Sunday, January 20, 2008

Oleh-oleh Perjalanan

“Si Anu tuh baik ya. Orangnya nggak pelit, kalo pergi-pergi suka bawa oleh-oleh banyak banget.”

Saya tersenyum kecut mendengar komentar itu, karena sama seperti si Anu, saya juga baru saja kembali dari perjalanan, tapi tanpa membawa oleh-oleh (kecuali t-shirt untuk si kecil Alex). Si Anu, walau hanya mengunjungi 1 kota, membawa oleh-oleh cukup banyak untuk seluruh anggota keluarganya. Saya, yang wara-wiri ke 3 kota, pulang dengan tangan kosong dan baju kotor. *wink*

Rasa bersalah sempat berkelebat di hati, karena tiba-tiba saya merasa ‘pelit’. Lha, buktinya, pergi 5 hari, ke 3 tempat pula, masa nggak ada buah tangan yang dibawa?

Tapi, setelah dipikir-pikir, nggak ah, bukannya pelit kok. Alasan kenapa saya nggak membawa buah tangan untuk teman dan keluarga adalah... ...ya karena males aja berburu oleh-oleh.

Hehehe.

Jadi ingat konversasi dengan seorang sahabat pertengahan tahun lalu, ketika saya main ke kotanya dan menginap di rumahnya.

Waktu itu dia bertanya, “Mau beli baju gak? Kalo mau ntar gue temenin ke factory outlet.”

“Nggak.”

“Yakin?”

“Beneran kok.”

“Kalo belanja?”

Yang ada saya malah balik nanya, “Belanja apa?”

“Apa kek, siapa tau lo mau beli apa gitu.”

“Nggak, ah.”

“Beli makanan buat oleh-oleh?”

Lagi-lagi saya menggeleng.

Saya baru bergerak ketika adik saya SMS minta dibawakan makanan khas kota itu.

Sumpah, alasannya bukan karena nggak mau keluar uang. Simply karena saya kurang suka merambah sudut-sudut kota hanya untuk berbelanja. Saya lebih senang menghabiskan waktu untuk menikmati udara segar, sambil leyeh-leyeh dan ngobrol panjang-lebar bersama sahabat (karena tinggal berbeda kota tentunya membuat komunikasi jadi terbatas, kan? Makanya kalau ketemu dipuas-puasin.. :-)). Atau makan di luar, mencicipi makanan khas daerah setempat. Itu thok. Kalau ada kesempatan, saya juga suka mengunjungi tempat-tempat menarik di kota yang saya singgahi, dengan catatan BUKAN factory outlet, pusat perbelanjaan atau tempat beli oleh-oleh.

Makanya, adik dan anggota keluarga saya yang lain hampir tidak pernah menanyakan oleh-oleh setiap kali saya pulang dari bepergian. Kalau mereka ingin sesuatu, mereka tinggal memesan lewat telepon/SMS, dan saya akan berusaha untuk mendapatkannya. Itu juga dengan embel-embel, “Kalau nemu, ya. Nggak janji pasti dapet.”

Hehehe.

Jadi, apa dong yang bisa dibagi dari perjalanan-perjalanan saya?

Cerita. Pengalaman.

Dua hal itu nggak bisa dibeli di tempat oleh-oleh mana pun, bos. Dan berbagi cerita setelah kembali dari perjalanan adalah hal yang paling saya sukai, ketimbang memberikan kantung plastik berisi oleh-oleh.

Cerita-cerita dan pengalaman yang saya dapatkan selama perjalanan bukan sesuatu yang ‘wah’ atau luar biasa. Kebanyakan sangat sederhana, namun selalu berkesan dan memberikan nutrisi untuk hati saya, serta bisa membuat saya cengar-cengir sinting mengingatnya.

Seperti ketika saya malas menenteng tas pakaian yang berat-gila sembari menunggu teman, dan dengan nekat menitipkannya di sebuah factory outlet dengan modal senyum manis kepada karyawan toko *halah* (dan kembali setengah jam kemudian untuk… numpang nge-charge handphone. Hahaha!).

Atau ketika saya mengetes keberanian dengan menjalani Fear Factor a la sendiri: sok beramah-tamah pada anjing-anjing setinggi paha dan akhirnya histeris ketika diterjang sampai jatuh. Bo, kayaknya dulu ngebayangin digigit anjing itu serem banget. Sekarang, gampang aja lho tangan saya masuk ke mulut anjing... dan digigit!

Atau ketika saya ketinggalan travel dan terpaksa naik bis umum, yang awalnya bikin jengkel karena udara yang gerah dan bis yang penuh sesak menguarkan aroma yang membelai hidung dengan aduhainya selama 4 jam. Tapi kekesalan itu hanya sementara, karena saya bertemu dengan seorang anak yang sangat manis, dan duduk dekat anak itu selama beberapa jam cukup membuka mata saya atas berbagai hal dalam hidup yang selama ini saya abaikan (that’s another story).

Atau ketika saya bertemu pengamen-pengamen cilik (yang sepertinya) adik-kakak dalam bis antarkota dan tersentuh dengan tingkah polah mereka.

Atau ketika saya dengan songongnya merasa ‘kuat’ setelah berhasil menenggak wine tanpa mabuk (sementara yang lain sebaliknya) dan dengan PD mencoba Bailey yang (sialnya) kadar alkoholnya jauh lebih tinggi dan akhirnya… kleyengan juga :D

Atau ketika saya berjumpa dan berkenalan dengan orang-orang baru yang seru-seru, kreatif, gila dan super-fun.

Atau ketika menginap beramai-ramai di rumah seorang kenalan baru, dadakan, tanpa membawa apa pun dan tidur di lantai tanpa ganti baju (iya, jorok, tapi seru!).

Atau ketika duduk di pinggir jalan saat hujan gerimis -tanpa menghiraukan kendaraan yang lalu-lalang- sambil memuaskan hasrat banci kamera.

Atau ketika menggigil kedinginan sambil menikmati harum jagung rebus, sementara di luar hujan lebat disertai kabut.

Atau ketika makan jagung bakar -dengan mentega dan susu kental manis yang banyak- di pinggir pantai sambil bercengkerama, dan setelahnya menyusuri kota sambil minum es kelapa muda.

Atau sekedar duduk bersama sahabat-sahabat saya, ngobrol segala sesuatu yang tidak penting, membahas hal-hal tak berguna sambil terbahak-bahak gila sampai sakit perut, obral curhat dan bertukar cerita hingga pagi menjelang.

Itu semua adalah hal-hal berharga yang tidak ingin saya tukar dengan belanja di factory outlet atau berburu oleh-oleh – walau resikonya saya dicap pelit dan ‘nggak-inget-orang’. *wink*

Itu semua, buat saya, adalah oleh-oleh perjalanan yang tidak ternilai dan tidak bisa dibeli.

Dan, meski kedengarannya egois, saya senang karena sifat ogah-belanja saya ini lumayan menekan pengeluaran selama di luar kota, sehingga saya bisa menabung untuk perjalanan berikutnya. Hahaha!

No comments: