Monday, December 29, 2008

Joker


Sebut saya ketinggalan jaman karena baru menonton ‘The Dark Knight’ saat orang-orang sudah hafal ceritanya dan mengoleksi DVD bajakannya.

Sebut saya aneh karena meski Batman dicanangkan sebagai tokoh utama, buat saya Joker adalah juaranya. Lepas dari ia diperankan seorang aktor yang mati overdosis sebelum sempat menyaksikan penampilan terbaiknya diputar di bioskop. Lepas dari kejeniusan Christopher Nolan. Dan lepas dari betapa kurang gantengnya si pemeran Bruce Wayne.

Sebut saya anomali karena menganggap Joker lebih dari sekadar penjahat psikopat di film-film superhero made-in Hollywood, yang membuat saya berhenti menonton Superman dan Spiderman sejak lama. Joker lebih dari itu. Dia penjahat yang pantas diacungi dua jempol. Empat, dengan jempol kaki.

Sebut saya sinting, karena seandainya Joker betul-betul ada di kehidupan nyata, saya akan menjabat tangannya erat-erat sambil bilang, “Senang bertemu Anda,” meski sehabis itu saya terkencing-kencing di celana dan mimpi buruk selama seminggu.

Sebut saya gila, karena berjam-jam setelah film itu usai, kalimat-kalimat Joker tidak sudi lepas dari otak saya, dan entah bagaimana, buat saya sekarang, dialah pahlawannya.

Wednesday, December 24, 2008

hadirmu

kau pernah hadir sebagai penebus
kau juga hadir sebagai penyembuh
lalu kau hadir sebagai penolong

kau pernah datang sebagai yang adil
kau juga datang sebagai yang menjawab doa
lalu kau datang sebagai yang mencukupkan

kau tunjukkan dirimu sebagai raja
kau juga tunjukkan dirimu sebagai bapa
lalu kau tunjukkan dirimu sebagai sahabat

kini aku menyambutmu sebagai engkau
dan di antara jajaran nama
kini aku menemukanmu sebagai yang tak bernama
namun nyata. lebih dari yang kutahu.

: selamat datang.




Bagi yang merayakan, saya ucapkan Selamat Natal, dan untuk kita semua, saya ucapkan Selamat Tahun Baru.

May your days be merry. :-)







*Gambar dipinjam dari fotosearch.com.

Saturday, December 20, 2008

Jatah

Seorang sahabat belum lama ini menumpahkan kekecewaan mengenai boss-nya di kantor (dimana ia sudah bekerja selama empat tahun) yang menolak meminjaminya uang ketika ibunya sakit dan sangat membutuhkan dana pengobatan. Padahal, menurutnya, selama ini ia belum pernah sekali pun meminjam uang dari perusahaan. Sementara itu, atasan yang sama dengan murah hati memberikan pinjaman kepada rekan kerja sahabat saya untuk membeli mobil baru -yang jumlahnya sama sekali tidak sedikit- dan membebaskannya untuk mengembalikan kapan saja.

Sepanjang hari, sahabat saya cuma bisa menangis di cubicle-nya. Kecewa, jengkel, sedih, marah. Ketika ia bercerita, saya mendengarkan dalam diam. Bukan karena tidak mau berkomentar, tapi saya memilih berhati-hati dalam berucap supaya tidak menambah kekeruhan pikirannya.

Selama berhari-hari, saya berusaha menjadi pendengar yang baik, dan ternyata itu sama sekali tidak mudah. Berkali-kali saya ikut jengkel, sedih, bahkan sebal terhadap seorang atasan yang sama sekali tidak saya kenal, semata-mata karena saya bersimpati terhadap apa yang dialami sahabat saya. Sungguh tidak mudah duduk diam, memasang telinga, dan mendengarkan, tanpa membiarkan hati ini turut memberi penilaian, yang ujung-ujungnya ‘mengharuskan’ saya untuk berpihak. ‘Memilih’ salah satu: sahabat saya, atau sang atasan, yang sekali lagi, tidak saya kenal.

