Monday, January 28, 2008

Setitik Embun, Semalam.

“Bisa tolong ceritakan keadaan di dalam, Bu?”
“Ya… ada keluarganya, dekat kaki Pak Harto. Ada Mbak Tutut juga, terus saya lihat Pak Moerdiono…”
“Bagaimana Ibu bisa masuk ke dalam?”
“Digilir, Mbak. Sepuluh-sepuluh. Yang pakai baju Muslim duluan, jadi saya masuk sama teman-teman pengajian.”
“Mbak sempat lihat jenazah Pak Harto?”
“Cuma sekilas, Mbak. Ndak tahan saya…”

Mata itu berkaca-kaca dan sembab, seolah merasakan pedih akibat ditinggal sanak keluarga atau sahabat terkasih.

Tangisnya tumpah semalam. Untuk sosok kaku yang terbujur dengan kain putih panjang.

Airmatanya jatuh semalam. Untuk seseorang yang bahkan tak pernah dikenalnya secara pribadi.

Dia berduka atas seseorang yang telah menuai hujat dan amarah penghuni negeri. Dan dalam doanya, dia memohonkan ampun.

Wanita berjilbab hitam itu menghela nafas. Berat.

Di depan layar kaca, saya termangu.

Siapa bilang kita tak lagi punya harapan?

Di tengah padang yang mulai meranggas ini, masih berkilau setitik embun.

Masih ada hati yang mau memberi maaf.


Selamat Jalan, Pak Harto.

No comments: