberikan nutrisi untuk hati saya, serta bisa membuat saya cengar-cengir sinting mengingatnya.

Seperti ketika saya malas menenteng tas pakaian yang berat-gila sembari menunggu teman, dan dengan nekat menitipkannya di sebuah factory outlet dengan modal senyum manis kepada karyawan toko *halah* (dan kembali setengah jam kemudian untuk… numpang nge-charge handphone. Hahaha!).

Atau ketika saya mengetes keberanian dengan menjalani Fear Factor a la sendiri: sok beramah-tamah pada anjing-anjing setinggi paha dan akhirnya histeris ketika diterjang sampai jatuh. Bo, kayaknya dulu ngebayangin digigit anjing itu serem banget. Sekarang, gampang aja lho tangan saya masuk ke mulut anjing... dan digigit!

Atau ketika saya ketinggalan travel dan terpaksa naik bis umum, yang awalnya bikin jengkel karena udara yang gerah dan bis yang penuh sesak menguarkan aroma yang membelai hidung dengan aduhainya selama 4 jam. Tapi kekesalan itu hanya sementara, karena saya bertemu dengan seorang anak yang sangat manis, dan duduk dekat anak itu selama beberapa jam cukup membuka mata saya atas berbagai hal dalam hidup yang selama ini saya abaikan (that’s another story).

Atau ketika saya bertemu pengamen-pengamen cilik (yang sepertinya) adik-kakak dalam bis antarkota dan tersentuh dengan tingkah polah mereka.

Atau ketika saya dengan songongnya merasa ‘kuat’ setelah berhasil menenggak wine tanpa mabuk (sementara yang lain sebaliknya) dan dengan PD mencoba Bailey yang (sialnya) kadar alkoholnya jauh lebih tinggi dan akhirnya… kleyengan juga :D

Atau ketika saya berjumpa dan berkenalan dengan orang-orang baru yang seru-seru, kreatif, gila dan super-fun.

Atau ketika menginap beramai-ramai di rumah seorang kenalan baru, dadakan, tanpa membawa apa pun dan tidur di lantai tanpa ganti baju (iya, jorok, tapi seru!).

Atau ketika duduk di pinggir jalan saat hujan gerimis -tanpa menghiraukan kendaraan yang lalu-lalang- sambil memuaskan hasrat banci kamera.

Atau ketika menggigil kedinginan sambil menikmati harum jagung rebus, sementara di luar hujan lebat disertai kabut.

Atau ketika makan jagung bakar -dengan mentega dan susu kental manis yang banyak- di pinggir pantai sambil bercengkerama, dan setelahnya menyusuri kota sambil minum es kelapa muda.

Atau sekedar duduk bersama sahabat-sahabat saya, ngobrol segala sesuatu yang tidak penting, membahas hal-hal tak berguna sambil terbahak-bahak gila sampai sakit perut, obral curhat dan bertukar cerita hingga pagi menjelang.

Itu semua adalah hal-hal berharga yang tidak ingin saya tukar dengan belanja di factory outlet atau berburu oleh-oleh – walau resikonya saya dicap pelit dan ‘nggak-inget-orang’. *wink*

Itu semua, buat saya, adalah oleh-oleh perjalanan yang tidak ternilai dan tidak bisa dibeli.

Dan, meski kedengarannya egois, saya senang karena sifat ogah-belanja saya ini lumayan menekan pengeluaran selama di luar kota, sehingga saya bisa menabung untuk perjalanan berikutnya. Hahaha!

Saturday, January 12, 2008

Tentang Pelecehan dan Dilecehkan

Sudah ada entri yang saya tulis dan siap dipublikasikan di sini. Tapi begitu membaca ini, mendadak saya berubah pikiran.

Pelecehan seksual memang bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan korbannya bisa siapa saja *perasaan ini kayak iklan layanan masyarakat apa gitu, ya?*.

I had been there, too.

Pelakunya? Bukan pacar, bukan orang asing, bukan penjahat kelamin. Saya mengalami pelecehan seksual ketika duduk di bangku SD. Pelakunya orang yang sangat dekat dengan keluarga saya dan sudah dianggap keluarga sendiri oleh orang tua saya, sehingga akses keluar-masuk rumah dan kamar (!) terbuka lebar.

Di sisi lain, orang tua saya super-sibuk, mereka hampir tidak pernah ada di rumah dan kualitas komunikasi kami kurang baik (okay, jelek). Saya sendiri, ya namanya juga anak kecil, mau diapain juga terserah.

Peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, dan saya masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi – boro-boro lapor ke Komnas HAM, mikir aja nggak. Yang saya tahu hanya, setiap kali itu terjadi, saya merasa aneh. Saya merasa tidak nyaman, that’s it.

Waktu saya beranjak besar, saya mulai mengerti... dan akhirnya sakit hati. Ya iyalah, siapa juga yang mau dilecehkan? Kalau mau, mah, namanya bukan pelecehan :-D

Beberapa tahun lalu, seorang teman bercerita kepada saya sambil nangis bombai. Ia mengalami pelecehen seksual di kamar hotel. Usut punya usut, teman saya berterus-terang bahwa ia baru berkenalan dengan laki-laki setanjahanam itu --sebut saja Pak Anu-- dan mereka baru bertemu sekali dalam rangka business meeting. Dalam pertemuan kedua, teman saya (yang waktu itu sedang menginap di hotel) tanpa curiga mengiyakan perubahan rencana yang diusulkan Pak Anu (dari yang awalnya janjian di suatu tempat, lalu pindah ke lobby hotel tempat teman saya menginap). Setengah jam berbincang di lobby, Pak Anu mengeluh bahwa suasana yang agak ramai membuatnya tidak nyaman. Dan teman saya, tanpa curiga sedikit pun, mengajaknya pindah ke... kamar.

Halah.

Setelah diinterogasi lebih lanjut (baca: ditanya pelan-pelan dengan penuh simpati), teman saya bercerita bahwa dari awal bertemu, memang ada sesuatu yang tidak beres. Pak Anu, alih-alih membicarakan masalah bisnis, malah merayu teman saya dengan memuji-muji kecantikannya, mengata-ngatai mantan pacar teman saya, sampai akhirnya obrolan nyangkut ke urusan ranjang.

Saya: “Trus, lo gak curiga?”
Teman saya: “Nggak. Ya gue pikir doi simpati aja ama gue, gara-gara gue baru putus.”
Saya: “Lha, terus urusan bisnisnya?”
Teman saya: “Gak kebahas bo, yang ada malah ngomongin gituan deh...”
Saya: “.....”

Kasus lain, sepupu saya –mahasiswa kedokteran nan alim lagi baik budi dan rajin menabung (seriously!)—mengalami pelecehan waktu sedang menunggu taksi dalam perjalanan ke kampus. Dia dibekap dari belakang, sedemikian rupa sampai tidak bisa bergerak, dan payudaranya diremas-remas. Untungnya dia cukup sadar untuk tidak panik berlebihan. Setelah meronta sekuat tenaga, sepupu saya berhasil mencakar tangan si Setanjahanam dan kabur menyelamatkan diri.

Respon pertama keluarga besar saya (selain mencaci maki Setanjahanam itu tentunya):

“Jalanan situ tuh emang bahaya, sepi-sepi gitu, suka banyak orang jahat.”

Masalahnya, mau sepi kek, ramai kek, bahaya kek, aman kek, sepupu saya tetap harus melewati rute yang sama tiap kali berangkat kuliah, karena itulah satu-satunya jalan untuk mencapai kampusnya. Tidak ada jalan tikus, tidak ada jalan lain, tidak ada alternatif kecuali kalau dapat tebengan gratis.