Setelah beberapa minggu, persoalan itu mereda, dan sahabat saya melunak. Tidak terlalu sering lagi meluapkan kekesalan, meski sekali-dua ia masih mengeluh, kerap merasa diperlakukan tidak adil. Saya pun menyadari satu hal: ketika ia mulai berhenti bercerita, hati saya ikut melunak. Iba yang saya rasakan ketika bertemu dengannya mulai memudar. Bukan karena saya tidak bersimpati lagi padanya, namun karena penilaian saya turut melambat seiring berkurangnya frekuensi curhat. Rasa kesal yang sering muncul setiap mendengar cerita-ceritanya juga luntur karena topik itu mulai jarang disebut-sebut lagi.

Dan saya berpikir, betapa tidak mudah menjadi pendengar yang baik –hanya mendengar, tanpa menilai— dan tidak terkontaminasi oleh berbagai persepsi dan pemikiran yang ribut simpang-siur di dalam benak. Betapa tidak mudah menempatkan hati pada posisi netral ketika kita berhadapan dengan situasi yang melibatkan orang-orang terdekat yang disayangi tanpa terpancing untuk ikut menilai dan menjatuhkan penghakiman.

Betapa tidak mudah menerima sebuah kasus sebagai kasus, sebuah situasi sebagai situasi, dan sebuah kondisi sebagai kondisi, apa adanya, tanpa terjebak untuk menjadikannya masalah dengan berbagai penilaian dan observasi yang secara otomatis dirancang oleh segumpal benda bernama otak ini.

Sungguh, sama sekali tidak mudah. Padahal, itu hanya sebatas perkara ‘meladeni-teman-curhat’, dimana kasus yang dicurhatkan sendiri sering kali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita sebagai teman atau pendengar. Boro-boro melibatkan kita, lha wong kenal dengan objek curhatnya aja nggak.

Itu baru satu.

Masih ada yang jauh lebih sulit, seperti menerima berbagai hal tidak enak yang terjadi dalam hidup apa adanya, sebagai ‘jatah’ yang memang harus kita jalani, tanpa berusaha keras mengubahnya. Melapangkan hati untuk menyambutnya dengan ikhlas, tatkala ia bertentangan dengan ekspektasi dan konsep ideal yang selama ini kita genggam erat.

Saya, termasuk yang masih sering (sekali) bergumul dengan hal satu ini. Saya sulit menerima keadaan yang berseberangan dengan ekspektasi, keinginan dan persepsi ideal saya. Saya tidak mudah menerima berbagai kejadian tidak enak (yang sebetulnya hanya sebuah kondisi, yang bertransformasi menjadi masalah karena saya tidak menyukainya) sebagai sesuatu yang ‘memang sudah jatah saya’, atau bahasa religiusnya: takdir.

Saya tidak mudah merangkul berbagai perasaan tidak nyaman yang berkecamuk tatkala situasi berubah pelik, dan acap kali saya berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut, atau menempuh jalan pintas dengan mengambil sikap cuek, semata-mata karena saya tidak ingin terganggu dengan kerikil-kerikil itu.

Persoalan selesai? Boro-boro.

Yang ada, batu-batu yang awalnya saya anggap kerikil kecil, berubah menjadi timbunan yang terus menggunduk dan membesar. Menjadi bukit, bahkan gunung masalah. Dan akhirnya, setelah babak belur berusaha menghancurkan gunung, saya menyerah, lalu mendesah, “Mungkin memang sudah jatah saya” – yang sering kali sudah terlambat. Bukan karena masalahnya tidak bisa lagi dibereskan, namun karena sudah terlalu banyak luka di tubuh saya sehingga perlu waktu dan energi yang tidak sedikit untuk memulihkannya.

Ikhlas. Betapa sering saya mendengarnya. Betapa sering saya mengira telah memahaminya. Betapa sering saya harus kembali ke titik nol dan mengangkat tangan. Melakukan gencatan senjata dan mengaku kalah. Pasrah. Bahwa saya memang tidak paham apa-apa. Bahwa semua pengetahuan yang tersembunyi di balik tempurung kepala ini tidak cukup untuk membuat saya menjadi manusia yang ikhlas.

Jatah. Betapa sering saya mendengarnya, membacanya, bahkan menuliskannya. Kenyataannya, ketika ia hadir tanpa bisa dielakkan, saya tetap kelimpungan dan bergulat untuk sekadar ‘lari’ darinya. Berusaha mati-matian mengubahnya, tanpa mau tahu bahwa seperti cuaca, ada hal-hal dalam hidup yang tercipta hanya untuk diterima dan dipetik pelajarannya. Bukan digeluti, bukan digumuli.

Lalu, untuk apa saya menuliskan ini? Buat apa saya ‘membuka isi perut’ di wadah yang bisa dibaca semua orang seperti ini?

Alasan pertama, karena menulis, bagi saya, adalah terapi. Dan mengungkapkan isi hati melalui tulisan adalah upaya saya untuk jujur terhadap diri sendiri – untuk mengenal diri dengan lebih mendalam.

Meski terkadang kejujuran bisa menyakitkan, saya percaya tidak ada yang lebih penting dari kejujuran. Seorang sahabat pernah berkata, ada hal-hal yang tidak dapat diingkari dalam hidup, namun kita selalu bisa memilih untuk jujur. Dan rasa sakit yang timbul dari kejujuran tidak akan lebih fatal dari luka yang disebabkan ketidakjujuran.

Alasan kedua, karena melalui tulisan ini, saya ingin berkata kepada seseorang –seandainya ia mampir ke sini dan menemukan entri ini— bahwa kini saya mengerti apa yang ia maksud dengan ‘jatah’. Kini saya paham. Dan kendati saya tetap ingin memelihara kejujuran dengan berkata terus terang bahwa ini bukan hal mudah, saya ingin dia tahu, saya bisa menerima.

Jatah, sebagai jatah. Sebuah momen dalam hidup yang hadir untuk diambil maknanya; bukan untuk disesali, bukan untuk dihindari.

Dan untuk itu, dari hati yang terdalam, saya berterimakasih.

:-)

Friday, December 19, 2008

Kata Mereka tentang VAJRA...

Sebelum VAJRA lahir, ia hanya milik saya sendiri. Tersimpan dalam file berukuran 728 kilobytes di komputer, bersama segala impian dan cita-cita untuk menjadi ‘emak sungguhan’ dari sebuah karya yang terwujud dalam bentuk buku, yang nyata, dan ada.

Setelah ia terbit dan nampang di rak-rak toko buku, file itu masih tersimpan rapi di komputer, kali ini bersama sederet foto hasil hunting saya di sejumlah toko, persis seperti emak yang bangga akan anaknya dan tak bosan-bosan mengoleksi fotonya, meski gambarnya selalu sama dan cenderung membosankan: setumpuk buku dalam rak kayu cokelat muda yang bersanding dengan tumpukan buku lain.

Bukan hanya itu pembedanya. Jika dulu ia hanya milik saya sendiri, kini saya mempertemukannya dengan dunia – membaginya dengan Anda semua. VAJRA menjadi milik kita bersama. Saya dan Anda yang mengijinkannya menghuni rak buku Anda.

Berikut adalah beberapa dari mereka yang telah bersua secara langsung dengan VAJRA. Mereka yang telah berkenalan dan memberikan testimoni mengenai anak sulung saya. Thanks a bunch you all. Terima kasih telah menempatkan VAJRA dalam rak kalian, dan terima kasih atas kesediaannya memberikan review dan komentar.

Yang mau nyusul, boleh banget. Yang merasa masih punya 'utang', monggo dilunasi sebelum jatuh tempo *wink-wink*. ;-)

Ditunggu, yaaa!


-----


"Untuk kumcermu, udah baca semua! Untuk sebuah debut, karya kamu ga bisa dipandang sebelah mata. Kudos 4 u!"
(Sitta Karina - novelis dan kontributor majalah “CosmoGIRL!”)