Meski sempat trauma, akhirnya sepupu saya kembali menempuh rute yang sama setiap hari. Berdiri di pinggir jalan yang sama (cuma tempatnya bergeser beberapa meter, hehehe), menunggu taksi pada jam-jam yang sama, dan demikian seterusnya. Apa boleh buat. Menyalahkan situasi sudah tidak ada gunanya, yang ada malah bikin tambah stress.

Meski pelecehan yang saya alami tidak pernah berujung pada penetrasi/pemerkosaan, ketika saya beranjak dewasa peristiwa itu menimbulkan bekas yang cukup dalam. Saya terluka dan sakit hati. Saya menghabiskan waktu untuk mengutuki Tuhan, membenci-Nya karena membiarkan hal itu terjadi pada saya. Mau menyalahkan diri sendiri nggak mungkin, karena semuanya terjadi di luar kendali saya sebagai bocah. Saya hanya bisa memaki 2 sosok itu: si pelaku dan Tuhan.

Masalah beres? Boro-boro. Sementara hidup terus berjalan, saya menjelma jadi nenek sihir bitchy yang mengutuk segala sesuatu dalam kemarahan.

Sampai akhirnya saya sadar, tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun; Tuhan, diri sendiri, keadaan. Walau kedengaran klise, life goes on. Ketika saya sibuk menyalahkan situasi, kehidupan tidak akan berhenti berputar.

Meski sempat berdarah-darah, akhirnya saya belajar bahwa kejadian itu bukan kesalahan saya, bukan salah situasi, dan sama sekali bukan salah Tuhan. Itu hanya sebuah peristiwa, yang terjadi pada suatu masa dan kurun waktu tertentu dalam kehidupan. Tidak lebih.

Salah si pelaku? Umm... iya juga sih, hehehe.

Intinya, saya cuma mau bilang pada seluruh perempuan di muka bumi yang pernah mengalami pelecehan dalam bentuk apa pun: Stop blaming yourself. Stop blaming your situation. Being abused is bad enough, don’t make it worse. Percayalah, itu tidak ada gunanya. Been there done that :)

Dan jangan pernah merasa nista. Nista itu kalau mencuri, menggelapkan uang orang, memfitnah, memperkosa, mencari nafkah dengan cara haram, dan masih banyak lagi yang bisa dikategorikan nista. Tapi menjadi korban pelecehan jelas bukan salah satunya.

Tidak ada yang salah dengan merasa shocked. Menangis bisa melegakan, dan sah-sah saja jadi cengeng. I cried, too. Sepupu saya menangis. Teman saya apalagi. Tapi, jangan lupa bahwa hidup harus terus bergulir.

Hari esok akan tetap menjelang, apa pun yang terjadi. Karenanya, hadapi semua dengan berani dan percaya diri. Tapi, kalau kedua hal itu terlalu sulit untuk dilakukan, setidaknya cara yang satu ini bisa menjadi resep yang ampuh untuk bangkit kembali:

Cry, and get over it.

:)

Friday, January 4, 2008

PR Liburan

16 hari. Cukup panjang untuk liburan akhir tahun. Saya dan beberapa rekan sekantor langsung membayangkan, enaknya liburan ini diisi dengan apa, mau apa, dan kemana.

17 Desember. Hari terakhir masuk kerja di tahun 2007. Kami semua dipanggil -- rapat akhir tahun, sekaligus pembagian hadiah natal. Kado-kado dalam bungkus cantik dibagikan, dengan nama setiap orang di atasnya. Semua hadiah itu berbentuk persegi panjang. Isinya buku.

“Baca di rumah, jadikan PR, dan buat ringkasannya. Dikumpul pada hari pertama kerja, awal tahun depan.” Itulah kalimat penutup rapat akhir tahun yang diucapkan atasan kami.