"
Fascinating. Jarang sekali ada tulisan-tulisan yang begitu kaya, tapi tidak kehilangan unsur entertainment-nya. Cinta anak SMA, sampai kloningan abad 22, sampai kehidupan penjaga tol dan pengamen jalanan, ada semua di sini. Kumcer terbaik yang pernah saya baca. Nyesel juga nggak baca abis ini dari dulu. Bagus banget Jen. I’m so proud of you. Damn proud, untuk jujurnya. Keren."
(Farida Susanty - novelis, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2007 kategori Penulis Muda Berbakat)


Pernah nonton
Desperate Housewives? Kenal tokoh yang namanya Susan Mayer? Naah... seperti yang diakuinya sendiri, Jenny Jusuf ini seorang "Susan Mayer": gadis romantis penuh cinta :) Pokoknya, beda banget dibandingkan gw yang campuran antara the perfectionist Bree van de Kamp dan the practical Lynette Scavo ;-)

Dengan semangat saling mendukung ala tokoh2 DH lah, gw membeli VAJRA. Jujur, by my usual standard, rak chicklit & teenlit di toko buku bukanlah tempat bermain gw ;-)

Tapi akhirnya gw cukup menikmati membacanya. True, Jenny Jusuf is Susan Mayer at heart. But, she is definitely less naive than that romance-hungry character ;-) Cerita2 di Vajra memang ringan, penuh roman, dan terkesan cinta mengalahkan segalanya seperti jalan hidup seorang Susan Mayer.

... tapi, Jenny membekali dirinya dengan pengetahuan yang up-to-date tentang berbagai hal. Dengan demikian, meskipun ceritanya ringan dan penuh cinta, cocok buat remaja2 putri, tapi tulisannya membuat remaja2 itu sedikitnya menambah pengetahuan dan "nggak cuma mikir cinta" ;-)

Yang jelas, Jen, VAJRA gw simpan buat bacaan Ima 1-2 thn lagi ;-)
(Maya Notodisurjo - blogger)


"
Damn! VAJRA KEREN euy! Emang jago deh lo, IRI huehehe. Simpel, menyentuh tapi berisi. Cool debut! Ada beberapa yang KENA banget Mbak, cuma emang ada yang kurang tapi tetep oke. Tapi keren euy! Overall nice, gue seneng bacanya dan gak mau berhenti."
(Haqi - blogger, scriptwriter)


"Jenny tapped the essence of life and brewed it into riveting, page turning stories. Can’t wait for your next book!"
(Tommy Fransiscus)


"
Congratsss... Ada yang sukses bikin mata berkaca-kaca, ada yang sukses bikin nyengar-nyengir ga jelas. Paling suka "Anugrah Terindah”, khas Kakak banget."
(Noviana Roselie)


"Waahhh... Kak Jenny aku udah baca bukunya.... kereeennn!!!! Huhuhuhu... Ayooo ditunggu lagi yaaa bukunyaa!!! Cmangattzz!!!"

(PS: aku paling suka cerpen tentang Faris dan pacarnya... hehehehe pengalaman pribadi soalnya :p)
(Purple_Loverz)


"Halo Kak Jenny :) Salam kenal ya, aku Clarissa... aku tau bukunya dari milisnya Kak Arie dan aku udah beli bukunya, sekarang udah selesai baca. Bukunya bagus banget! Aku suka banget, life lessonsnya bagus-bagus banget :) Selamat ya :D And keep writing!"

(Clarissa)


"Udah beli bukunya... udah baca... gw paling suka ama cerita yang ada quotenya. Gw lupa bahasa inggrisnya, tapi kira-kira gini: kasih yang paling besar adalah saat seseorang mengorbankan nyawanya untuk sahabatnya... dalam banget..."
(Desty)


"Udah beli kumpulan cerpennya Jenny… ^_^ Suka banget ama cerita-cerita di dalamnya…"

(Maggie)

Friday, December 12, 2008

Pelita Hati

Teman-teman tersayang,

Terima kasih untuk semalam, ketika kita duduk mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu keras, mengerjakan segala aktivitas biasa –mengecek HP, menyelesaikan sisa pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang, sampai mengecat kuku- sambil berceloteh panjang lebar. Tentang segala hal dalam hidup. Tentang rencana menikah tahun depan. Tentang pacar yang menjengkelkan. Tentang rekan kerja yang menyebalkan. Tentang kejadian-kejadian yang membuat naik darah.

Lalu, setelah puas mengutuk orang-orang yang kita salahkan membuat hidup jadi lebih sulit, kita berkhayal, alangkah asyiknya kalau tahun depan bisa berlibur bersama ke sebuah tempat indah nan eksotis. Pokoknya harus yang ada pantainya. Kemudian kita mulai menghitung-hitung, membuat perencanaan, dan membahas segala sesuatu.

Kita sepakat, tidak akan pergi naik pesawat. Mahal, Jendral. Kita akan menyewa kendaraan. Lalu, kita akan melakukan segala macam trik untuk menyiasati bawaaan yang segudang. Kenapa segudang? Karena kita akan membawa bahan makanan dan memasak sendiri selama liburan, supaya hemat. Dan kita tertawa-tawa membayangkan orang yang dipercaya membawa segala makanan itu kabur meninggalkan kita, menghilang, atau nyasar entah dimana, dan kita termangu kelaparan.

Ketika nominal disebutkan, kita beramai-ramai sepakat bahwa kita akan rajin menabung, mulai dari sekarang. Angka itu sama sekali tidak kecil, meski kita memilih liburan ala backpacker miskin. Jadi, tidak ada alternatif lain kecuali menabung dan mengencangkan ikat pinggang. Mulai detik ini. Demi sebuah liburan yang menyenangkan, tahun depan.

Kita menyimpan harapan itu dalam hati, rapi-rapi, serta berjanji pada diri sendiri untuk tak alpa menyisihkan uang setiap bulan. Kemudian kita kembali pada aktivitas masing-masing. Mengecek HP. Menyelesaikan sisa pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang. Mengecat kuku. Sambil mengobrol panjang lebar tentang segala macam hal dalam hidup.

Saya tahu, seperti kalian pun (mungkin) tahu. Liburan itu tidak akan terwujud. Meski kita lebih suka membungkam mulut rapat-rapat dan tidak membicarakannya. Hidup memang tidak pernah menutup peluang terhadap berbagai mujizat dan keajaiban, namun, jika menilik realitas, kita semua sadar, kita takkan menjejakkan kaki ke pantai impian itu. Setidaknya, tidak tahun depan.

Saya memilih realistis dengan merangkul kenyataan bahwa serajin apa pun saya menabung dan berhemat dalam setahun, tabungan saya tidak akan cukup untuk membawa saya ke sana. Teman kita yang satu lagi, juga tidak akan mampu membiayai perjalanannya karena ia bahkan tidak punya tabungan sama sekali. Tidak bisa menabung, tepatnya. Setiap bulan, seluruh gajinya habis untuk hidup sehari-hari, menyekolahkan dua keponakan, dan diberikan kepada orang tuanya yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan. Lalu, teman kita yang satu lagi, yang wajahnya selalu berhasil membuat tertawa meski batin sedang gundah, tahun depan akan menikah. Kita semua tahu, biaya pernikahan tidak sedikit. Dan adik kita tersayang, Batak Tembak Langsung yang jagoan membuat orang terpingkal-pingkal itu, berniat melanjutkan kuliah, mengambil S2. Itu juga butuh biaya yang tidak sedikit.

Lantas, kenapa kita repot-repot merencanakan sebuah perjalanan yang tidak akan terwujud?

Karena kita masih ingin punya mimpi. Karena impian memberi semangat pada diri yang mulai jenuh menghadapi dunia. Karena impian memberi bahan bakar untuk menyalakan api di hati. Untuk terus melangkah. Untuk terus berjalan. Meski kaki-kaki kita sudah penat dan lelah. Meski tubuh ini sudah menjerit-jerit minta time-out.