Yang pertama terlintas di otak saya adalah, “PR? Nggak salah?” Berasa balik ke jaman SD. ;D

Kami kembali ke ruangan masing-masing. Kertas kado disobek. Buku dikeluarkan. Hal pertama yang dilihat? Tentu tebal bukunya.

“Punya gue tebal banget,” cetus seorang rekan.

“Punya gue juga lumayan, nih,” cetus yang lain. “Lo, Jen?”

“Lumayan,” sahut saya, setengah nggak konsen.

Saya membolak-balik buku saya, mengamati isinya sejenak sebelum menutupnya kembali. Pikiran saya masih terfokus pada stok opnam yang harus saya lakukan, first thing in the morning. Dan laporan-laporan yang menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi komputer yang mendadak ngadat dan berpotensi menyebabkan gangguan jiwa. Seandainya bisa, saya ingin berteriak pada komputer itu, “TOLONG JANGAN RUSAK SEKARANG. GUE MAU LIBURAN!!!”

Minggu berikutnya, saya berkutat dengan kartu stok dan timbunan barang di gudang, sementara kantor sudah sepi. Sejujurnya, saya malah senang, karena suasana sepi membuat saya lebih mudah berkonsentrasi. Tak lupa, demi menghibur diri karena masih masuk saat yang lain sudah libur, saya meluangkan waktu untuk nonton di mal yang tak jauh dari kantor.

Pikiran saya terus beradu. Pada komputer pengacau yang tak berbelaskasihan. Pada laporan yang tak kunjung selesai. Pada stok opnam yang melelahkan. Pada pernikahan seorang saudara yang tinggal menjelang hari, di mana saya bertugas sebagai penerima tamu (dan meskipun judulnya ‘cuma’ menerima tamu, minimal saya harus menyiapkan tenaga untuk stand by seharian penuh, dengan high heels dan kebaya). Belum lagi ringkasan buku ini.

Ah, sudahlah. Makin dipikir, makin numpuk rasanya. Tak usahlah dipusingkan. Kerjakan saja.

Stok opnam selesai. Laporan selesai. Komputer saya crash (aaaarrrghhhh!). Saya hanya punya waktu sehari untuk pulang (yup, selama lembur saya menginap di kantor) dan beristirahat, untuk kembali menggeber tenaga esok harinya di pernikahan saudara.

Saya meriang. Mungkin karena pergantian cuaca. Mungkin juga karena kecapekan. Apa pun penyebabnya, saya tak mungkin minta dikeroki, seperti kebiasaan saya jika masuk angin. Kebaya yang sudah dimodifikasi itu akan menampilkan sebagian punggung atas saya. Tak mungkin saya memperlihatkan loreng-loreng merah dalam resepsi pernikahan.

Sehari setelah pesta usai, saya pergi ke gereja. Bertemu dengan beberapa rekan kantor (yup, kami beribadah di tempat yang sama). Pertanyaan pertama yang saya dengar bukan “Apa kabar?”, melainkan “Bukunya sudah sampai mana?”

Saya cuma cengar-cengir dan menjawab seadanya. Buku saya baru tersentuh seperempatnya.

Esok paginya, saya berangkat ke Puncak untuk liburan selama 5 hari. Tanpa buku. Tanpa ingat bahwa saya punya PR yang harus dikumpulkan pada hari pertama masuk kantor. Saya ingin menikmati liburan dan tak ingin terdistraksi oleh apa pun.

Begitu bis yang saya tumpangi –sekembalinya dari perjalanan- berhenti di terminal, saya jelalatan mencari ojek. Di benak saya hanya ada 1 kalimat: Pulang, mandi air hangat, baca buku. Buku PR, tentunya.

Ternyata, buku PR tidak se’rumit’ yang saya bayangkan. Awalnya saya ketar-ketir membandingkan tebalnya dengan sisa waktu yang saya punyai sebelum masuk kerja. Keburu nggak, ya?