Teman-teman tersayang,

Terima kasih banyak untuk semalam, ketika untuk kesekian kalinya kita duduk bersama. Mengelilingi meja bundar dengan kursi-kursi kayu keras, ditemani sebungkus keripik dan air mineral. Mengobrolkan segala macam hal. Menertawakan hidup, karena cuma itu yang kita bisa. Karena terkadang hidup tidak menyisakan pilihan selain tertawa, meski itu tawa getir. Sepat.

Terima kasih untuk senantiasa berbagi. Tawa, tangis, amarah, bahagia, kecewa, takut, dan segala rasa lain yang silih berganti hadir dalam perjalanan panjang ini. Dan, kendati liburan impian kita nanti betul-betul tidak terwujud (kenapa ‘betul-betul’? Ya karena saya masih ingin menyimpan harapan akan datangnya mujizat :-D), saya ingin berterima kasih karena kalian telah menemani saya dalam perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan panjang bernama Kehidupan.

Terima kasih untuk setiap bungkus keripik singkong, snack keju, wafer cokelat, permen jeli, mie instan, bakwan sayur, sirup jeruk, dan teh manis dingin yang kita bagi bersama. Terima kasih untuk kedamaian yang selalu singgah setiap pandangan saya bertemu dengan wajah-wajah kalian, yang seringnya tampak kusut dan jemu, meski kalian –seperti juga saya— selalu berusaha menyamarkannya dengan senyuman. Betapa saya tahu, sesungguhnya saya tak pernah sendiri.

Terima kasih untuk kegembiraan yang timbul kala kita beriringan menyusuri pinggiran jalan yang berdebu, berpayung berdua-dua, menyetop angkot dan urunan seorang dua ribu, lalu berjalan ke mall terdekat di bawah siraman rintik gerimis dan hawa dingin sambil tak henti-hentinya bercanda dan terpingkal-pingkal.

Terima kasih untuk setiap curhat yang meyakinkan bahwa saya memang tidak perlu kesepian. Terima kasih untuk setiap kegilaan yang mengocok perut, yang selalu berhasil menghadirkan kehangatan dan cahaya ketika hidup sedang suram-suramnya. Meski kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa bersama (sebelum salah satu dari kita akhirnya resign dari kantor dan pindah ke kos-kosan lain, misalnya, atau menikah dan tinggal bersama suami), saya ingin berterima kasih karena kalian selalu ada.

Meski saya tidak akan pernah mengucapkan ini secara langsung (karena kalian pasti akan terbahak-bahak dan meledek saya habis-habisan, huh!), saya ingin kalian tahu, kalian adalah pelita hati. Each one of you. Dan ketika memandang wajah kalian, satu persatu, saya tahu, kita tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

:-)

Sunday, December 7, 2008

Buat Kamu

Terima kasih untuk menelepon di saat yang sangat tepat. Ketika saya merasa penat dengan segala kegilaan yang terus bergulir; saat saya sedang ingin meninggalkan semuanya untuk mencicipi kehidupan ‘normal’ – sebentar saja.

Don’t be sad,” katamu, padahal saya tak bercerita apa-apa. Mungkin gelombang otak kita sedang berada dalam frekuensi yang sama, atau kemampuan telepati mendadak muncul karena kita saling merindu.

Kamu, ya, kamu. Saya selalu sayang kamu. Saya tahu kamu tahu. Dan terima kasih karena selalu ada.

(Tidak, yang saya maksudkan bukan kehadiranmu secara fisik. Tapi hatimu.)

I love you, Papa.

Dan, ya, saya janji tidak akan terlalu sering mandi malam dan begadang lagi. :-)

Friday, December 5, 2008

Reputasi itu Penting, Jendral!



Nomor teleponnya sengaja nggak ditutupin. Siapa tahu ada yang butuh... ;-)