Namun kekhawatiran itu tidak terjadi. Ternyata saya bisa menikmati buku itu, jauh melebihi yang saya bayangkan. Isinya bagus dan sangat cocok untuk saya, sampai saya berpikir jangan-jangan atasan saya punya indra keenam. Sekejap saja saya sudah tenggelam dalam keasyikan membaca. Saya lupa bahwa buku itu adalah PR. Yang saya tahu, saya menyukainya. Buku ini sangat bermanfaat dan akan banyak gunanya di kemudian hari.

Lalu saya mulai menulis.

Tulis, tulis, tulis. Ketik, ketik, ketik.

Saya menikmatinya, dan bertekad menjadikan PR ini bukan sekedar ‘tugas’ maupun ‘ringkasan’ belaka. Saya akan membaca ulang hasil pekerjaan saya di kemudian hari, dan saya akan menjadikannya berguna untuk kemajuan diri saya sendiri. Performa dan kinerja saya akan mengalami peningkatan drastis setelah ini, itulah yang saya pikirkan. Dan pemikiran itu menyuntikkan semangat baru bagi saya -- setiap waktu, setiap saat.

Tiba-tiba saya sadar: untuk itulah pemimpin saya memberikan buku sebagai hadiah sekaligus pekerjaan rumah.

Buku itu bukan sekadar tugas. Ringkasan itu bukan sekadar PR untuk mengisi liburan. Buku itu berisi prinsip-prinsip dan ‘bekal’ yang besar faedahnya bagi kami semua. Kenapa harus dijadikan PR? Ya iyalah. Kalau saya diberi buku semacam itu ‘hanya sambil lalu’, yang akan saya lakukan paling banter hanya membacanya sebagian, setelah itu bosan dan membiarkannya tertumpuk bersalut debu. Karena ada deadline di penghujung hari, saya jadi terpacu menyelesaikannya dan berhasil memetik manfaatnya.

Saya salah. Atasan saya tidak punya indra keenam. Yang mereka punyai adalah hati yang peduli.

:)

Hari Minggu tiba lagi. Saya kembali bertemu dengan rekan-rekan sekantor. Pertanyaan yang diajukan masih sama.

“Bukunya sudah sampai mana?”
“Sudah bab berapa?”
“Udah mulai ngeringkas, atau masih baca-baca?”

Saya menjawab sekenanya, dengan cengar-cengir yang sama. Entah kenapa, mendadak saya tak lagi menganggapnya sebagai tugas. Sisa liburan yang sedianya akan saya manfaatkan untuk facial dan potong rambut memang jadi terpakai untuk menyelesaikan dan meringkas buku, tapi rasanya saya tak keberatan. Saya sedang berinvestasi.

Ringkasan tersebut selesai tepat sehari sebelum saya kembali bekerja. Saya sangat bangga. Saya' menang' terhadap diri sendiri, walau dalam skala yang kecil.

Lagi-lagi, pertanyaan senada memenuhi udara pagi yang segar di awal Januari, ketika rekan-rekan saya saling bertukar ‘informasi’: sudah sampai bab berapa, sudah meringkas atau belum, bagaimana cara menulisnya, harus sepanjang apa, dan sebagainya.

Pimpinan saya masuk ke ruang meeting. Pertanyaan pertamanya adalah, “Bagaimana PR-nya, sudah dikerjakan atau belum?”.
Selesai rapat, semua segera berhamburan ke meja masing-masing. Berkutat dengan buku dan komputer sampai jelang makan siang, bahkan ada yang lembur sampai malam, lantaran bukunya nyaris belum tersentuh sama sekali.
Atasan saya geleng-geleng kepala. Saya sempat mendengar beliau bergumam, "Gimana sih.. itu buku kan dikasih buat dikerjain di rumah."

Saya tersenyum lebar.

Ringkasan saya, sepanjang 6 halaman dengan font 11 dan spasi 1,5, sudah tergeletak manis di atas meja.

:)